Translate

Sunday, 18 August 2013

Biografi Para Imam Mazhab Serta Metodelogi Istinbath Hukumnya

Muhamad Daerobi
A.     Pendahuluan
Allah mengutus Muhammad saw dan membawa agama yang benar serta mudah (al-hanafiyyah as-samhah), hal ini digambarkan dalam sabdanya bahwa agama yang disukai oleh Allah SAT adalah al-hanafiyyah as-samhah.[1] Kebenaran dan kemudahan itu dilengkapi dengan tata hidup praktis yang serba meliputi (as-sya’ri’ah al-jami’ah).[2] Meskipun demikian dalam sifatnya yang menyeluruh terdapat dua hal yang berbeda, hal-hal yang parametris, ajaran dan norma agama yang tidak berubah dan hal-hal yang dinamis, ajaran dan norma yang bisa  berubah sesuai dengan perubahan waktu, tempat dan kondisi. Norma dan ajaran yang irrasional, tidak berubah oleh pergeseran waktu dan perbedaan tempat adalah simpul-simpul kepercayaan (al’aqaid) dan peribadatan (al-‘ibadah), untuk persoalan ini diberikan penjelasan secara rinci (Mufhasalah) dan sempurna serta dijelaskan dengan nash-nash yang serba meliputi. Karena itu, tidak dibenarkan menambah atau mengurangi.
Selanjutnya persoalan baru terdapat keluwesan tersendiri dalam dimensi hukum islam yang mana para ulama diberikan kebebasan dalam mengupayakan sekuat-kuatnya ketika berijtihad, jika salah dapat satu ganjaran, dan jika benar mendapatkan dua ganjaran pahala. Hal semacam ini adalah ruanglingkup yang menjadi titik pembahasan hukum islam (tasyri’) yang mana pola penarikan hukum islam berdimensi dengan waktu tempat serta pengaruh ruang lingkup yang dihadapinya.[3]
Untuk memahami sejarah hukum islam (tasry’)  secara sempurna sangatlah sulit manakala tidak membahas mengenai biografi serta metodelogi istinbath hukumnya. Dari biografi menurut sejarawan mendapatkan sebuah karakter ijtihad yang telah dihasilkan sesuai dengan pribadinya dalam memecahkan persoalan manakala melihat kejadian hukum dilapangan (law in action) yang diterka  dengan landasan normativitas (law in book). Kemudian dari melihat persoalan yang ada para ulama memecahkan persoalan menggunakan pola metodelogi tertentu yang kurang lebih dipengaruhi oleh beberapa indikator, baik keilmuan ataupun fakta hukum yang menjeratnya, sehingga mau tidak mau para ulama membuat rangkai pola bagaimana mengeluarkan hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nas al-Qur’an dan Sunnah,[4] atau usaha dan cara mengeluarkan hukum dari sumbernya (al-Qur’an dan al-Sunnah) atau para ulama biasa menyebutnya dengan istinbath hukum.[5] Secara umum  istinbath hukum ada dua metode, Pertama adalah metode ma’nawiyah (al-turuq al-ma’nawiyah) dan yang Kedua yaitu metode lafziyah. (al-turuq al-lafziyah).[6] Metode ma’nawiyah adalah: “penarikan kesimpulan hukum (istidlâl) bukan kepada nas langsung seperti (penggunaan) al-qiyâs, al-istiẖsân, al-masâliẖ, al-dzarâ’i dan sebagainya”. Namun pola istinbath yang dilakukan oleh imam mujahid seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi’I, Ahmad bin Hambal serta imam Daud az-Zahiri, Imam Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Imamiyyah dan Mujahid lainnya mempunyai kriterium yang berbeda dalam mengistinbathkan hukum (tasyri’), secara teoritis tidak memisahkan dua dikotomi ini. Lebih jelasnya pemakalah akan memaparkan pembahasan ini pada bab selanjutnya.

B.      Pembahasan
1.      Imam Abu Hanifah (80-150 H).
Imam Hanafi atau nama lainnya disebut Abu Hanifah, yang memiliki nama lengkapnya adalah Al-Numan ibn Tsabit ibn Zuhthi (80-150 H). Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan dikufah pada Tahun 80 H, artinya ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada Tahun 80 H, yaitu pada zaman kekuasaan Abd Al-Malik ibn Marwan (Manna al-Qaththan, 1989: 202). Beliau meninggal pada zaman kekuasaan Abbasiah pada saat beliau berumur 70 tahun.
