Translate

Makna Dibalik Kegagalan

Kata “Gagal” seringkali diartikan peyoratif/negatif, tak ayal balutan serta bungkusan yang menyelimuti kita ditopang dengan beragam cara. Apapun itu, yang penting kita jauh dengan kata “gagal”. Namun apa makna dibalik kegagalan...

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi

Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi...

Implikasi Putusan Praperadilan Kasus BG, Bukti Nyata Hukum Indonesia Tak Jelas

Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini.....

Adonis, Sastrawan Arab Paling Kritis

Adonis merupakan penyair Arab yang paling berpengaruh di abad ke-20. Karya sastra modernisnya sangat berpengaruh terhadap dampak budaya Arab.....

Lintasan Sejarah Komunisme di Dunia Islam

Persinggungan antara komunisme di barat maupun di wilayah timur, terkhusus di Dunia Islam terdapat titik persamaan konseptual yaitu menolak terhadap kolonialisme barat. Seperti yang kita ketahui, hampir rata-rata di dunia Islam paruh abad 18-19-an, telah terjadi pergeseran antar ideologi.

Thursday 13 December 2018

Resistensi isu Politik dan Residu Diskriminasi dalam Pernyataan Grace Natalie


Sebelum menulis artikel ini, beberapa hari sebelumnya saya membaca sebuah berita online, dengan judul cukup sensitive bagi sebagian kalangan dengan judul, “Soal Perda Syariah, Grace Natalie Dilaporkan ke Bareskrim Polri”. Dalam beritanya, Grace Natalie mengatakan bahwa PSI akan mencegah lahirnya ketidakadilan, diskriminasi, dan seluruh tindakan intoleransi di negeri ini. PSI tidak akan pernah mendukung perda-perda Injil atau perda-perda syariah. Tidak boleh ada lagi penutupan rumah ibadah secara paksa," kata Grace saat berpidato dalam acara ulang tahun PSI yang keempat di ICE BSD, Tangerang Selatan, Ahad, 11 November 2018. (Tempo, Soal Perda Syariah Grace Natalie Dilaporkan Ke Bareskrim Polri). Pernyataan tersebut ternyata menuai polemik sekaligus menjadi bomerang bagi partai pendatang baru ini, alhasil beberapa partisan oposan—melaporkan ucapannya ke Bareskrim Polri. Dengan alasan yaitu pertama, Grace (Grace Natalie) menyatakan, perda itu menimbulkan ketidakadilan. Kedua, diksriminatif, ketiga, intoleransi.


Pernyataan Grace dikatakan penista agama bukanlah hal yang baru, sadar atau tidak Resistensi isu penista agama menguat keras sejak persoalan BTP atau Ahok mengemuka ke ruang publik, resistensi terhadap isu agama sangat kental dan kentara terhadap kebencian terhadap perbedaan pandangan politik hingga kini, dan bahkan tak tanggung-tanggung ada istilah yang digulirkan oleh politisi, ada partai setan dan partai tuhan. Gejala kemarahan isu populis seolah tak berhenti dalam kasus BTP saja, bahkan ketegangan politik terus berlanjut hingga saat ini, perdebatan politik seolah minim visi, ide, dan bahkan gagasan. Seolah hal apapun beradu dalam satu bak, penuh dengan analisa kebencian atau polarisasi isu obral keagamaan. Bahkan sekarang, tak tanggung-tanggung isu apapun akan ditarik kedalam satu perspektif utama yaitu komoditas populis, entah persoalan agama, ekonomi, hukum, poitik, budaya, dan atau apapun. Seakan kita tak pernah lelah susahnya founding fathers mendirikan negara ini, mereka berdebat untuk menghasillkan NKRI ini, akan amat lama energi kita terkuras habis hanya berdebat persoalan ideologi, sudah cukup founding father melewatinya dengan banyak pertumpahan di sana sini.

