Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus
tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus
seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini yang
memperpanjang daftar buruknya pemberantasan mafia korupsi di Indonesia. Sudah
menjadi hal lumrah, kalau hukum Indonesia pasal seperti karetnya—coba lihat
saja, pertarungan antara lex vacuum yang dimaknai “Hakim harus berpatokan
kepada undang-undang” bisa juga berpatokan pada prinsip lex extensive
atau hakim bisa juga memperluas pemaknaan apa dituangkan oleh perundang-undangan.
Tak berbeda jauh dengan dua prinsip ini, komentar terhadap putusan Praperadilan
kasus penetapan tersangka BG pun beragam, namun tetap, secara substansial
tetap sama, tak lain yang satu berpegang kepada hukum tertulis dan yang satu
lebih mengedepankan perluasan penafsiran hakim.
Bagi orang orang awam, yang tak mengerti hukum, hal ini
dimaknai sebagai ‘ketidakjelasan arah hukum Indonesia”, itulah persepsi orang
awam. Namun berbeda halnya dengan sebagian ahli hukum, persepsi atas nama hak
asasi manusia mulai merangkak ke berbagai pasal atas nama tuduhan
(tersangka/disangkakan). Pasal-pasal yang dirasa mulai mengancam terhadap nama
baik, kepribadian dan sebagainya—menjadi fokus tersendiri. Memang, pasca
reformasi hukum Indonesia sudah berganti wujud aslinya, yang dulu otoriter
sekarang lebih mengedepankan hak-hak prinsipil. Belajar dari pengalaman putusan
ini, pengujian terhadap pasal 1 ayat 14 KUHAP dalam kasus penetapan tersangka
BG dalam kasus korupsi dirasa seolah memberikan paradigma berbeda. kenapa
demikian? Menurut penulis, setelah menerka-nerka kasus ini, dualisme prinsip
antara kemanusiaan dan keadilan menjadi ruang gerak para pelaku (mafia)— yang
diduga atau disangka dengan 2 (dua) alat bukti yang cukup tidak bisa langsung diproses
atau dipriksa dalam persidangan demi pembuktian.
Intinya, implikasi putusan praperadilan kasus BG
mempengaruhi beberapa hal: pertama memperluas sekaligus mepersempit dimensi
tersangka karena harus dibuktikan berdasarkan perundangan yang jelas. Kedua,
kasus ini juga memberikan ruang revisi secara total terhdap penyelidikan,
penyidikan, penangkapan, penutututan dalam hal ini UU. No. 8 Tahun 1981 KUHAP
berserta peraturan lainnya. Ketiga, implikasi ini juga secara tidak langsung
akan meniadakan rehabilitasi secara berjangka terhadap pencemaran nama baik.
Peringatan Keras
Ada yang harus diperhatikan secara keras dalam kasus
ini, yaitu penafsiran hakim Sarpin Rizaldi dalam memaknai pasal 11
Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK dalam surat sprindiks KPK—memberikan
preseden baik sekaligus double buruk, kenapa? Preseden baiknya yaitu memberikan
hak prinsipilnya untuk melakukan perlawanan terhadap status persangkaannya oleh
Pejabat berwenang baik KPK atapun Kepolisian, agar dilain peristiwa status
tersangka tidak dilakukan sewenang-wenang. Pada sisi lain, putusan ini juga
memberikan preseden double buruk terhadap institusi penegak hukum kita,
kenapa? Karena hingga saat ini, beberapa pengajuan praperadilan bagi tersangka
hanya dilakukan oleh beberapa kalangan saja. Bagaimana dengan nasib orang yang
buta terhadap hukum, spirit atas HAM di wilayah penetapan tersangka dalam kasus
lain dengan melakukan perlawanan praperadilan, mungkin sangat minim atau bahkan
tidak ada untuk mengajukan praperadilan atas nama penetapan tersangka terhadap
dirinya. Mereka (tersangka) lebih memilih proses persidangan sampai putusan ikracht
van gewijsde atau berkekuatan hukum tetap.
Menurut penulis, perluasan penafsiran hakim dalam
kasus ini bukan saja hak orang yang memiliki power atau dalam domain korupsi
saja, tetapi semua bentuk pelanggaran atau pemidanaan yang bersangkut paut
terhadap hak asasi manusia, mereka harus diberikan rasa keadilan yang sama
seperti dalam kasus praperdilan BG. Karena berdasarkan pengalaman penulis, ada
beberapa kasus Indonesia yang sampai saat ini domainnya sangat kontras sekali
hukum Indonesia sangatlah buruk. Pelajaran berharga bagi seluruh stake
holder untuk memikirkan kembali hak-hak atas nama kemanusiaan yang lainnya
dari peristiwa ini.
Penafsiran Lain
Penafsiran
putusan ini juga berimplikasi terhadap beberapa pilihan penetapan tersangka, yaiyu pemberhentian secara total terhadap penetapannya atau sementara. Sebelumnya
hakim berpendapat dalam putusannya, hal itu bukan kewenangan KPK, dengan alasan
BG diisangka telah menerima hadiah atau janji ketika menjabat sebagai Kepala
Biro Pembinaan Karier (Karobinkar) Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode
2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. Dan hal itu bukan kategori
kewenangan KPK sesuai pasal 11
Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK.
Dari
berita yang dirangkum dari KOMPAS, dalam pasal itu disebutkan, KPK berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang
melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
atau penyelenggara negara. Selain itu ialah kasus yang mendapat perhatian yang
meresahkan masyarakat serta kasus yang menyangkut kerugian negara paling
sedikit Rp 1 miliar. (Kompas.com Senin, 16 Februari 2015 | 15:37 WIB).
Namun
yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah putusan praperadilan ini
betul-betul bukan kewenangan KPK, kalau seperti itu secara otomatis hal itu
menjadi kewenangan kepolisian untuk menindaklanjuti hasil rekaan serta dugaan
yang ditelaah oleh KPK sebelumnya. Karena
putusan ini lebih mensiratkan cacat proseduran bukan substansial sangkaan. Yang
menjadi pertanyaan skiptis saya adalah apakah mampu kepolisian membuka kasus
ini lebih dalam, yang sebelumnya telah memberikan keterangan berbeda ketika
dilakukan audit oleh KPK kepada BG.
***Salam Pecinta Kesederhanaan
0 comments:
Post a Comment