Translate

Thursday, 13 December 2018

Resistensi isu Politik dan Residu Diskriminasi dalam Pernyataan Grace Natalie


Sebelum menulis artikel ini, beberapa hari sebelumnya saya membaca sebuah berita online, dengan judul cukup sensitive bagi sebagian kalangan dengan judul, “Soal Perda Syariah, Grace Natalie Dilaporkan ke Bareskrim Polri”. Dalam beritanya, Grace Natalie mengatakan bahwa PSI akan mencegah lahirnya ketidakadilan, diskriminasi, dan seluruh tindakan intoleransi di negeri ini. PSI tidak akan pernah mendukung perda-perda Injil atau perda-perda syariah. Tidak boleh ada lagi penutupan rumah ibadah secara paksa," kata Grace saat berpidato dalam acara ulang tahun PSI yang keempat di ICE BSD, Tangerang Selatan, Ahad, 11 November 2018. (Tempo, Soal Perda Syariah Grace Natalie Dilaporkan Ke Bareskrim Polri). Pernyataan tersebut ternyata menuai polemik sekaligus menjadi bomerang bagi partai pendatang baru ini, alhasil beberapa partisan oposan—melaporkan ucapannya ke Bareskrim Polri. Dengan alasan yaitu pertama, Grace (Grace Natalie) menyatakan, perda itu menimbulkan ketidakadilan. Kedua, diksriminatif, ketiga, intoleransi.


Pernyataan Grace dikatakan penista agama bukanlah hal yang baru, sadar atau tidak Resistensi isu penista agama menguat keras sejak persoalan BTP atau Ahok mengemuka ke ruang publik, resistensi terhadap isu agama sangat kental dan kentara terhadap kebencian terhadap perbedaan pandangan politik hingga kini, dan bahkan tak tanggung-tanggung ada istilah yang digulirkan oleh politisi, ada partai setan dan partai tuhan. Gejala kemarahan isu populis seolah tak berhenti dalam kasus BTP saja, bahkan ketegangan politik terus berlanjut hingga saat ini, perdebatan politik seolah minim visi, ide, dan bahkan gagasan. Seolah hal apapun beradu dalam satu bak, penuh dengan analisa kebencian atau polarisasi isu obral keagamaan. Bahkan sekarang, tak tanggung-tanggung isu apapun akan ditarik kedalam satu perspektif utama yaitu komoditas populis, entah persoalan agama, ekonomi, hukum, poitik, budaya, dan atau apapun. Seakan kita tak pernah lelah susahnya founding fathers mendirikan negara ini, mereka berdebat untuk menghasillkan NKRI ini, akan amat lama energi kita terkuras habis hanya berdebat persoalan ideologi, sudah cukup founding father melewatinya dengan banyak pertumpahan di sana sini.

Kembali kepada Pernyataan Grace, sebetulnya bukanlah barang baru, sudah sejak lama digulirkan oleh beberapa politisi, ahli maupun pengamat. Karena sejatinya statemen yang dikeluarkan merupakan buah dari residu persoalan bangsa terkait maraknya diskisrminasi atas dasar apapun—yang memang tak kunjung mendapat keadilan hingga kini, tetapi hanya menjadi barang dagangan/gorengan politisi. Dihembuskan ke publik seolah terjadi perdebatan benturan penafsiran agama, padahal persoalan substansi diskrminasi yang tak kunjung henti digerogoti politisi. Perdebatan mengemuka bukan saja persoalan substansi dari statemen tetapi lebih sering ditarik kedalam isu resistensi pandangan politik, sampai kapanpun persoalan ini tak kunjung mendapat perhatian besar manakala para politisi sibuk akan urusan cara berganti baju, bukan cara membuat baju itu untuk apa dan siapa.
Sebetulnya gorengan politik isu toleransi dan perda diskriminatif pernah mencuat seksis pada tahun 2016, saat itu Kemendagri masih memiliki kewenangan melakukan pembatalan Perda lewat UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebanyak 3.142 perda dibatalkan oleh Pemerintah Pusat, yang mengemuka ke publik adalah kemendagri membatalkan perda bernuansa syariah, faktanya adalah Kemendagri hanya membatalkan perda yg berkaitan dngan eksistensi kewenangan zonasi ekonomi, tak satupun yang dibatalkan yang berbau diskriminatif. Antara kebijakan diskriminatif dan perda syariah seolah menjadi barang dagangan politik, toh perda yang dibatalkan tetap saja bukan dilihat dari segi pandang diskriminatif tetapi yang berkaitan dengan investasi, retribusi, pelayanan dan masalah perizininan saja.


