Translate

Makna Dibalik Kegagalan

Kata “Gagal” seringkali diartikan peyoratif/negatif, tak ayal balutan serta bungkusan yang menyelimuti kita ditopang dengan beragam cara. Apapun itu, yang penting kita jauh dengan kata “gagal”. Namun apa makna dibalik kegagalan...

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi

Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi...

Implikasi Putusan Praperadilan Kasus BG, Bukti Nyata Hukum Indonesia Tak Jelas

Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini.....

Adonis, Sastrawan Arab Paling Kritis

Adonis merupakan penyair Arab yang paling berpengaruh di abad ke-20. Karya sastra modernisnya sangat berpengaruh terhadap dampak budaya Arab.....

Lintasan Sejarah Komunisme di Dunia Islam

Persinggungan antara komunisme di barat maupun di wilayah timur, terkhusus di Dunia Islam terdapat titik persamaan konseptual yaitu menolak terhadap kolonialisme barat. Seperti yang kita ketahui, hampir rata-rata di dunia Islam paruh abad 18-19-an, telah terjadi pergeseran antar ideologi.

Tuesday 28 April 2015

Manusiawikah Hukuman Mati?



Pasca dikeluarkannya surat perintah eksekusi mati gelombang II oleh pihak Kejaksaan, maka 9 orang terdakwa pidana mati sudah final dan tidak bisa diganggu gugat untuk membatalkan eksekusinya. . Perdebatan sengit tentang hukuman mati pun kian merambah cakrawala tersendiri bagi eksistensi hukum pidana Indonesia. Persoalan pro dan kontra sudah tidak diindahkan lagi bagi pemerintahan jokowi-JK. Jawabannya tak lain adalah karena secara tertulis (normative), Indonesia sampai saat ini masih belum juga merevisi pidana warisan Code Penal Perancis dan Wetboek Van Strafrecht Belanda tersebut. Jelas, di sini asas legalitas sangat berperan penting untuk melancarkan eksekusi mati kepada terdakwa, disamping alasan lainnya.
Hukuman mati digolongan dalam pidana berjenis extra ordinary crime, yang memerlukan penanganan secara ekstra keras, maka dalam proses penegakan hukum pidananya. Lebih jelasnya hukuman mati diatur dalam pasal 10 KUHP, yang memuat dua macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman pokok, terdiri dari: Hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda; Hukuman tambahan terdiri dari: Pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman keputusan hakim.
Bagi yang pro, menurut C. Nur Patria, hukuman mati sebenarnya bertujuan bukan untuk balas dendam, tetapi sebagai suatu cara untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Lebih tegasnya, hukuman mati bertujuan pada unsur, yaitu keadilan, kepastian hukum dan manfaat atau kegunaan.  Dari aspek keadilan, maka penjatuhan hukuman mati seimbang dengan tindak kejahatan yang dilakukannya (terorisme, narkoba, pembunuhan berencana, dll). Dari aspek kepastian hukum, yaitu ditegakkannya hukum yang ada dan diberlakukan, menunjukkan adanya konsistensi, ketegasan, bahwa apa yang tertulis bukan sebuah angan-angan, khayalan tetapi kenyataan yang dapat diwujudkan dengan tidak pandang bulu. Kepastian hukum juga hal yang penting bagi terpidana mati, yang sudah barang tentu berada dalam penantian sejak dijatuhi vonis mati pada tingkat pengadilan pertama sampai dengan ditolaknya grasi oleh Presiden. Dari aspek manfaat/kegunaan, hukuman mati akan membuat efek jera kepada orang lain yang telah dan akan melakukan kejahatan, serta juga dapat memelihara wibawa pemerintah serta para penegak hukum.
Persoalannya adalah apakah hukuman mati merupakan alat rekayasa yang paling mutakhir dalam peradaban yang konon menjunjung tinggi nilai martabat asasi manusia? Humaniskah ketika hukuman mati diparadigmakan sebagai aspek balas dendam (retributive)? Padahal semangat hukum pidana telah mengalami perubahan ke arah  restoratif (restorative justice). Di sisi lain, hukuman mati juga tidak memberikan efek jera kepada para mafia untuk melancarkan aksi extra crime-nya. Persoalan lainya adalah apakah putusan hakim menjatuhkan vonis pidana mati kepada para terdakwa benar-benar terbukti sangat meyakinkan (beyond reasonable doubt)? Dan apakah hukuman mati merupakan buah pembelajaran bagi yang lainnya? Humaniskah hukuman mati diterapkan kepada kita sekarang?
