Translate

Makna Dibalik Kegagalan

Kata “Gagal” seringkali diartikan peyoratif/negatif, tak ayal balutan serta bungkusan yang menyelimuti kita ditopang dengan beragam cara. Apapun itu, yang penting kita jauh dengan kata “gagal”. Namun apa makna dibalik kegagalan...

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi

Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi...

Implikasi Putusan Praperadilan Kasus BG, Bukti Nyata Hukum Indonesia Tak Jelas

Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini.....

Adonis, Sastrawan Arab Paling Kritis

Adonis merupakan penyair Arab yang paling berpengaruh di abad ke-20. Karya sastra modernisnya sangat berpengaruh terhadap dampak budaya Arab.....

Lintasan Sejarah Komunisme di Dunia Islam

Persinggungan antara komunisme di barat maupun di wilayah timur, terkhusus di Dunia Islam terdapat titik persamaan konseptual yaitu menolak terhadap kolonialisme barat. Seperti yang kita ketahui, hampir rata-rata di dunia Islam paruh abad 18-19-an, telah terjadi pergeseran antar ideologi.

Monday 5 December 2016

2 Desember Hari Penghapusan Perbudakan Internasional

Sejak bergulirnya kasus dugaan penistaan agama yang dialamatkan kepada Ahok, pemerintah Jokowi-JK seolah mendapat tekanan publik untuk ikut berperan aktif dalam melakukan pengawalan atas kasus tersebut. Bahkan tak tanggung-tanggung, pasca demo 4 November 2016 lalu, ekspresi tersebut diperlihatkan Pemerintah dengan sibuk melakukan konsolidasi kepada organisasi keagamaan, partai politik maupun tokoh lainnya. Alasannya sederhana, karena ingin mendapatkan masukan dari berbagai pihak atas intervensi kasus yang melibatkan banyak publik bersuara. Namun sangat disayangkan, dari November hingga Desember 2016 seolah fokus pemerintah tersedot menghadapi tekanan etis publik ditambah lagi dengan adanya gelaran atau doa bersama pada Jum’at 2 Desember 2016 lalu. Kesibukan ini terlihat mulai dari Satpol PP, Kepolisian, TNI, Kejaksaan dan Kementerian/Lembaga (K/L) atau SKPD Pemda Daerah lainya—habis terkuras energinya untuk menuntaskan persoalan ini.

Menurut saya terlalu berlebihan jika stakeholder super sibuk pada kasus tersebut. Bahkan terlintas dalam pikiran saya, apakah tidak ada persoalan lain yang begitu penting di negara ini sehingga bangsa ini amat terfokus terhadap gerakan “212 Desember”. Padahal moment 2 Desember merupakan hari yang paling penting untuk diingat selain ada gerakan 212 itu, yaitu hari Penghapusan Perbudakan Internasional yang diperingati setiap tanggal 2 Desember. 

Di mana dari perbudakanlah inilah manusia-manusia yang terbelenggu menjadi manusia yang merdeka. Apakah pemerintah Indonesia tidak ikut serta menghapuskan isu perbudakan modern, apakah isu ini terlalu sudah basi? Atau memang hanya sebatas katastrofa para pejabat/politisi untuk mendaur ulang jika ada persoalan yang publik ramai dibicarakan. Padahal, seperti yang dikutip Kompas, bahwa sebanyak 21 juta orang, termasuk sebanyak lima juta anak kecil, di seluruh dunia terjebak dalam perbudakan temporer, kata Kantor Komisaris Urusan Hak Asasi Manusia PBB, Senin (28/11/2016).

Perbudakan modern sungguh sangat luas, bahkan bukan hanya sekedar di wilayah kelas sosial manusia, tetapi lebih dari itu. Ini berarti perbudakan masih terus ada bukan hanya pada zaman silam, tetapi hingga kini. Kasus perdangan manusia, organ tubuh perempuan, budak seks, dan sejenisnya masih berkeliaran di negeri ini. Belum lagi kasus perbudakan di wilayah tenaga kerja, seolah menjadi daftar kelam masalah perbudakan belum selesai. Perbudakan bukan milik masa lalu tapi kenyataan kejam pada zaman kita, ini menampilkan luasnya perbudakan zaman modern.

