Translate

Makna Dibalik Kegagalan

Kata “Gagal” seringkali diartikan peyoratif/negatif, tak ayal balutan serta bungkusan yang menyelimuti kita ditopang dengan beragam cara. Apapun itu, yang penting kita jauh dengan kata “gagal”. Namun apa makna dibalik kegagalan...

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi

Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi...

Implikasi Putusan Praperadilan Kasus BG, Bukti Nyata Hukum Indonesia Tak Jelas

Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini.....

Adonis, Sastrawan Arab Paling Kritis

Adonis merupakan penyair Arab yang paling berpengaruh di abad ke-20. Karya sastra modernisnya sangat berpengaruh terhadap dampak budaya Arab.....

Lintasan Sejarah Komunisme di Dunia Islam

Persinggungan antara komunisme di barat maupun di wilayah timur, terkhusus di Dunia Islam terdapat titik persamaan konseptual yaitu menolak terhadap kolonialisme barat. Seperti yang kita ketahui, hampir rata-rata di dunia Islam paruh abad 18-19-an, telah terjadi pergeseran antar ideologi.

Sunday, 20 July 2014

“Metode Belajar Kreatif”, Seharusnya Digalakan Sejak Dini

Meski babak milenium II membuka ruang begitu besar kepada aspek psikomotorik siswa, namun masih saja dirasakan sebagian kalangan terasa kurang. Ini terbukti beberapa fakta bagi siswa-siswi dari tingkatan (SD, SLTP, SLTA) masih saja didominasi oleh kecerdasan intektual (IQ). Bahkan dalam satu pristiwa hampir dirasakan oleh banyak orang tua wali, anak-anak (peserta didik) lebih senang terhadap hal-hal efisien, cepat dan praktis. Seperti banyak pengguna internet dari level peserta didik—dan yang paling mencengangkan mereka sering kali mengakses situs-situs atau keyword jejaring sosial—bukan situs edukatif.
Hipotesis di atas bukan untuk mengeneralkan sebuah kompleksitas pendidikan di Indonesia, namun itu faktanya, kita tidak bisa menolak. Lalu bagaimana meminimalisir agar sarana pembelajaran yang notebene-nya lebih berorientasi pada intelligence quotient  (IQ)— seimbang dengan emotional quotient  (EQ) maupun spiritual quotient  (SQ). Tak lain dengan memperkaya pola pembelajaran kepada peserta didik, merupakan sesuatu yang urgent. Kenapa? Karena pada tingkat pembelajaran secara kreatif baik guru, orang tua dan peserta didik diikutsertakan, baik langsung maupun tidak. Selain itu juga pembelajaran secara kreatif tidak melulu bertumpu pada IQ, tetapi lebih konvergensi terhadap intelktual, emosial, spiritual dalam tataran imaginatif.
Metode belajar kreatif juga mendorong anak lebih berani bertanya atau mengemukakan pendapat siswa, jadi sangat tidak disangsikan lagi kalau belajar maupun pembelajaran secara kreatig perlu digalakan sejak dini kepada anak-anak.  Memang seperti yang terlihat, metode belajar kreatif telah digalakan digalakan, tetapi itu hanya di tingkat perguruan tinggi. Itu memicu beberapa persoalan pada anak ke depan nanti. Selain bisa dikatakan terlambat itu juga bisa merusak potensi keberanian seorang anak kedepannya nanti.[1]
Dalam kaitannya antara peserta didik dengan guru, perlu kiranya upaya sinkronisasi dengan bertumpu pada kreatifitas mengajar seorang guru di sekolah maupun di lembaga social lainya, seperti di rumah, lingkungan dan sebagainya. Hal itu dilakukan tak lain demi terkuaknya imaginasi seorang anak ketika melihat gurunya mengajar secara kreatif. Di mana imaginasi akan hadir secara bersamaan ketika anak didik memotret gambaran kreatifitas seorang guru. Ini tidak melulu selalu seorang guru mendikte kepada anak didiknya untuk belajar secara kreatif. Lebih dari itu.
Jika kita menelaah lebih dalam menurut Elizabeth B. Hurlock, pembelajaran kreatif merupakan upaya kemampuan seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk, atau gagasan yang ada pada dasarnya baru da sebelumnya tidak dikenal pembuatnya. Ia dapat berupa kegiatan imajinatif atau sintesis pemikiran yang hasilnya bukan hanya perangkuman. Ia mencakup pembentukan pada hal baru dan gabungan informasi yang diperoleh dari gabungan informasi yang diperoleh dari pengalaman sebelumnya dan pencangkokan hubungan lama ke situasi baru dan mungkin mencakup pembentukan korelasi baru. Ia harus mempunyai maksud atau tujuan yang ditentukan, bukan fantasi semata walaupun merupakan hasil yang sempurna dan lengkap. Ia mungkin dapat berbentuk produk seni, kesusteraan, produk ilmiah, atau mungkin bersifat prosedural atau metodologis.[2]
Sebagai langkah aplikatif sejak dini dalam mengatasi persoalan di atas, maka diperlukan Pertama, spesifikasi dan kualifikasi perubahan perilaku peserta didik dengan melatih imaginasi pola membaca, menghitung, menulis dan menggambar. Kedua, memilih cara pendekatan belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan selektif untuk mencapai sasaran bagaimana cara guru/orang tua memandang sesuatu persoalan, konsep, pengertian dan teori apa yang guru gunakan dalam memecahkan satu kasus, akan mempengaruhi hasilnya. Jadi pemilihan metode yang tepat mempengaruhi hasil yang akan dicapai. Ketiga, memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif. Pemilihan dan penetapan metode yang tepat dapat memotivasi anak didik agar dapat memecahkan masalah, karena pemilihan metode yang monoton akan membuat siswa merasa jenuh atau bosan. Keempat, menerapkan norma atau kriteria keberhasilan sehingga guru/orangtua memiliki pegangan yang dijadikan ukuran untuk menilai sejauh mana keberhasilan tugas yang telah dilakukan.[3]




