Muhamad Daerobi
A.
Pendahuluan
Allah mengutus Muhammad saw
dan membawa agama yang benar serta mudah (al-hanafiyyah as-samhah), hal ini
digambarkan dalam sabdanya bahwa agama yang disukai oleh Allah SAT adalah al-hanafiyyah
as-samhah.[1] Kebenaran dan kemudahan itu dilengkapi dengan tata hidup praktis yang
serba meliputi (as-sya’ri’ah al-jami’ah).[2] Meskipun
demikian dalam sifatnya yang menyeluruh terdapat dua hal yang berbeda, hal-hal
yang parametris, ajaran dan norma agama yang tidak berubah dan hal-hal yang
dinamis, ajaran dan norma yang bisa
berubah sesuai dengan perubahan waktu, tempat dan kondisi. Norma dan
ajaran yang irrasional, tidak berubah oleh pergeseran waktu dan perbedaan
tempat adalah simpul-simpul kepercayaan (al’aqaid) dan peribadatan (al-‘ibadah),
untuk persoalan ini diberikan penjelasan secara rinci (Mufhasalah) dan
sempurna serta dijelaskan dengan nash-nash yang serba meliputi. Karena itu,
tidak dibenarkan menambah atau mengurangi.
Selanjutnya persoalan baru
terdapat keluwesan tersendiri dalam dimensi hukum islam yang mana para ulama
diberikan kebebasan dalam mengupayakan sekuat-kuatnya ketika berijtihad, jika
salah dapat satu ganjaran, dan jika benar mendapatkan dua ganjaran pahala. Hal
semacam ini adalah ruanglingkup yang menjadi titik pembahasan hukum islam (tasyri’)
yang mana pola penarikan hukum islam berdimensi dengan waktu tempat serta
pengaruh ruang lingkup yang dihadapinya.[3]
Untuk memahami sejarah hukum
islam (tasry’) secara sempurna sangatlah
sulit manakala tidak membahas mengenai biografi serta metodelogi istinbath
hukumnya. Dari biografi menurut sejarawan mendapatkan sebuah karakter ijtihad
yang telah dihasilkan sesuai dengan pribadinya dalam memecahkan persoalan manakala
melihat kejadian hukum dilapangan (law in action) yang diterka dengan landasan normativitas (law in
book). Kemudian dari melihat persoalan yang ada para ulama memecahkan
persoalan menggunakan pola metodelogi tertentu yang kurang lebih dipengaruhi
oleh beberapa indikator, baik keilmuan ataupun fakta hukum yang menjeratnya,
sehingga mau tidak mau para ulama membuat rangkai pola bagaimana mengeluarkan
hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung
oleh nas al-Qur’an dan Sunnah,[4] atau usaha dan cara
mengeluarkan hukum dari sumbernya (al-Qur’an dan al-Sunnah) atau para ulama biasa
menyebutnya dengan istinbath hukum.[5] Secara umum istinbath hukum ada dua metode, Pertama adalah metode ma’nawiyah
(al-turuq al-ma’nawiyah) dan yang Kedua
yaitu metode lafziyah. (al-turuq al-lafziyah).[6] Metode ma’nawiyah
adalah: “penarikan kesimpulan hukum (istidlâl) bukan kepada nas langsung
seperti (penggunaan) al-qiyâs, al-istiẖsân, al-masâliẖ, al-dzarâ’i dan sebagainya”. Namun pola
istinbath yang dilakukan oleh imam mujahid seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi’I,
Ahmad bin Hambal serta imam Daud az-Zahiri, Imam Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah
Imamiyyah dan Mujahid lainnya mempunyai kriterium yang berbeda dalam
mengistinbathkan hukum (tasyri’), secara teoritis tidak
memisahkan dua dikotomi ini. Lebih jelasnya pemakalah akan memaparkan pembahasan ini pada
bab selanjutnya.
B.
Pembahasan
1. Imam Abu Hanifah (80-150 H).
Imam Hanafi atau nama lainnya disebut Abu Hanifah,
yang memiliki nama lengkapnya adalah Al-Numan ibn Tsabit ibn Zuhthi
(80-150 H). Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan
dikufah pada Tahun 80 H, artinya ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya
pada Tahun 80 H, yaitu pada zaman kekuasaan Abd Al-Malik ibn Marwan (Manna al-Qaththan,
1989: 202). Beliau meninggal pada zaman kekuasaan Abbasiah pada saat
beliau berumur 70 tahun.
Beliau hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18
tahun pada zaman Abbasiah. Selama hidupnya ia melakukan ibadah haji lima puluh
lima kali. Beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena diantara putranya ada yang
bernama Hanifah. Selain itu, menurut riwayat lain beliau bergelar Abu
Hanifah, karena beliau begitu taat beribadah kepada allah, yaitu berasal dari
bahasa arab Haniif yang artinya condong atau cenderung kepada
yang benar. Menurut riwayat lain, beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena begitu dekat dan eratnya beliau berteman
dengan tinta. Hanifah menurut bahasa Irak adalah tinta.[7]
Sikap politiknya berpihak pada keluarga Ali (Ahlul Bait) yang selalu dianiaya
dan ditindas oleh Dinasti Umayyah. Ketika Zaid berontak terhadap Hisyam dan
terbunuh, termasuk putranya Yahya ibn Zaid, Abu Hanifah sangat berduka.
“Perjuangan Zaid sama dengan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam perang Badar,”
katanya. Ketika Yazid ibn Umar
ibn Hubairah (zaman Dinasti Umayyah) menjadi Gubernur Irak, Abu Hanifah diminta
menjadi hakim dipengadilan atau bendaharawan negara, tetapi ia menolaknya.
Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun, atas
pertolongan juru cambuk, ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan pindah ke
Mekah. Ia tinggal disana selama enam tahun (130-136 H). Setelah pemerintahan
Umayyah berakhir, ia kembali ke Kufah dan menyambut kekuasaaan Abbasiah dengan
rasa gembira. Tidak berbeda
dengan pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbas juga melakukan kekerasaan terhadap
Ahlul Bait, seperti tindakan yang dilakukan oleh Al – Manshur terhadap Al –
Nasf, Al – Zakiah pada tahun 145 Hijriah. Abu hanifah tampil mengkritik
Abbasiah. Ia mengkritik para Hakim dan Mufti pemerintah. Ketika diminta oleh al
– Manshur untuk menjadi hakim di pengadilan, Abu Hanifah menolaknya.. akhirnya
ia dipenjara dan dicambuk. Ia meninggal pada tahun 150 H, akibat penderitaannya
dalam tahanan.[8]
Ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, diantaranya
Jami’ al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqh, dan
lain-lain. Adapun Sumber-sumber
hukum madzhab hanafi untuk mengambil istinbath hukumnya adakah:
a)
Al-Qur’an
b)
Sunnah
c)
Ijma’ sahabat
d)
Pendapat sahabat pribadi
e)
Qiyas
f)
Istihsan
g)
‘Urf
a)
Al-Quran, Hadist dan
Ijma’
Bagi mazhab hanafi al-quran, sunnah dan ijma’
merupakan sumber hukum yang terpenting, jika hukum tersebut tidak terdapat
didalam al-quran maka meruju’ ke hadist dan jika tidak terdapat didalam hadist
maka meruju’ ke ijma’. Terkait dengan sunnah, imam hanafi hanya menggunakan
hadist yang sahih dan masyhur.
Pendapat para sahabat, imam hanafi hanya menggunakan
pendapat yang memadai permasalahan pada masa itu, dalam menetapkan pandangan
ini sebagai prinsip penting mazhab hanafi.
b)
Qiyas (Deduksi Analogis)
Konsep yang di utarakan oleh hanifah bahwa beliau tidak
harus menerima rumusan hukum dari para tabi’in atau dari muritnya sahabat, dia
memandang bahwa dirianya setara dengan para tabi’in dan melakukan atau
menetapkan hukum dengan qiyasnya sendiri.[9]
c)
Istihsan (Preperensi)
Istihsan sederhananya adalah satu bukti yang lebih disukai
dari pada bukti lainnya karena ia tampak lebih sesuai dengan situasinya yang,
walupun bukti yang dugunakan ini lebih lemah dari pada bukti lain.
d)
‘Urf (Tradisi Lokal)
Tradisi lokal diberi bobot hukum dalam wilayah dimana tidak
terdapat tradisi islam yang mengikat, melalui penerapan prinsip ini
tradisi-tradisi yang beragam dalam budaya yang berbeda didalam dunia islam
menjadi sumber hukum.
Adapun Metode dan Cara Ijtihat Abu Hanifah yang berbeda dari yang imam lainnya yaitu:
1. Metode
Dialektika
Dengan
menggunakan analogi terhdap suatu permasalahan, metode yang digunakan oleh
hanafi independen dalam artian lebih menjurus kepada pemikiran-pemikiran individualistik,
yang diikuti dengan pola qiyas.
2. Metode
Istihsan
Yaitu
upaya untuk mentawaqufkan prinsip-prinsip umum dalam sat nas desebabkan adanya
nas lain yang menghendaki demikian, metode ini dikaitkan dengan maqsid
al-syari’ah.
Thaha Jabir Fayadl al Ulwani membagi cara ijtihad Abu
Hanifah menjadi dua yaitu: Cara Ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang
merupakan tambahan. Cara ijtihadnya yang pokok dapat diringkas sebagai berikut:
“Aku (Abu Hanifah) merujuk kepada Al-Quran apabila aku
mendapatnya, apabila tidak ada dalam Al-Quran, aku merujuk kepada Sunnah
Rasulullah SAW dan Atsar yang Shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang Tsiqah.
Apabila tidak mendapatkan dalam Al Quran dan sunnah rasul, aku merujuk kepada
Qaul Sahabat, (apabila sahabat Ikhtikaf), aku mengambil pendapat sahabat yang
mana saja yang kukehendaki, aku tidak akan pindah dari pendapat yang satu ke
pendapat sahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat Ibrahim, al-Sya’bi, dan
Ibn al-Musayyab serta yang lainnya, aku berijtihad sebagaimana mereka
berijtihad.”(Thaha Jabir Fayadl Al Ulwani,1987:91)
Sedangkan cara berijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan
adalah:
(a) Bahwa Dilalah lafad umum (“am”) adalah Qoth’i seperti
lafadz Khash;
(b) Bahwa pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat
umum adalah bersifat Khusus
(c) bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih
kuat (Rajih)
(d) adanya penolakan terhadap Mafhum (makna tersirat)
syarat dan sifat
(e) bahwa apabila perbuatan Rawi menyalahi riwayatnya yang
dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan riwayatnya,
(f)
mendahulukan Qiyas Jali atas Khabar Ahad yang dipertentangkan
(g) menggunakan Istikhsan dan meninggalkan Qiyas apabila
diperlukan.[10]
Langkah ijtihad yang ditempuh oleh Abu Hanifah dapat
dilihat dari ungkapannya yaitu “ sungguh, saya berpegang pada Kitab Allah jika
aku dapati disana. Jika tidak saya mengambil sunnah Rasulullah Saw. Dan
atsar shahihah yang tersiar di kalangan ulama tsiqah. Jika tidak aku dapati
juga di Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saya mengambil pendapat sahabat yang
aku kehendaki pula. Kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka ke pendapat
yang lain. Bila kasus tersebut pernah diputuskan oleh orang-orang seperti Ibrahim,
al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, dan Sa’id al-Musayyab, maka saya akan
berijtihad juga seperti mereka telah berijtihad”.
2.
Imam Maliki (93-179 H)
Nama lengkap pendiri mazhab maliki adalah Malik bin Annas
bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 H = 721M di Madinah pada perkembangan
selanjutnya beliau dikenal dengan sebutan Imam Malik. Beliau wafat pada tahun
179 H, hanya berbeda 29 tahun dengan Abu Hanifah, walaupun pada zaman yang
sama, tetapi tempatnya yang berbeda.
Pada waktu beliau masih kecil, Malik juga belajar berdagang
dan pekerjaan ini tidak mnghalangi ia untuk menuntut ilmu fiqh kepada Alkamah
bin Alkamah, disamping itu dia juga menuntu ilmu nahwu, syair dan juga
menghafal Al-Quran, beliau juga menuntut ilmu kepada seorang ulama’ yang
dikenal sangat cerdas diantara par ulam’ lainnya yaitu Rabi’ah, Imam Malik
sangat mengagumi gurunya tersebut, karena kecerdasan dan kealimanya.
Imam Malik belajar kepada ulama’-ulama’ Madinah, dan yang
menjadi guru pertamanya adalah Abdurrahman bin Hurmuz, beliau juga belajar
kepada Nafi’ Maulana ibnu Umar, Imam Malik diakui oleh ulama di madinah
sebagai Ahli hadist, bliau menghafal hadist sebanyak 100.000 ribu
hadist.
