Dimensi Kekerasan Dan Filsafat Antikekerasan
Oleh M. Daerobi[1]
A. Dimensi Kekerasan
Jumlah kasus kekerasan di
Indonesia meningkat setiap tahunnya. Dan bentuknya bervariasi. Berdasarkan data yang dimiliki Kementerian
Dalam Negeri pada tahun 2012, kasus radikalisme meningkat hampir 80 persen dari
tahun sebelumnya. Hal itu disebabkan oleh masalah ekonomi dan pemahaman demokrasi yang terlampau bebas. [2]Kemendagri mencatat peningkatan adanya paham
radikalisme tertinggi pada tahun 2012. Pada tahun 2012, telah terjadi 128
konflik di Indonesia akibat paham radikalisme. Pada tahun 2010, tercatat 93
konflik dan 2011 sebanyak 77 konflik.[3] Peningkatan angka aksi radikalisme yang terjadi
pada tahun 2012 hampir 80 persen. Tentunya keadaan ini cukup mengkhawatirkan
jika tidak segera ditangani. Benturan-benturan kecil bisa menjadi besar. Begitu
pula variasi kekerasan terhadap perempuan, KOMNAS Perempuan
mencatat ada sekitar 93.960 dari hasil laporan sekitar 400.939. Artinya setiap
hari 20 perempuan menjadi korban tindak kekerasan.[4] Berbeda lagi dengan
kekerasan Negara terhadap rakyat sipil, beberapa kasus meningkat pula.
Kekerasan tidak hanya datang
dari penguasa. Kini, kekerasan juga datang dari alamat yang berbeda-beda.
Kekerasan bisa datang dari alamat suku atau etnis, agama atau kelompok tertentu
dalam sebuah agama, pendukung partai politik, serta pendukung seorang calon
kepala daerah. Setelah kekerasan di Papua dan Mesuji, di Bima, tiga orang tewas
dan belasan lainnya luka parah. Berikutnya warga tak bersalah ditembak orang
tak dikenal di Aceh Utara, serta sebuah pesantren Syiah dibakar massa di
Sampang, Madura.
Budaya kekerasan tampaknya tidak pernah
berhenti di tengah masyarakat kita akhir-akhir ini. Penyelesaian masalah dengan
mengedepankan kekerasan ketimbang musyawarah sebagai ciri bangsa beradab
semakin marak. Apakah ada perubahan karakter jati diri bangsa yang terkenal
dengan keramahan dan kesantunannya ini? Layak untuk dipikirkan kemungkinan
bergesernya karakter bangsa ini.
Menanggapi kasus kekerasan di
atas, hipotesa Francis Houtart sangat relevan untuk dikaji dalam diskusi kali
ini, menurutnya bahwa setiap masyarakat itu mengandung kekerasan. Kekerasan
dapat berbentuk fisik maupun simbolik. Ia dapat diterima atau diderita. Ia
tampak dalam bentuk konstruksi, reproduksi atau transformasi dalam hubungannya
dengan hubungan sosial. Sehingga alasan yang sangat fundamental dari hal ini
adalah harus dicari dalam hati manusia itu sendiri.[5]
Karena itu faktor manusia menjadi sangat penting untuk menjelaskan mengapa
kekerasan itu terjadi.
Manusia, menurut anggapan
Thomas Hobbes, merupakan makhluk yang dikuasai oleh dorongan-dorongan irasional
dan anarkistis yang saling mengiri dan membenci sehingga menjadi kasar, jahat,
buas dan pendek pikir. Inilah sosok homo homini lupus, manusia adalah
serigala bagi yang lain dan akibatnya perang semua lawan semua (bellum omnium
contra omnes).[6]
Pada dasarnya, kekerasan
adalah fenomena yang telah ada sejak awal sejarah umat manusia. Ini bisa
dirujuk pada kisah al-Qur’an tentang pembunuhan Habil oleh Qabil, keduanya
putra Adam.[7] Bahkan sebelum manusia diciptakan di muka bumi
ini, al-Qur’an telah memuat kisah dialog antara Tuhan dan malaikat yang secara
tersirat mengindikasikan bahwa manusia akan selalu berbuat kerusakan di muka
bumi (man yufsida fiha) dan melakukan tindak kekerasan kepada sesamanya (yasfik
al-dima’a).[8] Oleh
karena itu, kekerasan merupakan sesuatu yang hal bersatu padu (inherent) dalam diri manusia. Namun demikian, meskipun
al-Qur’an melegitimasi adanya tindak kekerasan, al-Qur’an tetap menegaskan
bahwa kekerasan merupakan kejahatan yang harus dicegah.
