Sejarah Pam Swakarsa di Indonesia
Sejarah mencatat, sistem keamanan yang diorganisasi oleh masyarakat di Indonesia sebenarnya telah diperkenalkan pada masa kolonial Belanda, saat sebagian besar dari seperempat orang-orang non-Eropa di kota, di-”polisi”-kan oleh masyarakat sendiri dengan cara sukarela (Anderson 2001: 10) Bahkan, penggunaan istilah ronda, yang merupakan hasil adopsi dari bahasa Portugis yang memiliki arti berjaga, sering kali dikaitkan dengan upaya kolonial mengamankan daerah sekitarnya dengan bantuan warga setempat yang cenderung memaksa.
Mengutip jurnal “Praktik Sistem Keamanan Swakarsa pada Masa Pascakolonial di Jawa Timur”, bahwa duplikasi dari sistem pengadilan terhadap kriminalitas tersebut kadang-kadang melegalkan secara informal kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi untuk mengumpulkan uang dan untuk membagi pembayaran dari dan mengendalikan masuk ke dalam legitimasi perusahaan bisnis. Di beberapa daerah di Indonesia, ancaman kekerasan berpotensi menjadi dasar dari aktivitas-aktivitas yang mendapat keuntungan-keuntungan untuk elit lokal dan kadang-kadang dilegitimasi oleh lembaga pemerintahan lokal. (Arya W. Wirayu dan Koko Srimulyo, 2018, 142).
Setelah berlangsung cukup lama, konsep kemanan lokal juga dilegitimasi beberapa rezim, seperti rezim orde baru mencatat bahwa adanya hansip, linmas, dan satgas kala itu, merupakan asosiasi perpanjangan tangan soal pengamanan dan ketertiban di masyarakat. Meski sedikit terjadi perbedaan istilah namun kerangka kontrol dari militer berperan penuh. Lalu semangat reformasi 98 bergulir, dengan ragam perdeban tututan, namun satu isunya yang paling mengemuka adalah melengserkan suharto dan pencabutan peran dwifungsi ABRI. Tarik menarik soal pentingnya dilakukan sidang istimewa MPR dan tidak, menjadi titik balik hadirnya keterlibatan pasukan pengamanan masyarakat swakarsa atau yang biasa disebut "Pam Swakarsa" pada tahun 1998. Pasukan ini dibentuk dengan tujuan untuk membendung gejolak kritis masyarakat dan demonstrasi mahasiwa, yang hampir terjadi di seluruh Indonesia. Tidak bisa dinafikan, keberadaan pam swakarsa kala itu turut andil memproduksi organ pam swakarsa yang ada hingga saat ini.
Kemudian berselang 4 tahun pasca reformasi, kelahiran UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, memastikan keberadaan Pam Swakarsa dibentuk oleh institusi kepolisian. Dalam Pasal 3 disebutkan, peran Kepolisian dibantu oleh Pam Swakarsa. Hal ini menandai keberadaan Pam Swakarsa berada di wilayah kepolisian.
Meski terjadi pergeseran konteks peran pam swakarsa, karena semangat reformasi merubah perspektif dan sistem keamanan dan ketertiban kala itu. Namun katup layang eksistensi pam swakarsa saat itu menjadi legitimasi pertama namun demikian ketentuan pelaksanaannya masih dibilang terbatas.
Kemudian selang beberapa tahun kemudian lahir Perkapolri No. 23 Tahun 2007 tentang Sistem Keamanan Lingkungan, yang juga mengatur soal pamswakarsa, hanya saja masih terlihat kurang jelas. Perkapolri ini mengatur soal pam swakarsa dalam kerangka Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) dan Perpolisian Masyarakat atau disingkat Polmas. Dan perlu dicatat, keterlibatan pranata sosial secara sistematis belum diatur di dalam Perkaporli yang lama.
Kemudian pada tahun 2020, lahir Perkapolri No. 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa sekaligus menghapus Perkapolri yang lama. Perkapolri ini merubah sistem yang telah diatur sebelumnya. Meski sama-sama mengatur soal swakarsa masyarakat dalam keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), namun Perkapolri yang baru jauh lebih rinci. Seperti terdapat 33 kata 'swakarsa' ditemukan di dalam perkapolri yang baru, sedangkan diaturan yang lama hanya 4 kata ‘swakarsa’ ditemukan. Lalu bagaimana soal subtansi, apa sama atau perbedaan pengaturan? Setelah ditulusuri, terdapat perberbedaan soal subtansi, khusunya soal keterlibatan masyarakat dalam kerangka keamanan dan ketertiban (kamtibmas).