Imam Malik adalah seorang tokok dihijas dalam segala hal,
baik fiqh, al-quran dan hadist, Imam Malik tumbuh besar dikalangan ulama Ahlu
Al-Hadist, maka hal tersebut mempengaruhi pemikiran Imam Malik.[11]
Imam Malik membangun madzhabnya di atas dua puluh dalil,
sebagaimana di kutip dari perkataan para Ulama Madzhab Maliki. dua puluh dalil
tersebut yaitu:
a)
Nash Al-Qur’an
b)
Keumuman Al-Qur’an,
yakni zhahir Al-Qur’an
c)
Dalil Al-Qur’an, yakni
mafhum mukhalafahnya
d)
Mafhum Al-Qur’an, yakni
mafhum muwafaqahnya
e)
Tambih Al-Qur’an, yakni
memperhatikan illat (sebab) suatu ayat, seperti firman Allah, “Karena
sesungguhnya semua itu kotor (najis).” (Al-An’am:145)
Lima dalil ini adalah yang bersumber dari Al-Qur’an.
Sedangkan yang berasal dari sunnah, juga sama seperti lima yang dari Al-Qur’an.
Dengan demikian jumlahnya menjadi sepuluh. Adapun yang selanjutnya:
f)
Ijma’
g)
qiyas
h)
Amal/perbuatan penduduk
Madinah
i)
Perkataan Sahabat
j)
Istihsan
k)
Saddu Dzari’ah
l)
Memperhatikan perbedaan
m)
Istishab
n)
Mashlahah Mursalah
o)
Syar’u man qablana
(syariat sebelum kita).
Dalam pelaksanaannya tidak berurutan seperti yang
disebutkan di atas. Qadhi Iyadh berkata: Setelah menjelaskan susunan ijtihad
sesuai dengan yang dikehendaki, akal dan disaksikan syara’ , mendahulukan
Kitabullah pada dalilnya dengan jelas daripada mendahulukan nash-nashnya,
kemudian dzahir mafhumnya. Demikian juga sunnah menurut susunan mutawatir,
masyhur dan ahad, lalu susunan nash-nashnya, dzahir-dzahirnya, dan
mafhum-mafhumnya. Kemudian Ijma’ ketika tidak ada dalam Al-Qur’an dam sunnah
mutawatir. Ketika tidak ada semua yang pokok ini maka menggunakan Qiyas dan
mengistimbatkan darinya. Qadhi Iyad berkata setelah menjelaskan hal itu dan
berhujjah dengannya: Bila Anda perhatikan pertama kali sikap para imam dan
sumber pengambilan mereka dalam fiqih dan ijtihadnya dalam syara’, niscaya Anda
dapati Malik menempuh cara ini dalam Ushulnya, susunannya, mendahului Al-Qur’an
dari pada Atsar, mendahulukan Atsar dari pada Qiyas dan I’tibar. Meninggalkan
Qiyas terhadap sesuatu yang orang-orang arif terpercaya tidak melakukannya
dengan apa yang mereka lakukan atau mendapati sesuatu dari mayoritas penduduk
Madinah yang telah melakukan yang lainnya dan menyelisihinya, kemudian beliau
menempuh cara Salaf dalam menghadapi berbagai kesulitan. Dia mengutamakan ittiba dan
tidak menyukai bid’ah.
Dapat di pahami bahwa Imam Malik secara umum mengikuti cara
orang-orang Hijaz dengan menetapkan Atsar selagi memungkinkan
dan tidak menyukai perluasan masalah dan memaparkannya sebelum terjadi.
Dalam menentukan hukum-hukum, imam maliki memeberi runtutan
pengambilan sumber hukum dalam mengistinbathkan tasyri, adapun sumber-sumber
hukum yang digunakan imam malik antara lain:
1)
Al-Quran
2)
Hadist (yang berkwalitas
shahih dan masyhur)
3)
Ijma’ (amalan ulama’
madinah ketika itu)
4)
Qiyas (analogis)
5)
Maslahah mursalah
(kepentingan umum)
Konsep maslahah mursalah[12]
yang di gunakan oleh imam malik di dasari oleh kondisi masyarkat madinah,
walaupun banyak para ulama yang tidak setuju dengan penggunaan metode maslahah
mursalah dikarenakan tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap metode tersebut.
Imam malik lebih banyak menggunakan ijma’ dalam menentukan sebuah hukum,
khusunya hokum-hukum baru yang tidak terdapat didalam alqu’an dan hadist.
Adapun Hal-hal yang membuat metoden istinbathnya istimewa, yang memberi pengaruh dalam perluasan lapangan
perselisihan/perbedaan di antara dia dan yang lainnya, yaitu:
1) Amal/perbuatan Penduduk Madinah, adalah sebagai hujjah
bagi Malik dan didahulukan dari pada Qiyas dan Khobar Ahad.
2) Mashlahah Mursalah Istishlah yaitu
kemaslahatan-kemaslahatan yang tidak diperlihatkan oleh syara’ kebatalannya dan
tidak pula disebutkan oleh nash tertentu dan dikembalikan pada pemeliharaan
maksud syara’ yang keadaan maksudnya dapat diketahui dengan Al-Qur’an, Sunnah,
Ijma dan tidak diperselisihkan mengikutinya kecuali ketika terjadi pertentangan
dengan maslahat lain. Maka ketika seperti ini Malik mendahulukan beramal
dengannya.
3) Perkataan Sahabat
4) As-Sunnah
5) Beliau berpendapat menggunakan istihsan dalam berbagai
masalah, seperti jaminan pekerjaan, menolong pemilik dapur roti dan mesin
giling, bayaran kamar mandi bagi semua orang itu sama dan pelaksanaan Qisas
harus menghadirkan beberapa orang saksi dan sumpah; hanya saja Malik tidak
meluaskan dalam pendapatnya tidak seprti madzhab Hanafi.
3.
Mazhab Syafi’I (150-204 H)
Mazhab ini dibangun oleh imam Abu A’dullah Muhammad bin
Idris bin Abbas bin Syafi’i, beliau di juluki Imam Syafi’i karena kakeknya
bernama Syafi’i, Imam Syafi’i adalah keturunan Bani Hasyim yang memiliki nasab
kepada Rasul, beliau lahir di gazah pada tahun 150 H dan wafat di mesir pada
tahun 204 H[13] pada saat
imam berumur 52 tahun.