Kembali kepada Pernyataan Grace, sebetulnya bukanlah barang baru, sudah sejak lama digulirkan oleh beberapa politisi, ahli maupun pengamat. Karena sejatinya statemen yang dikeluarkan merupakan buah dari residu persoalan bangsa terkait maraknya diskisrminasi atas dasar apapun—yang memang tak kunjung mendapat keadilan hingga kini, tetapi hanya menjadi barang dagangan/gorengan politisi. Dihembuskan ke publik seolah terjadi perdebatan benturan penafsiran agama, padahal persoalan substansi diskrminasi yang tak kunjung henti digerogoti politisi. Perdebatan mengemuka bukan saja persoalan substansi dari statemen tetapi lebih sering ditarik kedalam isu resistensi pandangan politik, sampai kapanpun persoalan ini tak kunjung mendapat perhatian besar manakala para politisi sibuk akan urusan cara berganti baju, bukan cara membuat baju itu untuk apa dan siapa.
Sebetulnya gorengan politik isu toleransi dan perda diskriminatif pernah mencuat seksis pada tahun 2016, saat itu Kemendagri masih memiliki kewenangan melakukan pembatalan Perda lewat UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebanyak 3.142 perda dibatalkan oleh Pemerintah Pusat, yang mengemuka ke publik adalah kemendagri membatalkan perda bernuansa syariah, faktanya adalah Kemendagri hanya membatalkan perda yg berkaitan dngan eksistensi kewenangan zonasi ekonomi, tak satupun yang dibatalkan yang berbau diskriminatif. Antara kebijakan diskriminatif dan perda syariah seolah menjadi barang dagangan politik, toh perda yang dibatalkan tetap saja bukan dilihat dari segi pandang diskriminatif tetapi yang berkaitan dengan investasi, retribusi, pelayanan dan masalah perizininan saja.


Residu Diskriminasi dan Statement yang Kontra-Produktif

Jadi Jika dibaca ulang bahwa pernyataannya mengandung 2 (dua) unsur, unsur utama yaitu persoalan komitmen politik terhadap ketidakadilan, diskriminasi, dan seluruh tindakan intoleransi di negeri ini. Unsur fakultatif statemen, yaitu PSI tidak akan pernah mendukung perda-perda Injil atau perda-perda syariah. Tidak boleh ada lagi penutupan rumah ibadah secara paksa. Jadi dicermati secara utuh, sebetulnya 2 (dua) unsur ini saling berkaitan dengan suatu pristiwa dan atau preseden mengenai persoalan bangsa sebelumnya, terutama berkaitan dengan diskrminasi terhadap salah satu golongan. Namun memang sangat disayangkan cuplikan statemen yang mengandung makna multitafsir dan ganda tersebut bukan menjadi diskursus ilmiah berbasis data tetapi lebih berujung pada persoalan yuridis-politis.

Harusnya yang mengemuka mengenai persoalan komitmen partai politik terhadap ketidakadilan, diskriminasi, dan tindakan intoleransi di negeri ini, contohnya adalah komitmen partai melihat persoalan maraknya kebijakan diskriminasi di tiap daerah, seperti yang dikutip oleh Komnas Perempuan menemukan 421 kebijakan diskriminatif. Salah satunya contohnya Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Sekilas judul tersebut tidak mengandung diskrminasi apapun, tetapi, jika kita telusuri pasal perpasal kita akan menemukan pasal yang diskrminatif, seperti dalam Pasal 4 ayati (1):

“ Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, disudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di Daerah.” Pasal ini secara hukum menghilangkan syarat utama dalam penghukuman/pemidanaan, seperti tidak meletakan asas praduka tidak bersalah (presumption of innocent) dan perlakuan yang sama di mata hukum (equality before the law). Bagaimana mungkin perda bisa memuat hal menduga-duga, ini jelas mendiskriminasi dalam hal relasi gender, dimana dalam pandangan patriarki perempuan layak dicurigai sebagai pelacur jika ia berperilaku seperti yang dicurigai. Kata yang amat multi tafsir jelas mengandung menyalahkah korban “blaming victim”.

