Translate

Wednesday, 18 February 2015

Implikasi Putusan Praperadilan Kasus BG, Bukti Nyata Hukum Indonesia Tak Jelas


Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini yang memperpanjang daftar buruknya pemberantasan mafia korupsi di Indonesia. Sudah menjadi hal lumrah, kalau hukum Indonesia pasal seperti karetnya—coba lihat saja, pertarungan antara lex vacuum yang dimaknai “Hakim harus berpatokan kepada undang-undang” bisa juga berpatokan pada prinsip lex extensive atau hakim bisa juga memperluas pemaknaan apa dituangkan oleh perundang-undangan. Tak berbeda jauh dengan dua prinsip ini, komentar terhadap putusan Praperadilan kasus penetapan tersangka BG pun beragam, namun tetap, secara substansial tetap sama, tak lain yang satu berpegang kepada hukum tertulis dan yang satu lebih mengedepankan perluasan penafsiran hakim.

Bagi orang orang awam, yang tak mengerti hukum, hal ini dimaknai sebagai ‘ketidakjelasan arah hukum Indonesia”, itulah persepsi orang awam. Namun berbeda halnya dengan sebagian ahli hukum, persepsi atas nama hak asasi manusia mulai merangkak ke berbagai pasal atas nama tuduhan (tersangka/disangkakan). Pasal-pasal yang dirasa mulai mengancam terhadap nama baik, kepribadian dan sebagainya—menjadi fokus tersendiri. Memang, pasca reformasi hukum Indonesia sudah berganti wujud aslinya, yang dulu otoriter sekarang lebih mengedepankan hak-hak prinsipil. Belajar dari pengalaman putusan ini, pengujian terhadap pasal 1 ayat 14 KUHAP dalam kasus penetapan tersangka BG dalam kasus korupsi dirasa seolah memberikan paradigma berbeda. kenapa demikian? Menurut penulis, setelah menerka-nerka kasus ini, dualisme prinsip antara kemanusiaan dan keadilan menjadi ruang gerak para pelaku (mafia)— yang diduga atau disangka dengan 2 (dua) alat bukti yang cukup tidak bisa langsung diproses atau dipriksa dalam persidangan demi pembuktian.

Intinya, implikasi putusan praperadilan kasus BG mempengaruhi beberapa hal: pertama memperluas sekaligus mepersempit dimensi tersangka karena harus dibuktikan berdasarkan perundangan yang jelas. Kedua, kasus ini juga memberikan ruang revisi secara total terhdap penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penutututan dalam hal ini UU. No. 8 Tahun 1981 KUHAP berserta peraturan lainnya. Ketiga, implikasi ini juga secara tidak langsung akan meniadakan rehabilitasi secara berjangka terhadap pencemaran nama baik.

Peringatan Keras

Ada yang harus diperhatikan secara keras dalam kasus ini, yaitu penafsiran hakim Sarpin Rizaldi dalam memaknai pasal 11 Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK dalam surat sprindiks KPK—memberikan preseden baik sekaligus double buruk, kenapa? Preseden baiknya yaitu memberikan hak prinsipilnya untuk melakukan perlawanan terhadap status persangkaannya oleh Pejabat berwenang baik KPK atapun Kepolisian, agar dilain peristiwa status tersangka tidak dilakukan sewenang-wenang. Pada sisi lain, putusan ini juga memberikan preseden double buruk terhadap institusi penegak hukum kita, kenapa? Karena hingga saat ini, beberapa pengajuan praperadilan bagi tersangka hanya dilakukan oleh beberapa kalangan saja. Bagaimana dengan nasib orang yang buta terhadap hukum, spirit atas HAM di wilayah penetapan tersangka dalam kasus lain dengan melakukan perlawanan praperadilan, mungkin sangat minim atau bahkan tidak ada untuk mengajukan praperadilan atas nama penetapan tersangka terhadap dirinya. Mereka (tersangka) lebih memilih proses persidangan sampai putusan ikracht van gewijsde atau berkekuatan hukum tetap.

Menurut penulis, perluasan penafsiran hakim dalam kasus ini bukan saja hak orang yang memiliki power atau dalam domain korupsi saja, tetapi semua bentuk pelanggaran atau pemidanaan yang bersangkut paut terhadap hak asasi manusia, mereka harus diberikan rasa keadilan yang sama seperti dalam kasus praperdilan BG. Karena berdasarkan pengalaman penulis, ada beberapa kasus Indonesia yang sampai saat ini domainnya sangat kontras sekali hukum Indonesia sangatlah buruk. Pelajaran berharga bagi seluruh stake holder untuk memikirkan kembali hak-hak atas nama kemanusiaan yang lainnya dari peristiwa ini.

Penafsiran Lain

Penafsiran putusan ini juga berimplikasi terhadap beberapa pilihan penetapan tersangka, yaiyu pemberhentian secara total terhadap penetapannya atau sementara. Sebelumnya hakim berpendapat dalam putusannya, hal itu bukan kewenangan KPK, dengan alasan BG diisangka telah menerima hadiah atau janji ketika menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier (Karobinkar) Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. Dan hal itu bukan kategori kewenangan KPK sesuai  pasal 11 Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK.

Dari berita yang dirangkum dari KOMPAS, dalam pasal itu disebutkan, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Selain itu ialah kasus yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat serta kasus yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar. (Kompas.com Senin, 16 Februari 2015 | 15:37 WIB).

Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah putusan praperadilan ini betul-betul bukan kewenangan KPK, kalau seperti itu secara otomatis hal itu menjadi kewenangan kepolisian untuk menindaklanjuti hasil rekaan serta dugaan yang ditelaah oleh KPK sebelumnya. Karena putusan ini lebih mensiratkan cacat proseduran bukan substansial sangkaan. Yang menjadi pertanyaan skiptis saya adalah apakah mampu kepolisian membuka kasus ini lebih dalam, yang sebelumnya telah memberikan keterangan berbeda ketika dilakukan audit oleh KPK kepada BG.


***Salam Pecinta Kesederhanaan


0 comments:

Post a Comment