***
Kacamata pengadilan telah membuktikan bahwa para terdakwa terbukti tanpa hak dan melawan hukum melakukan tindak pidana extra ordinary crime. Namun berdasarkan pengamatan lainnya, ada yang perlu dicatat yaitu ketika hakim melakukan pembuktian dalam persidanganm, tindak pidana (delik) tidak hanya sekedar dilihat dari “memilki” dan “menguasai” narkoba. Menurut Prof. Indriayanto Seno Adji, seharusnya lebih dari itu, seperti bagaimana dan dengan cara apa barang haram tersebut bisa ditangan para terdakwa, tak lain sebagai barang bukti ada tidaknya unsur tanpa hak dan melawan hukum. Lebih lanjut menurutnya, kalau tidak ada fakta/bukti (evidence) tentang bagaimana dan dengan cara apa barang tersebut datang, secara otomatis tidak ada kesalahan dan melawan hukum.
Apabila, para terdakwa memang secara materiele daad terbukti menguasai dan memiliki, artinya ada actus reus, tidaklah selalu harus diartikan dengan melanggar  tindak pidana. Karena masih harus dilihat ada tidaknya mens rea pada diri para pelaku berdasarkan asas tiada pidana tanpa kesalahan (afwijzigheid van alle schuld), walaupun secara gramatikal perbuataannya memenuhi rumusan delik. (Indriayanto Seno Adji, 2009, 261-262).
Bayangkan saja, misalnya seorang melempar senjata api/peluru ke halaman rumah tetangganya yang kebetulan terganggu hubungan diantara keduanya, dan si pelempar  memberitahu ke polisi bahwa tetangganya memiliki tanpa hak senjata api. Polisi datang dan menemui senjata/peluru yang tidak diketahui pemilik rumah, sekaligus pemilik rumah dikenai pelanggaran Pasal 1 ayat (1) UU Darurat No. 12 tahun 1951. Hal itu sama halnya menempatkan seseorang dengan persangkaan fitnah bahwa ia melakukan delik lasterlijke verdach-making, yang pada akhirnya ia bisa dijerat dengan melakukan tindak penguasaan atau kepemilikan.
***
Jika kita melihat spirit konstitusi kita pasca amandemen, sebetulnya arah humanisme sistem peradilan pidana telah memberikan ruang pada nilai martabat manusia. Pasal 28A yang menyatakan bahwa: Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Karena itu termasuk ke dalam hak non-derogable human right—yang sifatnya tidak bisa dikurangi dan  dibatasi dalam keadaan apapun. Disamping itu, sebagai hukum dasar tertinggi (Grundnorm), seharuslah menjadi pedoman bagi segenap aturan hukum dibawahnya. Dilain pihak berdasarkan aturan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tentang hak untuk hidup (right to life) menyatakan bahwa “Setiap manusia berhak untuk hidup dan mendapat perlindungan hukum dan tiada yang dapat mecabut hak itu”.
Namun di sisi lain, konstitusi serta turunan hukum positif Indonesia masih memberikan gerak untuk mencabut hak-hak seseorang dalam keadaan tertentu, yaitu seperti dengan menghukum mati pada terdakwa dengan beberapa persyaratan. Hal itu juga tertuang dalam konstitusi kita pada Pasal 28 J ayat (2) yang berbunyi: dalam menjalankan hak dan kewaijbannya, setiap orang wajib dan tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang….”, makna pembatasan merupakan kualifikasi secara limitatif gerak seseorang untuk mendapatkan haknya secara terbatas.
Sekilas konstitusi kita memberikan ruang perlindungan HAM sekaligus membatasi pada hal-hal tertentu. Namun sangat jelas arah tujuan pidana hukuman mati Indonesia seperti logika Lombroso dan Garofalo (kriminolog), yang menyatakan: “pidana mati adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu-individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.