Contoh kebijakan diskriminatif lain juga kita bisa lihat dari Perbup Purwakarta No. 69 Tahun 2015 tentang Pendidikan Berkarakter, perda ini sebetulnya bertujuan untuk mengangkat harkar nilai-nilai kerarifan local di purwakarta, tetapi regulasi yang dituangkan malah justeru mendiskrimanasi nilai-nilai kearifan lokal, seperti di temukan dalam pasal 26, disebutkan bahwa: Persyaratan tambahan kenaikan kelas bagi Peserta Didik yang berdomisili di wilayah perdesaan ditentukan sebagai berikut:
a.     bagi Peserta Didik laki-laki, diwajibkan : 1. memiliki pohon tanaman keras produktif paling sedikit 10 (sepuluh) pohon; 2. memiliki hewan ternak domba/kambing/ayam/ikan; dan 3. memiliki keterampilan bercocok tanam.
b.    bagi Peserta Didik perempuan, diwajibkan : 1. memiliki keterampilan memasak; 2. memiliki keterampilan menenun; 3. memiliki keterampilan menyulam/merenda; dan/atau 4. memiliki keterampilan bercocok tanam.

Regulasi ini masyaratkan bahwa antara perempuan dan laki-laki masih melekat prinsip “non neutral gender “ dan upaya maskulunisasi dan feminisisasi perlakuan bahwa perempuan memiliki karakter domistik atau pengepul (gatherer) dan laki-laki sebagai karakter pemburu  (hunter).

Balik lagi pada persoalan kebijakan diskriminatif seperti dalam persoalan toleransi. Dalam hal ini Pemerintah daerah maupun pusat—seolah menutup mata rapat-rapat untuk menyelesaikan persoalan yang memang cukup resisten dikalangan masyarakat, seperti dalam kasus GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi—secara hukum dalam kasus tersebut sudah mendapatkan keputusan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah) dari Mahkamah Agung  sejak 2011, namun faktanya meski sudah sudah berkekuatan hukum tetap namun hingga kini kasus tersebut belum dilaksanakan oleh pemerintah setempat, pemerintah malah memilih jalur lain untuk menyelesaikan kasus tersebut. Disinilah letak komitmen para politisi harsunya diuji, sejauhmana memastikan persoalan diskriminasi yang mengemuka (ius constitutum) dan ataupun kebijakan yang akan ada (ius constituendum) menjadi fokus bersama dalam sebuah visi dan misi parpol.


Tidak Mudah Menjelaskan ke Publik

Sejak pergulatan idelogi terhadap gerakan formalisasi ajaran agama menguak di 1670an, seoalah berdampak panjang bagi sejarah Bangsa Indonesia. Kala itu, pemerintah Belanda melaui VOC (Verenigde Oost Indiche Compagnie) mengeluarkan legislasi pertama tentang perkawinan dan kewarisan dalam Islam di terapkan di Pengadilan VOC di Indonesia kala itu. Pasca pembubaran VOC—terkait penerapan syariat Islam adalah merupakan dektrit kerajaan 1882 tentang pembentukan pengadilan agama di Jawa dan Madura (stattsblad 1882 No. 152), meskipun dektrit tersebut mengakui bahwa sebagian besar pribumi Indonesia tunduk kepada hukum adat yang dijalankan oleh pengadilan pribumi. Secara keseluruhan, kebijakan-kebijakan Belanda selama berkuasa telah menempatkan hukum Islam ketempat yang inferior (Taufik Adnan Amal dan Syamsu: 2004).