Setelah ayahnya meninggal pada saat Imam Safi’i berumur
hampir 2 tahun maka ibunya membawa Imam Syafi’i ke gazah karena dikhawatirkan
kalau dia tinggal di gazah maka nasabnya dengan kaum Quraisy akan hilang
sehingga Imam Syafi’i tidak dapat memperoleh pendidikan yang semestinya, pada
saat itu keturunan quraisy sangat di junjung tinggi, dan orang-orang
Quraisy adalah keturunan atau masih memilki hubungan dengan Rasul Saw, sehingga
segala kebutuhan pasti dibantu oleh kaum Quraisy, dilatar belakangi hal
tersebut maka Imam Syafi’i pindah ke mekkah.
Imam Syafi’i dikenal sangat pintar dalam segi keilmuan
agama, hafalannya yang tajam dan kuat, sehingga pada umur 7 tahun beliau sudah
menghafal Al-Quran, dan pada waktu menuntu ilmu Imam Syafi’i juga dapat
mengulangi apa yang telah disampaikan oleh gurunya, setiap kali gurunya
menjelaskan beberapa materi imam syafi’i selalu mencatatnya dan menghafalnya.
Jika kita telusuri sejarah perjuangan yang dilakukan oleh
Imam Syafi’i untuk mencari ilmu pengetahuan, maka itu semua tidak luput dari
keserisusan dan semangat beliau untuk menjadi yang lebih baik. Kepribadian imam
syafi’I yang suka merantau dari suatu daerah ke daerah yang lain hanya untuk
mencari ilmu, itu dapat dicermati dalam syairnya :
Merantaulah ! pasti kamu akan mendapat ganti atas apa yang
engkau tinggalkan Maka tinggalkanlah kampung halaman dan merantaulah,sehingga
dengan berbekal keberanian Imam Syafi’i melakukan rihlahnya ke berbagai daerah,
rihlah dilakukan beliau antara lain ke Madinah, Mekkah, Iraq, Yaman.[14]
Pada saat Imam Syafi’i berumur 20 tahun, beliau pergi ke
Mekah Al-Mukarramah untuk menuntut ilmu fiqh kepada seorang ulama’ besar yaitu
Syekh Muslim bin Khalid yaitu imam masjidil haram. Setelah menggali ilmu fiqh
dari Muslim bin Khalid, Imam Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke Madina dengan
tujuan menuntut ilmu kepada ulama’ terkemuka yaitu Imam Malik ( tekstual
normatif) dengan kitab fiqihnya yang terkenal Al-Muwattaq. Imam Syafi’i
dapat menghafal dengan waktu yang singkat semua kitab Al-Muwattaq Imam Malik.
Karena merasa belum puas dengan keilmuannya, Setelah memguasai kitab
Al-Muwattak. Syafi’i melanjutkan rihlahnya
ke Iraq berguru kepada imam terkemuka disana yaitu Imam Abu Hanifah (rasionalistis).
Imam Syafi’i mencoba mengkolaborasikan pendapat, pola fikir
dan fiqh kedua Imam tersebut, antaraAhlul Al-Hadist (tesa)
dan Ahlul Ar-Ra’yu (antitesa). Jadi dapat dikatakan bahwa Imam
Syafi’i adalah sintesa dari dua Imam tersebut. Setelah berguru kepada Abu
Hanifah, Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke yaman untuk berguru disana, karena
keterbatasan dana Imam Syaf’i’i mencari kerja di yaman, dengan bantuan temannya
beliau diangkat menjadi hakim di Yaman, tetapi itu hanya sebentar saja, lalu
beliau kembali ke mekkah.
Pengetahuan-pengetahuan untuk menggali hukum diperlukan
keilmuan tentang dalil-dalil, tentang perintah dan larangan.
Pengetahuan-pengetahuan ini diakumulasikan melalui asas-asas tertentu sehingga
tersusun dengan baik. Asas-asas yang di maksud misalnya asas tasyri’. Pengetahuan
tentang dalil tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan dengan daya nalar fikir
dan daya kepahaman dalam menggali hukum tersebut, begitu juga yang dilakukan
oleh Imam Syafi’i, dalam menggali hukum Sari’ah, Imam Syafi’i hanya menggunakan
empat macam, hal ini di utarakan Imam Syafi’i dalam kitab Ar-Risalah:
a) Al-Qur’an
b) Al-Hadist
c) Ijma’
d) Ra’yu (Qiyas)
Penjelasan dari ke empat pola
pengistinbathan hukum yaitu:
1. Al-Qur’an
Konsep Al-Quran menurut para ulama’ dan Syafi’i sama yaitu
suatu sumber hukum yang mutlaq, ini adalah landasan dasar, karena tidak mungkin
di dapati perbedaan dalamnya baik lafald dengan lafald.[15] Pemahaman Imam Syafi’i dikuatkan dengan firman allah (QS. 2:132).
“Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat”
Dalam menggali hukum didalam Al-Quran Imam Syafi’i lebih
menekankan kepada keilmuan bahasa sebagi mana yang telah beliau utarakan bahwa
Al-Quran diturunkan dengan bahasa arab dengan tujuan agar mudah dipelajari
dan dipahami tidak mungkin terdapat lafadz-lafadz ‘ajam.[16] Imam
Syafi’i selalu mencantumkan ayat-ayat Al-Quran setiap kali beliau berfatwah,
namun Safi’i menganggap bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari Al-Sunnah,
karena kaitan antara keduanya sangat erat.[17]
Gagasan yang meyangkut keluasan bahasa, pada kenyataannya
ia ingin mengatakan bahwa bahas arab tidak mungkin dapat dikuasai dengan
sempurna kecuali Nabi, telah kita ketahui bersama bahwa penukilan Al-Quran
telah dikenal adanya penukilan Mutwatir dan penukilan Ahad. Imam Syaf’i
membenarkan penukilan Mutawatir kaitan untuk diamalkan dan di jadikan hujjah.[18]
2. Al-Sunnah
Arti sunnah yang biasanya disebut dalam Ar-Risalah adalah
“khabar” dalam arti istilah ilmu hadist adalah berita, bentuk jama’nya adalah
khabar dalam artian yag keseluruhannya datang dari Nabi atau selainnya,
penggunaan khabar lebih luas dari pada hadist.[19]
Pemahaman Syafi’i tentang hadist adalah segala bentuk :
a) Al-Aqwal Nabi
b) Al-Af’al Nabi
c) Al-Taqdiru Nabi ’ala amrin
untuk hadist Nabi Imam Syafi’i hanya menggunakan hadist yang
bersifat Mutawati dan Ahad, sedangkan untuk hadist yang dhaif hanya digunakan
untuk li afdhalil amal, dalam menerima hadist ahad mazhab
Syafi’i mensyaratkan:
1. Perawinya tsiqah dan terkenal shidiq
2. Perawinya cerdikdan mahami hadistyang diriwaytkannya
3. Perawinya engan riwayat bi lafdhi bukan dengan riwayat
bilmakn.