Perwujudan nilai hak asasi manusia untuk mempertahankan hidup di Indonesia telah tercabut dengan memasukan tindakan pidana tertentu pada golongan extra ordinary crime, yang memerlukan penanganan secara ekstra keras. Siapa bilang perbuatan pidana seperti narkoba, terorisme, pembunuhan berencana dan lain-lain—bukan perbuatan yang merugikan orang lain. Sangat betul 100% orang berpendapat ketika mereka telah melanggar pidana telah merusak tatanan masyarakat pada umumnya, bahkan telah menghancurkan generasi muda hingga berjuta-juta penerus bangsa ini.
Namun perlu diingat adalah hukum bukan saja seperti yang dibilang oleh Thomas Hobbes, Lombroso, Garofalo dan lain-lain—yang memberikan paradigma “hukum tak lain sebagai legitimasi efek jera pada manusia untuk dirubah dari sifat jahatnya. Logika seperti ini menandakan manusia merupakan makhluk jahat (homo homini lupus), yang pada akhirnya hukum bukan sarana pendidikan ke arah lebih baik. Tetapi menghakimi sifat manusia yang jahat dengan memusnahkannya.
Teori ini sebetulnya telah dibahas jauh-jauh hari, seperti yang Yesmil dan Adang, bahwa tujuan pemidanaan dalam KUHP tak lain untuk mempertahankan teori pencegahan umum (algemene preventive). Teori ini ingin mencapai tujuan pidana itu sendiri, yaitu semata-mata dengan membuat jera kepada setap orang agar mereka tidak melakukan kejahatan-kejatahan, terlebih ditunjukan kepada khalayak ramai. Dilain pihak, pemidanaan bertujuan sebagai upan balik agar gerak suggesti masyarakat lainnya tidak melakukan hal yang sama. (Yesmil Anwar & Adang, 36).
Persoalannya adalah apakah sikap manusia yang telah melakukan tindak pidana berat tidak bisa diresosialisasi atau diperbaiki? Jika jawaban negara hanya hukuman mati, jelas hukum kita tak ubahnya seperti warisan Prancis-Belanda yang hanya mengandalkan manusia tidak bisa diubah dengan cara apapun (fatalism).
Catatatan kecil yang sederhana, pernahkah terpikirkan bagi penegak hukum khususnya Presiden memberikan grasi dengan nilai lebih manusiawi, seperti tetap mempidanakan para terdakwa, dengan beberapa catatan riwayat perjalanan dengan rentang waktu yang cukup panjang, seperti 20 tahun. Karena demikian akan bisa memperlihatkan keseriusan negara untuk memperbaiki tindak, moral dan sikap para terdakwa untuk kembali lagi pada martabat asasi manusia sebagai makhluk yang baik tanpa noda dan dosa. Hal itu senada dengan pendapatnya Jean Jacques Rousseau, manusia merupakan mahkluk baik, faktor eksternal-lah yang membuat mereka tidak baik. Dari itu juga pemidanaan khusus menjadi media pembelajaran berharga untuk mengembalikan kebaikannya, bukan menghancurkannya.
Alasan efek jera yang ditimbulkan hukuman mati hanya mitos serta merupakan alasan yang direka-reka menurut beberapa pengamat. Hal ini dilihat dari survei komperehensif yang dilakukan oleh PBB pada 1988 dan 1996 yang menunjukkan fakta tak ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa eksekusi mati memiliki efek jera yang lebih besar dari hukuman penjara seumur hidup. Tidak fair, manakala menempatkan logika perbuatan hukum hanya dilihat dari segi kausalitas (sebab-akibat), karena hal ini akan memunculkan pihak yang bersalah 100% adalah pihak tersangka/terpidana/terdakwa. Proses penegakan hukum pidana pada extra ordinary crime seharusnya memperhatikan prinsip penegakan HAM (doe process of law) dalam rangka mamanusiakan manusia (to humanize human being).
Perlu dicermati juga, eksekusi hukuman mati Indonesia secara langsung akan berpengaruh pada hubungan diplomatik antar negara, baik terkait masalah ekonomi, sosial, politik-budaya, tetapi yang palng menyakitkan yaitu diplomasi terkait para pekerja migrant Indonesia yang telah divonis hukuman mati di luar negeri. Dari tahun ketahun, upaya untuk membebaskan pekerja migran masih bermasalah, itu terlihat beberapa kali pemerintah kecolongan dalam melakukan diplomasinya kepada pihak negara luar.

