Translate

Monday, 10 June 2013

Dimensi Kekerasan dan Filsafat Anti Kekerasan



Dimensi Kekerasan Dan Filsafat Antikekerasan
Oleh M. Daerobi[1]

A.  Dimensi Kekerasan
Jumlah kasus kekerasan di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Dan  bentuknya bervariasi. Berdasarkan data yang dimiliki Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2012, kasus radikalisme meningkat hampir 80 persen dari tahun sebelumnya. Hal itu disebabkan oleh masalah ekonomi dan pemahaman demokrasi yang terlampau bebas. [2]Kemendagri mencatat peningkatan adanya paham radikalisme tertinggi pada tahun 2012. Pada tahun 2012, telah terjadi 128 konflik di Indonesia akibat paham radikalisme. Pada tahun 2010, tercatat 93 konflik dan 2011 sebanyak 77 konflik.[3] Peningkatan angka aksi radikalisme yang terjadi pada tahun 2012 hampir 80 persen. Tentunya keadaan ini cukup mengkhawatirkan jika tidak segera ditangani. Benturan-benturan kecil bisa menjadi besar. Begitu pula variasi kekerasan terhadap perempuan, KOMNAS Perempuan mencatat ada sekitar 93.960 dari hasil laporan sekitar 400.939. Artinya setiap hari 20 perempuan menjadi korban tindak kekerasan.[4] Berbeda lagi dengan kekerasan Negara terhadap rakyat sipil, beberapa kasus meningkat pula.
Kekerasan tidak hanya datang dari penguasa. Kini, kekerasan juga datang dari alamat yang berbeda-beda. Kekerasan bisa datang dari alamat suku atau etnis, agama atau kelompok tertentu dalam sebuah agama, pendukung partai politik, serta pendukung seorang calon kepala daerah. Setelah kekerasan di Papua dan Mesuji, di Bima, tiga orang tewas dan belasan lainnya luka parah. Berikutnya warga tak bersalah ditembak orang tak dikenal di Aceh Utara, serta sebuah pesantren Syiah dibakar massa di Sampang, Madura.
Budaya kekerasan tampaknya tidak pernah berhenti di tengah masyarakat kita akhir-akhir ini. Penyelesaian masalah dengan mengedepankan kekerasan ketimbang musyawarah sebagai ciri bangsa beradab semakin marak. Apakah ada perubahan karakter jati diri bangsa yang terkenal dengan keramahan dan kesantunannya ini? Layak untuk dipikirkan kemungkinan bergesernya karakter bangsa ini.
Menanggapi kasus kekerasan di atas, hipotesa Francis Houtart sangat relevan untuk dikaji dalam diskusi kali ini, menurutnya bahwa setiap masyarakat itu mengandung kekerasan. Kekerasan dapat berbentuk fisik maupun simbolik. Ia dapat diterima atau diderita. Ia tampak dalam bentuk konstruksi, reproduksi atau transformasi dalam hubungannya dengan hubungan sosial. Sehingga alasan yang sangat fundamental dari hal ini adalah harus dicari dalam hati manusia itu sendiri.[5] Karena itu faktor manusia menjadi sangat penting untuk menjelaskan mengapa kekerasan itu terjadi.
Manusia, menurut anggapan Thomas Hobbes, merupakan makhluk yang dikuasai oleh dorongan-dorongan irasional dan anarkistis yang saling mengiri dan membenci sehingga menjadi kasar, jahat, buas dan pendek pikir. Inilah sosok homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi yang lain dan akibatnya perang semua lawan semua (bellum omnium contra omnes).[6]
Pada dasarnya, kekerasan adalah fenomena yang telah ada sejak awal sejarah umat manusia. Ini bisa dirujuk pada kisah al-Qur’an tentang pembunuhan Habil oleh Qabil, keduanya putra Adam.[7] Bahkan sebelum manusia diciptakan di muka bumi ini, al-Qur’an telah memuat kisah dialog antara Tuhan dan malaikat yang secara tersirat mengindikasikan bahwa manusia akan selalu berbuat kerusakan di muka bumi (man yufsida fiha) dan melakukan tindak kekerasan kepada sesamanya (yasfik al-dima’a).[8] Oleh karena itu, kekerasan merupakan sesuatu yang hal bersatu padu (inherent) dalam diri manusia. Namun demikian, meskipun al-Qur’an melegitimasi adanya tindak kekerasan, al-Qur’an tetap menegaskan bahwa kekerasan merupakan kejahatan yang harus dicegah.