Secara harfiah, kekerasan itu
diartikan sebagai sifat hal yang keras, kekuatan, dan paksaan.[9]
Sedang kekerasan yang dimaksud di sini adalah yang diterjemahkan dari violence.
Violence berkaitan erat dengan gabungan kata Latin “vis” (daya, kekuatan) dan
“Latus” (yang berasal dari ferre, membawa) yang kemudian berarti membawa kekuatan.[10] Sedangkan secara terminologi kekerasan berarti
perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya
orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.[11]
Robert Audi, seperti yang
dikutip oleh I. Marshana Windhu, merumuskan violence sebagai serangan
atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang; atau serangan,
penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik
atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik seseorang.[12] Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan
perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang
bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive), yang disertai
penggunaan kekuatan kepada orang lain.[13]
Secara
epistemologis, akar kekerasan bersumber dari dalam yang bersifat instingtif dan
dari luar diri manusia yang bersifat stimulus (rangsangan) terhadap lahirnya
tindak kekerasan. Dalam pengertian sempit, kekerasan mengandung makna sebagai
serangan atas penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang, atau
serangan, penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas
atas milik seseorang.[14]
Lebih luas dari itu, konsep kekerasan meliputi
semua bentuk tindakan yang dapat menghalangi seseorang untuk merealisasikan
potensi dirinya (self realization) dan mengembangkan pribadinya (personal
growth) yang
merupakan hak dan nilai manusia yang paling asasi.
Mengenai akar instingtif, Konrad Lorenz
dalam On Agreesion (1986)
berpendapat energi khusus untuk tindakan naluriah (instingtif) manusia
mengumpul secara kontinu (terus-menerus) di pusat-pusat syaraf yang ada
kaitannya dengan pola tindakan yang dilakukan manusia, termasuk tindak
kekerasan. Tindakan kekerasan merupakan ledakan yang terjadi ketika di dalam
syaraf tadi sudah terkumpul cukup energi sekalipun tanpa ada rangsangan dari
luar.
Dengan demikian, menurut Lorenz, tindak agresif
dan kekerasan manusia pada dasarnya merupakan rangsangan dari dalam (internal)
yang sudah terpasang dan mencari pelampiasan serta akan terekspresikan
sekalipun dengan rangsangan luar yang sangat kecil, bahkan tidak ada. Model
agresi dan kekerasan manusia yang bersifat naluriah (instingtif) ini
dinamai model hidrolik yang dianalogikan dengan tekanan yang ditimbulkan oleh
air atau uap di dalam tabung tertutup.
Terdapat beberapa titik yang menjadi tolak ukur akar-akar
kekerasan di beberapa tempat, untuk itu sebelum menelaah lebih jauh, ada
beberapa pemikir besar yang konsen dengan menelusuri akar-akar kekerasan dalam
manusia. Pertama kekerasan
sebagai tindakan actor atau kelompok. Kelompok ini dipelopori ahli biologi,
fisiologi dan sebagainya yang berpendapat bahwa manusia secara kedirian dapat
menimbulkan kekerasan karena kecenderungan bawaan (innet) atau sebagai
konseksuensi dari kelainan genetik atau fisiologis (seperti teori mark twain).