Terlebih ketika Cornelis Van Vallenhoven dan Cristian Snouck Hurgronje melalui teori receptie telah menempatkan posisi hukum islam terletak inferior di bawah hukum adat. Meskipun ditentang habis oleh Hazairin dengan receptie exit, dengan tujuan untuk mengembalikan kedudukan hukum islam sebagai mitra hukum adat. Sejak saat itu, gelombang angin segar menempatkan bahwa hukum islam (fiqh) bisa membentuk mazhab hukum nasional. Namun meski diera orde baru beberapa produk UU Peradilan Agama, Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dll sudah banyak dikeluarkan, pasca reformasi dengan keran otonomi daerah terbuka untuk membuat sebuah regulasi. Setiap daerah berbondong-bondong mengeluarkan kebijakan yang bernuansa formal-legalistik. Hingga pada akhirnya gelombang kebijakan bernuansa pembedaan berdasarkan latar belakang, agama, gender atau status sosial bermunculan hingga kini.

Kebijakan diskriminatif sebetulnya tidak serta merta menggunakan istilah ‘perda bernuansa syariah’, banyak juga yang berkaitan dengan pola kebijakan umum, pendidikan, ketertiban umum, ketertiban sosial, dan lainnya-- memuat persoalan moralitas yang diskriminatif seperti yang saya contohkan di atas.

Persoalan kebijakan diskriminatif yang bernuansa agamis memang bukanlah perkara mudah untuk dijelaskan ke publik. Sebagian masyarakat merasa regulasi yang dibuat legislator tak serta merta menjadi agamis manakalah reformulasi pembuatan regulasi tidak dilakukan secara formalistik-agamis, dengan kata lain harus tertuang secara legal-formal, bukan berdasar subtansi prinsip tujuan besar agama itu sendiri. Dampaknya adalah hal tersebut akan mendikotomi mana regulasi yang berbasis agama mana yang bukan (profan).

Yang menjadi fatal ketika UU Pendidikan, Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Adminduk, Pajak, Pidana, Perdata dan peraturan jenis lainya—tidak dipercai oleh sebagian publik karena alasan itu bukan produk langsung dari ajaran formal agama. Dampaknya adalah masyarakat akan skiptis terhadap peraturan tersebut, atau dengan kata lain sangat memungkinkan tidak akan mematuhi peraturan tersebut. Padahal sejatinya adalah regulasi bisa ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan bersama (baca: ijtihad jama’i).

Sebetulnya jika melihat secara yuridis, kebijakan pelarangan kebijakan diskriminatif sudah diatur di dalam UU No. 12 tahun 2011 menjelaskan asas peraturan perundang-undangan harus memuat prinsip perlakuan yang sama di mata hukum (equality before the law). Asas ini dimaknai sebagai asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial. Ditambah lagi dengan tugas Kemendagri selaku monitoring dalam pembuatan perda di tiap daerah sesuai UU. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Tetapi hal itu apakah berlaku dengan kebijakan yang notebene-nya juga bukan peraturan alias penetapan kepala daerah (beshiking) seperti surat edaran, surat keputusan, dll, hal itu justeru memunculkan problem baru. Seharusnya Kemendagri sebagai monitoring/evaluator dalam pembuatan kebijakan memastikan betul peranan daerah demi mewujudkan kepentingan umum nasional bangsa seperti yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025. Baik pemerintah pusat/daerah maupun DPR/DPRD sudah seharusnya mempertimbangkan hal-hal subtansial bangsa, seperti fokus masalah kemiskinan, pemberdayaan, ekonomi, sosial, hukum, dan banyak lagi.  

Betul apa yang dikatan Buya Syafi’i Maarif, persoalan mendasar Umat sebetulnya adalah bagaimana menghadapi keadaan yang carut marut karena ketimpangan ekonomi, pengangguran tinggi, pendidikan rendah (Syafii Anwar: 2005). Keadaan seperti inilah yang seharusnya dibaca cerdas oleh kita, khususnya para pemangku kebijakan, bukan memperkeruh suasana politik demi mendulang aras konstituen pemilih. Boleh jadi publik mulai susah mencermati persoalan bangsa karena para politisi asik dengan persoalan subordinasi formalistik namun minim subtansi. Ada benarnya apa yang dikatakan oleh Roger Simon dalam  Gramsci's Political Though, bahwa resistensi terjadi karena pengalaman sosial kelas subordinat tidak sesuai dengan ideologi dominan.’ Entah resisten itu diciptakan ataukah permainan politisi, yang jelas ia tetap dikonsumsi dan dinikmati demi pemilu nanti. Terlepas siapa yang memainkan, seharusnya Grace Natalie juga tidak bertendesi terhadap isu-isu oposisi biner yang syarat resisten tinggi di masyarakat, karena faktor pengalaman positivisasi atau legislasi hukum Islam syarat dengan pergolakan subordinasi.