4. Perawinya tidak mnyalahi ahl-ilmi
Kalau kita perhatikan, persyaratan yang di syaratkan oleh
Syafi’i hanya untuk keshahihan suatu hadist, hadist ahad yang diterimanya
sebatas kalau hadist tersebut sahih dan bersambung.
Faktor yang melatarbelakangi Syafi’i lebih teliti dalam
menerima hadist karena sesudah Nabi wafat banyak dari kelangan aliran politik
yang membuat hadist-hadist palsu untuk menguatkan posisinya sebagai pemimpin.
Dan hadist pun bisa di atur dan di ubah sesuai denegan kenginan pemimpin.
3.Ijma’
Ijma’ yang dimaksud oleh Syafi’i adalah ijma’nya para
sahabat, dalam arti perkara yang di putuskan oleh para sahabat dan di sepakati,
maka itu menjadi sumber hukum yang ketiga jika tidak ada didalam nash baik
Al-Quran maupun hadist, contoh ijma’ yaitu shalat terawih 20 raka’at. Jika
terjadi perbedaan diantar para sahabat, maka Imam Syafi’i memilih pendapat yang
lebih dekat kepada Al-Quran dan sunnah.
Ijma’ menurut para ulama’ menempati posisi ketiga setelah
Al-Quran dan Hadist, begitu juga dengan Syafi’i, konsep ijma’ yang di tawarkan
oleh Syafi’i mengharuskan merujuk kepada dalil yang ada yaitu Al-Kitab dan
Al-Sunnah yang memiliki hubungan kepada qiyas, alasan yang di utarakan oleh
Syafi’i kenapa ijma’ harus disandarkan kepada nash. Petama, bila
ijma’ tidak dikaitkan kepada dalil maka ijma’ tersebut tidak akan sampai kepada
kebenaran. Kedua, bahwa para sahabat tidak lebih benar dari pada
nabi, sementara nabi tidak pernah menetapkan hukum tanpa mengkaitkan dengan
dalil-dalil Al-Quran. Ketiga,pendapat agama tanpa dikaitkan kepada
dalil maka itu adalah salah besar Keempat, pandapat yang tidak
dikaitkan dengan dalil maka tidak diketahui hokum syara’ nya.[20]
4. Qiyas
Qiyas menurut para ahli hukum islam berarti penalaran analogis,
yaitu pengambilan kesimpulan dari prinsip tertetu, perbandingan hukum
permasalahan yang baru dibandingkan dengan hukum yang lama, contoh yang
diberikan oleh Imam Syafi’i, zakat beras, tulang babi dan lain-lain.
Imam Syafi’i sangat membatasi pemikiran analogis, qiyas
yang dilakukan oleh Syafi’i tidak bisa independent karena semua yang diutarakan
oleh Syafi’i dikaitkan dengan nash Al-Quran dan Sunnah.
4.
Imam Hanbali (164 -231 H)
Beliau bernama Abu Abdillah Ahmad ibn Hambal ibn Hilal Ibn
Asad al-Syaibani al-Marwazi. Ia lahir di Baghdad pada Tahun 164 H, dibesarkan
dan wafat disana pada Tahun 231 H.[21] Ahmad
ibn Hambal dilahirkan ketika kekalifahan dipegang oleh Musa Al-Mahdi dari
kalangan Abbasiyah. Musa al-Mahdi meninggal dan digantikan oleh Harun Ar-Rasyid
(170-194H), Harun Ar-Rasyid digantikan oleh Al-Amin (194-198 H), Al-Amin
digantikan oleh al-Makmun ( 198-218 H). Al-Makmun adalah khalifah yang
menjadikan Mu’tazilah sebagai Madzhab Negara. Karena Imam Ahmad Ibn Hambal ini
tidak memiliki pemikiran yang sejalan dengan Mu’tazilah, sehingga beliau
mendapatkan penyiksaan bahkan dipenjarakan. Hal itu diketahui ketika Imam Ahmad
diajukan pertanyaan tentang apakah Firman Tuhan (Al-Qur’an) adalah makhluk.
Akan tetapi beliau tidak sependapat dengan menjawab bahwa Al-Qur’an bersifat
Qadim dan bukan Makhluk. Karena menurut Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an adalah baru,
dan tidak bersifat qadim. Keberanian
mempertahankan keyakinan ini disamping membawa resiko juga membawa keuntungan ,
yaitu membuatnya mempunyai banyak pengikut di kalangan umat Islam yang tak
sepaham dengan kaum Mu’tazilah. Karena itu kendati banyak Ulama’ yang menjalani
hukuman mati , Al-Mu’Tashim dan Al-Watsiq tidak berani menjatuhkan hukuman mati
terhadap Imam Ahmad karena takut menimbulkan kekacauan. Akhirnya Al-Mutawakkil
kahlifah berikutnya menghapuskan pemaksaan paham Mu’tazilah.
Adapun pola istinbath hukum Ahmad ibn Hambal dibangun atas
lima dasar yaitu sebagai berikut :
a)
Al-Nushush dari
Al-qur’an dan Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dalam Al-Qur’an dan Sunnah,
ia berpendapat sesuai dengan makna yang tersurat , makna yang tersiratnya ia
abaikan.
b) Apabila tidak didapatkan dalam Al-qur’an dan Sunnah ia menukil
fatwa sahabat memilih pendapat sahabat yang disepakati sahabat lainnya.
c) Apabila fatwa sahabat berbeda-beda ia memilih salah satu
pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
d) Imam Ahmad mengambil hadist mursal dan Dhaif sekiranya tidak
ada dalil yang menghalanginya. Dimaksud dengan Dhaif disini bukan Dhaif yang
batil dan yang mungkar. Tetapi Dhaif yang tergolong sahih atau hasan. Dalam
pandangan imam ahmad, hadist itu tidak terbagi atas sahih, hasan dan dhaif,
tetapi terbagi atas dua yaitu shahih dan dhaif saja. Pembagian hadist menjadi
shahih, hasan dan dhaif dipopulerkan oleh al-Tirmidzi (209-279 H).
