Translate

Makna Dibalik Kegagalan

Kata “Gagal” seringkali diartikan peyoratif/negatif, tak ayal balutan serta bungkusan yang menyelimuti kita ditopang dengan beragam cara. Apapun itu, yang penting kita jauh dengan kata “gagal”. Namun apa makna dibalik kegagalan...

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi

Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi...

Implikasi Putusan Praperadilan Kasus BG, Bukti Nyata Hukum Indonesia Tak Jelas

Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini.....

Adonis, Sastrawan Arab Paling Kritis

Adonis merupakan penyair Arab yang paling berpengaruh di abad ke-20. Karya sastra modernisnya sangat berpengaruh terhadap dampak budaya Arab.....

Lintasan Sejarah Komunisme di Dunia Islam

Persinggungan antara komunisme di barat maupun di wilayah timur, terkhusus di Dunia Islam terdapat titik persamaan konseptual yaitu menolak terhadap kolonialisme barat. Seperti yang kita ketahui, hampir rata-rata di dunia Islam paruh abad 18-19-an, telah terjadi pergeseran antar ideologi.

Monday 16 March 2015

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi


Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi diakhir hidupnya seolah ia kehilangan makna hidupnya, apakah ada yang salah dengan pengelolan waktu pada diri kita. Sebelum melangkah ke pembahasan. Coba lihat ilustrasi masalah di bawah ini.
Di tengah gejolak serta ritme hidup yang tergesa-gesa, kita serta begitu cepat, bahkan nonstop untuk selalu beraktivitas. Hari-hari seakan-akan berkeping dalam bit menuju byte. Kita lebih menghargai luasnya sesuatu ketimbang dalamnya sesuatu, atau lebih memilih reaksi cepat ketimbang refleksi mendalam. Kita melewati banyak hal, mencermati berbagai tujuan dalam tempo singkat  tanpa memiliki waktu untuk tinggal lebih lama. Kita terus berpacu tanpa berhenti sejenak untuk memikirkan apa sebenarnya yang kita inginkan atau ke mana kita hendak pergi. Kita saling terhubung tapi sekaligus kehilangan makna penghubung.
Kebanyakan dari kita berusaha berbuat yang terbaik. Namun, ketika tuntutan datang melampai kapastitas kita, kita mulai membuat pilihan-pilihan yang dianggap tepat untuk menjalani hari-hari kita, meski memakan korban seiring berlalunya waktu. Kita dapat bertahan hidup dengan  tidur yang kurang, menyanyap fast food sambil tergesa-gesa, minum kopi untuk menyegarkan dan konsumsi obat sejenis dopamin untuk menenangkan diri kita. Ketika dihadapkan pada tuntutan kerja yang datang tanpa henti, kita menjadi cepat tersinggung dan mudah marah. Kita kembali ke rumah setelah bekerja seharian penuh dan diliputi kelelahan. Kita pun kerap merasa keluarga bukan lagi sumber kesenangan atau penyegaran, melainkan lebih sebagai tuntutan dalam hidup yang sudah dipenuhi banyak beban.
Kita bekerja dengan agenda harian dan daftar kegitan yang harus dilakukan, Remainder Android, Apple, Blackberry serta pop-up reminder lainnya, semuanya itu dirancang agar kita dapat mengelola waktu dengan lebih baik. Kita merasa bangga karena mampu mengerjakan berbagai tugas; kita merasa terhormat saat kita harus kerja lembur, kita merasa hebat saat orang-orang tidak mendapatkan posisi seperti kita, kita merasa senang saat gaji kita berbeda jauh lebih besar dari pada teman-teman kita. Semua itu terasa begitu cepat bahkan sangat cepat seperti kilat. Waktu mulai tidak lagi bersahabat saat waktu sendiri berhenti menggambarkan jati diri. Ketika kita merasa kehabisan waktu, kita mengira tidak punya pilihan selain menjejalkan pekerjaan demi pekerjaan setiap harinya. Meskipun demikian, mengelola waktu secara efisien tidak lantas menjamin kita mendapatkan eneri memadai untuk mengerjakan apapu yang tengah kita lakukan.

Sadar atau tidak pandangan di atas kurang lebih merupakan representasi dari kehidupan kita saat ini. Pandangan ini pula telah merevolusi pemikiran kita menjadi manusia industri seperti mekanika. Setiap pemikiran, emosi dan perilaku kita membawa konsekuensi energi masing-masing, baik maupun buruk. Ukuran terpenting dalam hidup kita bukanlah seberapa lama waktu yang kita gunakan di dunia, tetapi pada seberapa banyak energi yang kita investasikan dalam waktu kita. Meminjam pola Jim Loehr untuk mendapatkan semua itu, bagan di bawah ini seharusnya apa yang kita rubah saat ini untuk mengelola energi jauh lebih produktif bagi kita:

Jim Loehr & Tony Schwartz, Terampil Mengelola Energi Bukan Waktu, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008, hal.`15

Mengapa Waktu Cepat Berlalu?