[1] Ed. Shinta Rahmawati, Mencetak Anak Cerdas dan Kreatif, (Jakarta: Kompas, 2001) , hal. 21
[2] Elizabeth B. Hurlock. Perkembangan Anak. Dialih bahasakan Oleh Meitasari Tjandrasa dari Child Development. (Jakarta: Erlangga, 1993), Cet. IV, hal. 3
[3] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT.Rinela Cipta, 2002), Cet. II, hal. 6-8.

Thursday, 17 July 2014

Mengatasi Problem Hidup Manusia (Human Existence)



Seiring berjalannya waktu, gerak manusia kian hari kian tak tahu arah sejatinya harkatnya. Pola kehidupan menuntut daya dengan beragam pilihan yang sangat problematis. Harapan di depan mata terasa semakin absurd (tak terlihat). Waktu terasa cepat untuk memutuskan sebuah pilihan hidup. Waktu pula merangsang kita dengan begitu banyak input dari luar sehingga kita sulit bahkan tidak mendengar suara bisikan hati dari dalam. Kita kehilangan diri kita sesungguhnya dalam keramaian dunia ini. Di tambah lagi dengan kreasi entertain sejenis kanal TV, internet, dan sebagainya—terus saja menjajaki nilai spirit kita. Makna hidup mengalami degradasi.
Manusia dengan waktu yang sangat terprogram buru-buru pergi dari sekolah ke tempat les private, lapangan sepak bola, aula teater, ruang diskusi dan dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya. Meminjam istilah Phillip McGraw, manusia berada dalam pusaran komedi putar yang bergerak terlalu cepat sehingga tak bisa berpegang. Bahkan saking cepatnya, kita tak bisa melompat ke luar. Akibatnya kita berjongkok dan hanya menunggu sampai putaran komedi berhenti.[1]
Dalam strata sosial, status seseorang kini mulai ditunjuk dari seberapa sukses kelihatannya orang itu. Hal ini menimbulkan berbagai upaya kontrol untuk meniru orang-orang yang lebih sukses. Sikap “membandingkan diri dengan orang lain” begitu tertanam dalam diri sebagian besar kita,[2] yang membuat kita menilai diri sendiri tidak lagi objektif, siapa kita sebenarnya? Hal itu karena parameter orang lain masuk ke dalam citra kita. Kita kehilangan makna manusia sesungguhnya.
Namun apakah kita hanya berdiam diri menunggu komedi putar berhenti, seraya sambil mengatakan “aduh, kapan ya giliran kita hidupnya lebih baik?”. Sungguh nada sumbang lirih seperti itu menandakan hakikat serta mindset manusia mulai terdapat gejala. Sejatinya manusia selalu hidup berkembang, bukan hanya berpangku tangan menunggu datangnya sang Raja keadilan memelas kasih padanya. Katakan untuk “tidak” dengan sikap demikian, sekarang marilah kita renungkan dalam-dalam bagaimana merubah ini semua? Yang pastinya kita tak butuh guru, orangtua, pasangan, bahkan siapapun untuk merubah kita sejatinya. Hanya ada kata “kita sendiri” yang membenahi semua ini.
Setelah merenungi beberapa permasalahan serta tanggapan di atas, maka mulailah sedini mungkin untuk menyadari semua itu, beranjak dari fenomena keterpurukan menuju kebangkitan bukan hanya sebatas romantisme (mengingat prestasi masa lalu)—lebih dari itu. Frank Peppers dalam bukunya telah mengingatkan kita untuk menjadi seorang yang kreatif serta merumuskan hal-hal yang terlihat tidak jelas (absurd) menjadi jelas apa yang harus dilakukan oleh kita, yaitu Apa yang seharusnya kita lakukan hari ini ketika melihat persamalahan tersebut? Kemudian bagaimana kita melakukan perwujudan tersebut? Dan yang ketiga kapan kita harus memulainya?.[3]
Untuk lebih terarah secara efektif ketika merencanakan perubahan, pertama-tama kita harus mengetahui di mana kita memulainya? Mengetahui sesuatu yang seharusnya kita kerjakan selanjutnya dimulai dengan, dan didasarkan atas, semua itu merupakan pembuka hakikat kemanusiaan sejatinya. Dan jangan lupa, identifikasi masalah antara minat dan bakat untuk menopang sifat keseimbangan diri manusia, dengan melibatkan rasa dorongan sifat manusia (hierarchy of needs), seperti kelangsungan hidup (survival), keamanan (security), penghargaan diri (self-esteem), cinta (love), ungkapan diri (self-expression), pemenuhan intelektual (intellectual fulfillment) dan terakhir pemenuhan spiritual (spiritual fulfillment). Ketika aktivitas digerakan secara seimbang oleh tujuh motivasi gerak ini maka akan berpengaruh besar terhadap diri kita sesungguhnya.




