Pada 2016 silam, sebelum Mahfud MD menjadi Menkopolhukam, dia mengkritisi soal ribuan perda/perkada yang dicabut oleh Presiden Jokowi. Dia mengusulkan perda/perkada hanya bisa dicabut melalui dua mekanisme, yaitu lewat uji materi ke Mahkamah Agung (MA) atau melalui mekanisme di legislatif. Karena mekanisme pembatalan yang dilakukan oleh pemerintah (eksekutif review) jelas perbuatan perbuatan inkonstitusional dan berpotensi disalahgunakan.
Lalu, selang beberapa tahun, kewenangan pembatalan perda oleh eksekutif yang termuat dalam pasal 251 ayat 1, 2 & 7 UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan 56/PUU-XIV/2016 dan putusan yang sama sebelumnya 137/PUU-XIII/2015. Bahwa kewenangan eksekutif untuk membatalkan peraturan di bawahnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Namun putusan MK tersebut menjadi rancu, pada saat yang sama di dalam UU Cipta Kerja, terdapat prinsip hirarki peraturan perundang-undangan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau bertentangan dengan putusan pengadilan harus dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi yang dikoordinasikan oleh pemerintah pusat diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). (Lihat Pasal 181, UU Cipta Kerja, hal. 587)
Meski bukan klausul 'pembatalan', namun kata 'harmonisasi dan sinkronisasi' dipahami secara tidak tidak langsung menyalahi prinsip peraturan perundangan-undangan. Ketentuan ini jelas berpotensi disalahgunakan oleh eksekutif, selain itu juga bertabrakan dengan prinsip dan subtansi peraturan perundangan dalam konteks fungsi dari PP sebagai pelaksana teknis dalam sebuah undang-undang, tetapi PP bisa merubah kerangka subtansi peraturan yang dirasa tidak harmonis. Entah berjenis peraturan perundang-undangan atau produk hukum dibawah UU seperti Peraturan Daerah (perda) dan lainya. Pasal ini jelas tidak mengakomodir prinsip desentraliasi peran daerah dalam tata kelola pemerintahan, yang pada akhirnya porsi dan peran eksekutif terlalu besar dalam pemerintahan. Ini tidak hanya merusak prinsip demokrasi, tetapi juga berpotensi disalahgunakan oleh Eksekutif.
Lalu pertanyaannya, mengapa pasal mengenai peran pusat atas daerah mencuat kembali? Padahal jauh sebelum hadirnya UU Cipta kerja, Mahfud mengkritisi soal tersebut. Apakah ini titipan atau memang luput dari pengawasan Mahfud selaku Menkopolhukam. Yang jelas, hanya beliau yang bisa menjawab persoal ini. Tetapi yang jelas publik menangguhkan komitmennya, khususnya yang berkaitan dengan prinsip demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam UU Cipta Kerja.
Ketidakjelasan Prinsip Umum dalam Peraturan Perundang-undangan
Selain itu, masalah lain ditemukan dalam UU Cipta kerja yaitu dihapusnya penjelasan prinsip umum tentang kategori peraturan perundang-undangan yang bisa dibatalkan. Dimana ketentuan tersebut diatur jelas dalan kerangka hirarki peraturan-perundangan, seperti termuat dalam UU No. 12 Tahun 2011 dan dijelaskan secara rinci dalam pasal 250 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu:
1) Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.
2) Bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;
b. terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
c. terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
d. terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau
e. diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender.
Lalu kemudian, ketentuan Pasal 250 di atas diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 250 Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan."
Dalam ayat tersebut tidak dijelaskan soal penjelasan rinci apa yang dimaksud
materi muatan peraturan perundangan-undangan yang bertentangan dengan
kepentingan Umum. Seperti materi muatan peraturan perundangan-undangan tidak
boleh bertentangan prinsip non diskriminasi terhadap suku, agama dan
kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender.
Pasal ini dirasa sangat penting, mengapa? Karena berdasarkan catatan Komnas Perempuan, setidaknya ditemukan 421 kebijakan diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan di level nasional/daerah tahun 2018. Hal ini memperlihatkan, selain materi muatan dan asasnya bertentangan dengan prinsip non diskriminasi dan melanggar prinsip hak asasi manusia. Kebijakan diskriminatif tersebut juga menjadi penghambat bagi upaya penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan pemenuhan hak asasi perempuan.
Jalan Terjal Judicial Review
Lalu bagaimana nasibnya jika warga negara mengeluhkan soal kebijakan yang dirasa bertentangan dengan prinsip non diskriminasi? Jawabanya jelas harus menggunakan mekanisme pengadilaan (judicial), entah itu melakukan uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi yang levelnya UU bertentangan dengan UUD 1945, atau melalui mekanisme Uji Materi di Mahkamah Agung, yang pertentanganya dibawah Undang-undang. Persoalannya adalah ongkos biaya pencari keadilan tidaklah murah dan prosesnya panjang. Mengingat pada saat yang sama, pasca dilakukanya revisi UU MK, soal ketentuan perubahan dalam UU yang telah diuji dan diputuskan oleh MK untuk ditindaklanjuti oleh DPR dan Presiden sudah dihapuskan (lihat pasal 59 UU MK).
