Tasawuf merupakan
cabang ilmu keislaman yang menekankan dimensi serta aspek spiritual dari Islam,[1] namun terdapat
perbedaan signifikan diantara tekanan dimensinya. Ada tasawuf yang lebih
mengarah pada teori-teori perilaku; ada pula tasawuf pada teori yang begitu
rumit serta memerlukan pemahaman yang lebih mendalam.[2]
Untuk mengetahui hal tersebut, ada beberapa langkah dalam penelusurannya, yaitu
dengan mengenal corak ajaran serta pemikiran dalam tasawuf itu sendiri. Secara
sederhana, ada beberapa corak dalam ajaran dalam tasawuf, pertama tasawuf sunni
(akhlaki kedua tasawuf falsafi.[3] Penulis lebih
memilih dua pembagian ini, karena penelusuran hanya ini lebih bertendensi pada
pemikiran serta ajaran dalam tasawuf itu sendiri, bukan berdasar tahap-pertaham
(maqomat).
1.
Tasawuf Akhlaki (Sunni)
Pada
mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman makna institusi-institusi
Islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in, kecenderungan orang terhadap ajaran
Islam secara lebih analitis mulai muncul. Ajaran Islam mereka dapat pandang
dari dua aspek, yaitu aspek lahiriyah dan aspek batiniyah atau aspek “luar” dan
aspek “dalam”, dan itu terwujud dalam divergensi sistem masing-masing pihak
pendukungnya.[4] Pendalaman dan
pengalaman aspek dalamnya mulai terlihat sebagai hal yang paling utama,
tentunya tanpa mengabaikan aspek luarnya yang dimotivasi untuk membersihkan
jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih lebih berorientasi pada aspek dalam,
yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, lebih mementingkan keagungan
Tuhan dan bebas dari egoisme.[5]
Untuk
memudahkan penelusuran, bahwa yang dimaksud dengan tasawuf aklaki/sunni yaitu
tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang
diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku
secara ketat, guna mencapai kebahagiaan yang optimal.[6]
Tasawuf model ini pula dipagari oleh al-Qur’an dan Sunnah, serta menjauhi
penyimpangan yang dapat menuju kepada kesesatan dan kekafiran. Konsep persatuan
mistis dalam pandangan mereka bertentangan dengan akidah Islam yang telah
digariskan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Tasawuf ini lebih bertendensikan pada
penekanan aspek moral (akhlak).[7]
Manusia harus
mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa dan raga. Sebelumnya,
dilakukan terlebih dahulu pembentukan peribadi yang berakhlak mulia.
Tahapan-tahapan itu dalam ilmu tasawuf disebut dengan takhalli (pengosongan
diri dari sifst-sifat tercela), tahalli (menghiasi diri dari sifat-sifat
terpuji), dan tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga
mampu menangkap cahaya ketuhanan).[8] Agar mempermudah
itu menemukan apakah dia termasuk dalam kategori tasawuf akhlaki atau falsafi,
maka penulis akan memberikan ciri/karakteristik dari ajaran dan pemikiran dalam
tasawuf tersebut. Adapun Karakteristik /ciri tasawuf akhlaki/sunni yaitu:
Melandaskan
diri pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Tasawuf jenis ini dalam pengejawantahan
ajaran-ajarannya cenderung memakai landasan Tekstual Qur’an dan Sunnah sebagai
kerangka pendekatannya.
Tidak
menggunakan terminologi–terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada
ungkapan-ungkapan syathahat.[9] Terminologi–terminologi
yang dikembangkan tasawuf sunni lebih transparan, sehinggga tidak sering
bergelut dengan term-term syathahat. Kalaupun ada term yang
mirip syathahat itu dianggapnya merupakan pengalaman pribadi dan
meeka tidak menyebarkanya kepada orang lain. Juga hal itu dianggap sebagai
karamah atau keajaiban yang mereka temui.