Karenanya tidak mengherankan kalau di masa Imam Ahmad pembagian hadist
masih kepada shahih dan dhaif. Hadist dhaif ada bertingkat-tingkat. Yang
dimaksud dhaif tadi adalah pada tingkat yang paling atas. Menggunakan hadist
semacam ini lebih utama daripada menggunakan Qiyas.
e) Qiyas adalah digunakan dalam keadaan darurat yaitu bila tidak
ada “senjata” yang disebut sebelumnya.
Metode yang di kembangkan oleh ahmad bin hambal adalah
Metode Dialektika hal ini dpat kita lihat cara beliau menjelaskan tentang seatu
hukum, Fiqih Imam Ahmad menjelaskan tentang syarat-syarat penegakan
sanksi potong tangan. Dari sisi pelaku pencurian, syarat-syarat yang meski
dipenuhi adalah pencurinya sudah mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan budak
pemilik, meskipun Syubhat. Sedangkan syarat dari segi benda adalah benda yang
dicurinya berupa harta dan sudah mencapai nishab.Menurut Ahmad ibn Hambal,
nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi potong tangan adalah ¼
dinar atau 3 Dirham.
Dalam bidang pemerintahan Imam Ahmad berpendapat bahwa
khalifah yang memimpin adalah dari kalangan Quraisy sedangkan taat kepada
khalifah adalah mutlak. Imam Ahmad berpendapat : “Mendengarkan dan taat kepada para imam dan amirul mu’minin
(adalah wajib), baik ia seorang yang baik maupun Fajir”
Dalam bidang Mu’amalah, terutama tentang Khiyar al-Majlis.
Imam Ahmad berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim (meskipun telah
terjadi ijab dan qabul) apabila penjual dan pembeli masih dalam satu ruangan
yang di tempat itu akad dilakukan. Apabila keduanya atau salah satunya tidak di
tempat itu lagi (berpisah) maka akad sudah lazim. Alasannya adalah hadist
riwayat Nafi’ dan ‘Abdullah ibn Umar r.a yang menyatakan bahwa nabi Muhammad
Saw bersabda :
“Setiap penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (pilih)
selama keduanya belum berpisah “
Selanjutnya, tokoh yang membaharui dan melengkapi pemikiran
Madzhab Hambali, terutama di bidang Mu’amalah adalah Syeikh al-Islam Taqiyudin
Ibn Taimiyah (wafat 728 H) dan Ibn Al-Qayim al-Jauziyyah (Wafat 751 H) murid
ibn Taimiyyah. Tadinya pengikut Madzhab Mahbali tidak begitu banyak, setelah
dikembangkan oleh dua tokoh tersebut maka madzhab Hambalimenjadi semarak
terlebih setelah dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H).
dan kini menjadi Madzhab resmi pemerintah Kerajaan Saudi Arabia.
5.
Imam Daud az-Zahiri (202-270 H)
Beliau dilahirkan di Kuffah pada
tahun 202 H, dengan nama Abu Sulaiman Daud ibn al-Asbahani yang kemudian
dikenal dengan sebutan Daud az-Zahiri, karena beliaulah pendiri mazhab ini.[22]
Mula-mula beliau bermazhab
Syafi’I dan amat teguh memegang hadits, sedang ayahnya bermazhab Hanafi, namun
pada akhirnya beliau menentang mazhab Syafi’i, karena Syafi’i mempergunakan
Qiyas dan memandangnya sebagai sumber hukum hukum. Daud pernah berkata: “saya
telah mempelajari dalil-dalil yang dipergunakan oleh asy-Syafi’i untuk
menentang istihsan, maka saya dapati bahwa dalil-dalil tersebut membatalkan
qiyas.[23]
Beliau berpendapat, bahwa
nash-nash yang dipergunakan oleh ahlu ra’yu dalam memandang qiyas sebagai dasar
hukum, adalah berguna di waktu tidak ada sesuatu nash dari kitabullah atau
sunnah Rasul dan beliau berpendapat, bahwa apabila kita tidak memperoleh nash
dari al-Qur’an dan Sunnah, maka hendaklah kita memusyawarahkan hal itu dengan
para ulama, bukan kita berpegangan kepada pendapat ijtihad sendiri.
Mazhab beliau ini dikenal dengan
nama Mazhab ad-Zahiri karena beliau berpegang kepada zahir al-Qur’an dan
as-Sunnah, tidak menerima ada ‘Ijma kecuali Ijma’ yng diakui oleh semua ulama. Walaupun
mazhab ini pada dasarnya berpegang pada zahir nash, tetapi kita dapat menjumpai
beberapa teori barat, karena dalam mazhab inilah kita jumpai pendapat yang
menetapkan bahwa istri yang berharta wajib menfkahi suaminya yang fakir.
6.
Ibn Hazm (384-456 H)
Ibn Hazm ialah Ali bin Ahmad bin Said ibn Ghalib ibn
Shaleh ibn sofyan bin Yazid. Beliau dikenal juga dengan sebutan Abu Muhammad
dan sehari-hari dikenal dengan nama Ibnu Hazm. Beliau lahir pada bulan Ramadhan
tahun 384 H di Cordova dan Beliau Wafat tahun 456 H.
Ia adalah salah seorang
mujtahid potensial yang diduga sebagai penerus mazhab zhairi. Ibn Hazm merupakan
tokoh yang fenomenal. Pada dirinya melekat gelar az-Zahiri karena berpegang
pada teks-teks nash.[24] Tetapi
meskipun demikian, Ibn Hazm merupakan salah seorang pemikir muslim yang
menekuni multi disiplin ilmu keislaman. Ia dikenal ahli dalam ilmu kalam
(teologi), hadits, ushul fiqh, politik, bahasa, sejarah, fiqh bahkan psikologi.
Kepiawaiannya dibidang ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak diragukan , hal
ini dapat dibuktikan ketika ilmuan sezamannya banyak bertaklid,[25] ternyata
ia menentang keras sikap taqlid. Menurutnya seorang tidak dibenarkan taqlid
kepada orang lain, baik ulama tersebut masih hidup maupun telah meninggal.