[1] Phillip C. McGraw, Kau Mesti Tahu Yang Kau Mahu, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), hal. 34
[2] James Redfield, The Celestine Viision, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 22
[3] Frank Peppers, Thumb Up!, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008), hal. 27

Wednesday, 16 July 2014

Regulasi Perlindungan Anak Di Indonesia


Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang membawa akibat hukum. Oleh sebab itu perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Ada beberapa alasan mengapa anak perlu dilindungi dalam kasus hukum,, menurut Pater Newel dalam bukunya Taking Children Seriously: A proposal for Children‘s Rights Commisionermenyebutkan antara lain:
a)     Biaya untuk melakukan pemulihan akibat dari kegagalan dalam memberikan perlindungan anak sangat tinggi. Jauh lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan  jika anak-anak memperoleh perlindungan.
b)     Anak sangat berpengaruh langsung dan berjangka panjang atas tindakan atau perbuatan (action) atau ketiadaan tindakan/perbuatan (unaction) dari pemerintah atau kelompok lainnya.
c)     Anak selalu mengalami kesenjangan dalam pemberian pelayaran publik.
d)     Anak tidak mempunyai hak suara, dan tidak mempunyai kekuatan lobby untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah .
e)     Anak pada banyak situasi tidak dapat mengakses perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak.
f)     Anak lebih beresiko dalam eksploitasi dan penyalagunaan.[1]
Untuk itu sangat urgen, manakala perlidungan hak anak dalam hukum diatur sedemikian rupa.Baik yang skalanya nasional maupun internasional.Dalam skala nasional peraturan perundang-undangan di Indonesia terkait masalah anak telah diatur sejak lama, bahkan dirasa cukup komprehensifmeskipun terdapat beberapa aturan yang sudah tidak relevan lagi.[2]Di bawah ini upaya negara dalam menjamin hak-hak anak secara umum:
1)         Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
2)         Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
3)         Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak;
4)         Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tenang Konvensi Hak Anak;
5)         Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1998 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial Bagi Anak;
6)         Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999Tentang Hak Asasi Manusia;
7)         Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;
8)         Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003 Tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia;
9)         Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
10)     Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlidungan Saksi dan Korban;
11)     Undang-Undang  Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
Dalam konteks perlidungan bagi anak, secara khusus Indonesia sendiri telah mengatur beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan tentang perlidungan anak, seperti yang dijabarkan di atas yaitu Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 4 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, beberapa peraturan lain yang berkaitan dengan masalah anak.
Mengacu pada landasan normatif, dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak bahwa ada dua konsepsi mengenai perlidungan anak. Yang pertama terkait dengan definisi umum yang menjelaskan bahwa Perlindungan Anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[3] Dan yang kedua yaitu perlidungan anak secara khususyaitu perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.[4]Jadi bisa disimpulkan upaya perlidungan yang diberikan dalam undang-undang yaitu terkait masalah perlidungan secara umum dan khusus.
Adapun upaya penyelenggaraan perlidungan anak berasaskan pancasila dan berlandaskan Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak meliputi:Non diskriminasi, Kepentingan yang terbaik bagi anak, Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan dan Penghargaan terhadap anak.[5]
Lebih lanjut dalam Pasal 3 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak, perlindungan  anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat manusia, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak, mulia dan sejahtera.[6]Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang, orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun Negara. Pasal 20 Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan:Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.[7]
Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu:
a)     Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21);
b)      Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22);
c)      Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara umum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23);
d)     Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24).[8]
Dalam pasal 5 dijelaskan pula tentang Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.[9] Adapun kewajiban tanggungjawab keluarga dan orang tua dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak, yaitu:
a)    Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b)   Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
c)    Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.[10]
Kaitannya dengan kasus kekerasan seksual , Undang-undang  No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak pun telah mengaturnya, yang mana upaya perlidungan kekerasan seksual termasuk dalam kategori upaya perlidungan anak secara khusus menurut undang-undang ini.  Upaya perlidungan khusus kasus kekerasan seksual bisa dilihat dalam pasal 66 dari ayat 1-3 yaitu:
1)        Adapun kewajiban dan tanggung jawab dalam kasus ini merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah danmasyarakat.[11]
2)        Pada pasal 62 ayat (2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui:
a)     penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturanperundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anakyang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
b)    pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan c. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.
3)      Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).[12]