Mereka meneliti hubungan kekerasan dengan keadaan biologis sebagai factor (cause prime) penyebab kekerasan (violence). Kedua, kekerasan
sebagai bentukan dari tindakan struktur (nation). Pendapat ini lebih menekankan
bahwa akar-akar kekerasan ada karena struktur (baca: Negara) yang menyebabkan itu. Seperti teorinya J. Galtung
ketika menjelaskan “kekerasan” sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang
terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Dan terakhir yang berendapat bahwa kekerasan
sebagai jejaringan antara aktor dengan struktur berkelindan. Asumsi kelompok
ini ialah konflik kekerasan bersifat endemik bagi kehidupan masyarakat (konflik
sebagai sesuatu yang ditentukan)[15],
ada sejumlah alat alternatif untuk menyatakan/menyampaikan konflik sosiial,
untuk menyampaikan masalah kekerasan dengan efektif diperlukan perubahan dalam
organisasi/kelompok dan individu. Pandangan geneologi kekerasan ini pula
terdapat bentuk dialektika antara kekerasan aktor serta kekerasan struktural
sebagai akumulasi bentuk pengejewantahannya.
B. Merenungkan Filsafat Anti Kekerasan
Dalam lintasan sejarah gerakan Anti Kekerasan
beragam bentuknya. Seperti yang penulis ketahui, yaitu gerakan Pasifisme, Nirkekerasan, Gerakan Tasawuf, Pasifisme, Tolstoyisme,
Ahimsa, dan banyak lagi yang lainnya. Gerakan anti kekerasan yang dilakukan
belakangan menjadi tidak bernilai manakala kekerasan menjadi pemecah masalah
(problem solving). Dalam beberapa kasus besar—gerakan anti kekerasan di dunia
menjadi terlihat kurang relevan ketika saat bersamaan legitimasi sistem hukum
untuk mencapai keadilan masih bermuatan kekerasan (violence). Hinggap di
beberapa benak sebagian pemikir bahwa gerakan anti kekerasan (non-violence
movement) merupakan sesuatu yang tidak rasional? Anggapan itu menjadi sangat dilematis
ketika satu sisi persoalan dunia sangatlah massif sedangkan di sisi lain perlu
memanusiakan rasionalisme manusia dalam beberapa bentuk. Hinggap di benak kita
sebuah pertanyaan apakah kekerasan menjadi pisau terkahir dalam mencapai
keadilan manusia? Sebelum menjawab ini, marilah kita renungkan nilai-nilai
filosofis anti kekerasan di bawah ini dengan beragam bentuknya.
Meminjam istilah M. Abu
Nimer, bahwa anti kekerasan atau Nirkekerasan
merupakan sekumpulan sikap, pandangan, dan aksi
yang ditunjukan untuk mengajak orang di pihak lain agar mengubah pendapat,
pandangan, dan aksi mereka. Nirkekerasan menggunakan cara-cara damai untuk
mencapai hasil yang damai. Nirkekerasan berarti bahwa para aktor tidak membalas
tindakan musuh mereka dengan kekerasan. Malah, mereka menyerap kemarahan dan
kerusakan sambil menyampaikan pesan ketabahan yang tegas dan desakan untuk
mengatasi ketidakadilan.
Lebih lanjut menurutnya (Abu Nimer), Ciri
utama aksi nirkekerasan yaitu Pertama,
secara lahir tidak agresif, tapi secara dinamis adalah batin yang
agresif, Kedua, “ ia tidak berusaha untuk tidak
menistakan musuh” tapi mengajak musuh untuk berubah lewat pemahaman dan
kesadaran baru tentang aib moral untuk kemudian membangun kembali “
komunitas-komunitas terkasih “ lainnya. Ketiga, “ ia ditunjukan kepada
kekuatan kejahatan, bukan kepada orang-orang yang terperangkap dalam kekuatan
tersebut. Keempat, nirkekerasan berupaya untuk menghindari bukan
hanya “ kekerasan lahiriah, tapi juga kekerasan
batiniah. Kelima, nirkekerasan “
didasarkan atas pendirian bahwa alam semesta berpihak pada keadilan. “[16]
Jika dilihat dari
sejarahnya, nirkekerasan dapat dilihat dari gerakan pasifisme klasik. Yang mana
prinsip umum dari pasifisme yaitu memegang teguh dimensi moralitas.[17]
Pasifisme bisa juga diartikan sebagai perlawanan
terhadap perang atau kekerasan sebagai sarana untuk menyelesaikan
pertikaian. Pasifisme mencakup pandangan yang berspektrum luas yang merentang
dari keyakinan bahwa pertikaian internasional dapat dan harus diselesaikan
secara damai, hingga perlawanan mutlak terhadap penggunaan kekerasan, atau
bahkan paksaan, dalam keadaan apapun. Pasifisme dapat didasarkan pada prinsip
atau pragmatisme.
