Pasca dikeluarkannya surat perintah eksekusi mati gelombang
II oleh pihak Kejaksaan, maka 9 orang terdakwa pidana mati sudah final dan
tidak bisa diganggu gugat untuk
membatalkan eksekusinya. . Perdebatan sengit tentang hukuman mati pun kian
merambah cakrawala tersendiri bagi eksistensi hukum pidana Indonesia. Persoalan
pro dan kontra sudah tidak diindahkan lagi bagi pemerintahan jokowi-JK. Jawabannya
tak lain adalah karena secara tertulis (normative), Indonesia sampai
saat ini masih belum juga merevisi pidana warisan Code
Penal Perancis dan Wetboek Van Strafrecht Belanda tersebut. Jelas, di sini asas legalitas sangat
berperan penting untuk melancarkan eksekusi mati kepada terdakwa, disamping
alasan lainnya.
Hukuman mati digolongan dalam pidana berjenis extra
ordinary crime, yang memerlukan penanganan secara ekstra keras, maka dalam proses
penegakan hukum pidananya. Lebih jelasnya hukuman mati diatur dalam pasal 10 KUHP, yang
memuat dua macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman
pokok, terdiri dari: Hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan
hukuman denda; Hukuman tambahan terdiri dari: Pencabutan hak tertentu,
perampasan barang tertentu dan pengumuman keputusan hakim.
Bagi yang pro, menurut C. Nur Patria, hukuman mati sebenarnya bertujuan bukan untuk
balas dendam, tetapi sebagai suatu cara untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Lebih tegasnya, hukuman mati bertujuan pada unsur, yaitu keadilan, kepastian hukum dan manfaat atau kegunaan. Dari aspek keadilan, maka penjatuhan hukuman
mati seimbang dengan tindak kejahatan yang dilakukannya (terorisme, narkoba,
pembunuhan berencana, dll). Dari aspek kepastian hukum, yaitu ditegakkannya
hukum yang ada dan diberlakukan, menunjukkan adanya konsistensi, ketegasan,
bahwa apa yang tertulis bukan sebuah angan-angan, khayalan tetapi kenyataan
yang dapat diwujudkan dengan tidak pandang bulu. Kepastian hukum juga hal yang
penting bagi terpidana mati, yang sudah barang tentu berada dalam penantian
sejak dijatuhi vonis mati pada tingkat pengadilan pertama sampai dengan
ditolaknya grasi oleh Presiden. Dari aspek manfaat/kegunaan, hukuman mati akan
membuat efek jera kepada orang lain yang telah dan akan melakukan kejahatan,
serta juga dapat memelihara wibawa pemerintah serta para penegak hukum.
Persoalannya adalah apakah hukuman mati merupakan alat
rekayasa yang paling mutakhir dalam peradaban yang konon menjunjung tinggi
nilai martabat asasi manusia? Humaniskah ketika hukuman mati diparadigmakan
sebagai aspek balas dendam (retributive)? Padahal semangat hukum pidana telah
mengalami perubahan ke arah restoratif (restorative
justice). Di sisi lain, hukuman mati juga tidak memberikan efek jera kepada
para mafia untuk melancarkan aksi extra crime-nya. Persoalan lainya adalah apakah
putusan hakim menjatuhkan vonis pidana mati kepada para terdakwa
benar-benar terbukti sangat meyakinkan (beyond reasonable doubt)? Dan apakah hukuman mati merupakan buah pembelajaran
bagi yang lainnya? Humaniskah hukuman mati diterapkan kepada kita sekarang?
***
Kacamata pengadilan telah membuktikan bahwa para
terdakwa terbukti tanpa hak dan melawan hukum melakukan tindak pidana extra
ordinary crime. Namun berdasarkan pengamatan lainnya, ada yang perlu
dicatat yaitu ketika hakim melakukan pembuktian dalam persidanganm, tindak
pidana (delik) tidak hanya sekedar dilihat dari “memilki” dan “menguasai”
narkoba. Menurut Prof. Indriayanto Seno Adji, seharusnya lebih dari itu,
seperti bagaimana dan dengan cara apa barang haram tersebut bisa ditangan para
terdakwa, tak lain sebagai barang bukti ada tidaknya unsur tanpa hak dan
melawan hukum. Lebih lanjut menurutnya, kalau tidak ada fakta/bukti (evidence)
tentang bagaimana dan dengan cara apa barang tersebut datang, secara otomatis
tidak ada kesalahan dan melawan hukum.