Beliau hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada zaman Abbasiah. Selama hidupnya ia melakukan ibadah haji lima puluh lima kali. Beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena diantara putranya ada yang bernama Hanifah. Selain itu, menurut riwayat lain beliau bergelar Abu Hanifah, karena beliau begitu taat beribadah kepada allah, yaitu berasal dari bahasa arab Haniif yang artinya condong atau cenderung kepada yang benar. Menurut riwayat lain, beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena begitu dekat dan eratnya beliau berteman dengan tinta. Hanifah menurut bahasa Irak adalah tinta.[7] Sikap politiknya berpihak pada keluarga Ali (Ahlul Bait) yang selalu dianiaya dan ditindas oleh Dinasti Umayyah. Ketika Zaid berontak terhadap Hisyam dan terbunuh, termasuk putranya Yahya ibn Zaid, Abu Hanifah sangat berduka. “Perjuangan Zaid sama dengan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam perang Badar,” katanya. Ketika Yazid ibn Umar ibn Hubairah (zaman Dinasti Umayyah) menjadi Gubernur Irak, Abu Hanifah diminta menjadi hakim dipengadilan atau bendaharawan negara, tetapi ia menolaknya. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun, atas pertolongan juru cambuk, ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Mekah. Ia tinggal disana selama enam tahun (130-136 H). Setelah pemerintahan Umayyah berakhir, ia kembali ke Kufah dan menyambut kekuasaaan Abbasiah dengan rasa gembira. Tidak berbeda dengan pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbas juga melakukan kekerasaan terhadap Ahlul Bait, seperti tindakan yang dilakukan oleh Al – Manshur terhadap Al – Nasf, Al – Zakiah pada tahun 145 Hijriah. Abu hanifah tampil mengkritik Abbasiah. Ia mengkritik para Hakim dan Mufti pemerintah. Ketika diminta oleh al – Manshur untuk menjadi hakim di pengadilan, Abu Hanifah menolaknya.. akhirnya ia dipenjara dan dicambuk. Ia meninggal pada tahun 150 H, akibat penderitaannya dalam tahanan.[8]
Ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, diantaranya Jami’ al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqh, dan lain-lain. Adapun Sumber-sumber hukum madzhab hanafi untuk mengambil istinbath hukumnya adakah:
a)      Al-Qur’an
b)     Sunnah
c)      Ijma’ sahabat
d)     Pendapat sahabat pribadi
e)      Qiyas
f)       Istihsan
g)     ‘Urf
a)      Al-Quran, Hadist dan Ijma’
Bagi mazhab hanafi al-quran, sunnah dan ijma’ merupakan sumber hukum yang terpenting, jika hukum tersebut tidak terdapat didalam al-quran maka meruju’ ke hadist dan jika tidak terdapat didalam hadist maka meruju’ ke ijma’. Terkait dengan sunnah, imam hanafi hanya menggunakan hadist yang sahih dan masyhur.
Pendapat para sahabat, imam hanafi hanya menggunakan pendapat yang memadai permasalahan pada masa itu, dalam menetapkan pandangan ini sebagai prinsip penting mazhab hanafi.
b)     Qiyas (Deduksi Analogis)
Konsep yang di utarakan oleh hanifah bahwa beliau tidak harus menerima rumusan hukum dari para tabi’in atau dari muritnya sahabat, dia memandang bahwa dirianya setara dengan para tabi’in dan melakukan atau menetapkan hukum dengan qiyasnya sendiri.[9]
c)      Istihsan (Preperensi)
Istihsan sederhananya adalah satu bukti yang lebih disukai dari pada bukti lainnya karena ia tampak lebih sesuai dengan situasinya yang, walupun bukti yang dugunakan ini lebih lemah dari pada bukti lain.
d)     ‘Urf (Tradisi Lokal)
Tradisi lokal diberi bobot hukum dalam wilayah dimana tidak terdapat tradisi islam yang mengikat, melalui penerapan prinsip ini tradisi-tradisi yang beragam dalam budaya yang berbeda didalam dunia islam menjadi sumber hukum.