Mengapa waktu begitu cepat berlalu? Sebuah pertanyan yang mungkin sering kita ajukan saat momen atau tragedi menghampiri, tatkala kita digandrungi rasa sedih, senang atupun gembira. Kita pasti tahu bahwa dalam sehari terdapat 24 jam dan 168 jam seminggu. Kita juga tahu bawah periode-periode waktu ini kadang-kadang tampak seperti berpacu tanpa peringatan sedikit pun, sehingga waktu yang sebenarnya kita jalani seolah-olah terasa jauh lebih sedikit. Ketika kita sedang menghadapi tenggat waktu, menit, jam, hari bahkan tahun tampak berjalan lebih daripada ketika kikta sedang mengikuti sebuah aktivitas yang membosankan semua indera kita. Dalam masyarakat modern seperti sekarang, yang serba sibuk serta terlalu banyak jam kerja yang rasanya seperti berjalan kurang dari enam puluh menit. Serasa waktu begitu cepat berlalu.
Bila kita harus menghabiskan waktu satu jam dengan teman lama atau seseorang yang benar-benar anda rindukan untuk bertemu, misalnya anda merasa seolah-olah telah menempuh perjalanan begitu jauh dalam satu jam saja, coba bandingkan dengan jumlah cepatnya satu jam berlalu ketika anda menonton komedi di sebuah televisi. Ingat! Kutipan Peter Burns dalam bukunya Manage Your Time, dikatakan bahwa semakin banyak tugas dan aktivitas yang anda selesaikan dalam waktu tertentu, rasanya semakin cepat waktu berlalu—dan semakin kecil kemungkinan kita bisa menikmati waktu. (Peter Burns, Manage Your Time, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008, hal. 3).
Pertanyaan yang patut diajukan adalah mengapa kita tidak merasa senang bila waktu kita berjalan begitu cepat? Secara psikologis, manusia telah terbentuk puluhan ribu bahkan jutaan tahun untuk melalui proses yang begitu panjang—hingga mencapat titik tertinggi dalam menentukan tingkat rasio atau bentuk spesiesnya. Akibatnya kita seolah merasa hilang dalam waktu (dure) dan merasa bosan pada waktu yang selalu berulang dan panjang. Sementara itu, masyarkat kontemporer bergerak semakin cepat, hingga pada akhirnya kita lupa akan makna waktu itu sendiri (time).
Proses tersebut di atas dikatakan oleh seorang filosof sebagai batas antara waktu secara time dan dure. Apa maksud dari seorang filosof tersebut, mudahnya diilustrasikan ketika kita sedang menunggu sesuatu dengan dibatasi waktu secara temporal dengan yang tidak dibatasi. Ada dua respon yang didapat dari kita. Pertama tingkat rasa (felling responsive) dan tingkat keteraturan (absolute grade). Jika tingkat rasa berkaitan dengan apa yang diarasakan pada suasana aktivitas, sedangkan tingkat keteraturan direspon dengan jumlah keseluruhan (kalkulatif) seperti  detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan seterusnya.
Dalam teori Resonansi Schumann menjelaskan rangkaian kecepatan frekuensi waktu diibaratkan dengan detak jatung dunia, hal tersebut dapat diukur pada skala 7.8 hertz. Nilai ini dianggap tetap dan konstan pada waktu itu. Namun, pada 1980-an, terjadi perubahan tiba-tiba. Sebab, pada tahun itu Resonansi Schumann diukur di atas 11 hertz. Bahkan laporan terbaru telah mengungkapkan bahwa angka ini bahkan akan meningkat lagi. Perubahan dalam Resonansi Schumann; frekuensi menunjukkan mempercepat waktu. Dengan demikian, waktu 24 jam  terasa seperti 16 jam atau kurang.