*Salam pecinta kesederhanaan

Thursday 24 May 2018

Persoalan Korupsi dalam Rutan-Lapas di Indonesia



Masih  ingat  dengan  kasus  Syarifuddin  S.  Pane,  seorang  mantan  narapidana  (napi)  Rumah Tahanan  (Rutan)  Salemba,  memicu  kehebohan  lewat  video  kehidupan  mewah  di  Rutan  Salemba yang  dibuatnya  saat  menghuni  lembaga  itu  selama  empat  bulan  pada  tahun  2008.  Syarifuddin  merekam suasana penjara bagi napi berduit (memiliki uang) di Rutan tersebut. Penjara berisi mesin pendingin udara, kulkas, dan dispenser. Selain itu, ada juga bilik bercinta dan ruang karaoke.  Lebih  lanjut  menurut  Syarifuddin,  para  napi  dipungut  biaya  hingga  puluhan  juta  untuk  mendapatkan  fasilitas tersebut.[1]Tidak hanya kasus Syarifuddin, Ombudsman RI juga menemukan kasus pungutan liar  yang  dilakukan  oleh  petugas  Lapas/Rutan,  dimana  dalam  pemantauan  Rutan  Sialang  Bungkuk secara  umum  menyimpulkan  kaburnya  ratusan  tahanan  dan  narapidana  disebabkan  kelebihan penghuni serta dugaan adanya pungutan liar.[2] Bahkan dalam kasus lain juga ditemukan seperti untuk bisa  mendapatkan  air  bersih  satu  ember,  napi  diharuskan  membayar  Rp20.000,  adapun  untuk  air minum ukuran satu galon, mereka harus membayar Rp10.000.[3]

Tak  berbeda  jauh  dengan  hasil  pemantauan  Komnas  Perempuan, dimana Petugas rutan/lapas tidak jarang menjadikan warga binaan sebagai pekerja di dalam tahanan untuk  membantu  kerja-kerjanya.  Petugas  biasanya  menawarkan  ‘previlege’  bagi  penghuni  tahanan. Previlege  ini  biasanya  diberikan  oleh  petugas  kepada  para  penghuni  tahanan  yang  menjadi  pekerja, dengan  memberikan  kemudahan  terhadap  akses  tertentu  di  dalam  tahanan.  Kemudahan  yang didapatkan adalah dapat keluar-masuk dengan mudah di luar blok tahanan. Hal ini dapat membantu penghuni tahanan menghabiskan waktunya sehari-hari. Namun terdapat juga praktek dimana petugas justru mengeksploitasi warga binaan sebagai pekerjanya. Salah satu bentuknya adalah cara melakukan kerja-kerja petugas.[4]

Dari  persoalan  di  atas  memperlihatkan  adanya  gap  antara  akses  mendapatkan  hak  dengan mekanisme pembinaan warga binaan pemasyarakatan baik di rutan maupun lapas. Untuk kasus yang pertama, persoalan disparitas akses keadilan dengan mengandalkan banyaknya uang  dan yang kedua sulitnya  mengakses  hak-hak  dasar  napi  hal  itu  memungkinkan  adanya  pungli  yang  dilakukan  oleh oknum  petugas  lapas  kepada  pihak  keluarga  napi/tahan.  Selain  itu  juga  hal  tersebut  berlarutnya persoalan  lapas  yang  sudah  overcrowding  dan  juga  sistem  pemasyarakatan  sumber  daya  manusia baik dari segi kuantitas maupun kapabilitas.[5]

