Mengapa waktu begitu
cepat berlalu? Sebuah pertanyan yang mungkin sering kita ajukan saat momen atau
tragedi menghampiri, tatkala kita digandrungi rasa sedih, senang atupun
gembira. Kita pasti
tahu bahwa dalam sehari terdapat 24 jam dan 168 jam seminggu. Kita juga tahu
bawah periode-periode waktu ini kadang-kadang tampak seperti berpacu tanpa
peringatan sedikit pun, sehingga waktu yang sebenarnya kita jalani seolah-olah
terasa jauh lebih sedikit. Ketika kita sedang menghadapi tenggat waktu, menit,
jam, hari bahkan tahun tampak berjalan lebih daripada ketika kikta sedang
mengikuti sebuah aktivitas yang membosankan semua indera kita. Dalam masyarakat
modern seperti sekarang, yang serba sibuk serta terlalu banyak jam kerja yang
rasanya seperti berjalan kurang dari enam puluh menit. Serasa waktu begitu
cepat berlalu.
Bila kita harus
menghabiskan waktu satu jam dengan teman lama atau seseorang yang benar-benar
anda rindukan untuk bertemu, misalnya anda merasa seolah-olah telah menempuh
perjalanan begitu jauh dalam satu jam saja, coba bandingkan dengan jumlah cepatnya
satu jam berlalu ketika anda menonton komedi di sebuah televisi. Ingat! Kutipan Peter Burns dalam
bukunya Manage Your Time, dikatakan
bahwa semakin banyak tugas dan aktivitas yang anda selesaikan dalam waktu
tertentu, rasanya semakin cepat waktu berlalu—dan semakin kecil kemungkinan
kita bisa menikmati waktu. (Peter Burns, Manage
Your Time, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008, hal. 3).
Pertanyaan yang patut diajukan
adalah mengapa kita tidak merasa senang bila waktu kita berjalan begitu cepat?
Secara psikologis, manusia telah terbentuk puluhan ribu bahkan jutaan tahun
untuk melalui proses yang begitu panjang—hingga mencapat titik tertinggi dalam
menentukan tingkat rasio atau bentuk spesiesnya. Akibatnya kita seolah merasa
hilang dalam waktu (dure) dan merasa
bosan pada waktu yang selalu berulang dan panjang. Sementara itu, masyarkat
kontemporer bergerak semakin cepat, hingga pada akhirnya kita lupa akan makna
waktu itu sendiri (time).
Proses tersebut di atas dikatakan
oleh seorang filosof sebagai batas antara waktu secara time dan dure. Apa maksud
dari seorang filosof tersebut, mudahnya diilustrasikan ketika kita sedang
menunggu sesuatu dengan dibatasi waktu secara temporal dengan yang tidak dibatasi. Ada dua respon yang didapat
dari kita. Pertama tingkat rasa (felling
responsive) dan tingkat keteraturan (absolute
grade). Jika tingkat rasa berkaitan dengan apa yang diarasakan pada suasana
aktivitas, sedangkan tingkat keteraturan direspon dengan jumlah keseluruhan
(kalkulatif) seperti detik, menit, jam,
hari, minggu, bulan, tahun dan seterusnya.
Dalam teori Resonansi Schumann menjelaskan
rangkaian kecepatan frekuensi waktu diibaratkan dengan detak jatung dunia, hal
tersebut dapat diukur pada skala 7.8 hertz. Nilai ini dianggap tetap dan konstan
pada waktu itu. Namun,
pada 1980-an, terjadi perubahan tiba-tiba. Sebab, pada tahun itu Resonansi
Schumann diukur di atas 11 hertz. Bahkan laporan
terbaru telah mengungkapkan bahwa angka ini bahkan akan meningkat lagi.
Perubahan dalam Resonansi Schumann; frekuensi menunjukkan mempercepat waktu. Dengan demikian, waktu 24
jam terasa seperti 16 jam atau kurang.
Berbeda dari Schumann, beberapa filosof menyatakan kurang lebih, waktu sendiri merupakan proses yang begitu
panjang dalam rangka proses pembelajaran dengan melewati batas absolute
dan relative. Apakah bisa aktivitas kita melewati batas dari sifat waktu
tersebut? Para ahli terjadi pertentangan dalam hal ini, bagi golongan absolutis seperti Newtonian,
bahwa gerak manusia dicipatakan dengan kalkulasi ruang dan waktu. Jadi sangat
tidak mungkin jika gerak aktivitas manusia melewati batas kecepatan ruang dan
waktu yang telah ada. Bagi golongan lain, bahwa waktu bisa ditembus dengan
batas serta sekat-sekat mengitarinya, karena waktu sendiri tercipta bukan saja
berasal dari sifat ruang dan waktu. Coba bayangkan jika kita keluar dari zona
gravitasi bumi, apakah kecepatan cahaya yang dipantulkan dan didapatkan akan
sama dengan zona yang ada ruang berbeda. Apakah ini yang disebut titik menembus
batas waktu. Mungkin inilah sedikit ulasan mengapa waktu terasa bagitu cepat, karena ia
bisa diarasakan oleh dua persepsi. Persepi matter yang nyata (indrawi) sedangkan
non-matter ia yang diarasa (perasaan).
0 comments:
Post a Comment