Berbeda dari Schumann, beberapa filosof menyatakan kurang lebih, waktu sendiri merupakan proses yang begitu panjang dalam rangka proses pembelajaran dengan melewati batas absolute dan relative. Apakah bisa aktivitas kita melewati batas dari sifat waktu tersebut? Para ahli terjadi pertentangan dalam hal ini, bagi golongan absolutis seperti Newtonian, bahwa gerak manusia dicipatakan dengan kalkulasi ruang dan waktu. Jadi sangat tidak mungkin jika gerak aktivitas manusia melewati batas kecepatan ruang dan waktu yang telah ada. Bagi golongan lain, bahwa waktu bisa ditembus dengan batas serta sekat-sekat mengitarinya, karena waktu sendiri tercipta bukan saja berasal dari sifat ruang dan waktu. Coba bayangkan jika kita keluar dari zona gravitasi bumi, apakah kecepatan cahaya yang dipantulkan dan didapatkan akan sama dengan zona yang ada ruang berbeda. Apakah ini yang disebut titik menembus batas waktu. Mungkin inilah sedikit ulasan mengapa waktu terasa bagitu cepat, karena ia bisa diarasakan oleh dua persepsi. Persepi matter yang nyata (indrawi) sedangkan non-matter ia yang diarasa (perasaan). 

Saturday 14 March 2015

Apa itu CIA (Central Intelligence Agency)?


Sahabat diskursus, pernahkah kita tahu apa itu CIA? Apa saja tugasnya? Dan bagaimanakah cara kerja spionase terhadap orang yang dikatakan berbahaya—yang mengancam bangsa dan negara Amerika? Lebih lengkapnya, yuk ikuti lebih lanjut pembahasan di bawah ini.

Istilah CIA sebetulnya sudah tidak asing lagi bagi kita. Beberpaa dari kita bahkan sudah tahu lembaga inteligen terbesar milik Amerika ini. Sebelumnya lembaga terkait pengawasan serta penyadapan di bawah naungan lembaga NSA. Lembaga ini berpusat pada penyadapan elektronik. Adapun CIA (Central Intelligence Agency) merupakan sebuah lembaga independen yang bertanggung jawab untuk menyediakan intelijen keamanan nasional dalam kebijakan AS. CIA dipisahkan menjadi empat komponen bagian dasar: Klandestin Nasional, Direktorat Intelijen, Direktorat Sains & Teknologi, dan Direktorat Dukungan. Mereka melakukan "siklus intelijen," proses pengumpulan, analisis, dan penyebaran informasi intelijen ke atas pejabat pemerintah AS.
CIA memiliki tiga aktivitas utama, yaitu mengumpulkan informasi seputar pemerintahasing, perusahaan, dan individu; menganalisis informasi tersebut beserta hasilintelijen dari badan intelijen A.S. Oleh karena itu pelatihan tenaga spionase di negara itu telah disempurnakan mencakup seluruh trik dan aktivitas spionase. Aktivitas terpenting yang dilakukan agen ini adalah menyusupi agen inteligen negara lain, mencari orang-orang yang ingin bekerja untuk CIA di antara para spion dari negara lain itu, sehingga mereka bisa saling bertukar informasi inteligen dengan negara sahabat. Selain itu, CIA memiliki beberapa staf yang berhubungan dengan urusan publik, sumber daya manusia, protokol, urusan kongres, masalah hukum, manajemen informasi, dan pengawasan internal.

Topangan kerja dari CIA telah diperkuat dengan memiliki satelit mata-mata dan peralatan computer yang canggih di kota Portmaid dan Maryland. Dengan satelit itu mereka bisa menyadap semua pembicaraan telefon yang terjadi di dunia. Inggris Raya juga dapat mengakses informasi ini, karena komando inteligen Inggris Raya yang berkududukan di Cheltenham turut serta dalam pengelolaan data dan informasi ini lalu menghimpun data-data yang dianggap tidak akurat serta info yang diinginkan Amerika, karena negeri Paman Sam itu selalu mempunyai tujuan tertentu.

Salah satu informasi yang diperoleh para pahasiswa Iran ketika mereka menyegel keduataan besar Amerika, sesaat sudaj pecahnya Revolusi Khomeni tahun 1979 bahwa Agen Inteligen Amerika (CIA) telah menyebarkan lebih dari 250 ribu tenaga honorer bulanan yang bertugas di kawasan Timur Tengah saja. Sasaran spionase meliputi para presiden, para menteri, pimpinan parpol, politisi pemerintahan yang berkuasa maupun oposannya secara berimbang, lalu menyusupkan para agen honorer itu ke kalangan pedagang, kalangan seniman, dan kalangan tukang sapu di jalanan! Budget untuk instansi sekuriti sekitar 30 miliar dolar. Sepersepuluhnya diberika kepada CIA. Adapun sisasnya, sebagian besar dialokasikan pada pengembangan teknologi yang berkaitan dengan usaha penyadapan ruang angkasa dan foto udara.  Dalam bukunya seoramg propagandis Khalil al-Hikayah, al-Qaeda Membongkar intelijen Amerika, dijelaskan bahwa Direktur CIA adalah yang mengepalai struktur organsisasi keamanan negara ini. Karena ada tiga agen inteligen terpenting yang bekerja secara efektif di bawah kekuasaan militer adat departemen Pertahanan, yang dimanifestasikan oleh Nasional Reconnaissance Office (NRO)—lembaga riset nasional—yang berkonsentrasi pada pembuatan foto satelit dan U-2. Kedua National Imagery dan Mapping Agency (NIMA)—agen pemotretan dan pemetaan. Adapun yang ketiga National Security (NSA)—agen keamanan nasional—yang melakukan penyadapan terhdap dunia.

