Translate

Friday, 4 July 2014

Corak dan Ajaran Tasawuf

Tasawuf merupakan cabang ilmu keislaman yang menekankan dimensi serta aspek spiritual dari Islam,[1] namun terdapat perbedaan signifikan diantara tekanan dimensinya. Ada tasawuf yang lebih mengarah pada teori-teori perilaku; ada pula tasawuf pada teori yang begitu rumit serta memerlukan pemahaman yang lebih mendalam.[2] Untuk mengetahui hal tersebut, ada beberapa langkah dalam penelusurannya, yaitu dengan mengenal corak ajaran serta pemikiran dalam tasawuf itu sendiri. Secara sederhana, ada beberapa corak dalam ajaran dalam tasawuf, pertama tasawuf sunni (akhlaki kedua tasawuf falsafi.[3] Penulis lebih memilih dua pembagian ini, karena penelusuran hanya ini lebih bertendensi pada pemikiran serta ajaran dalam tasawuf itu sendiri, bukan berdasar tahap-pertaham (maqomat).
1.      Tasawuf Akhlaki (Sunni)
Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman makna institusi-institusi Islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in, kecenderungan orang terhadap ajaran Islam secara lebih analitis mulai muncul. Ajaran Islam mereka dapat pandang dari dua aspek, yaitu aspek lahiriyah dan aspek batiniyah atau aspek “luar” dan aspek “dalam”, dan itu terwujud dalam divergensi sistem masing-masing pihak pendukungnya.[4] Pendalaman dan pengalaman aspek dalamnya mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, tentunya tanpa mengabaikan aspek luarnya yang dimotivasi untuk membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih lebih berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, lebih mementingkan keagungan Tuhan dan bebas dari egoisme.[5]
Untuk memudahkan penelusuran, bahwa yang dimaksud dengan tasawuf aklaki/sunni yaitu tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku secara ketat, guna mencapai kebahagiaan yang optimal.[6] Tasawuf model ini pula dipagari oleh al-Qur’an dan Sunnah, serta menjauhi penyimpangan yang dapat menuju kepada kesesatan dan kekafiran. Konsep persatuan mistis dalam pandangan mereka bertentangan dengan akidah Islam yang telah digariskan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Tasawuf ini lebih bertendensikan pada penekanan aspek moral (akhlak).[7]
Manusia harus mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan  melalui penyucian jiwa dan raga. Sebelumnya, dilakukan terlebih dahulu pembentukan peribadi yang berakhlak mulia. Tahapan-tahapan itu dalam ilmu tasawuf disebut dengan takhalli (pengosongan diri dari sifst-sifat tercela), tahalli (menghiasi diri dari sifat-sifat terpuji), dan tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan).[8] Agar mempermudah itu menemukan apakah dia termasuk dalam kategori tasawuf akhlaki atau falsafi, maka penulis akan memberikan ciri/karakteristik dari ajaran dan pemikiran dalam tasawuf tersebut. Adapun Karakteristik /ciri tasawuf akhlaki/sunni yaitu:
Melandaskan diri pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Tasawuf jenis ini dalam pengejawantahan ajaran-ajarannya cenderung memakai landasan Tekstual Qur’an dan Sunnah sebagai kerangka pendekatannya.
Tidak menggunakan terminologi–terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-ungkapan syathahat.[9] Terminologi–terminologi yang dikembangkan tasawuf sunni lebih transparan, sehinggga tidak sering bergelut dengan term-term syathahat. Kalaupun ada term yang mirip syathahat itu dianggapnya merupakan pengalaman pribadi dan meeka tidak menyebarkanya kepada orang lain. Juga hal itu dianggap sebagai karamah atau keajaiban yang mereka temui.
Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara tuhan dan manusia. Dualisme yang dimaksud di sini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat berhubungan dengan Tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda antara keduanya, dalam hal esensinya. Sedekat apapun manusia dengan Tuhannya, tidak lantas membuat manusia dapat menyatu dengan Tuhan.
Kesinambungan antara hakekat dengan syari’at. Dalam pengertian lebih khusus keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek batiniyah) dengan fiqih (aspek lahiriyah). Hal ini merupakan konsekwensi dari paham di atas. Karena berbeda denagn tuhan, manusia dalm berkomunikasi dengan tuhan tetap berada pada posisi sebagai objek penerima informasi dari Tuhan.
Kenikmatan dunia bukanlah menjadi tujuan utama, melainkan hanya jembatan atau memanfaatkan dunia sekedar kebutuhannya. Dan tidak menghilangkan unsur keduniawian secara totalitas—dalam rangka mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan moral, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajali.[10] 
Dalam ajaran tasawuf ini sebetulnya terdapat secara konsepsi di antara para sufi, namun secara sistemik ada tiga langkah yaitu langkah takhalli, tahalli, dan tajalli. Wilayah takhalli lebih mengedepankan pada menghilangkan perbuatan-perbuatan yang terlarang dan tercela. Untuk wilayah tahalli, langkah ini merupaka langkah pengisian dari sikap keberlanjutan dari langkah tahalli, yang mana dalam tahap ini seorang manusia mesti melakukan pengisiian perbuatan-perbuatan baik, seperti tobat, khauf dan raja’, zuhud, fakir, sabar, muraqabah, dll. Dan terakhir wilayah tajalli, merupakan upaya atau hasil dari riyadhah selama terus menerus yaitu berupa penyikapan sesuatu—yaitu pengetahuan Allah (ma’rifat).

