Translate

Sunday, 20 July 2014

“Metode Belajar Kreatif”, Seharusnya Digalakan Sejak Dini

Meski babak milenium II membuka ruang begitu besar kepada aspek psikomotorik siswa, namun masih saja dirasakan sebagian kalangan terasa kurang. Ini terbukti beberapa fakta bagi siswa-siswi dari tingkatan (SD, SLTP, SLTA) masih saja didominasi oleh kecerdasan intektual (IQ). Bahkan dalam satu pristiwa hampir dirasakan oleh banyak orang tua wali, anak-anak (peserta didik) lebih senang terhadap hal-hal efisien, cepat dan praktis. Seperti banyak pengguna internet dari level peserta didik—dan yang paling mencengangkan mereka sering kali mengakses situs-situs atau keyword jejaring sosial—bukan situs edukatif.
Hipotesis di atas bukan untuk mengeneralkan sebuah kompleksitas pendidikan di Indonesia, namun itu faktanya, kita tidak bisa menolak. Lalu bagaimana meminimalisir agar sarana pembelajaran yang notebene-nya lebih berorientasi pada intelligence quotient  (IQ)— seimbang dengan emotional quotient  (EQ) maupun spiritual quotient  (SQ). Tak lain dengan memperkaya pola pembelajaran kepada peserta didik, merupakan sesuatu yang urgent. Kenapa? Karena pada tingkat pembelajaran secara kreatif baik guru, orang tua dan peserta didik diikutsertakan, baik langsung maupun tidak. Selain itu juga pembelajaran secara kreatif tidak melulu bertumpu pada IQ, tetapi lebih konvergensi terhadap intelktual, emosial, spiritual dalam tataran imaginatif.
Metode belajar kreatif juga mendorong anak lebih berani bertanya atau mengemukakan pendapat siswa, jadi sangat tidak disangsikan lagi kalau belajar maupun pembelajaran secara kreatig perlu digalakan sejak dini kepada anak-anak.  Memang seperti yang terlihat, metode belajar kreatif telah digalakan digalakan, tetapi itu hanya di tingkat perguruan tinggi. Itu memicu beberapa persoalan pada anak ke depan nanti. Selain bisa dikatakan terlambat itu juga bisa merusak potensi keberanian seorang anak kedepannya nanti.[1]
Dalam kaitannya antara peserta didik dengan guru, perlu kiranya upaya sinkronisasi dengan bertumpu pada kreatifitas mengajar seorang guru di sekolah maupun di lembaga social lainya, seperti di rumah, lingkungan dan sebagainya. Hal itu dilakukan tak lain demi terkuaknya imaginasi seorang anak ketika melihat gurunya mengajar secara kreatif. Di mana imaginasi akan hadir secara bersamaan ketika anak didik memotret gambaran kreatifitas seorang guru. Ini tidak melulu selalu seorang guru mendikte kepada anak didiknya untuk belajar secara kreatif. Lebih dari itu.
Jika kita menelaah lebih dalam menurut Elizabeth B. Hurlock, pembelajaran kreatif merupakan upaya kemampuan seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk, atau gagasan yang ada pada dasarnya baru da sebelumnya tidak dikenal pembuatnya. Ia dapat berupa kegiatan imajinatif atau sintesis pemikiran yang hasilnya bukan hanya perangkuman. Ia mencakup pembentukan pada hal baru dan gabungan informasi yang diperoleh dari gabungan informasi yang diperoleh dari pengalaman sebelumnya dan pencangkokan hubungan lama ke situasi baru dan mungkin mencakup pembentukan korelasi baru. Ia harus mempunyai maksud atau tujuan yang ditentukan, bukan fantasi semata walaupun merupakan hasil yang sempurna dan lengkap. Ia mungkin dapat berbentuk produk seni, kesusteraan, produk ilmiah, atau mungkin bersifat prosedural atau metodologis.[2]
Sebagai langkah aplikatif sejak dini dalam mengatasi persoalan di atas, maka diperlukan Pertama, spesifikasi dan kualifikasi perubahan perilaku peserta didik dengan melatih imaginasi pola membaca, menghitung, menulis dan menggambar. Kedua, memilih cara pendekatan belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan selektif untuk mencapai sasaran bagaimana cara guru/orang tua memandang sesuatu persoalan, konsep, pengertian dan teori apa yang guru gunakan dalam memecahkan satu kasus, akan mempengaruhi hasilnya. Jadi pemilihan metode yang tepat mempengaruhi hasil yang akan dicapai. Ketiga, memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif. Pemilihan dan penetapan metode yang tepat dapat memotivasi anak didik agar dapat memecahkan masalah, karena pemilihan metode yang monoton akan membuat siswa merasa jenuh atau bosan. Keempat, menerapkan norma atau kriteria keberhasilan sehingga guru/orangtua memiliki pegangan yang dijadikan ukuran untuk menilai sejauh mana keberhasilan tugas yang telah dilakukan.[3]




[1] Ed. Shinta Rahmawati, Mencetak Anak Cerdas dan Kreatif, (Jakarta: Kompas, 2001) , hal. 21
[2] Elizabeth B. Hurlock. Perkembangan Anak. Dialih bahasakan Oleh Meitasari Tjandrasa dari Child Development. (Jakarta: Erlangga, 1993), Cet. IV, hal. 3
[3] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT.Rinela Cipta, 2002), Cet. II, hal. 6-8.

0 comments:

Post a Comment