Adapun misi dari CIA itu sendiri bisa dilihat di sini. Di mana visinya CIA adalah, informasi, wawasan, dan tindakan secara konsisten yang memberikan keuntungan taktis dan strategis bagi Amerika Serikat. Misi dari CIA sendiri yaitu berkomitmen mendahului ancaman dan selanjutnya terhadap AS. Tujuan keamanan nasional dengan mengumpulkan intelijen yang penting,menghasilkan analisis yang objektif dari semua sumber, melakukan aksi rahasia yang efektif seperti yang diarahkan oleh Presiden, dan menjaga rahasia serta membantu menjaga bangsa Amerika aman.

Para petugas CIA dipandu oleh etos profesional yang merupakan penjumlahan dari beberapa prinsip-prinsip ketaatan, nilai-nilai inti, dan aspirasi tertinggi. CIA menjunjung tinggi standar tertinggi perilaku yang sah, terlepas dari hal itu banyak juga kebijakan terlepas dari standar kewenangan negara lain. Dalam situsnya bahwa CIA menyediakan informasi dan analisis tanpa prasangka kelembagaan dan politik, namun dibalik itu sebetulnya ada beberapa kepentingan politik yang diawasi oleh CIA. Seperti Penyalahgunaan kewenangan CIA sekitar tahun 1970-an hingga 1990-an.

Friday 6 March 2015

Sindiran Atheisme Dalam Memahami Tuhan


Orang-orang skiptis-agnostik—beserta kawan-kawannya yang selalu mempersoalkan eksistensi Tuhan dalam keberwujudan-Nya. Bagi mereka bahwa Dia (Tuhan) bisa diterka lewat dunia Indera dengan berbagai metamorfosa alat pengetahuan, lebih lanjut pemaknaan akan Tuhan bukan tingkat khayalan belaka, namun lebih dari itu, jika tidak bagi mereka tu bisa membuat racun pada logika setiap manusia. Meminjam bahasanya Karl Marx, bahwa ”tuhan adalah candu”, karena menurutnya konsepsinya, karena (pemahaman) akan Tuhan, membuat kita tertindas, penalaran logik setiap manusia terkubur begitu saja dengan sayap kuda troya kata syurga.  

Di sisi lain, Do’a juga menjadi alat tersendiri bagi kalangan pemeluk agama, namun apa kata Facoult, kebenaran agama merupakan sesuatu yang tertunda—yang sulit dibuktikan dalam alam Nyata (bukan bicara Being). Ada lagi yang lebih radix daripada mereka, siapa lagi kalau bukan seorang pemuka The Grand Master Of Atheis, He’s R. Dawkins, kata pemuka Atheist yang satu ini betul-betul merusak kepala hamba ketika hamba membaca karyanya (The God Delusion), pantas saja dalam kitab Munqiz Min ad-Dholaal (Imam Ghozali) seorang ahli hukum, Telogi dan Tasawuf ini sampai kepusingan sekitar 2 bulan ketika memahami eksistensi Tuhan dalam alam maddah (materialsm).

Rangkaian di atas merupakan bentukan provokasi saya  setiap kali bertemu teman sejawat ketika di pesantren dulu, yang terlalu bangga dengan identitasnya sebagai muslim (belum tentu Islam secara kaffah), terlebih sebagian mereka bepikir picik membahas antara modernism dan Islam yang selalu dimenangkan atas nama keberpihakan. Bahkan ada sebagian orang mengatakan, bahwa akibat peradaban modern sebagian kaum beragama selalu tertindas. Modernisme tak lebih dimaknai sebagai peradaban buruk (al-tsaqofah al-jahiliyyah). 