*Salam Pecinta Kesederhanaan.

Monday 27 April 2015

Minimal Batas Usia Perkawinan Ideal Analisis Medis


Minimal batas usia perkawinan di Indonesia bisa dilihat pada pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya 16 tahun. Demikian isi pasal pula 6 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 diulang pada pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, “Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harusa mendapatkan izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.
Bagi orang yang belum mencapai umur minimal tersebut akan kemungkinan melangsungkan perkawinan dengan syarat dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain, seperti disebut dalam pasal 7 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, “Dalam hal penyimpangan ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat alin yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak peria maupun pihak wanita”. Ada point penting yang harus dijelaskan dalam bab ini terkait batas minimal usia perkawianan jika dilihat dari segi hukum dan medis.
Pertama dalam pandangan hukum Islam fikih klasik tidak memberikan batasan usia perkawinan, namun para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas minimal usia perkawinan laki-laki dan perempuan. Dengan jelas para ulama mengacu pada ketentuan normatif seperti pemahaman al-Qur’an dan as-Sunnah, Khabar Sahabat, Ijtihad para ulama serta argumentasi kaidah lainnya. Para ulama menentukan kesiapan menikah dua mempelai laki-laki dan perempuan dengan menitikberatkan pada tingkat kedewasaannya, dengan tanda-tanda baligh pria maupun perempuan. Seperti dengan datangnya tanda haid, kerasnya suara, tumbuhnya bulu ketiak, atau tumbuhnya bulu kasar di sekitar kemaluan. Adapun yang kedua para ulama menentukan kedewasaan dengan batasan minimal usia kedua mempelai seperti Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menentukan bahwa masa dewasa itu mulai 15 tahun. Walaupun mereka dapat menerima kedewasaan dengan tanda-tanda, seperti di atas, tetapi karena tanda-tanda itu datangnya tidak sama untuk semua orang, maka kedewasaan ditentukan dengan umur. Disamakannya masa kedewasaannya untuk pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal. Dengan akallah terjadinya taklif, dan karena akal pulalah adanya hukum.[1]  
Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan itu datang mulai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam Malik menetapkan 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka beralasan dengan “ketentuan dewasa menurut syarat ialah mimpi”, karenanya mendasarkan hukum kepada mimpi itu saja. Mimpi tidak diharapkan lagi datangnya bila usia telah 18 tahun. Umur antara 15 sampe 18 tahun masih diharapkan datangnya. Karena itu ditetapkanlah bahwa umur dewasa itu pada usia 18 tahun.
Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun. Hal ini dikarenakan pada zaman modern orang memerlukan persiapan yang matang, sebab mereka masih kurang pengalaman hidup dan masih dalam proses belajar. namun demikian kepada mereka sudah dapat diberikan beberapa urusan sejak usia 18 tahun.[2]
Meninjau apa yang ada dalam kitab-kitab fiqih konvensional ini, dapat dibandingkan dengan hukum perkawinan di Indonesia yang menetapkan bahwa batas minimal usia perkawinan di Indonesia sejatinya adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Bagi mereka yang tidak mencapai usia ini maka harus meminta izin dari pengadilan, dan bagi calon pengantin yang belum mencapai usia 21 tahun maka harus menyertakan izin dari orang tua.