Potensi Penyalahgunaan Pam Swakarsa
Konsep kamtibmas yang diatur dalam perkapolri ini memberikan ruang pam swakarsa yang dilakukan oleh 3 elemen utama. Keranga pertama diletakan pada Satpam, kedua Satkamling dan terkahir dari pranata sosial/kearifan lokal. Jika dilihat sekilas, 3 (tiga) kerangka tersebut terlihat seperti upaya kepolisian dalam membangun citra lebih dekat kepada masyarakat dengan memberikan distribusi atau peran kamtibmas dari elemen masyarakat dan profesional/satpam. Namun jika kita melihat lebih dalam, kerangka ini tidak hanya berpotensi tumpang tindih soal peran kepolisian tetapi juga membuat rancu delegasi sistem kamtibmas dalam sektor reformasi kemananan di kepolisian
Selain mengatur 3 komponen utama dalam kerangka kamtibmas, peraturan ini juga mengatur soal relasi kuasa peran delegasi. Seperti dalam pasal 12 dan 13, adanya perbedaan antara posisi garda pratama, madya dan utama. Jelas ini mengukuhkan posisi sipil dibawah garis komando militer. Pasal ini bukan saja potensial mendiskriminasi tetapi juga membatasi ruang gerak masyarakat untuk berkarya dan berkembang. Ambil contoh, seorang sahabat (security) bercerita soal kasus pemerasan yang dilakukan oleh atasanya (madya/utama) kepada anak buahnya di sebuah perusahaan. Karena ada kesalahan fatal yang tidak diketahui, hal itu menimbulkan kerugian yang dirasa akibat kelalaian semua personel security. Akibatnya para security wajib mengganti kerugian atas kelalaian seseorang. Penafsiran kerugian menurut atasanya harus ditanggung renteng karena didasari prinsip jiwa korsa.
Jika dilihat, ini persoalan hukum biasa jadi bisa diselesaikan secara sipil (pidana umum), tidak ada istilah tanggung renteng ganti kerugian dibebankan bersama-sama karena yang melakukan kelalaian jelas personal bukan bawahannya yang tidak tahu menahu soal kelalaian bekerja. Perkaporli ini mengukuhkan relasi kuasa dengan jiwa tribrata kepada sipil.
Kemudian potensi penyalahgunaan lain ditemukan dalam Pasal 38 dan 39 soal diskresi satkamling kepada Rukun Tetangga (RT). Meski sekilas peranya terlihat kecil namun sangat besar dampaknya kepada masyarakat pada umumnya. Contohnya, kasus penggerebekan sepasang kekasih di Tangerang pada 2017 silam, ditafsiri karena adanya kepentingan ketertiban umum. Pada akhirnya RT dan beberapa orang yang turut terlibat mempersekusi kedua pasangan dengan menelanjanginya. Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kepolisian untuk merubah kerangka dan perspektif partisipan publik soal kamtibmas. Karena delegasi peran kamtibmas kepolisian diserahkan kepada beberapa pihak/lembaga, akhirnya diskresi soal penegakan hukum dijadikan ladang para oknum membuat panggung peradilan baru, dan bahkan potensial untuk main hakim sendiri (eigen righting) seperti kasus di atas.
Ini juga pernah diatur dalam Surat Kapolri No.Pol : B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 04 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui ADR. Dimana ada klausul pemberdayaan anggota Pemolisian/Perpolisian Masyarakat (Polmas) dan peran serta Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) yang ada di wilayah masing-masing untuk mampu mengidentifikasi kasus-kasus pidana....", padahal jelas dalam pasal 5 KUHAP, tugas penyelidik yaitu menerima laporan/pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. Atas laporan/pengaduan tersebut kepolisian mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga kuat sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya lanjut ke proses penyidikan sesuai Pasal 1 angka 4 KUHAP. Proses pendelegasian wewenang yang dilakukan kepolisian kepada Pam Swakarsa jelas melanggar prosedur kepolisian dalam proses penyelidikan dan penyidikan sesuai KUHAP.