Di  samping  itu,  persoalan  rutan/lapas  seperti  diberitakan  dalam  media  massa  seperti kaburnya  narapidana  atau  tahanan  dari  sebuah  Lembaga  Pemasyarakatan  (Lapas),  kerusuhan  dari dalam  Lapas,  peredaran  narkotika  yang  dikendalikan  dari  dalam  Lapas,  pembakaran  Lapas  oleh narapidana,  dan  berbagai  permasalahan  dari  dalam  tempat  pemasyarakatan.  Kondisi  ini  bukan saja merupakan  informasi  yang  luar  biasa  lagi,  setelah  sekian  tahun  permasalahan-permasalahan  yang terjadi  di  rutan/lapas  belum  juga  terselesaikan  dengan  baik  dan  komperhensif  hingga  saat  ini,[6] dan hal itu terkesan berlarut-larut.

Selain itu, ada beberapa persoalan yang ditenggarai akibat orientasi penerapan hukum pidana yang berkiblat pada  ‘penjara’ yang menghasilkan situasi  overcrowded  hingga menempatkan  Indonesia  pada  titik  ekstrim  dengan  kelebihan  penghuni  sebesar  188%.  Situasi  ini membuat munculnya berbagai masalah seperti persoalan di atas. Situasi ini terjadi bukan semata mata hanya karena adanya kesalahan dan kekeliruan dalam penanganan oleh petugas Lapas atau minimnya sarana  prasarana,  namun  terjadi  secara  kompleks  antara  sistem  dengan  pelaksanaan  di  lapangan dengan seluruh keterbatasannya.[7]

Sebetulnya persoalan lapas/rutan beberapa kali disebutkan oleh Dirjen Pemasyarakatan yang menginformasikan  bahwa  peluang  terjadinya  suap  atau  pungutan  liar  saat  narapidana  atau tahanan mengurus  hak  remisi,  cuti  jelang  bebas,  pembebasan  bersyarat.[8]  Ketatnya  syarat  pemberian  remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas, panjangnya prosedur yang ditempuh,  pemanfaatna  situasi  oleh  oknum  petugas  lapas,  serta  beberapa  tindak  pidana  yang mensyaratkan  hal-hal  khusus  seperti  tindak  pidana  korupsi,  narkotikam  terorisme,  hal  itu  menjadi ruang negoisasi antara oknum petugas dengan pihak berkepentingan untuk memanfaatkan itu. 

Jika  melihat  latarbelakang  sejarah  sistem  pemidanaan  di  Indonesia  telah  mengalami perubahan  transformasi  konseptual,  seperti  yang  dikutip  dalam  penelitiannya  ICJR,[9] dari  konsepsi retribusi  ke  arah  konsepsi  rehabilitasi.  Hal  ini  dapat  dilihat  dari  munculnya  gagasan  perubahan mengenai  lembaga  penjara  (dalam  sejarah  disebut  sebagai  rumah  penjara)  menjadi  Lembaga Pemasyarakatan  (Lapas)  sejak  tahun  1963.[10]  Pidana  penjara  dengan  sistem  pemasyarakatan  lebih berorientasi pada ide perlindungan/pembinaan dan perbaikan narapidana untuk dikembalikan lagi ke masyarakat,  yang  didasarkan  pada  nalar  pembinaan  (treatment,  rehabilitation,  correction).[11]  Lapas diharapkan bukan saja sebagai tempat untuk semata-mata memidana orang, melainkan juga sebagai tempat  untuk  membina  atau  mendidik  narapidana,  agar  mereka  setelah  selesai  menjalankan pidananya mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar Lapas sebagai warga negara yang baik dan taat pada hukum yang berlaku.[12]