Secara harfiah, kekerasan itu diartikan sebagai sifat hal yang keras, kekuatan, dan paksaan.[9] Sedang kekerasan yang dimaksud di sini adalah yang diterjemahkan dari violence. Violence berkaitan erat dengan gabungan kata Latin “vis” (daya, kekuatan) dan “Latus” (yang berasal dari ferre, membawa) yang kemudian berarti membawa kekuatan.[10] Sedangkan secara terminologi kekerasan berarti perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.[11]
Robert Audi, seperti yang dikutip oleh I. Marshana Windhu, merumuskan violence sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang; atau serangan, penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik seseorang.[12] Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.[13]
Secara epistemologis, akar kekerasan bersumber dari dalam yang bersifat instingtif dan dari luar diri manusia yang bersifat stimulus (rangsangan) terhadap lahirnya tindak kekerasan. Dalam pengertian sempit, kekerasan mengandung makna sebagai serangan atas penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang, atau serangan, penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik seseorang.[14]
Lebih luas dari itu, konsep kekerasan meliputi semua bentuk tindakan yang dapat menghalangi seseorang untuk merealisasikan potensi dirinya (self realization) dan mengembangkan pribadinya (personal growth) yang merupakan hak dan nilai manusia yang paling asasi.
Mengenai akar instingtif, Konrad Lorenz dalam On Agreesion (1986) berpendapat energi khusus untuk tindakan naluriah (instingtif) manusia mengumpul secara kontinu (terus-menerus) di pusat-pusat syaraf yang ada kaitannya dengan pola tindakan yang dilakukan manusia, termasuk tindak kekerasan. Tindakan kekerasan merupakan ledakan yang terjadi ketika di dalam syaraf tadi sudah terkumpul cukup energi sekalipun tanpa ada rangsangan dari luar.
Dengan demikian, menurut Lorenz, tindak agresif dan kekerasan manusia pada dasarnya merupakan rangsangan dari dalam (internal) yang sudah terpasang dan mencari pelampiasan serta akan terekspresikan sekalipun dengan rangsangan luar yang sangat kecil, bahkan tidak ada. Model agresi dan kekerasan manusia yang bersifat naluriah (instingtif) ini dinamai model hidrolik yang dianalogikan dengan tekanan yang ditimbulkan oleh air atau uap di dalam tabung tertutup.
Terdapat beberapa titik yang menjadi tolak ukur akar-akar kekerasan di beberapa tempat, untuk itu sebelum menelaah lebih jauh, ada beberapa pemikir besar yang konsen dengan menelusuri akar-akar kekerasan dalam manusia. Pertama kekerasan sebagai tindakan actor atau kelompok. Kelompok ini dipelopori ahli biologi, fisiologi dan sebagainya yang berpendapat bahwa manusia secara kedirian dapat menimbulkan kekerasan karena kecenderungan bawaan (innet) atau sebagai konseksuensi dari kelainan genetik atau fisiologis (seperti teori mark twain). Mereka meneliti hubungan kekerasan dengan keadaan biologis sebagai factor (cause prime) penyebab kekerasan (violence). Kedua, kekerasan sebagai bentukan dari tindakan struktur (nation). Pendapat ini lebih  menekankan bahwa akar-akar kekerasan ada karena struktur (baca: Negara) yang  menyebabkan itu. Seperti teorinya J. Galtung ketika menjelaskan “kekerasan” sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Dan terakhir yang berendapat bahwa kekerasan sebagai jejaringan antara aktor dengan struktur berkelindan. Asumsi kelompok ini ialah konflik kekerasan bersifat endemik bagi kehidupan masyarakat (konflik sebagai sesuatu yang ditentukan)[15], ada sejumlah alat alternatif untuk menyatakan/menyampaikan konflik sosiial, untuk menyampaikan masalah kekerasan dengan efektif diperlukan perubahan dalam organisasi/kelompok dan individu. Pandangan geneologi kekerasan ini pula terdapat bentuk dialektika antara kekerasan aktor serta kekerasan struktural sebagai akumulasi bentuk pengejewantahannya.