Bagi saya, tidak etis jika pemahaman Tuhan dimaknai sebagai penghegemonian pemahaman, akan tetapi hal ini sebagai katastrofa kita semua guna terhidar dari bentuk fanatisme agama—yang pada akhirnya kita saling menuduh siapa yang paling, siapa yang paling, siapa yang paling. Bukan membenahi diri secara gradual malah menjadi muta’ashib ardh (fanatisme kolot) atau bahasa vulgarnya sering mengkafirkan Orang dengan kacamata materials (Hukum). Coba kita telisik bahasa sang Kholik yang memperingatkan kita akan keberpihakan keyakinan, dalam al-Qur’an “Allah ‘a’lamu bi iimanihim”–  (Allah Lebih mengetahui Kemimanan Mereka), kata ini merupakan bentuk “kalam tasghir” yang artinya Tuhan sebagai penentu orang baik atau buruknya identitas keimanan.

Membicarakan keimanan tidak terlepas dari pembahasan makna keyakinan akan eksistensi Tuhan. Dari sekian banyak filosof, pendeta, biarawan, ulama dan sederet pemuka agama lainnya, memahami Tuhan dengan beragam bentuknya, yaitu substansi dan metodelogi yang harus diperhatikan. Kata-kata Tuhan dituangkan seperti karya normatif belaka. Alhasil, kitab suci seolah menjadi penuh magis. Kita lupa cara memahami tuhan bukan seperti itu. Coba lihat apa kata Imam Malik dalam Kitabnya, beliau pernah berujar: Laa tuqollidnii……...wa khudz mni haitsu akhadzu, (jangan ikuti aku, akan tetapi ambilah dari mana aku mengambil). Secara sederhana Imam Malik ingin mengatakan ambilah cara atau metodelogi yang telah aku pergunakan, bukan hasilnya. Dengan kata lain cara memahami Tuhan-lah yang penting.

Keyakinan akan Tuhan terpaut halus dengan kata keagamaan dan keyakinan, terlepas dari sisi multitafsirnya—memahami tuhan (inti ajaran agama) seharusnya dibarengi dengan alam indera (materalism), hal itu sangat bias diandalkan, karena antara fakta dari rentetan kejadian beserta kumpulan pengalaman (tajribah) akan memberi makna tersendiri akan memahami Tuhan.  Karena alam material menyiratkan sisi akan ketuhanan. Kepicikan penganut atheisme, terlihat buah kekecewaan agama yang melembaga serta bentukan dari sebuah peradaban, Coba bayangkan, jika perangkan etika dan moral pesan tuhan tidak diwujudkan oleh sifat manusia? Apa yang akan terjadi? Mungkin kekacauan peradaban akan melanda kita.

Pemahaman atheism terhadap agama lebih dipahami sebagai fasis hegemoni episteme setiap ilmu. Mereka lupa, Preseden atau Hipotesa yang mereka buat (kaum atheist) adalah preseden meta-theologi juga, yang artinya mereka juga sebetulnya mempercayai adanya Tuhan (sang Kholik) dengan pre-hipotesis/presedent kembali ke preseden baru. Jadi untuk lebih rasionalnya, mreka menempatkan seluruh kitab suci agama diletakan dengan konsepsi ke-ilmiahan positivis. Dan mereka (Atheist) lupa bahwa lagi-lagi epistimologi setiap ilmu berbeda-beda. Intinya memahami tuhan bisa saja dilakukan dengan kacamata positivis dengan mengandalkan dunia indera, namun perlu dicatat, Metodelogi menemukan sebuah kebenaran agama dengan beragamtekanannya masing-masing. Baik dunia empirisme dan rasionalisme—punya sisi kelemahan tersendiri dalam memahami eksitensi Tuhan.

Mendeteksi rangkaian kebesaran Tuhan merupakan suatu kemestian, mengapa? Karena manusia dilengkapi dengan beragam alat untuk mencari apa yang disebut Absolut (yang Maha Esa). Jalan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia amatlah beragam, oleh sebab itu sikap yang paling sederhana dari kita adalah apresiasi hal tersebut dengan membuka cakrawala kita pada dimensi keragu-raguan. Alhasil satu upaya untuk menangkap eksistensi Tuhan adalah bentuk kejumudan (kaku), karena hal ini merupakan bentuk fanatisme yang tak boleh kita pegang dalam pluralitas agama. Sebab hal demikian memunculkan sarat pertentangan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Gunakanlah ragam cara Tuhan untuk menentukan sikap kita dalam memahami Tuhan. Jangan sampai Tuhan digambarkan dengan keterbatasan pengetahuan kita, ini sangat berpotensi pada pada pengetahuan kita akan menghasilkan gambaran tentang Tuhan, kalau itu berhasil tak mengapa? Tetapi kalau tidak berhasl hal ini menjadi sangat problematis.