Pasifisme berprinsip atau Deontologis didasarkan pada keyakinan bahwa baik
perang, penggunaan senjata maut, kekerasan atau kekuatan atau paksaan secara moral adalah salah.[18]
Anjuran pasifisme dapat ditemukan jauh di dalam
sejarah dan literatur. Misalnya kecintaan akan seluruh kehidupan, manusia
maupun bukan manusia, adalah ajaran sentral dalam Jainisme yang didirikan oleh
Mahavira 599-527 SM.
Nyawa manusia dihargai sebagai suatu kesempatan yang unik dan jarang untuk
mencapai pencerahan, dan membunuh seseorang - siapapun juga - apapun juga
kejahatan yang mungkin telah dilakukannya, adalah suatu tindakan memuakkan dan
tidak dapat dibayangkan. Di Yunani kuno, dua contoh dari Perang
Peloponesos 431–404 SM adalah protes anti kekerasan
dari Hegetorides yang
berasal dari Thasos, dan mogok
seks kaum perempuan Athena dalam
komedi Aristophanes Lysistrata. Banyak
orang yang menganggap pula Yesus sebagai
seorang pasifis, berdasarkan Khotbah di Bukitnya. Di
sini, Yesus mengajarkan:
"Janganlah kamu melawan orang yang
berbuat jahat kepadamu," dan sebaliknya "siapapun yang menampar pipi
kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak
mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu.
Pada abad ke-19 sentimen anti perang
berkembang. Banyak kelompok dan gerakan Many Sosialis pada
abad itu yang anti militer, dengan
alasan bahwa perang pada hakikatnya adalah sebuah bentuk paksaan pemerintah
atas kelas
pekerja, yang dipaksa untuk berperang dan mati dalam
perang yang tidak memberikan keuntungan apapun kepada mereka atas perintah dari
tuan-tuan politik dan ekonomi mereka yang tidak pernah menderita di garis depan
peperangan. Pembunuhan atas pemimpin sosialis Perancis Jean Jaurès pada 31 Juli 1914 dan
keputusan internasional.
Kedua untuk kemudian meninggalkan chauvinisme dan militerisme serta kegagalan untuk berhasil
menentang Perang Dunia I dianggap
sebagai salah satu kegagalan terbesar gerakan sosialis. Tolstoy adalah penganjur pasifisme yang gigih
lainnya. Dalam salah satu karyanya yang belakangan, Kerajaan Allah ada di antara kamu,
Tolstoy memberikan sejarah, uraian, dan pembelaan terhadap pasifisme.
Di Aotearoa/Selandia Baru pada
paruhan kedua dari abad ke-19, Britania dan para pemukim kolonial, menggunakan
banyak taktik untuk mendapatkan tandah dari orang-orang Māori, termasuk peperangan. Dalam salah satu kasus,
seorang pemimpin Māori begitu meyakinkan sehingga ia mampu menganjurkan para
pejuangnya untuk mempertahankan hak-hak mereka tanpa menggunakan senjata, dalam
suasana di mana para pejuang yang sama telah mengalahkan lawan-lawan mereka
pada tahun-tahun sebelumnya,Te Whiti-o-Rongomai meyakinkan 2000 orang untuk
menyambut para pasukan yang bertekad untuk perang ke desa mereka dan bahkan
menawarkan makanan dan minuman. Pemimpin yang penuh
damai ini pula membiarkan dirinya dan rakyatnya ditahan tanpa perlawanan.