Perlu dicatat disini, konsep ijtihad batas pada minimal yang diajukan oleh para ulama fikih merujuk pada nilai normatif yang relevansinya pada kala itu, terlihat melompati peristiwa perkawinan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah ketika berumur 6 tahun dan dicampurinya pada usia 9 tahun.[3] Namun para ulama fikih lebih dari itu. Di sini para ulama fikih melompat pada tingkat kontekstual zamannya dengan berijtihad pada batas usia minimal perkawinan dengan dua konsepsi yaitu nilai baligh dan batas minimal usia perkawinan. Antara usia 15 tahun menurut Syafi’iyah dan Hanabilah,  Abu Hanifah usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita, Imam Malik menetapkan 18 tahun baik laki-laki maupun perempuan dan pendapat Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun.
Secara tidak langsung, ijtihad para ulama di atas sangatlah dipengaruhi tidak saja berdasarkan dalil yang ada, namun lebih kepada konteks zaman dewasa kala itu. Begitu juga dengan peraturan perundangan Indonesia yang mengatur batas mimal usia perkawinan. Dalam KHI pasal 15 merumuskan: (1) untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yakni calon suami sekuang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri  sekurang kurangnya berumur 16 tahun. (2) bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2) ,(3) ,(4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.[4] 
Batas minimal 19 tahun bagi calon pria dan 16 tahun bagi perempuan merupakan ranah ijtihadi fikih ala ulama Indonesia yang sudah dipositifkan (diundang-udangkan). Meskipun begitu, spirit peningkatan usia perkawinan pada tahun itu jelas berbeda dengan minimal batas usia perkawinan ijtihad para ulama sebelumnya. Artinya kondisi masyarakat dan tingkat pendewasaan laki-laki dan perempuan di setiap wilayah bersifat kontekstual tergantung faktor-faktor yang mendukung kedewasaan, seperti faktor pendidikan, psikis, sosial, medis dan faktor lainnya.
Jika peningkatan batas usia perkawinan telah dilakukan sebelumnya oleh para ulama klasik dan hukum positif Indonesia pada tahun 1974, mengapa tidak jika saat ini peraturan pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sudah seharusnya direvisi karena berdasarkan beberapa ahli dan pandangan ahli.
Seperti Sarlito Wirawan Sarwono melihat bahwa usia kedewasaan untuk siapnya seseorang memasuki hidup berumah tangga harus diperpanjang menjadi 20 tahun untuk wanita dan 25 tahun bagi pria. Hal ini diperlukan karena zaman modern menuntut untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan, baik dari segi kesehatan maupun tanggung jawab sosial.[5]
Dr. Marc Hendry Frank, mengatakan bahwa perkawinan sebaiknya dilakukan antara usia 20 sampai 25 tahun bagi wanita, dan antara 25 sampai 30 tahun bagi laki-laki. Tinjauan ini juga berdasarkan atas pertimbangan kesehatan. Para ahli Ilmu Jiwa Agama menilai bahwa kematangan adalah beragam pada seseorang tidak terjadi sebelum usia 25 tahun.
Perbedaan pendapat yang tidak terlalu tajam di atas menunjukan bahwa beberapa faktor ikut menentukan cepat atau lambatnya seseorang mencapai usia kedewasaan, terutama kedewasaan untuk berkeluarga. Menurut kondisi Indonesia sekarang, usia yang tepat bagi seseorang untuk menikah ialah sekurang-kurangnya umur 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi pria. Mengapa demikian? Sebab, usia tersebut calon suami istri perlu mempersiapkan diri sebaik mungkin, sehingga pada usia itu seseorang telah matang jasmaninya, sempurna akalnya, dan dapat diterima sebagai anggota masyarakat secara utuh. Pada usia itu, menurut Allport, seseorang telah bisa memaparkan diri (extention of the self) kepada teman hidupnya, di samping biasa menilai dirinya secara obyektif dan mempunyai pandangan tentang posisi dirinya dalam kerangka hal-hal lain yang ada di dunia ini, sehingga ia tahu posisi dirinya dalam mengatur tingkah laku secara konsisten. Dengan kematangan itu kehidupan rumah tangga yang dibinanya diharapkan dapat berjalan sesuai ketentuan agama.