Adapun Metode dan Cara Ijtihat Abu Hanifah yang berbeda dari yang imam lainnya yaitu:
1. Metode Dialektika
Dengan menggunakan analogi terhdap suatu permasalahan, metode yang digunakan oleh hanafi independen dalam artian lebih menjurus kepada pemikiran-pemikiran individualistik, yang diikuti dengan pola qiyas.
2. Metode Istihsan
Yaitu upaya untuk mentawaqufkan prinsip-prinsip umum dalam sat nas desebabkan adanya nas lain yang menghendaki demikian, metode ini dikaitkan dengan maqsid al-syari’ah.
Thaha Jabir Fayadl al Ulwani membagi cara ijtihad Abu Hanifah menjadi dua yaitu: Cara Ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang merupakan tambahan. Cara ijtihadnya yang pokok dapat diringkas sebagai berikut:
Aku (Abu Hanifah) merujuk kepada Al-Quran apabila aku mendapatnya, apabila tidak ada dalam Al-Quran, aku merujuk kepada Sunnah Rasulullah SAW dan Atsar yang Shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang Tsiqah. Apabila tidak mendapatkan dalam Al Quran dan sunnah rasul, aku merujuk kepada Qaul Sahabat, (apabila sahabat Ikhtikaf), aku mengambil pendapat sahabat yang mana saja yang kukehendaki, aku tidak akan pindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat Ibrahim, al-Sya’bi, dan Ibn al-Musayyab serta yang lainnya, aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”(Thaha Jabir Fayadl Al Ulwani,1987:91)
Sedangkan cara berijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah:
(a) Bahwa Dilalah lafad umum (“am”) adalah Qoth’i seperti lafadz Khash;
(b) Bahwa pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat Khusus
(c) bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (Rajih)
(d) adanya penolakan terhadap Mafhum (makna tersirat) syarat dan sifat
(e) bahwa apabila perbuatan Rawi menyalahi riwayatnya yang dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan riwayatnya,
(f) mendahulukan Qiyas Jali atas Khabar Ahad yang dipertentangkan
(g) menggunakan Istikhsan dan meninggalkan Qiyas apabila diperlukan.[10]
Langkah ijtihad yang ditempuh oleh Abu Hanifah dapat dilihat dari ungkapannya yaitu “ sungguh, saya berpegang pada Kitab Allah jika aku dapati disana. Jika tidak saya mengambil sunnah Rasulullah Saw. Dan atsar shahihah yang tersiar di kalangan ulama tsiqah. Jika tidak aku dapati juga di Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saya mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki pula. Kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka ke pendapat yang lain. Bila kasus tersebut pernah diputuskan oleh orang-orang seperti Ibrahim, al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, dan Sa’id al-Musayyab, maka saya akan berijtihad juga seperti mereka telah berijtihad”.

2.      Imam Maliki (93-179 H)
Nama lengkap pendiri mazhab maliki adalah Malik bin Annas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 H = 721M di Madinah pada perkembangan selanjutnya beliau dikenal dengan sebutan Imam Malik. Beliau wafat pada tahun 179 H, hanya berbeda 29 tahun dengan Abu Hanifah, walaupun pada zaman yang sama, tetapi tempatnya yang berbeda.
Pada waktu beliau masih kecil, Malik juga belajar berdagang dan pekerjaan ini tidak mnghalangi ia untuk menuntut ilmu fiqh kepada Alkamah bin Alkamah, disamping itu dia juga menuntu ilmu nahwu, syair dan juga menghafal Al-Quran, beliau juga menuntut ilmu kepada seorang ulama’ yang dikenal sangat cerdas diantara par ulam’ lainnya yaitu Rabi’ah, Imam Malik sangat mengagumi gurunya tersebut, karena kecerdasan dan kealimanya.
Imam Malik belajar kepada ulama’-ulama’ Madinah, dan yang menjadi guru pertamanya adalah Abdurrahman bin Hurmuz, beliau juga belajar kepada Nafi’ Maulana ibnu Umar, Imam Malik diakui oleh ulama di madinah sebagai Ahli hadist, bliau menghafal hadist sebanyak 100.000 ribu hadist.