Residu Diskriminasi dan Statement yang Kontra-Produktif

Jadi Jika dibaca ulang bahwa pernyataannya mengandung 2 (dua) unsur, unsur utama yaitu persoalan komitmen politik terhadap ketidakadilan, diskriminasi, dan seluruh tindakan intoleransi di negeri ini. Unsur fakultatif statemen, yaitu PSI tidak akan pernah mendukung perda-perda Injil atau perda-perda syariah. Tidak boleh ada lagi penutupan rumah ibadah secara paksa. Jadi dicermati secara utuh, sebetulnya 2 (dua) unsur ini saling berkaitan dengan suatu pristiwa dan atau preseden mengenai persoalan bangsa sebelumnya, terutama berkaitan dengan diskrminasi terhadap salah satu golongan. Namun memang sangat disayangkan cuplikan statemen yang mengandung makna multitafsir dan ganda tersebut bukan menjadi diskursus ilmiah berbasis data tetapi lebih berujung pada persoalan yuridis-politis.

Harusnya yang mengemuka mengenai persoalan komitmen partai politik terhadap ketidakadilan, diskriminasi, dan tindakan intoleransi di negeri ini, contohnya adalah komitmen partai melihat persoalan maraknya kebijakan diskriminasi di tiap daerah, seperti yang dikutip oleh Komnas Perempuan menemukan 421 kebijakan diskriminatif. Salah satunya contohnya Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Sekilas judul tersebut tidak mengandung diskrminasi apapun, tetapi, jika kita telusuri pasal perpasal kita akan menemukan pasal yang diskrminatif, seperti dalam Pasal 4 ayati (1):

“ Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, disudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di Daerah.” Pasal ini secara hukum menghilangkan syarat utama dalam penghukuman/pemidanaan, seperti tidak meletakan asas praduka tidak bersalah (presumption of innocent) dan perlakuan yang sama di mata hukum (equality before the law). Bagaimana mungkin perda bisa memuat hal menduga-duga, ini jelas mendiskriminasi dalam hal relasi gender, dimana dalam pandangan patriarki perempuan layak dicurigai sebagai pelacur jika ia berperilaku seperti yang dicurigai. Kata yang amat multi tafsir jelas mengandung menyalahkah korban “blaming victim”.

Contoh kebijakan diskriminatif lain juga kita bisa lihat dari Perbup Purwakarta No. 69 Tahun 2015 tentang Pendidikan Berkarakter, perda ini sebetulnya bertujuan untuk mengangkat harkar nilai-nilai kerarifan local di purwakarta, tetapi regulasi yang dituangkan malah justeru mendiskrimanasi nilai-nilai kearifan lokal, seperti di temukan dalam pasal 26, disebutkan bahwa: Persyaratan tambahan kenaikan kelas bagi Peserta Didik yang berdomisili di wilayah perdesaan ditentukan sebagai berikut:
a.     bagi Peserta Didik laki-laki, diwajibkan : 1. memiliki pohon tanaman keras produktif paling sedikit 10 (sepuluh) pohon; 2. memiliki hewan ternak domba/kambing/ayam/ikan; dan 3. memiliki keterampilan bercocok tanam.
b.    bagi Peserta Didik perempuan, diwajibkan : 1. memiliki keterampilan memasak; 2. memiliki keterampilan menenun; 3. memiliki keterampilan menyulam/merenda; dan/atau 4. memiliki keterampilan bercocok tanam.

Regulasi ini masyaratkan bahwa antara perempuan dan laki-laki masih melekat prinsip “non neutral gender “ dan upaya maskulunisasi dan feminisisasi perlakuan bahwa perempuan memiliki karakter domistik atau pengepul (gatherer) dan laki-laki sebagai karakter pemburu  (hunter).

Balik lagi pada persoalan kebijakan diskriminatif seperti dalam persoalan toleransi. Dalam hal ini Pemerintah daerah maupun pusat—seolah menutup mata rapat-rapat untuk menyelesaikan persoalan yang memang cukup resisten dikalangan masyarakat, seperti dalam kasus GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi—secara hukum dalam kasus tersebut sudah mendapatkan keputusan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah) dari Mahkamah Agung  sejak 2011, namun faktanya meski sudah sudah berkekuatan hukum tetap namun hingga kini kasus tersebut belum dilaksanakan oleh pemerintah setempat, pemerintah malah memilih jalur lain untuk menyelesaikan kasus tersebut. Disinilah letak komitmen para politisi harsunya diuji, sejauhmana memastikan persoalan diskriminasi yang mengemuka (ius constitutum) dan ataupun kebijakan yang akan ada (ius constituendum) menjadi fokus bersama dalam sebuah visi dan misi parpol.


Tidak Mudah Menjelaskan ke Publik

Sejak pergulatan idelogi terhadap gerakan formalisasi ajaran agama menguak di 1670an, seoalah berdampak panjang bagi sejarah Bangsa Indonesia. Kala itu, pemerintah Belanda melaui VOC (Verenigde Oost Indiche Compagnie) mengeluarkan legislasi pertama tentang perkawinan dan kewarisan dalam Islam di terapkan di Pengadilan VOC di Indonesia kala itu. Pasca pembubaran VOC—terkait penerapan syariat Islam adalah merupakan dektrit kerajaan 1882 tentang pembentukan pengadilan agama di Jawa dan Madura (stattsblad 1882 No. 152), meskipun dektrit tersebut mengakui bahwa sebagian besar pribumi Indonesia tunduk kepada hukum adat yang dijalankan oleh pengadilan pribumi. Secara keseluruhan, kebijakan-kebijakan Belanda selama berkuasa telah menempatkan hukum Islam ketempat yang inferior (Taufik Adnan Amal dan Syamsu: 2004).