Lalu potensi lain juga ditemukan dalam Perkaporli yang baru, seperti tugas melaporkan setiap gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang terjadi kepada Bhabinkamtibmas atau Satuan Kepolisian terdekat, juga rentan dijadikan alat kepolisian dan RT untuk melakukan tindakan OTT (operasi tertangkap tangan) kepada masyarakat, hal ini syarat potensial dijadikan ladang pemerasan. Seperti, pada musim tertentu ada sebagian masyarakat memilki tradisi mengadu ayam, pada saat yang sama organ perpanjangan kepolisian melaporkan peristiwa tersebut, kemudian berdasarkan laporan tersebut pula dilakukan penggerebekan oleh aparat kepolisian dan pam swakarsa. Persoalan tertangkap tangan dalam konteks tersebut tidak serta merta berdiri sendiri, tetapi ada dasar mengapa upaya paksa penggerebekan dilakukan. Bisa melalui laporan ataupun pengaduan masyarakat. Hal itu memunculkan potensi penyalahgunaan wewenang dan rentan eksploitasi saat penetapan tersangka selama kurun waktu 1 x 24 Jam.
Selain itu, potensi penyalahgunaan delegasi peran kamtibmas juga bisa ditemukan dalam kasus kekerasan seksual, KDRT dan lain-lain--, yang dimaknai bisa diselesaikan melalui mediasi kasus pidana (mediasi penal). Padahal pada prinsipnya, tidak ada istilah mediasi dalam kasus pidana. Di banyak kasus, korban kekerasan seksual sering kali dimediasi oleh para oknum, bahkan jika tidak mau dimediasi sering diancam oleh oknum aparat/masyarakat jika mau mencabut laporan di kepolisian, padahal korban mengalami kekerasan luar biasa. Oleh karena itu kasus ini menggambarkan kompleksitas persoalan, mana wewenang penegak hukum mana peran masyarakat.
Kembalikan Wewenang Kepolisian Sesuai
Prinsip HAM
Sejatinya negara yang menganut demokrasi selalu menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dalam proses bernegara dan berbangsa. Oleh karenanya, posisi kedaulatan rakyat menjadi indikator penting dimana negara memastikan prinsip persamaan dan kesederajatan harus termaktub dalam kerangka negara hukum. Oleh karenanya juga, negara memiliki kewajiban untuk memenuhi, melindungi dan mempromosikan hak-hak warga negara sebagai katalisator negara yang demokratis. Hal itu juga tak terbatas pada isu perindungan, keamananan dan ketertiban di masyarakat.
Lalu jika negara ingin memastikan keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat, negara juga harus memastikan prinsip negara yang demokratis. Setidak-tidaknya ia memuat supremasi hukum, persamaan di dalam hukum (equality before the law), asas legalitas, pembatasan kekuasaan, prinsip hak asasi manusia serta memuat kontrol mekanisme internal/eksternal. Karena jika tidak, potensi penyalahgunaan (abuse of power) seperti di atas sangat terbuka lebar diberikan kepada orang-orang yang ditunjuk dari mekanisme yang tidak jelas dan tranparan. Oleh sebab itu prinsip limitasi kekuasan dan kewenangan penting untuk diatur secara jelas, transparan dan akuntabel. Bukan malah memperuncing peran delegasi wewenang kepolisian seperti yang tertuang dalam peraturan perkapolri baru.
Seharusnya kepolisian cukup memastikan para bawahannya mengimpelemtasikan Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Menyelenggarakan Tugas Kepolisian, mengapa? Sering sekali terjadi gesekan dan pelanggaran oleh kepolisian karena kurangnya pemahaman soal Perkapol tentang standar HAM. Sebagai pengayom dan pelayan masyarakat, kepolisian seharusnya bisa memelihara keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat, melalui berbagai layananya. Bukan justeru menjadi aktor dalam melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Jangan sampai Perkapolri No. 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa menjadi pijakan dalam membungkam demokrasi, atau juga menjadi batu loncatan untuk bertindak serampangan dan bahkan mengalihkan tugas dan tanggung jawab kepolisian. Bukan tidak mungkin sejarah kelam pam swakarsa hadir kembali di tengah panggung demokrasi.***
0 comments:
Post a Comment