Dengan menentang sikap taqlid, maka ijtihad menjadi wajib sesuai dengan batas
kemampuan masing-masing, karena makna ijtihad itu menjadi sendiri merupakan
batas kesanggupan untuk mencarti hukum
agama yang telah diwajibkan bagi hambanya.[26]
Ibnu Hazm keturunan Persia,
yaitu kakeknya Yazid berasal dari negeri itu. Ibnu Hazm dibesarkan dalam
lingkungan keluarga kaya dan mempunyai status sosial terhormat. Namun Ibnu Hazm
lebih tertarik kepada ilmu, bukan kepada harta dan kemegahan.[27]
Dalam kajian hukum islam Ibn
Hazm dikenal dengan tokoh literal, artinya selalu berpendapat sesuai dengan apa
adanya pada teks nash. Dengan unkapan ini seakan-akan pada diri ibn Hazm tidak
ada fungsi rasio dalam menemukan hukum Islam (tasyri, karena sudah cukup
dengan nash (al-Qur’an) dan as-Sunnah) secara tekstual.[28] Pada
sisi lain ibn Hazm sangat menganjurkan Ijtihad, bahkan sampai pada tingkat
wajib dan konsekwensinya taqlid haram.
Dalam membuat metodelogi
bagaimana cara mengeluarkan hukum serta implikasi istinbath hukumnya maka Ibn
Hazm berpegang kepada:
a) Kitabullah
b) Sunnah
c) ‘Ijma’ (harus semua sahabat
sepakat).[29]
Ibn Hazm tidak menerima
pendapat shahabi, sdangkan imam empat menerimanya. Ibn hazm berpegang kepada
zahir kitab dan sunnah, yaitu menanggapi makna yang khas terlintas di hati di
waktu menyebut lafa-lafal, tanpa meneliti illatnya dan tanpa mengqiyaskan
sesuatu kepadanya. Namun demikian ada yang berbeda secara signifikan dari para
imam yang lainnya, seperti pola istinbath hukum Ibn Hazm yaitu menggunakan konsep
al-dalil, dan ini juga yang membedakan antara istinbath hukum beliau
dengan istinbath hukum Imam Daud az-Zahiri (202-270 H). yang mana konsep al-dalil didasarkan dan
lahir dari al-Qur’an, hadits dan Ijma’, bukan dalam bentuk qiyas tetapi dalam
bentuk lain yang tidak berpegang pada illah fiqhiyyah, tetapi didasarkan
kepada istilah-istilah logika.[30]
7. Syi’ah
Mazhab ahlul bait adalah
mazhab yang lebih dahulu lahir dalam sejarah, karena bukan Imam Ash-Shodiq yang
meletakan batu pertama dan menaburkan benihnya, melainkan Rasul sendiri. Mazhab
ini lahir pada masa Nabi dan Imam pertama Ali Bin Abi Tholib. Tatkala ia wafat,
gerakan ilmiah dan pemimpin mazhab dipimpin oleh putranya Imam Hasan. Dialah
tempat rakyat mengembalikan urusan, namun mazhab ini tidak berjalan lancar
karena tekanan dan sengketa dengan muawiyah.
Maxhab syi’ah lebih terkema
lagih pada masa Imam husein karena kekuasaam dipergunakan dengan
sewenamg-wenang oleh yazid, merusak kedudukan hukum islam,hingga menyebabkan
husein wafat dengan cara menyedihkan sebagai pahlawan islam.
Pelaksanaan peradilan dan
pimpinan mazhab diserahkan kepada Ali bin husein dengan gelar zainal
abidin,seorang wara dan takwa.walaupun suatu sangat buruk, dengan cara
diam-diam meneruskan usaha ayahnya sehingga melahirkan banyak ulama ahli hukum
dan hadist.
Nasas imam al-Baqir, suasana
politik agak berubah dengan melemahnya kekuasaan umayyah. Pengajaran ahli bait
digiatkan kembali hingga pada masa imam ash-Shadiq mencapai kemajuan pesat.
Masa bani abbasiyah, mazhab syi’ah mendapat tekanan, dengan kekuasaan para
pembesar mereka menyogok para ulama untuk menyerang syi’ah dengan fatwah
mereka, bahwa syi’ah mengkafirkan semua sahabat, tidak berama sesuai dengan
al-Qur’an dan sunnah, dengan demikian meracuni pikiran rakyat untuk membasmi
syi’ah.
Perbedaan perinsip dan ajaran
yang berakibat timbulnya kelompok ekstrim (ghulat) dan moderat, perbedaan
pendirian tentang siapa yang berhak menjadi imam, adalah merupakan penyebab
perpecahan di kubu syi’ah menjadi beberapa aliran.
Zaidiah dan imamiyah
merupakan kelompok yang paling terkenal dan masih hidup hingga sekarang. Kedua
mazhab syi’ah ini tidaklah berbeda jauh
dengan sunni, baik corak pemikiran maupun dasar hukum yang dipakai. Dlam bidang
fiqih kedua mazhab ini hampir tidak berbeda, syi’ah imamiyah lebih mendekati
fiqh as-syafi’I swdangkan zaidiyah lebih mendekati fiqh hanafi.
a. Syi’ah Imamiah
Salah satu mazhab syi’ah yang
terdekat dengan sunny adalah syi’ah imamiah atau Ja’fariah. Perbedaan diantara
kedua-nya hanya terletak pada kewajiban beriman yang menurut mereka harus
maksum, memegang nash sebagai sumber hukum dan kemudian menggunakan akal
sebagai alat berijtihad yang menurut mereka tidak pernah tertutup.
Mazhab Imamiyah terbagi pula
dalam beberapa aliran; aliran kisaniyah (sudah tak ada lagih) yang menjadi imam
muhammad bin hanifah yang bergelar kisan, aliran fathaniah yang menjadikan
abdullah al-fath sebagai imam; aliran wakiah yang ingin menetapkan Ali al-kazim
sebagai imam, aliran nawusiah yang hanya mengatakan imam ja’far bin muhammad
shadiq belum mati dan takan mati, ia akan lahir kembali mengatur masyarakat,
dan ia yang berhak digemari al-mahdi, aliran al-sabaiah yang mengatakan Ali
sebagai Tuhan, aliran isma’iliah yang menjadikan ismail bin ja’far Shadiq
sebagai imam yang ketuju, disebut juga sab’iah karena membatasi sampai tujuh,
aliran zaiiah dan Itsna’asyariah. Semua aliran-aliran tersebut di atas sudah
tidak ada lagih, selain aliran Imamiah Itsana’asyriah, zaidiah dan aliran Isma’iliah.