B.  Merenungkan Filsafat Anti Kekerasan
Dalam lintasan sejarah gerakan Anti Kekerasan beragam bentuknya. Seperti yang penulis ketahui, yaitu gerakan Pasifisme, Nirkekerasan, Gerakan Tasawuf, Pasifisme, Tolstoyisme, Ahimsa, dan banyak lagi yang lainnya. Gerakan anti kekerasan yang dilakukan belakangan menjadi tidak bernilai manakala kekerasan menjadi pemecah masalah (problem solving). Dalam beberapa kasus besar—gerakan anti kekerasan di dunia menjadi terlihat kurang relevan ketika saat bersamaan legitimasi sistem hukum untuk mencapai keadilan masih bermuatan kekerasan (violence). Hinggap di beberapa benak sebagian pemikir bahwa gerakan anti kekerasan (non-violence movement) merupakan sesuatu yang tidak rasional? Anggapan itu menjadi sangat dilematis ketika satu sisi persoalan dunia sangatlah massif sedangkan di sisi lain perlu memanusiakan rasionalisme manusia dalam beberapa bentuk. Hinggap di benak kita sebuah pertanyaan apakah kekerasan menjadi pisau terkahir dalam mencapai keadilan manusia? Sebelum menjawab ini, marilah kita renungkan nilai-nilai filosofis anti kekerasan di bawah ini dengan beragam bentuknya.
Meminjam istilah M. Abu Nimer, bahwa anti kekerasan atau Nirkekerasan merupakan sekumpulan sikap, pandangan, dan aksi yang ditunjukan untuk mengajak orang di pihak lain agar mengubah pendapat, pandangan, dan aksi mereka. Nirkekerasan menggunakan cara-cara damai untuk mencapai hasil yang damai. Nirkekerasan berarti bahwa para aktor tidak membalas tindakan musuh mereka dengan kekerasan. Malah, mereka menyerap kemarahan dan kerusakan sambil menyampaikan pesan ketabahan yang tegas dan desakan untuk mengatasi ketidakadilan.
Lebih lanjut menurutnya (Abu Nimer), Ciri  utama  aksi nirkekerasan yaitu Pertama,  secara lahir tidak agresif, tapi secara dinamis adalah batin yang agresif, Kedua, “ ia tidak berusaha untuk tidak menistakan musuh” tapi mengajak musuh untuk berubah lewat pemahaman dan kesadaran baru tentang aib moral untuk kemudian membangun kembali “ komunitas-komunitas terkasih “ lainnya. Ketiga, “ ia ditunjukan kepada kekuatan kejahatan, bukan kepada orang-orang yang terperangkap dalam kekuatan tersebut. Keempat, nirkekerasan berupaya untuk menghindari bukan hanya  “ kekerasan lahiriah, tapi juga kekerasan batiniah. Kelima, nirkekerasan “  didasarkan atas pendirian bahwa alam semesta berpihak pada keadilan. “[16]
Jika dilihat dari sejarahnya, nirkekerasan dapat dilihat dari gerakan pasifisme klasik. Yang mana prinsip umum dari pasifisme yaitu memegang teguh dimensi moralitas.[17] Pasifisme bisa juga diartikan sebagai perlawanan terhadap perang atau kekerasan sebagai sarana untuk menyelesaikan pertikaian. Pasifisme mencakup pandangan yang berspektrum luas yang merentang dari keyakinan bahwa pertikaian internasional dapat dan harus diselesaikan secara damai, hingga perlawanan mutlak terhadap penggunaan kekerasan, atau bahkan paksaan, dalam keadaan apapun. Pasifisme dapat didasarkan pada prinsip atau pragmatisme. Pasifisme berprinsip atau Deontologis didasarkan pada keyakinan bahwa baik perang, penggunaan senjata maut, kekerasan atau kekuatan atau paksaan secara moral adalah salah.[18]