Peningkatan  jumlah  penghuni  LP  dan  Rutan  yang  mengakibatkan  overcrowded  tersebut  tidak dibarengi  dengan  peningkatan  jumlah  fasilitas  serta  sarana  dan  prasarana  yang  memadai.  Kondisi tersebut jauh dari harapan untuk dapat memenuhi tuntutan dari standard minimum rules (SMR). Salah satu  persyaratan  SMR  yaitu  satu  sel  bagi  setiap  narapidana  atau  setidak-tidaknya  tempat  yang memberikan  ruang  gerak  yang  memadai  bagi  mereka  ketika  mereka  tidur.  Bersamaan  dengan  kondisi  overcrowded  tersebut,  sejumlah  LP  dan  rutan  mengalami  persoalan  pembinaan  terhadap narapidana. Semakin besar jumlah narapidana, semakin besar potensi konflik sehingga petugas akan lebih terkonsentrasi kepada pendekatan keamanan dengan konsekuensi pendekatan pembinaan atau rehabilitasi terhadap narapidana kurang memperoleh perhatian.[13] Lebih dari itu, hal yang utama dan pertama yang sangat mempengaruhi tingginya angka overcrowding di Indonesia adalah kehendak negara yang serta merta masih berorientasi pemenjaraan dalam setiap proses politik pembuatan hukum yang memuat ketentuan pidana.

Konsep  pemasyarakatan  dianggap  sebagai  pengganti  dari  sistem  kepenjaraan  kolonial  yang diberlakukan  sebelumnya.  Melihat  hal  itu  timbul  pertanyaan  apa  sebenarnya  perbedaan  diantara keduanya,  penting  dipertanyakan  karena  dalam  beberapa  literatur  mengambarkan  dan  menjelaskan sistem  perlakuan  terhadap  narapidana  dalam  sistem  pemasyarakatan  dinilai  lebih  manusiawi,  tidak bersifat  punitif,  bersikap  bukan  pembalasan  dan  perlakuan  didalam  penjara  yang  disebut  sebagai Lembaga  Pemasyarakatan  (Lapas),  adalah  pembinaan  yang  bertujuan  memberikan  bekal  bagi narapidana  sebelum  kembali  ke  masyarakat.  Lapas  yang  menjadi  salah  satu  bagian  dari  sistem pemasyarakatan  hakikatnya  diselenggarakan  dalam  rangka  membentuk  Warga  Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan  dalam  pembangunan,  dan  dapat  hidup  secara  wajar  sebagai  warga  yang  baik  dan bertanggung jawab.

Penting  perlunya  pembenahan  dari  segi  substansi  maupun  politik  hukum  pemidanaan sekaligus  sistem  budaya  melihat  tantangan  sebagaimana  digambarkan  di  atas  untuk  memastikan political  will  pemerintah  dan  DPR  dalam  membenahi  situasi  lembaga  pemasyarakatan  secara komprehensif.  Dari  rencana  paket  reformasi  hukum  di  rutan/lapas,  bisa  disimak  bahwa  overcrowded dan  overstaying  lembaga  pemasyarakatan/  rumah  tahanan,  tata  kelola  barang  sitaan,  akan  menjadi pintu masuk perbaikan holistik kondisi lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Hingga pada akhirnya Kualitas  Layanan  Pemasyarakatan,  pada  aspek  pendaftaran  dan  penem-patan,  akomodasi,  sanitasi, kebersihan personal, pakaian, tempat tidur, makanan, air, olahraga, kesehatan, kekerasan, hubungan dengan dunia luar, fasilitas peribadatan, info perkara, keluhan dan pengaduan, bahan bacaan, latihan kerja  dan  kerja,  pendidikan,  pemisahan,  reintegrasi  sosial,  kebutuhan  khusus  wanita,  kebutuhan khusus anak, dan pungutan liar relatif baik. 