Lebih
bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara tuhan dan manusia. Dualisme
yang dimaksud di sini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat
berhubungan dengan Tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda antara
keduanya, dalam hal esensinya. Sedekat apapun manusia dengan Tuhannya, tidak
lantas membuat manusia dapat menyatu dengan Tuhan.
Kesinambungan
antara hakekat dengan syari’at. Dalam pengertian lebih khusus keterkaitan
antara tasawuf (sebagai aspek batiniyah) dengan fiqih (aspek lahiriyah). Hal
ini merupakan konsekwensi dari paham di atas. Karena berbeda denagn tuhan,
manusia dalm berkomunikasi dengan tuhan tetap berada pada posisi sebagai objek
penerima informasi dari Tuhan.
Kenikmatan
dunia bukanlah menjadi tujuan utama, melainkan hanya jembatan atau memanfaatkan
dunia sekedar kebutuhannya. Dan tidak menghilangkan unsur keduniawian secara
totalitas—dalam rangka mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Lebih
terkonsentrasi pada soal pembinaan moral, pendidikan akhlak, dan pengobatan
jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli,
tahalli, dan tajali.[10]
Dalam
ajaran tasawuf ini sebetulnya terdapat secara konsepsi di antara para sufi, namun
secara sistemik ada tiga langkah yaitu langkah takhalli, tahalli,
dan tajalli. Wilayah takhalli lebih mengedepankan pada menghilangkan
perbuatan-perbuatan yang terlarang dan tercela. Untuk wilayah tahalli, langkah
ini merupaka langkah pengisian dari sikap keberlanjutan dari langkah tahalli, yang
mana dalam tahap ini seorang manusia mesti melakukan pengisiian
perbuatan-perbuatan baik, seperti tobat, khauf dan raja’, zuhud, fakir, sabar,
muraqabah, dll. Dan terakhir wilayah tajalli, merupakan upaya atau hasil dari riyadhah
selama terus menerus yaitu berupa penyikapan sesuatu—yaitu pengetahuan Allah (ma’rifat).
2.
Tasawuf Falsafi
Tasawuf
falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi intuitif dan
visi rasional.[11] Berbeda dengan
tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam
pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macamajaran
filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya. Menurut at-Taftazani, tasawuf
falsafi muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak Islam sejak abad keenam
hijriyah, meskipun atikohnya baru dikenal seabad kemudian. Ciri umum tasawuf
falsafi menurut At-Taftazani adalah ajarannya yang samara-samar akibat
banyaknya istilah khusus yang hanya dapat difahami oleh siapa aja yang memahami
ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak hanya dipandang sebagai
filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi tidak
dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni, karena
ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada
panteisme.[12]
Para sufi
yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini mengenal dengan baik filsafat
Yunani serta berbagai alirannya seperti Socrates, Aristoteles, aliran Stoa, dan
aliran Neo_Platonisme dengan filsafatnya tentang emanasi. Bahkan mereka pun
cukup akrab dengan filsafat yang sering kali disebut hermenetisme yang
karya-karyanya sering diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan filsafat-filsafat
Timur kuno, baik dari Persia maupun dari India serta filsafat-filsafat Islam
seperti yang diajarkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Mereka pun
dipengaruhi aliran Batiniyah sekte Ismailiyah aliran Syi’ah dan risalah-risalah
Ikhwan Ash-Shafa.[13]
Menurut
keterangan lain Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan
teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik metafisis, karakter
umum dari tasawuf ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Taftazani
bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti
sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat,
juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena
teori-teorinya juga didasarkan pada rasa. Hamka menegaskan juga bahwa tasawuf
jenis tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu juga sebaliknya.
Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh
karena itu, mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif. Dari kegemaran berfilsafat
itu, mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya dan luas tentang
ide-ide ketuhanan. Adapun karakter /cirri tasawuf falsafi yaitu:
Ajaran-ajaran
tasawufnya merupakan perpaduan antara ajaran tasawuf denmgan sejumlah ajaran
filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani.
Para
tokohnya mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan
beraneka ragam, sejalan dengan ekspansi Islam yang berjalan saat itu.