Begitu pula dengan penelitian medis lainnya, seperti ditemukan banyak faktor mengapa peningkatan batas usia minimal perkawinan diperlukan, karena usia di bawah 20 tahun sangat rentan terhadap berbagai penyakit baik dari perempuan mapun dari laki-laki.
Menurut penelitian dari The National Center for Health Statistics, menurut The National Center for Health Statistics, pernikahan yang dilakukan di usia cukup muda, antara 12 hingga 21 tahun, tiga kali lebih banyak berakhir dengan perceraian dibandingkan dengan pernikahan pada usia yang lebih matang. Data di tahun 2002 tersebut memaparkan, 59% pernikahan wanita di bawah 18 tahun berakhir dengan perceraian dalam waktu 15 tahun menikah dibandingkan dengan 36% dari mereka yang menikah di usia lebih dari 20.
Dalam penelitian lainnya, dari 1.000 pria yang diteliti (berusia 25 - 34) ditemukan bahwa 81% di antaranya percaya bahwa waktu yang tepat untuk melepas lajang sekitar umur 25 sampai 27 tahun. Sedangkan untuk wanita, dari data statistik di Amerika Serikat pada tahun 2000 menunjukkan bahwa wanita rata-rata menikah pada usia 25. Pada usia tersebut kebanyakan wanita telah menyelesaikan pendidikannya, memiliki karir mapan dan bisa hidup terpisah dari orang tua.[6]
Berdasarkan catatan di atas, maka Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengimbau para remaja di bawah usia 20 tahun di tanah air untuk dapat menunda usia perkawinan atau tidak buru-buru menikah. Atau dengan kata lain jangan menikah di usia dini, menikahlah di usia matang. Dan menurut Kepala BKKBN Fasli Jalal menjelaskan, kasus pernikahan dini masih kerap ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia dengan usia pernikahan dini antara 16 hingga 19 tahun bahkan ada yang di bawah itu. Saat seorang perempuan menikah di usia 16 tahun dia mempunyai masa reproduksi jauh lebih panjang dibanding mereka yang menikah di atas usia 25 tahun dimana masa reproduksi yang lama maka kemungkinan untuk melahirkan semakin besar sehingga bisa saja mempunyai anak lebih dari dua bahkan lebih dari lima. Selain itu, menurut Fasli, pernikahan di usia dini bisa meningkatkan risiko kematian ibu melahirkan, karena salah satu penyebabnya adalah usia yang terlalu muda saat hamil.[7]
Selain itu berdasarkan catatan medis lainnya, bahwa menikah pada usia kisaran 21-35 tahun resiko gangguan kesehatan pada ibu hamil paling rendah yaitu sekitar 15%. Selain itu apabila dilihat dari perkembangan kematangan, wanita pada kelompok umur ini telah memiliki kematangan reproduksi, emosional maupun aspek sosial. Meskipun pada saat ini beberapa wanita di usia 21 tahun menunda pernikahan karena belum meletakan prioritas utama pada kehidupan baru tersebut. Pada umumnya usia ini merupakan usia yang ideal untuk anda hamil dan melahirkan untuk menekan resiko gangguan kesehatan baik pada ibu dan juga janin. Selain itu sebuah ahli mengatakan wanita pada usia 24 tahun mengalami puncak kesuburan dan pada usia selanjutnya mengalami penurunan kesuburan akan tetapi masih bisa hamil.[8]
Dari situ dapat disimpulkan bahwa sudah selayaknya perundangan terkait batas minimal usia perkawinan terlihat sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan lagi untuk saat ini, berdasarkan argumentasi medis dan pandangan keilmuan lainnya. Seperti yang kita tahu bahwa hukum islam seharusnya melihat prinsip al-hukmu yaduru ma’a illatihi yaitu sebuah hukum diterapkan harus berdasarkan ilat hukum itu sendiri. Dengan kata lain prinsip medis sudah selayaknya diterapkan saat ini untuk batas usia perkawinan.


