Meski babak milenium II membuka ruang begitu besar
kepada aspek psikomotorik siswa, namun masih saja dirasakan sebagian kalangan terasa
kurang. Ini terbukti beberapa fakta bagi siswa-siswi dari tingkatan (SD, SLTP,
SLTA) masih saja didominasi oleh kecerdasan intektual (IQ). Bahkan dalam satu
pristiwa hampir dirasakan oleh banyak orang tua wali, anak-anak (peserta didik)
lebih senang terhadap hal-hal efisien, cepat dan praktis. Seperti banyak
pengguna internet dari level peserta didik—dan yang paling mencengangkan mereka
sering kali mengakses situs-situs atau keyword jejaring sosial—bukan situs
edukatif.
Hipotesis di atas bukan untuk mengeneralkan sebuah kompleksitas
pendidikan di Indonesia, namun itu faktanya, kita tidak bisa menolak. Lalu bagaimana
meminimalisir agar sarana pembelajaran yang notebene-nya lebih berorientasi
pada intelligence quotient (IQ)—
seimbang dengan emotional quotient (EQ) maupun spiritual quotient (SQ). Tak lain dengan memperkaya pola
pembelajaran kepada peserta didik, merupakan sesuatu yang urgent. Kenapa? Karena
pada tingkat pembelajaran secara kreatif baik guru, orang tua dan peserta didik
diikutsertakan, baik langsung maupun tidak. Selain itu juga pembelajaran secara
kreatif tidak melulu bertumpu pada IQ, tetapi lebih konvergensi terhadap
intelktual, emosial, spiritual dalam tataran imaginatif.
Metode belajar kreatif juga mendorong anak lebih berani
bertanya atau mengemukakan pendapat siswa, jadi sangat tidak disangsikan lagi
kalau belajar maupun pembelajaran secara kreatig perlu digalakan sejak dini
kepada anak-anak. Memang seperti yang
terlihat, metode belajar kreatif telah digalakan digalakan, tetapi itu hanya di
tingkat perguruan tinggi. Itu memicu beberapa persoalan pada anak ke depan
nanti. Selain bisa dikatakan terlambat itu juga bisa merusak potensi keberanian
seorang anak kedepannya nanti.[1]
Dalam kaitannya antara peserta didik dengan guru,
perlu kiranya upaya sinkronisasi dengan bertumpu pada kreatifitas mengajar
seorang guru di sekolah maupun di lembaga social lainya, seperti di rumah, lingkungan
dan sebagainya. Hal itu dilakukan tak lain demi terkuaknya imaginasi seorang
anak ketika melihat gurunya mengajar secara kreatif. Di mana imaginasi akan
hadir secara bersamaan ketika anak didik memotret gambaran kreatifitas seorang
guru. Ini tidak melulu selalu seorang guru mendikte kepada anak didiknya untuk
belajar secara kreatif. Lebih dari itu.
Jika kita menelaah lebih dalam menurut Elizabeth
B. Hurlock, pembelajaran kreatif merupakan
upaya kemampuan
seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk,
atau gagasan yang ada pada dasarnya baru da sebelumnya tidak dikenal
pembuatnya. Ia dapat berupa kegiatan imajinatif atau sintesis pemikiran yang
hasilnya bukan hanya perangkuman. Ia mencakup pembentukan pada hal baru dan
gabungan informasi yang diperoleh dari gabungan informasi yang diperoleh dari
pengalaman sebelumnya dan pencangkokan hubungan lama ke situasi baru dan
mungkin mencakup pembentukan korelasi baru. Ia harus mempunyai maksud atau
tujuan yang ditentukan, bukan fantasi semata walaupun merupakan hasil yang
sempurna dan lengkap. Ia mungkin dapat berbentuk produk seni, kesusteraan,
produk ilmiah, atau mungkin bersifat prosedural atau metodologis.[2]
Sebagai langkah aplikatif sejak dini
dalam mengatasi persoalan di atas, maka diperlukan Pertama,
spesifikasi dan kualifikasi perubahan perilaku peserta didik dengan melatih
imaginasi pola membaca, menghitung, menulis dan menggambar. Kedua, memilih cara pendekatan
belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan selektif untuk mencapai sasaran
bagaimana cara guru/orang tua memandang sesuatu persoalan, konsep, pengertian
dan teori apa yang guru gunakan dalam memecahkan satu kasus, akan mempengaruhi
hasilnya. Jadi pemilihan metode yang tepat mempengaruhi hasil yang akan
dicapai. Ketiga, memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan
teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif. Pemilihan dan
penetapan metode yang tepat dapat memotivasi anak didik agar dapat memecahkan
masalah, karena pemilihan metode yang monoton akan membuat siswa merasa jenuh
atau bosan. Keempat, menerapkan norma atau kriteria keberhasilan
sehingga guru/orangtua memiliki pegangan yang dijadikan ukuran untuk menilai
sejauh mana keberhasilan tugas yang telah dilakukan.[3]
[1] Ed. Shinta Rahmawati, Mencetak
Anak Cerdas dan Kreatif, (Jakarta: Kompas, 2001) , hal. 21
[2] Elizabeth B. Hurlock. Perkembangan
Anak. Dialih bahasakan Oleh Meitasari Tjandrasa dari Child Development.
(Jakarta: Erlangga, 1993), Cet. IV, hal. 3
[3] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar
Mengajar, (Jakarta: PT.Rinela Cipta, 2002), Cet. II, hal. 6-8.
0 comments:
Post a Comment