Apabila, para terdakwa memang secara materiele daad
terbukti menguasai dan memiliki, artinya ada actus reus, tidaklah selalu
harus diartikan dengan melanggar
tindak pidana. Karena masih harus dilihat ada tidaknya mens rea pada
diri para pelaku berdasarkan asas tiada pidana tanpa kesalahan (afwijzigheid
van alle schuld), walaupun secara gramatikal perbuataannya memenuhi rumusan
delik. (Indriayanto Seno Adji, 2009, 261-262).
Bayangkan saja, misalnya seorang melempar senjata
api/peluru ke halaman rumah tetangganya yang kebetulan terganggu hubungan
diantara keduanya, dan si pelempar
memberitahu ke polisi bahwa tetangganya memiliki tanpa hak senjata api.
Polisi datang dan menemui senjata/peluru yang tidak diketahui pemilik rumah,
sekaligus pemilik rumah dikenai pelanggaran Pasal 1 ayat (1) UU Darurat No. 12
tahun 1951. Hal itu sama halnya menempatkan seseorang dengan persangkaan fitnah
bahwa ia melakukan delik lasterlijke verdach-making, yang pada akhirnya
ia bisa dijerat dengan melakukan tindak penguasaan atau kepemilikan.
***
Jika kita melihat spirit konstitusi kita pasca
amandemen, sebetulnya arah humanisme sistem peradilan pidana telah memberikan
ruang pada nilai martabat manusia. Pasal 28A yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan
hidup dan kehidupannya”. Karena itu termasuk ke
dalam hak non-derogable human right—yang sifatnya tidak bisa dikurangi
dan dibatasi dalam keadaan apapun.
Disamping itu, sebagai hukum dasar tertinggi (Grundnorm), seharuslah menjadi pedoman bagi segenap aturan
hukum dibawahnya. Dilain pihak berdasarkan
aturan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik
tentang hak untuk hidup (right to life) menyatakan bahwa “Setiap manusia
berhak untuk hidup dan mendapat perlindungan hukum dan tiada yang dapat mecabut
hak itu”.
Namun di sisi lain, konstitusi serta turunan hukum
positif Indonesia masih memberikan gerak untuk mencabut hak-hak seseorang dalam
keadaan tertentu, yaitu seperti dengan menghukum mati pada terdakwa dengan
beberapa persyaratan. Hal itu juga tertuang dalam konstitusi kita pada Pasal 28
J ayat (2) yang berbunyi: dalam menjalankan hak dan kewaijbannya, setiap orang
wajib dan tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang….”, makna
pembatasan merupakan kualifikasi secara limitatif gerak seseorang untuk
mendapatkan haknya secara terbatas.
Sekilas konstitusi kita memberikan ruang perlindungan
HAM sekaligus membatasi pada hal-hal tertentu.
Namun sangat jelas arah tujuan pidana hukuman mati Indonesia seperti logika
Lombroso dan Garofalo (kriminolog), yang menyatakan: “pidana
mati adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan
individu-individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi”.
Perwujudan nilai hak asasi manusia untuk mempertahankan
hidup di Indonesia telah tercabut dengan
memasukan tindakan pidana tertentu pada golongan extra
ordinary crime, yang memerlukan penanganan secara ekstra keras. Siapa bilang perbuatan pidana seperti narkoba,
terorisme, pembunuhan berencana dan lain-lain—bukan perbuatan yang merugikan
orang lain. Sangat betul 100% orang berpendapat ketika mereka telah melanggar
pidana telah merusak tatanan masyarakat pada umumnya, bahkan telah
menghancurkan generasi muda hingga berjuta-juta penerus bangsa ini.