[1]LBH Jakarta, Mengawal Perlidungan Anak Berhadapan dengan Hukum, (LBH Jakarta: Jakarta, 2012), hal. 17
[2]Lihat “KPAI Desak DPR Revisi Undang-Undang Perlidungan Anak”, diakses pada: http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/01/29/3/126901/KPAI-Desak-DPR-Revisi-UU-Perlindungan-Anak. Tanggal 24 Desember 2013 Pukul 14.05 WIB
[3]Pasal 1 Ayat (2) Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak
[4]Pasal 1 Ayat (15) Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak
[5]Pasal 2 Ayat Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak
[6]Pasal 3 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak        
[7]Pasal 20 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak
[8] Pasal 21-24 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak
[9] Pasal 25 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak
[10]Pasal 26 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak 
[11]Pasal 66 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak
[12] Pasal 66 ayat 1-3 66 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak

Sunday, 6 July 2014

Telaah Pemikiran Morphogenetik Rupert Sheldrake


Seiring berkembangnya zaman dan pemikiran manusia pertengan abad ini, keniscayaan pertarungan maupun proses pengintegrasian disiplin ilmu menjadi tak terelakan. Pertarungan serta proses reintegrasi ilmu terasa hingga kini menjadi semakin sempit. Beberapa fenomena besar dunia diteropong dengan beragam paradigma disiplin ilmu. Begitu juga dengan problematika hidup manusia—menjadi konsen tersendiri bagi sebagian jenis keilmuan, bahkan mencuat pula pemecahan persoalan hidup dari lintas disiplin keilmuan. Tak jarang satu disiplin ilmu menjadi parameter disiplin ilmu lain, begitupun paradigma dan konsepsi suatu ilmu—sering ditemukan berbagai kemiripan serta kesamaan perspektif dari hasil yang  ditelaahnya.[1]
Hal itu yang pernah dilakukan Rupert Sheldrake,[2] seorang ahli scientis sekaligus pengamat disiplin ilmu sosial. Sebagai seorang scientis, Rupert Sheldrake morphogenetic[3] dari bidang keilmuan biologi menjadi pula paradigma perkembangan sosial kehidupan manusia. Pengamatan tersebut bisa dilihat dari perspektif Rupert Sheldrake tentang kehidupan yang dimaknai sebagai bentuk-bentuk biologis diciptakan dan dipeliharan dalam bidang-bidang morphogenetic—perkembangan organisme. Lebih lanjut menurutnya, bidang-bidang tersebut bersifat non-lokal—meciptakan struktur tak terlihat yang diikuti molekul, sel serta organ saat mereka berubah bentuk dan mengkhususkan diri untuk menjadi mahkluk hidup tertentu.
Rupert Sheldrake juga berpendapat bahwa perkembangan organisme itu selalu berkembang dan berevolusi. Jauh sebelumnyanya, pendapat science seperti ini pernah dilontarkan pula oleh seorang pencetus teori evolusioner Darwin. Begitupun dengan R. Sheldrake yang menafsiri teori morphogenetic selalu berevolusi, hal tersebut terjadi karena seiring berjalannya waktu maka setiap generasi spesies tidak hanya dibentuk oleh satu bidang, namun juga mengubah bentuk pula untuk bertahan hidup dalam lingkungan.[4]