Selain  itu  juga  penting  dilakukan  secara  berkala  baik  dalam  jangka  pendek  maupun  jangka panjang  terkait  pembenahan  dan  penataan  sumber  daya  manusia  pada  Direktorat  Pemasyarakatan Kemekumham  dengan  mempertimbangkan  ketahanan  operasional  di  lembaga  pemasyarakatan  dan balai  pemasyarakatan.  Kunci  keberhasilan  pembinaan  adalah  pada  sumber  daya  manusia  lembaga pemasyarakatan termasuk membekali mereka dengan keahlian dan kepedulian khusus. Sementara itu, keterbatasan  anggaran  dalam  lapas  juga  menjadi  penyebab  berbagai  tantangan  pembinaan/ pemasyarakatan  tidak  berjalan  optimal.  Gagasan  pelibatan  sektor  swasta  penting  dipertimbangkan juga  seperti  dalam  membantu  keuangan  lembaga  pemasyarakatan  (baca:  negara)  bisa  menjadi alternatif lain[14] dalam menyelesaikan aspek pengeluaran anggaran negara yang cukup besar di wilayah pembinaan di lapas.


[1] Lidya  Suryani  Widayati,  Kemewahan  Lembaga  Pemasyarakatan  dan  Rutan,  Vol.  III,  No. 22/II/P3DI/November/2011, hal. 1
[2] Tempo,  Pungutan  Liar  Cengkeram  LP,  lebih  lengkap:  http://mediaindonesia.com/read/detail/104732-pungutan-liar-cengkeram-lp. Diakses pada 10 September 2017
[3] Sindo,  Temuan  Ombudsman:  Napi  Ditarik  Rp20.000  untuk  Seember  Air  Bersih,  Lebih  lengkap:  https://nasional.sindonews.com/read/1284499/13/temuan-ombudsman-napi-ditarik-rp20000-untuk-seember-air-bersih-1519359141. Diakses pada 15 Mei 2018
[4] Komnas  Perempuan,  Pemetaan  Kekerasan  terhadap  Perempuan  dalam  Tahanan  dan  Serupa  Tahanan, (Jakarta:  Komnas  Perempuan, 2012), hal. 124
[5] Inggrit  Ifani,  dkk,  Fair  Trial  dalam  Sistem  Peradilan  Pidana  Terpadu  di  Indonesia:  Studi  pada  Institusi Kepolisian  dan  Lembaga Pemasyarakatan, (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2016), hal. 72
[6] Ruly,  Dkk,  Strategi  Menangani  Overcrowding  di  Indonesia:  Penyebab,  Dampak  Dan  Penyelesaiannya,  (Jakarta:  Institute  for Criminal Justice Reform (ICJR), 2018), hal. 1
[7] Ibid
[8] Kemenkumham,  Hilangkan  Pungli  dalam  Pemberian  Remisi,  Lebih  lengkap https://jakarta.kemenkumham.go.id/berita-hukum-dan-ham/434-hilangkan-pungli-dalam-pemberian-remisi. Diakses pada 14 maret 2018.
[9] Ruly,  Dkk,  Strategi  Menangani  Overcrowding  di  Indonesia:  Penyebab,  Dampak  Dan  Penyelesaiannya, (Jakarta:  Institute  for Criminal Justice Reform (ICJR), 2018), hal. 36
[10] Andi Hamzah, Sistem Pidana di Indonesia: Dari Retribusi ke Reformasi, dalam Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum, Ed. 1, Cet. 1, (Tt: Pradnya Paramita, 1986), hal. 161. 
[11] Mardjono  Reksodiputro,  Kriminologi  dan  Sistem  Peradilan  Pidana,  (Jakarta:  Pusat  Pelayanan  Keadilan  dan  Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1987), hal. 151
[12] P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 31
[13] Badan  Penelitian  dan  Pengembangan  HAM,  Departemen  Kehakiman  dan  HAM  RI,  Pelaksanaan    Standard  Minimum Rules (SMR) di Lembaga Pemasyarakatan, (Jakarta, Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2003), hal. 69
[14] Inggrit  Ifani,  dkk,  Fair  Trial  dalam  Sistem  Peradilan  Pidana  Terpadu  di  Indonesia:  Studi  pada  Institusi Kepolisian  dan  Lembaga Pemasyarakatan, (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2016), hal. 98