Imam Malik adalah seorang tokok dihijas dalam segala hal, baik fiqh, al-quran dan hadist, Imam Malik tumbuh besar dikalangan ulama Ahlu Al-Hadist, maka hal tersebut mempengaruhi pemikiran Imam Malik.[11] Imam Malik membangun madzhabnya di atas dua puluh dalil, sebagaimana di kutip dari perkataan para Ulama Madzhab Maliki. dua puluh dalil tersebut yaitu:
a)      Nash Al-Qur’an
b)     Keumuman Al-Qur’an, yakni zhahir Al-Qur’an
c)      Dalil Al-Qur’an, yakni mafhum mukhalafahnya
d)     Mafhum Al-Qur’an, yakni mafhum muwafaqahnya
e)      Tambih Al-Qur’an, yakni memperhatikan illat (sebab) suatu ayat, seperti firman Allah, “Karena sesungguhnya semua itu kotor (najis).” (Al-An’am:145)
Lima dalil ini adalah yang bersumber dari Al-Qur’an. Sedangkan yang berasal dari sunnah, juga sama seperti lima yang dari Al-Qur’an. Dengan demikian jumlahnya menjadi sepuluh. Adapun yang selanjutnya:
f)       Ijma’
g)     qiyas
h)     Amal/perbuatan penduduk Madinah
i)        Perkataan Sahabat
j)        Istihsan
k)      Saddu Dzari’ah
l)        Memperhatikan perbedaan
m)   Istishab
n)     Mashlahah Mursalah
o)     Syar’u man qablana (syariat sebelum kita).
Dalam pelaksanaannya tidak berurutan seperti yang disebutkan di atas. Qadhi Iyadh berkata: Setelah menjelaskan susunan ijtihad sesuai dengan yang dikehendaki, akal dan disaksikan syara’ , mendahulukan Kitabullah pada dalilnya dengan jelas daripada mendahulukan nash-nashnya, kemudian dzahir mafhumnya. Demikian juga sunnah menurut susunan mutawatir, masyhur dan ahad, lalu susunan nash-nashnya, dzahir-dzahirnya, dan mafhum-mafhumnya. Kemudian Ijma’ ketika tidak ada dalam Al-Qur’an dam sunnah mutawatir. Ketika tidak ada semua yang pokok ini maka menggunakan Qiyas dan mengistimbatkan darinya. Qadhi Iyad berkata setelah menjelaskan hal itu dan berhujjah dengannya: Bila Anda perhatikan pertama kali sikap para imam dan sumber pengambilan mereka dalam fiqih dan ijtihadnya dalam syara’, niscaya Anda dapati Malik menempuh cara ini dalam Ushulnya, susunannya, mendahului Al-Qur’an dari pada Atsar, mendahulukan Atsar dari pada Qiyas dan I’tibar. Meninggalkan Qiyas terhadap sesuatu yang orang-orang arif terpercaya tidak melakukannya dengan apa yang mereka lakukan atau mendapati sesuatu dari mayoritas penduduk Madinah yang telah melakukan yang lainnya dan menyelisihinya, kemudian beliau menempuh cara Salaf dalam menghadapi berbagai kesulitan. Dia mengutamakan ittiba dan tidak menyukai bid’ah.
Dapat di pahami bahwa Imam Malik secara umum mengikuti cara orang-orang Hijaz dengan menetapkan Atsar selagi memungkinkan dan tidak menyukai perluasan masalah dan memaparkannya sebelum terjadi.
Dalam menentukan hukum-hukum, imam maliki memeberi runtutan pengambilan sumber hukum dalam mengistinbathkan tasyri, adapun sumber-sumber hukum yang digunakan imam malik antara lain:
1)     Al-Quran
2)     Hadist (yang berkwalitas shahih dan masyhur)
3)     Ijma’ (amalan ulama’ madinah ketika itu)
4)     Qiyas (analogis)
5)     Maslahah mursalah (kepentingan umum)
Konsep maslahah mursalah[12] yang di gunakan oleh imam malik di dasari oleh kondisi masyarkat madinah, walaupun banyak para ulama yang tidak setuju dengan penggunaan metode maslahah mursalah dikarenakan tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap metode tersebut. Imam malik lebih banyak menggunakan ijma’ dalam menentukan sebuah hukum, khusunya hokum-hukum baru yang tidak terdapat didalam alqu’an dan hadist.
Adapun Hal-hal yang membuat metoden istinbathnya istimewa, yang memberi pengaruh dalam perluasan lapangan perselisihan/perbedaan di antara dia dan yang lainnya, yaitu:
1) Amal/perbuatan Penduduk Madinah, adalah sebagai hujjah bagi Malik dan didahulukan dari pada Qiyas dan Khobar Ahad.