Hipotesa Sheldrake pun dengan menggunakan perumpamaan seekor ikan yang hidup dalam habitat dalam air (bologis), perlu berevolusi untuk mendapatkan sirip baru—supaya bisa berenang lebih cepat atau dengan bahasa penulis autoplastis (menyesuaikan diri). Seperti yagn dikutip dalam bukunya James Redfield, The Celestine Vision—dikatakan bahwa kehendak ikan menghasilkan perubahan dalam bidang morphogenetic, ini tampak ketika keturunannya memiliki sirip tepat seperti yang diinginkan.
Teori ini pula membuka cakrawala episteme baru dalam bidang science, bahkan menurut James Redfield bahwa transformasi ini pula bisa bertransformasi bukan saja hanya kepada karakteristik tambahan mahkluk seperti ikan atau tumbuhan tetapi bisa juga yang lainnya. Seperti evolusi ikan tertentu mencapai batas habitat di air, namun ada beberapa keturunan ikan yang ternyata merupakan pembeda dari spesiesnya; amfibi, ikan toke, dan sebagainya.
Dari beragam perkembangan teori evolusi science di atas, ternyata menurut Sheldrake memungkinkan terjadi pula pada evolusi kehidupan sosial manusia. Sepanjang sejarah, kehidupan manusia seperti makhluk hidup lainnya, dimana selalu mendorong lapisan luar pengetahuan manusia—dan selalu berjuang untuk berevolusiagar mendapatkan pemahaman yang lebih utuh tentang lingkungan serta aktualisasi potensi dalam diri kita. Pada waktu tertentu, tingkat kemampuan dan kesadaran manusia dapat  dianggap sebagai hasil dari bidang morphogenetik yang sama. Ketika masing-masing individu mengaktualisasikan kemampuan-kemampuan tertentu—berlari lebih cepat mengetahui lebih cepat, mengetahui apa yang dipikirkan orang lain, mendapatkan intuisi.[5] Kemajuan tersebut dapat dialami bukan hanya bagi perkembangan morphogenetik tetapi juga bagi seluruh manusia.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, perkembangan teori science yang notabene-nya berkiblat pada teori positifistik serta bebas nilai—pada perkembangannya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal di luar sana. Hal itu juga memungkinkan pengembangan paradigma teori social yang memunculkan perspektif lintas disiplin ilmu. Proses pengintegrasian ilmu secara sadar, disatu pihak memunculkan sejumlah problematika, namun tujuan lain utama dari hal itu adalah membuka berbagai macam paradigma guna memahami persoalan hidup manusia.



[1] Beberapa pemikir memperdebatkan tentang teori sosiologi ataupun sejenisnya harus mandiri dan terlepas dari perangkap paradigma positifistik-reduksionis. Lihat dalam bukunya Geger Riyanto, Peter Berger: Perspektif Metateori Pemikiran, (Jakarta: LP3ES, 2009), hal. 10
[2] Rupert Sheldrake seorang Ahli Biologi dari Inggris, banyak pemikiran science-nya banyak dipengaruhi oleh pandangan filsafat, dimana konsep yang paling terkenal darinya adalah perubahan paradigma terhadap ilmu pengetahuan. Lihat biografinya dalam http://www.sheldrake.org/about-rupert-sheldrake/autobiography.
[3] Morphogenetic adalah suatu proses perubahan dan perkembangan karakteristik yang unik daripada kehidupan organisme.
[4] James Riedfild, The Celestine Vision , Alih Bahasa Rosemary Kesauly, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal 95
[5]James Riedfild, The Celestine Vision , Alih Bahasa Rosemary Kesauly, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal 96