Terlebih ketika Cornelis Van Vallenhoven dan Cristian Snouck Hurgronje melalui teori receptie telah menempatkan posisi hukum islam terletak inferior di bawah hukum adat. Meskipun ditentang habis oleh Hazairin dengan receptie exit, dengan tujuan untuk mengembalikan kedudukan hukum islam sebagai mitra hukum adat. Sejak saat itu, gelombang angin segar menempatkan bahwa hukum islam (fiqh) bisa membentuk mazhab hukum nasional. Namun meski diera orde baru beberapa produk UU Peradilan Agama, Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dll sudah banyak dikeluarkan, pasca reformasi dengan keran otonomi daerah terbuka untuk membuat sebuah regulasi. Setiap daerah berbondong-bondong mengeluarkan kebijakan yang bernuansa formal-legalistik. Hingga pada akhirnya gelombang kebijakan bernuansa pembedaan berdasarkan latar belakang, agama, gender atau status sosial bermunculan hingga kini.

Kebijakan diskriminatif sebetulnya tidak serta merta menggunakan istilah ‘perda bernuansa syariah’, banyak juga yang berkaitan dengan pola kebijakan umum, pendidikan, ketertiban umum, ketertiban sosial, dan lainnya-- memuat persoalan moralitas yang diskriminatif seperti yang saya contohkan di atas.

Persoalan kebijakan diskriminatif yang bernuansa agamis memang bukanlah perkara mudah untuk dijelaskan ke publik. Sebagian masyarakat merasa regulasi yang dibuat legislator tak serta merta menjadi agamis manakalah reformulasi pembuatan regulasi tidak dilakukan secara formalistik-agamis, dengan kata lain harus tertuang secara legal-formal, bukan berdasar subtansi prinsip tujuan besar agama itu sendiri. Dampaknya adalah hal tersebut akan mendikotomi mana regulasi yang berbasis agama mana yang bukan (profan).

Yang menjadi fatal ketika UU Pendidikan, Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Adminduk, Pajak, Pidana, Perdata dan peraturan jenis lainya—tidak dipercai oleh sebagian publik karena alasan itu bukan produk langsung dari ajaran formal agama. Dampaknya adalah masyarakat akan skiptis terhadap peraturan tersebut, atau dengan kata lain sangat memungkinkan tidak akan mematuhi peraturan tersebut. Padahal sejatinya adalah regulasi bisa ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan bersama (baca: ijtihad jama’i).

Sebetulnya jika melihat secara yuridis, kebijakan pelarangan kebijakan diskriminatif sudah diatur di dalam UU No. 12 tahun 2011 menjelaskan asas peraturan perundang-undangan harus memuat prinsip perlakuan yang sama di mata hukum (equality before the law). Asas ini dimaknai sebagai asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial. Ditambah lagi dengan tugas Kemendagri selaku monitoring dalam pembuatan perda di tiap daerah sesuai UU. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Tetapi hal itu apakah berlaku dengan kebijakan yang notebene-nya juga bukan peraturan alias penetapan kepala daerah (beshiking) seperti surat edaran, surat keputusan, dll, hal itu justeru memunculkan problem baru. Seharusnya Kemendagri sebagai monitoring/evaluator dalam pembuatan kebijakan memastikan betul peranan daerah demi mewujudkan kepentingan umum nasional bangsa seperti yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025. Baik pemerintah pusat/daerah maupun DPR/DPRD sudah seharusnya mempertimbangkan hal-hal subtansial bangsa, seperti fokus masalah kemiskinan, pemberdayaan, ekonomi, sosial, hukum, dan banyak lagi.  

Betul apa yang dikatan Buya Syafi’i Maarif, persoalan mendasar Umat sebetulnya adalah bagaimana menghadapi keadaan yang carut marut karena ketimpangan ekonomi, pengangguran tinggi, pendidikan rendah (Syafii Anwar: 2005). Keadaan seperti inilah yang seharusnya dibaca cerdas oleh kita, khususnya para pemangku kebijakan, bukan memperkeruh suasana politik demi mendulang aras konstituen pemilih. Boleh jadi publik mulai susah mencermati persoalan bangsa karena para politisi asik dengan persoalan subordinasi formalistik namun minim subtansi. Ada benarnya apa yang dikatakan oleh Roger Simon dalam  Gramsci's Political Though, bahwa resistensi terjadi karena pengalaman sosial kelas subordinat tidak sesuai dengan ideologi dominan.’ Entah resisten itu diciptakan ataukah permainan politisi, yang jelas ia tetap dikonsumsi dan dinikmati demi pemilu nanti. Terlepas siapa yang memainkan, seharusnya Grace Natalie juga tidak bertendesi terhadap isu-isu oposisi biner yang syarat resisten tinggi di masyarakat, karena faktor pengalaman positivisasi atau legislasi hukum Islam syarat dengan pergolakan subordinasi.

*Salam pecinta kesederhanaan

0 comments:

Post a Comment