Ditambah lagi, jika persoalnya di bawah undang-undang, mekanisme judicial review di Mahkamah Agung juga masih tertutup rapat untuk terlibat sebagai para pihak yang berkepentingan. Yang seharusnya bisa didengar dan digali argumentasinya sebelum hakim menjatuhkan putusan (azas audi et alteran partem). Alhasil mekanisme komplain hak warga negara yang dilakukan secara konstitusional pun masih menjadi sisi gelap panjangnya hukum di Indonesia, karena kondisi di atas.
Sangat beralasan, jika kemudian banyak masyarakat menyuarakan pembatalan UU Cipta Kerja melalui aksi masa/unjuk rasa di hampir di seluruh wilayah Indonesia, karena selain soal subtansi bermasalah juga ditambah ada faktor lain (deterrent effect) yang turut serta membuat penolakan, karena harapan menggunakan mekanisme yang tersedia melalui judicial review sangat jauh dari prinsip akses keadilan.
Jika kemampuan dan kewenangan lembaga/institusional saja terbatas untuk mampu memberikan akses keadilan, lalu bagaimana warga berharap soal subtansinya. Kalau saja Pemerintah Indonesia komitmen soal akses Keadilan, seharusnya ruang-ruang mekanisme sebagai garda perlindungan dan jaminan untuk dibuka selebar-lebarnya. Karena pada prinsipnya, di negara demokratis jaminan akses keadilan menjadi persoalan yang fundamental. Karena dengan akses keadilan yang terbuka, maka warga dapat menggunakan hak-haknya untuk mendapatkan keadilan, baik melalui lembaga formal maupun non formal.
Sangat wajar, sebagian masyarakar skiptis jika persoalan dalam UU Cipta Kerja harus menempuh jalur judicial review di MK. Karena selain cacat prosedur dan subtansi hukum, tetapi ruang mekanisme peradilan yang amat gelap dan tidak bisa diprediksi (unpredictable). Terlebih materi muatanya yang berkaitan soal tafsir penyalagunaan kekuasaan, syarat berpotensi politis pembahasanya. Meski pada prinsipnya, mekanisme judicial review baik di Mahkamah Konstitusi menggunakan ‘asas audi alteram et partem,’ dimana semua pihak harus didengar dan diberikan akses yang sama. Namun pada prakteknya berbeda. UU Cipaker ini merubah banyak Undang-undang dan pasal.
Bisa dibayangkan jika seluruh/sebagian pasal UU Cipta Kerja di Uji Materikan ke
Mahkamah Konstitusi, selain akan menghabiskan energi dan biaya, pasti tidak
sedikit waktu membahas soal informasi pasal kontroversial. Jika selama
ini JR di MK membahas hanya beberapa atau sebagian pasal saja dalam UU dengan
menggabungakan permohonan, lalu bagaimana jika kluster persoalanya sangat
komplek? Mengingat permohonan JR di MK yang 1 pasal atau sebagian pasal pun
membutuhkan waktu bertahun-tahun sampai dengan adanya putusan. Selain itu,
komposisi jumlah hakim MK yang hanya diisi 9 orang, juga dirasa tidak cukup
komprehensif membahas ribuan pasal yang akan diujikan. Maka akan banyak
pemohon, ahli, saksi dan pihak terkait yang terlibat untuk mendalami persoalan
mana saja yang dirasa inkonstitusional.
Solusi Memecah Omnimbus Law
Jika negara tetap bersikekeh tidak akan membatalkan UU Ciptakerja, dan mempersilahkan kepada masyarakat untuk mengajukan keberatanya melalui mahkamah konsitusi. Jika demikian, bisa dipastikan memang negara tidak memiliki ‘sense of crisis', disaat kondisi pandemi Covid-19 belum berakhir. Dampaknya adalah proses pemeriksaan perkara secara adil dan fair di MK akan mengalami hambatan dan kesulitan bagi semua pihak, karena ada aturan pembatasan protokol kesehatan. Oleh sebab itu, seharusnya negara merangkul para pihak dengan mendudukan persoalan sesuai keberimbangan dan keadilan. Meski prinsip ‘asas audi alteram et partem, hanya dikenal di dalam MK, tetapi spirit para pihak perlu didengar dan dipertimbangkan penting dimanfaatkan oleh lembaga eksekutif, dalam hal ini presiden untuk membahas subtansi dan juga misinformasi persoalan dalam UU Cipta Kerja.
Selain solusi di atas, Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi, penting kiranya mempertimbangkan opsi Perpu tentang pembatalan sementara atau sekaligus perubahan UU Cipta Kerja, sesuai kluster pasal-pasal yang dinilai bermasalah oleh Publik. Meski tidak mudah, tapi keputusan tersebut akan membuat legacy soal komitmen keberpihakan Presiden melindungi masyarakat miskin, rentan dan marginal, juga 260 juta warga Indonesia dari diskriminasi. Mengapa demikian, karena pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja syarat berpotensi terjadinya konsentrasi kekuasaan, sehingga memunculkan penyalahgunaan kekuasaan yang bersifat koruptif dan merusak (power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely).***
0 comments:
Post a Comment