Anjuran pasifisme dapat ditemukan jauh di dalam sejarah dan literatur. Misalnya kecintaan akan seluruh kehidupan, manusia maupun bukan manusia, adalah ajaran sentral dalam Jainisme yang didirikan oleh Mahavira 599-527 SM. Nyawa manusia dihargai sebagai suatu kesempatan yang unik dan jarang untuk mencapai pencerahan, dan membunuh seseorang - siapapun juga - apapun juga kejahatan yang mungkin telah dilakukannya, adalah suatu tindakan memuakkan dan tidak dapat dibayangkan. Di Yunani kuno, dua contoh dari Perang Peloponesos 431–404 SM adalah protes anti kekerasan dari Hegetorides yang berasal dari Thasos, dan mogok seks kaum perempuan Athena dalam komedi Aristophanes Lysistrata. Banyak orang yang menganggap pula Yesus sebagai seorang pasifis, berdasarkan Khotbah di Bukitnya. Di sini, Yesus mengajarkan:
 "Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu," dan sebaliknya "siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu.
Pada abad ke-19 sentimen anti perang berkembang. Banyak kelompok dan gerakan Many Sosialis pada abad itu yang anti militer, dengan alasan bahwa perang pada hakikatnya adalah sebuah bentuk paksaan pemerintah atas kelas pekerja, yang dipaksa untuk berperang dan mati dalam perang yang tidak memberikan keuntungan apapun kepada mereka atas perintah dari tuan-tuan politik dan ekonomi mereka yang tidak pernah menderita di garis depan peperangan. Pembunuhan atas pemimpin sosialis Perancis Jean Jaurès pada 31 Juli 1914 dan keputusan internasional.
Kedua untuk kemudian meninggalkan chauvinisme dan militerisme serta kegagalan untuk berhasil menentang Perang Dunia I dianggap sebagai salah satu kegagalan terbesar gerakan sosialis. Tolstoy adalah penganjur pasifisme yang gigih lainnya. Dalam salah satu karyanya yang belakangan, Kerajaan Allah ada di antara kamu, Tolstoy memberikan sejarah, uraian, dan pembelaan terhadap pasifisme.
Di Aotearoa/Selandia Baru pada paruhan kedua dari abad ke-19, Britania dan para pemukim kolonial, menggunakan banyak taktik untuk mendapatkan tandah dari orang-orang Māori, termasuk peperangan. Dalam salah satu kasus, seorang pemimpin Māori begitu meyakinkan sehingga ia mampu menganjurkan para pejuangnya untuk mempertahankan hak-hak mereka tanpa menggunakan senjata, dalam suasana di mana para pejuang yang sama telah mengalahkan lawan-lawan mereka pada tahun-tahun sebelumnya,Te Whiti-o-Rongomai meyakinkan 2000 orang untuk menyambut para pasukan yang bertekad untuk perang ke desa mereka dan bahkan menawarkan makanan dan minuman. Pemimpin yang penuh damai ini pula membiarkan dirinya dan rakyatnya ditahan tanpa perlawanan.
Di atas merupakan contoh kecil upaya perlawanan anti kekerasan (nirkekerasan) dalam lintasan sejarah. Namun begitu, ada yang perlu diperhatikan secara praksis dan taktis, yaitu perlawanan  nirkekerasan  hanya  berhasil  jika  ada  persiapan  yang  memadai  untuk itu. Kelompok yang bersangkutan harus  siap untuk terlibat dalam perlawanan tersebut, khususnya terlibat aktif  dalam mewujudkan kondisi-kondisi  yang diperlukan untuk perlawanan nirkekerasan besar-besaran yang efektif. Di akhir perang Dunia II, ada peningkatan perhatian terhadap metode-metode perlawanan nirkekerasan, yang membuat para sarjana mulai menyelidiki secara sistematis kondisi-kondisi yang diperlukan bagi perlawanan nirkekerasan yang efektif. Sebagai contoh, Sibley ( 1944) mengidentifikasi empat kondisi utama untuk keberhasilan nirkekerasan strategis: (1) tidak ada layanan atau pasokan untuk diberikan kepada penyerang;  (2) tidak ada perintah untuk dipatuhi kecuali yang berasal  dari otoritas sipil yang sah; (3) tidak ada penistaan atau pencenderaan untuk ditimpakan kepada penyerang;  dan  (4) semua pejabat publik berikrar untuk mati ketimbang menyerah.[19]