Syi’ah Imamiyah Itsna’asyriah
meyakini kesucin dua belas imam, yaitu Ali bin Abi Thalib, hasan bin ali,
husein bin Ali,Ali bin husein (zainal Abidin). Muhammad A. Baqir, ja’far
shadiq, musa al-kazim, Ali ridha, muhammad al-jawad, Ali al-Hadi, hasan al-
Askari dan muhammad bin hasan al-Mahdi.
2. Syi’ah
Zaidiyah
Syi’ah zaidiyah didirikan oleh
Zaid bin Ali Zaenal Abidin bin Husen bin Ali Abi Thalib, keturunan Fatimah
putri Nabi. Zaid bin Ali adalah seperguruan dengan Imam Ja’fat Shadiq, keduanya
sama-sama berguru kepada al-Baqir.
Zaidiyyah mempunyai banyak
pengikut di Yaman dan merupakan mazhab
syi’ah yang pahamnya paling dekat dengan sunny, terutama dengan mazhab Hanafi.
Hal ini dikarenakan Imam Hanafi pada mulanya belajar kepada Imam Zaid bin Ali
Zainal Abidin. Zaidiyah lebih moderat bila dibandingkan dengan syi’ah Imamiyah.
Dalam menetapkan hokum, Zaidiyah berpeganganpada al-Qu’ran dan
as-Sunnah. Ijtihad bagi mereka tetap terbuka dan setiap masa tidak boleh kosong
dari seoran mujtahid. Qiyas mereka tolak selama masih ada Imam-imam bersama
mereka yang mengetahui hokum syariat.
Pola pemikiran Zaidiyah dalam masalah khilafah dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Imam seharusnya dari keturunan Fatimah /Ali, tetapi tidak
menolak jika jabatan itu diduduki oleh orang lain asal memenuhi syarat. Oleh
karena itu mereka mengakui kekhalifaan Abu Bakar, Umar dan Usman, meskipun
menurut urutan prioritas, Ali seharusnya yang menjadi khalifah.
b. Imam tidak maksum, dia dapat saja berbuat salah dan dosa seperti
manusia lain.
c. Tidak ada imam dalam kegelapan (persembunyian) yang diliputi
misteri. (Imam Mahdi al-Muntazhar).
Dalam masalah
Fiqh, Zaidiyah berpendapat antara lain:
a. Mengharamkan sembelihan orang kafir
b. Tidak membolehkan menyapu sepatu dalam berwudhu
c. Tidak boleh mengawini wanita kitabiyah
d. Tidak membenarkan atau tidak sepaham dengan syi’ah dalam masalah
kawin mut’ah.[31]
[1] Hadits
tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya, Thobrani, Bazzar dan lainnya
dari Ibn ‘Abbas, katanya: ada yang bertanya kepada Rasullah saw. Wahai
Rasulullah, manakah diantara agama-agama ini yang disukai Allah SWT? Beliau
menjawab: “yang benar dan mudah”. Bazzar menyampaikan dengan redaksi yang
berbeda “yang manakah Islam itu” sebagai ganti lafatdz manakah di antara
agama-agama.” Thobrani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah dengan redaksi
lain: “sesungguhnya agama yang disukai Allah adalah agama yang benar dan
mudah”. Lihat Ahmad Mujahidin, Dkk, Aktualisasi Hukum Islam, (Yogyakarta:
PT. Lkis, 2007), hal. 118
[4] Ibrahim Hosen, “Memecahkan Permasalahan Hukum Baru” dalam Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 25
[5] Amir Syrifuddin, Usûl Fiqh 2,
(Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), Cet. Ke-2, Jilid 2, hal. 34
[8] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 95
[10] Asep Saifuddin Al Mansu, Kedudukan Mazhab dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1984), hal. 47-48
[12] Adanya mamfaat baik secara asal maupun
melului suatu proses, seperti manghasilkan kenikmatan dan faedah ataupun
menjauhkn dari kemudharatan. Lihat
tulisanya Syarfuddin, Dinamika Tarikh Tasrie pada Masa Imam, diakses
pada tanggal 21 Desember 2012, pukul 22.32 WIB. http://m-syarifuddin.blogspot.com/2009/05/dinamika-tarikh-tasyri-pada-masa-imam.html
[13] Abdul Fatah Abdullah Al-Barsumi, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, ( Beirut: Dar Al-Fikr, Tanpa
tahun), hal. 307
[14] Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, ( Jakarta: Pustaka Tarbiah, 1994), hal. 14-32
[15] Abdul Fatah Abdullah Al-Barsumi, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, ( Beirut: Dar Al-Fikr, Tanpa
tahun), hal.
306
[18] Roibin, Sosiologi Hukum Islam; Telaah Sosio-Historis pemikiran
Syafi’i, (Malang: UIN Malang, 2008), hal. 93
[19] Manna Al-Qathan. Mabahits Fi Ulumu Al-Hadist. terj oleh Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautar, tanpa
tahun), hal. 25
[20] Roibin, Sosiologi Hukum Islam; Telaah Sosio-Historis pemikiran
Syafi’i, (Malang: UIN Malang, 2008), hal. 105
[24] Jalaluddin
Rahmat, Tinjauan Kritis atas sejarah Fiqh: dari Fiqh al-Khulafa al-Rasyidiin
hingga Mazhab Liberalisme dalam Budhy Munawir Rahman (ed), kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994), hal. 272
[25] Banyaknya
mereka yang taqlid pada waktu itu karena
memandang ijtihad yang dilakuakan imam mazhab sudah menjawab tantangan zaman.
Rasa puas dengan pendapat-pendapat imam mazhab yang ada, tanpa merasa perlu
merujuk langsung pada al-Qur’an ataupun as-Sunnah justru menimbulkan sikap
fanatisme (at-ta’asubiyyah) dan keujumudan dalam dunia Islam. LIhat
lebih lengkap Hudhari Beik, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, (Mesir:
al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1970), hal. 237
[26] Abu
Muhammad Ali Ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm al-Andalusi al-ZAHIRI, selanjutnya ditulis
Ibn Hazm, al-Muhalla, Jilid I, (beirut: Daar al-Jail, 1997), hal. 66-67
[30] Lebih
jelas baca tulisannya Khairuddin, Kompetensi Rasio dalam Epistemologi Hukum
Islam Ibn Hazm 994-1064 M, dalam buku Ahmad Mujahidin, Aktualisasi Hukum
Islam, (Yogyakarta: PT. Lkis, 2007), hal. 146-147
[31] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo, 2002), cet. ke-4, hal. 245-246
0 comments:
Post a Comment