Adanya
terminologi-terminologi filsafat dalam pengungkapan ajaran-ajarannya yang
maknanya disesuaikan dengan ajaran tasawuf yang mereka anut dan
berkecenderungan mendalam pada pantaisme.
Terkadang
menimbulkan ungkapan-ungkapan yang samar (syathahat) akibat dari banyaknya
peristilahan khusus yang hanya dimengerti oleh kalangan tertentu.[14]
Obyek
utama yang menjadi perhatian para sufi adalah pertama latihan rohaniah dengan
rasa, intuisi, serta intropeksi diri yang timbul darinya. Kedua, Iluminasi
ataupun hakekat yang tersingkap dari alam ghaib. Ketiga yaitu peristiwa-peristiwa
dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk
keluarbiasaan. Keempat yaitu penciptan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya
samar-samar.
[2] Prof. Solihin dan Prof. Dr.
Rosihon, Ilmu Tasawuf, hal. 61.
[3] Corak dalam tasawuf terdapat
perbedaan pendapat dalam pembagiannya, seperti Pendapat Prof. Solihin dan Prof.
Rosihon yang membuat corak tasawuf lebih mengarah pada tiga dimensi tekanan,
lebih lengkap lihat Prof. Solihin dan Prof. Dr. Rosihon, Ilmu Tasawuf, hal.
61. Bandingkan dengan Kausar Azhari Noer, Tasawuf
Perenial, (Jakarta: Serambi, 2003), hal. 201. Bandingkan pula pendapat
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1999),
hal. 110. Lihat pula
Asep Usman Ismail, Tasawuf, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid
III, Jakarta: Icktiar Baru Van Hoeve, 2002), hal. 158
[4] Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban, hal. 257
[6] Samsul Munir Amin, Ilmu
Tasawuf, hal. 209
[7] Kaustar Azhari Noer, “Tasawuf
Filosofis”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid III,
Jakarta: Icktiar Baru Van Hoeve, 2002), hal. 158
[8] M. Amin Syukur dan Masyharuddin,
Intelektualisme Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002), hal..45.
[9]
Syathahat adalah ucapan-acapan ganjil yang keluar dari mulut seorang
shufi. ( Harun Nasution, Islam, hlm. 83) Menurut
al-Ghazali syathahat sangat berbahaya bagi orang awam, menurutnya
keganjilan ungkapan itu ada dua : 1. pernyataan panjang lebar tentang cinta
kepada Allah maupun rasa penyatuan dengan Allah, yang mustahil dihindarkan oleh
sebagian para shufi yang berpaling dari amal-amal lahiriyah, yang akhirnya
menyatakan terjadinya penyatuan, seperti mucapan al-Hallaj : Aku yang maha
besar. Ucapan begini membahayakan kaum awam, sehingga banyak petani
meninggalkan pekerjaan mereka lalu menyatakan ungkapan yang mirip denagnnya. 2.
keganjilan ungkapan yang tidak dipahami lahiriyahnya. Ungkapan tersebut
biasanya panjang tapi tidak banyak mengandung arti. Bahkan terkadang tidak
dimengerti oleh yang mengucapkannya sendiri., hanya terucap dari pikiran yang
kacau dan hanya merupakan hasil imajinasinya sendiri. . (Abu
al-Wafa’ al-Ghanimi Taftazani,
Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, Sufi dari
Zaman ke Zaman, (Bandung : Pustaka. 1418 H/1997 M), hal. 116)
[10] Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan
Dr. Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf.
hal.
121-122. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari prilaku atau
akhlaq tercela. Tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sikap, prilaku dan akhlaq terpuji. Sedangkan tajalli
adalah terungkapnya nur ghaib (Ibid, hal. 115-119).
[11] Samsul Munir Amin, Ilmu
Tasawuf, hal. 264
[13] Ibid, hal. 265
[14]Abu
al-Wafa’ al-Ghanimi Taftazani,
Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, Sufi
dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Pustaka. 1418 H/1997 M), hal. 187-189
1 comments:
mewwwwwwwwwwww
Post a Comment