Mantan Sekjen PBB, Ban Ki-Moon pernah berkata ketika memperingati Hari Penghapusan Perbudakan Internasional yang selalu jatuh pada 2 Desember 2015 lalu. Menurutnya, perbudakan masih eksis dengan berbagai bentuk. Berabad-abad lalu, negara-negara kolonial menjadikan orang-orang Afrika sebagai budak untuk dibawa dan diperjualbelikan, sampai akhirnya dipekerjakan secara tidak manusiawi. “Mereka mengalami kekerasan yang mengerikan, termasuk perbudakan seksual dan reproduktif, prostitusi secara paksa, pelecehan seksual yang berulang, serta pemaksaan untuk melahirkan anak demi penjualan anak,” tambahnya. 

Namun meski Hari Penghapusan Perbudakan Internasional sudah ditetapkan sejak 2 Desember 1986, perbudakan itu sendiri masih eksis dalam beberapa bentuk. Sebut saja buruh paksa, perdagangan manusia, hingga eksploitasi seksual. “Praktek itu adalah kejahatan terburuk dan aib pada sejarah umat manusia. Praktek-praktek (perbudakan modern) itu takkan eksis tanpa rasisme mendalam. Lebih lanjut menurutnya,  “Pada hari peringatan (Penghapusan Perbudakan) ini, saya menyerukan pembaruan komitmen kita untuk mengakhiri perbudakan modern, agar anak-anak kita bisa hidup di dunia tanpa rasisme dan prasangka dengan kesempatan dan hak yang sama untuk semua,” tandasnya.
Pernyataan Ban Kimon tahun lalu seolah menjadi peringatan keras untuk jadi pelajran Pemerintah Indoensia pada  saat ini, menjelang peringatan detik-detik hari Penghapusan Perbudakan, kita masih saja berpolemik dengan sangkaan isu sensitifitas agama dan ras/etnis. Sangat disayangkan dan disedihkan, hari ini kita terlalu sibuk dengan hal yang seharusnya kita lewati dengan keberagaman dan kedamaian sesuai asas bangsa “Bhinneka Tunggal Ika”

Pelajaran berharga lainnya seharusnya pemerintah melihat pola perbudakan modern di Indonesia seperti dalam kasus Buruh, PRT, Perdagangan Manusia, Perbudakan Seksual, dan isu-isu perbudakan lainnya, menjadi prioritas Pemerintah untuk memastikan bangsa Indonesia bermartabat dan merdeka yang sesungguhnya. Pemerintah Jokowi-JK seharusnya lebih sibuk dengan program seperti peningkatan kapasitas ekonomi, pemberdayaan manusia, perlidungan hukum dan yang lebih spesifik pada persoalan bangsa. Seperti dalam kasus kekerasan seksual yang hingga kini semakin akut. Bahkan pemerintah-DPR hinga kini sibuk seperti pemadam kebakaran, hanya melihat riakan respon aktual, bukan respon komprehensif.

Hal itu terlihat dalam kasus kasus kekerasan seksual pada bulan-bulan lalu, puncaknya ketika kasus YY, EN dan yang lainya menjadi isu publik. Setelah itu, Pemerintah-DPR beramai-ramai berbondong-bondong komitmen untuk membahas persoalan kekerasan seksual menjadi prolegnas prioritas, hasilnya adalah dengan mengesahkan Perpu Kebiri (UU Perlidungan Anak), tetapi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hanya dibicarakan di wilayah forum akademisi saja. Padahal antara UU Perlindungan Anak dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berbeda. Namun sama-sama urgen dan perlu mendapat perhatian. 

BahkanRUU Penghapusan Kekerasan Seksual beserta Naskah Akademis telah diserahkan Komnas Perempuan dan FPL kepada DPR RI. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengatur komprehensif sejak pencegahan, pelaporan, penegakan hukum dan pemulihan korban yang melibatkan berbagai sektor sehingga peran lintas komisi diantaranya Komisi III, Komisi VIII dan Komisi IX sebagai Pansus dalam pembahasan menjadi strategis dan urgent.

Apakah masih kurang sebanyak 321.752 kasus kekerasan seksual untuk membuka mata para stakeholders. Ataukah pemerintah-DPR menunggu ada kasusnya terulang kembali,seperti perbudakan  seks  seorang  anak  perempuan  oleh  ayah mertua di Tapanuli Selatan,belum lagi kasus perbudakan dan eksploitasi hingga mengakibatkan kematian dan hilangnya sejumlah PRT di Medan serta kasus penyekapan PRT di Bogor, Bintaro dan Tangerang Selatan. Hanya dengan kata “Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai upaya bentuk penghapusan terhadap perbudakan seksual di Indonesia,  merupakan  langkah pasti pemerintah dalam memaknai hari Penghapusan PerbudakanInternasional 2 Desember.

*Salam Pecinta Kesederhanaan.