[1] Abdul Qadir Audah, al-Tasyri al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dâr al-‘Urubah, 1964), hal. 603.
[2] Abdul Qadir Audah, al-Tasyri al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dâr al-‘Urubah, 1964), hal. 603
[3] Ed. Chuzaimah T. Yanggo dan H.A Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer,  (Jakarta: LSIK, Pustaka Firdaus, 2009), hal. 81
[4] Pasal 6 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[5] Ed. Chuzaimah T. Yanggo dan H.A Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer,  (Jakarta: LSIK, Pustaka Firdaus, 2009), hal. 84
[6] Ini Usia yang Tepat untuk Menikah, lebih lengkap lihat http://wolipop.detik.com/read/2014/04/25/193911/2566088/852/ini-usia-yang-tepat-untuk-menikah. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00
[7] Nikah Ideal Itu, 20 Tahun Bagi Wanita, 25 Tahun Bagi Pria, lebih lengkap baca: http://www.merdeka.com/peristiwa/bkkbn-nikah-ideal-itu-20-tahun-bagi-wanita-25-tahun-bagi-pria.html. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00

Friday 10 April 2015

Biografi Ahmadinejad: Figur Tokoh Sederhana

Gambar AhmadinejaOleh Dina Y. Sulaeman


Siapa yang tidak kenal dengan Ahmadinejad, seorang tokoh pemimpin dunia yang religous dari Iran ini menjadi perhatian dunia ketika pemilihan presiden Juni 2005 dimenangkan olehnya. Ahmadinejad dikenal sebagai tokoh presiden tegas dan sederhana sekaligus kontroversial dari beberapa kebijakan serta kritik terhadap pihak yang menentangnya.

Ahmadinejad awalnya bukan siapa-siapa, nama Ahmadinejad baru muncul dan menjadi pembicaraan ketika ia berhasil menyingkirkan beberpa kandidat presiden, dan ia menjadi pemenang kedua setelah Rafsanjani. Karena tak satu pun kandidat memperoleh lebih dari 50% suara, putaran kedua pemilu pun kembali digelar. Saat itu, orang masih memandang Ahmadinejad sebalah mata. Selain itu juga Ahmadinejad dikenal dekat dengan seorang tokoh konservatif yaitu para mullah.

Jauh sebelum itu, siapa sih sebetulnya Ahmadinejad? Dari manakah dia berasal? Apa yang istimewa dari perjalanan biografinya—hingga saat ini masih didengung-dengungkan dengan sebutan mantan presiden yang cerdas dan sederhana.

Mahmud Ahmadinejad atau yang biasa disebut dengan Ahmadinejad saja, dilahirkan di daerah yang sepi dan terpencil yaitu Aradan, tepatnya pada 28 Oktober 1956. Sebetulnya nama asli dari Ahmadinejad sendiri berasal dari ketertarikan ayahnya (Ahmad Saborjihan) agar kelak namanya seperti artinya yaitu ras yang unggul, bijak dan paripurna. Sedangkan nama lamanya yaitu Mahmud Saborjihan, jika diartikan dalam bahasa persia berarti pelukis karpet. Dari kota kecil dan sepit ujung utara padang garam inilah lahir seorang pemimpin sederhana.

Ahmadinejad merupakan anak keempat dari ketujuh bersaudara. Ia dilahirkan dari keluarga sederhana, hingga pada akhirnya mempengaruhi pola aktivitasnya dalam menjalankan roda kepemimpinan sebagai presiden Iran kala itu. Bahkan seperti yang dikutip dalam buku Kasra Naji berjudul “Ahmadinejad: Kisah Rahasia Sang Pemimpin Radikal Iran”, menjelaskan bahwa rumah masa kanak-kanak pertama dari Ahmadinejad merupakan rumah kontrakan sederhana, seperti lantai berbahan bata dan turap dari lumpur. Bekas rumahnya tersebut itu digunakan oleh penghuni sekarang sebagai kandang ayam (Kasra Naji: Gramedia Pustaka Utama, 2009, h. 4).

Kehidupan ketika menjadi presiden pun tak jauh berbeda dari masa kanak-kananya. Rumah dinas yang dipakainya pun bukan rumah dinas dari pemberian fasilitas negara, tetapi rumah pribadi beserta istri dan ketiga anaknya. Sejak saat itulah rumah tersebut terasa sempit, karena selain ditinggali sang istri dan anaknya, tetapi rumah dari gang buntu tersebut dijadikan ruang kerja sang presiden. Rumah tersebut juga memiliki ruangan seluas 6 x 10 sebagai ruang tamu presiden. (Sayyid Maulana Khan, “Ahmadinejad The Lion from Aradan”: Mizan, 2007, h. 23)

Meski masa kecilnya serba kekurangan, namun tidak menyulutkan niat Ahmadinejad menjadi seorang yang cerdas sekaligus religous. Dalam bidang bahasa, ia menguasai empat bahasa sekaligus, yaitu Arab, Persia, Inggris dan Prancis. Ia juga lulusan dari sebuah Universitas Sains dan Teknologi Iran (IUST) dengan gelar doktor dalam bidang teknik dan perencanaan lalu lintas dan transportas. Ia pernah juga menjadi seorang guru ngaji atau buka kursus baca al-Qur;an, padahal dia tidak dilahirkan dari keluarga yang pandai baca al-Qur’an (Kasra Naji: Gramedia Pustaka Utama, 2009, h. 4-5).  