Namun perlu diingat adalah hukum bukan saja seperti
yang dibilang oleh Thomas Hobbes, Lombroso, Garofalo dan lain-lain—yang
memberikan paradigma “hukum tak lain sebagai legitimasi efek jera pada manusia
untuk dirubah dari sifat jahatnya. Logika seperti ini menandakan manusia
merupakan makhluk jahat (homo homini lupus), yang pada akhirnya hukum
bukan sarana pendidikan ke arah lebih baik. Tetapi menghakimi sifat manusia
yang jahat dengan memusnahkannya.
Teori ini sebetulnya telah dibahas jauh-jauh hari,
seperti yang Yesmil dan Adang, bahwa tujuan pemidanaan dalam KUHP tak lain
untuk mempertahankan teori pencegahan umum (algemene preventive). Teori
ini ingin mencapai tujuan pidana itu sendiri, yaitu semata-mata dengan membuat
jera kepada setap orang agar mereka tidak melakukan kejahatan-kejatahan,
terlebih ditunjukan kepada khalayak ramai. Dilain pihak, pemidanaan bertujuan
sebagai upan balik agar gerak suggesti masyarakat lainnya tidak melakukan hal
yang sama. (Yesmil Anwar & Adang, 36).
Persoalannya adalah apakah sikap manusia
yang telah melakukan tindak pidana berat tidak bisa diresosialisasi atau
diperbaiki? Jika jawaban negara hanya hukuman mati, jelas hukum kita tak
ubahnya seperti warisan Prancis-Belanda yang hanya mengandalkan manusia tidak
bisa diubah dengan cara apapun (fatalism).
Catatatan kecil yang sederhana, pernahkah
terpikirkan bagi penegak hukum khususnya Presiden memberikan grasi dengan nilai
lebih manusiawi, seperti tetap mempidanakan para terdakwa, dengan beberapa
catatan riwayat perjalanan dengan rentang waktu yang cukup panjang, seperti 20
tahun. Karena demikian akan bisa memperlihatkan keseriusan negara untuk
memperbaiki tindak, moral dan sikap para terdakwa untuk kembali lagi pada
martabat asasi manusia sebagai makhluk yang baik tanpa noda dan dosa. Hal itu
senada dengan pendapatnya Jean Jacques Rousseau, manusia merupakan mahkluk
baik, faktor eksternal-lah yang membuat mereka tidak baik. Dari itu juga
pemidanaan khusus menjadi media pembelajaran berharga untuk mengembalikan
kebaikannya, bukan menghancurkannya.
Alasan
efek jera yang ditimbulkan hukuman mati hanya mitos serta merupakan alasan yang
direka-reka menurut beberapa pengamat. Hal ini
dilihat dari survei komperehensif yang dilakukan oleh PBB pada 1988 dan 1996
yang menunjukkan fakta tak ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa eksekusi
mati memiliki efek jera yang lebih besar dari hukuman penjara seumur hidup. Tidak
fair, manakala
menempatkan logika perbuatan hukum hanya dilihat dari segi kausalitas
(sebab-akibat), karena hal ini akan memunculkan pihak yang bersalah 100% adalah
pihak tersangka/terpidana/terdakwa. Proses
penegakan hukum pidana pada extra
ordinary crime seharusnya memperhatikan
prinsip penegakan HAM (doe process of law) dalam rangka
mamanusiakan manusia (to humanize human being).
Perlu dicermati juga, eksekusi hukuman mati Indonesia
secara langsung akan berpengaruh pada hubungan diplomatik antar negara, baik
terkait masalah ekonomi, sosial, politik-budaya, tetapi yang palng menyakitkan
yaitu diplomasi terkait para pekerja migrant Indonesia yang telah divonis
hukuman mati di luar negeri. Dari tahun ketahun, upaya untuk membebaskan
pekerja migran masih bermasalah, itu terlihat beberapa kali pemerintah
kecolongan dalam melakukan diplomasinya kepada pihak negara luar.
*Salam Pecinta Kesederhanaan.
0 comments:
Post a Comment