2.     Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi intuitif dan visi rasional.[11] Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macamajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya. Menurut at-Taftazani, tasawuf falsafi muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak Islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun atikohnya baru dikenal seabad kemudian. Ciri umum tasawuf falsafi menurut At-Taftazani adalah ajarannya yang samara-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat difahami oleh siapa aja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak hanya dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.[12]
Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini mengenal dengan baik filsafat Yunani serta berbagai alirannya seperti Socrates, Aristoteles, aliran Stoa, dan aliran Neo_Platonisme dengan filsafatnya tentang emanasi. Bahkan mereka pun cukup akrab dengan filsafat yang sering kali disebut hermenetisme yang karya-karyanya sering diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan filsafat-filsafat Timur kuno, baik dari Persia maupun dari India serta filsafat-filsafat Islam seperti yang diajarkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina.  Mereka pun dipengaruhi aliran Batiniyah sekte Ismailiyah aliran Syi’ah dan risalah-risalah Ikhwan Ash-Shafa.[13]
Menurut keterangan lain Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik metafisis, karakter umum dari tasawuf ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa. Hamka menegaskan juga bahwa tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu juga sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh karena itu, mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif. Dari kegemaran berfilsafat itu, mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide ketuhanan. Adapun karakter /cirri tasawuf falsafi yaitu:
Ajaran-ajaran tasawufnya merupakan perpaduan antara ajaran tasawuf denmgan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani.
Para tokohnya mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka ragam, sejalan dengan ekspansi Islam yang berjalan saat itu.
Adanya terminologi-terminologi filsafat dalam pengungkapan ajaran-ajarannya yang maknanya disesuaikan dengan ajaran tasawuf yang mereka anut dan berkecenderungan mendalam pada pantaisme.
Terkadang menimbulkan ungkapan-ungkapan yang samar (syathahat) akibat dari banyaknya peristilahan khusus yang hanya dimengerti oleh kalangan tertentu.[14]
Obyek utama yang menjadi perhatian para sufi adalah pertama latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta intropeksi diri yang timbul darinya. Kedua, Iluminasi ataupun hakekat yang tersingkap dari alam ghaib. Ketiga yaitu peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai  bentuk keluarbiasaan. Keempat yaitu penciptan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya samar-samar.





[1] Mulyadi Kertanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 2
[2] Prof. Solihin dan Prof. Dr. Rosihon, Ilmu Tasawuf, hal. 61.
[3] Corak dalam tasawuf terdapat perbedaan pendapat dalam pembagiannya, seperti Pendapat Prof. Solihin dan Prof. Rosihon yang membuat corak tasawuf lebih mengarah pada tiga dimensi tekanan, lebih lengkap lihat Prof. Solihin dan Prof. Dr. Rosihon, Ilmu Tasawuf, hal. 61. Bandingkan dengan Kausar Azhari Noer, Tasawuf Perenial, (Jakarta: Serambi, 2003), hal. 201. Bandingkan pula pendapat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad  XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 110. Lihat pula Asep Usman Ismail, Tasawuf, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid III, Jakarta: Icktiar Baru Van Hoeve, 2002), hal. 158
[4] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 257
[5] Prof. Dr. M. Solihin, Ilmu Tasawuf, hal. . 62
[6] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 209
[7] Kaustar Azhari Noer, “Tasawuf Filosofis”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid III, Jakarta: Icktiar Baru Van Hoeve, 2002), hal. 158
[8] M. Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002), hal..45.
[9] Syathahat adalah ucapan-acapan ganjil yang keluar dari mulut seorang shufi. ( Harun Nasution, Islam, hlm. 83) Menurut al-Ghazali syathahat sangat berbahaya bagi orang awam, menurutnya keganjilan ungkapan itu ada dua : 1. pernyataan panjang lebar tentang cinta kepada Allah maupun rasa penyatuan dengan Allah, yang mustahil dihindarkan oleh sebagian para shufi yang berpaling dari amal-amal lahiriyah, yang akhirnya menyatakan terjadinya penyatuan, seperti mucapan al-Hallaj : Aku yang maha besar. Ucapan begini membahayakan kaum awam, sehingga banyak petani meninggalkan pekerjaan mereka lalu menyatakan ungkapan yang mirip denagnnya. 2. keganjilan ungkapan yang tidak dipahami lahiriyahnya. Ungkapan tersebut biasanya panjang tapi tidak banyak mengandung arti. Bahkan terkadang tidak dimengerti oleh yang mengucapkannya sendiri., hanya terucap dari pikiran yang kacau dan hanya merupakan hasil imajinasinya sendiri. .  (Abu al-Wafa’ al-Ghanimi Taftazani, Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Pustaka. 1418 H/1997 M), hal. 116)
[10] Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf. hal. 121-122. Takhalli adalah usaha  mengosongkan diri dari prilaku atau akhlaq tercela. Tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, prilaku dan akhlaq terpuji. Sedangkan tajalli adalah terungkapnya nur ghaib (Ibid, hal. 115-119).
[11] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 264
[12] Ibid, hal. 264-265
[13] Ibid, hal. 265
[14]Abu al-Wafa’ al-Ghanimi Taftazani, Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Pustaka. 1418 H/1997 M), hal. 187-189

1 comments:

Post a Comment