Jauh sebelum Ahmadinejad menjadi seorang pemimpin terkemuka, kehidupan sederhana Ahmadinejad sebetulnya diinsiprasi oleh sang ayah. Perjuangan hidupnya telah diperlihatkan sejak Ahmadinejad kecil. Pada tahun 1958 setelah kelahiran dua tahun Ahmadinejad, ayahnya membawa keluarga dari Aradan ke Narmak. Tujuannya sendiri tak lain agar kehidupan keluarga menjadi semakin membaik dengan mencari pekerjaan di sana. (Kasra Naji: Gramedia Pustaka Utama, 2009, h. 4-5).  

Dari daerah Narmak-lah ayah Ahmadinejad memulai kehidupan yang baru dan terencana. Di sanalah ayah Ahmadinejad membuka sebuah bengkel pandai besi. Hingga pada akhirnya, kerja keras sang ayah terbayarkan, karena bisa membeli sebuah rumah bata dengan dua lantai sederhana. Pada waktu itu Narmak menjadi daerah berkembang, suasananya tidak seperti ayah Ahmadinejad pindah pertama kali.

Berlanjut pada tahun berikutnya, sekitar tahun 1960-an, Ahmadinejad mulai bersekolah di Narmak, kira-kira bersamaan dengan stagnasi kisruh pemerintah dengan ulama Syiah di Qom. Selang beberapa tahun, terjadi pristiwa politik yang berujung pada revolusi Islam pada tahun 1979. Sebetulnya  Ayatullah R. Khomeni yang menjadi promotor pergerakan tersebut untuk melancarkan pertentangan kebijakan modern yang dilakukan oleh Shah. Yang pada akhirnya, satu dekade setelahnya menghantarkan Ahmadinejad menjadi seorang presiden revolusioner.

Beberapa catatan penting kesederhanaan dari Ahmadinejad yaitu ketika menjadi Walikota Taheran tahun 2005, ia juga sekaligus menjadi petugas kebersihan, tak jarang ia sering membersihkan kotoran diselokan, memagang sapu dan lain-lain—layaknya sebagai petugas kebersihhan dengan mengenakkan pakaian kebersihan. Jas yang digunakan untuk bekerja sebagai presiden pun ia beli di toko-toko negerinya sendiri. Berkisar harga 50-70 $. Begitu juga dengan sepatu yang dipakainya, berdasarkan pengakuan dari seorang teman dekatnya, sepatu yang dipakai oleh Ahmadinejad merupakan sepatu butut, bahkan ketika ia setelah 2-3 hari dari pemilu Presiden dengan kemenangannya, ia tetap saja memakai sepatu usang yang dipakainya sejak kuliah. Ahmadinejad juga dikenal seorang penikmat kurma yang murah (merk kurma Goerge W. Bush), berbeda dengan pemimpin-pemimpin lainnya. Bahkan ada yang lebih unik dari kesederhanaan Ahmadinejad yaitu jamuan mnimuman tamu presiden hanya limun, dan ketika menjadi walokota dilarang menyediakan pisang kepada tamunya, karena terlalu mahal menurutnya. Aktivitas kesederhanaan seorang pemimpij Ahmadinejad sangat banyak dan sulit digambarkan di sini, bahkan ia menjadi salah satu nominator World Mayor 2005 sebelum menjadi presiden pun.

Ada yang menarik dari nilai filosofi kesederhanaan Ahmadinejad yaitu: Saya lahir dari keluarga miskin di desa terpencil yang menganggap kemakmuran sama dengan kehormatan dan tinggal di kota besar sama dengan kemewahan duniawi. (Kasra Naji: Gramedia Pustaka Utama, 2009, h. 1).  Lanjut Ahmadinejad dalam buku lain: Kenapa saya harus merasakan kenyamanan kalau rakyat di sekitar saya merasa kepanasan. (Maulana Khan, “Ahmadinejad The Lion from Aradan”: Mizan, 2007, h. 21).


***Salam Kesederhanaan.....