Di atas merupakan
contoh kecil upaya perlawanan anti kekerasan (nirkekerasan) dalam lintasan
sejarah. Namun begitu, ada yang perlu diperhatikan secara praksis dan taktis,
yaitu perlawanan nirkekerasan
hanya berhasil jika
ada persiapan yang
memadai untuk itu. Kelompok yang bersangkutan harus siap untuk terlibat dalam perlawanan
tersebut, khususnya terlibat aktif dalam
mewujudkan kondisi-kondisi yang
diperlukan untuk perlawanan nirkekerasan besar-besaran yang efektif. Di akhir
perang Dunia II, ada peningkatan perhatian terhadap metode-metode perlawanan
nirkekerasan, yang membuat para sarjana mulai menyelidiki secara sistematis
kondisi-kondisi yang diperlukan bagi perlawanan nirkekerasan yang efektif.
Sebagai contoh, Sibley ( 1944) mengidentifikasi empat kondisi utama untuk
keberhasilan nirkekerasan strategis: (1) tidak ada layanan atau pasokan untuk
diberikan kepada penyerang; (2) tidak
ada perintah untuk dipatuhi kecuali yang berasal dari otoritas sipil yang sah; (3) tidak ada
penistaan atau pencenderaan untuk ditimpakan kepada penyerang; dan
(4) semua pejabat publik berikrar untuk mati ketimbang menyerah.[19]
[1] Penulis
Aktivis KOMPAK (Komite Mahasiswa & Pemuda Anti Kekerasan). Tulisan ini
dipersentasikan pada ANSOS (Analisa Sosial) 8 Juni 2013 di Jakarta
[3]. Diakes
Pada Tanggal 06 Juni 2013, http://megapolitan.kompas.com/read/2013/03/15/2004574/Aksi.Kekerasan.di.Indonesia.Meningkat.
[4] Komnas
Perempuan, Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam
Rumah Tangga, (Jakarta: IALDF, 2008), hal. 35 dan56
[5] Francis Houtart, “The
Cult of Violence in the Name of Religion: A Panorama”, dalam Wim Beuken dan
Karl Josef Kuschel (ed.), Religion as a Source of Violence, (London: SCM Press,
1997), hlm. 1. Lihat juga Abdul Qadir Shaleh, “Agama” Kekerasan, (Yogyakrta:
Prismasophi, 2003), hlm. 57
[6] Franz Magnis Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia,
1987), hlm. 200-207
[7] Dikisahkan ketika
keduanya mempersembahkan kurban, konon yang diterima hanya kurban Habil. Karena
nafsu (dendam dan iri hati), lalu Qabil membunuh Habil (al-Maidah [5]: 27-31).
[8] al-Baqarah [2]: 30.
[9] WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1982), hlm. 498.
[10] Marshana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan
Galtung, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 62.
[11] Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Depdikbut dan Balai Pustaka, 1988), hlm.
425.
[12] Marshana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan
Galtung, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 63
[13] Jack D. Douglas dan Frances
Chaput Waksler, Kekerasan, dalam
Thomas Santoso (ed.), Teori-teori Kekerasan, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia,
2002), hlm. 11.
[14] Marshana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan
Galtung, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 63
[16] M. Abu Nimer,
Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam;
Teori dan Praktik, terj. M. Irsyad R, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010), hlm.
12-13
[17] M. Abu
Nimer, Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam
Islam; Teori dan Praktik, terj. M. Irsyad R, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010),
hlm. 9
[18] Menurut
pendapat sebagain ahli, nilai transenden dari Pasifisme dengan Nirkekerasan
berbeda, lebih jelas lihat M. Abu Nimer, Nirkekerasan
dan Bina-Damai dalam Islam; Teori dan Praktik, terj. M. Irsyad R, (Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2010), hlm. 9
[19] M. Abu
Nimer, Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam
Islam; Teori dan Praktik, terj. M. Irsyad R, (Jakarta: Pustaka Alvabet,
2010), hlm. 13
0 comments:
Post a Comment