[1] Penulis Aktivis KOMPAK (Komite Mahasiswa & Pemuda Anti Kekerasan). Tulisan ini dipersentasikan pada ANSOS (Analisa Sosial) 8 Juni 2013 di Jakarta
[2] Direktur Kewaspadaan Nasional Kementerian Dalam Negeri RI
[3]. Diakes Pada Tanggal 06 Juni 2013, http://megapolitan.kompas.com/read/2013/03/15/2004574/Aksi.Kekerasan.di.Indonesia.Meningkat.
[4] Komnas Perempuan, Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta: IALDF, 2008), hal. 35 dan56
[5] Francis Houtart, “The Cult of Violence in the Name of Religion: A Panorama”, dalam Wim Beuken dan Karl Josef Kuschel (ed.), Religion as a Source of Violence, (London: SCM Press, 1997), hlm. 1. Lihat juga Abdul Qadir Shaleh, “Agama” Kekerasan, (Yogyakrta: Prismasophi, 2003), hlm. 57
[6] Franz Magnis Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 200-207
[7] Dikisahkan ketika keduanya mempersembahkan kurban, konon yang diterima hanya kurban Habil. Karena nafsu (dendam dan iri hati), lalu Qabil membunuh Habil (al-Maidah [5]: 27-31).
[8] al-Baqarah [2]: 30.
[9] WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), hlm. 498.
[10] Marshana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 62.
[11] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Depdikbut dan Balai Pustaka, 1988), hlm. 425.
[12] Marshana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 63
[13] Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler, Kekerasan, dalam Thomas Santoso (ed.), Teori-teori Kekerasan, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 11.
[14] Marshana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 63
[15] Tomas Santoso, Kekerasan Agama Tanpa Agama, (Jakarta: PT Pustaka Utan Kayu, 2002), hlm. 2
[16] M. Abu Nimer, Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam; Teori dan Praktik, terj. M. Irsyad R, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010), hlm. 12-13
[17] M. Abu Nimer, Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam; Teori dan Praktik, terj. M. Irsyad R, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010), hlm. 9
[18] Menurut pendapat sebagain ahli, nilai transenden dari Pasifisme dengan Nirkekerasan berbeda, lebih jelas lihat M. Abu Nimer, Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam; Teori dan Praktik, terj. M. Irsyad R, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010), hlm. 9

[19] M. Abu Nimer, Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam; Teori dan Praktik, terj. M. Irsyad R, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010), hlm. 13

0 comments:

Post a Comment