2) Mashlahah Mursalah Istishlah yaitu kemaslahatan-kemaslahatan yang tidak diperlihatkan oleh syara’ kebatalannya dan tidak pula disebutkan oleh nash tertentu dan dikembalikan pada pemeliharaan maksud syara’ yang keadaan maksudnya dapat diketahui dengan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan tidak diperselisihkan mengikutinya kecuali ketika terjadi pertentangan dengan maslahat lain. Maka ketika seperti ini Malik mendahulukan beramal dengannya.
3) Perkataan Sahabat
4) As-Sunnah
5) Beliau berpendapat menggunakan istihsan dalam berbagai masalah, seperti jaminan pekerjaan, menolong pemilik dapur roti dan mesin giling, bayaran kamar mandi bagi semua orang itu sama dan pelaksanaan Qisas harus menghadirkan beberapa orang saksi dan sumpah; hanya saja Malik tidak meluaskan dalam pendapatnya tidak seprti madzhab Hanafi.

3.      Mazhab Syafi’I (150-204 H)
Mazhab ini dibangun oleh imam Abu A’dullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Syafi’i, beliau di juluki Imam Syafi’i karena kakeknya bernama Syafi’i, Imam Syafi’i adalah keturunan Bani Hasyim yang memiliki nasab kepada Rasul, beliau lahir di gazah pada tahun 150 H dan wafat di mesir pada tahun 204 H[13] pada saat imam berumur 52 tahun.
Setelah ayahnya meninggal pada saat Imam Safi’i berumur hampir 2 tahun maka ibunya membawa Imam Syafi’i ke gazah karena dikhawatirkan kalau dia tinggal di gazah maka nasabnya dengan kaum Quraisy akan hilang sehingga Imam Syafi’i tidak dapat memperoleh pendidikan yang semestinya, pada saat itu keturunan quraisy sangat di junjung tinggi, dan orang-orang Quraisy adalah keturunan atau masih memilki hubungan dengan Rasul Saw, sehingga segala kebutuhan pasti dibantu oleh kaum Quraisy, dilatar belakangi hal tersebut maka Imam Syafi’i pindah ke mekkah.
Imam Syafi’i dikenal sangat pintar dalam segi keilmuan agama, hafalannya yang tajam dan kuat, sehingga pada umur 7 tahun beliau sudah menghafal Al-Quran, dan pada waktu menuntu ilmu Imam Syafi’i juga dapat mengulangi apa yang telah disampaikan oleh gurunya, setiap kali gurunya menjelaskan beberapa materi imam syafi’i selalu mencatatnya dan menghafalnya.
Jika kita telusuri sejarah perjuangan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i untuk mencari ilmu pengetahuan, maka itu semua tidak luput dari keserisusan dan semangat beliau untuk menjadi yang lebih baik. Kepribadian imam syafi’I yang suka merantau dari suatu daerah ke daerah yang lain hanya untuk mencari ilmu, itu dapat dicermati dalam syairnya :
Merantaulah ! pasti kamu akan mendapat ganti atas apa yang engkau tinggalkan Maka tinggalkanlah kampung halaman dan merantaulah,sehingga dengan berbekal keberanian Imam Syafi’i melakukan rihlahnya ke berbagai daerah, rihlah dilakukan beliau antara lain ke Madinah, Mekkah, Iraq, Yaman.[14]
Pada saat Imam Syafi’i berumur 20 tahun, beliau pergi ke Mekah Al-Mukarramah untuk menuntut ilmu fiqh kepada seorang ulama’ besar yaitu Syekh Muslim bin Khalid yaitu imam masjidil haram. Setelah menggali ilmu fiqh dari Muslim bin Khalid, Imam Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke Madina dengan tujuan menuntut ilmu kepada ulama’ terkemuka yaitu Imam Malik ( tekstual normatif) dengan kitab fiqihnya yang terkenal Al-Muwattaq. Imam Syafi’i dapat menghafal dengan waktu yang singkat semua kitab Al-Muwattaq Imam Malik. Karena merasa belum puas dengan keilmuannya, Setelah memguasai kitab Al-Muwattak. Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke Iraq berguru kepada imam terkemuka disana yaitu Imam Abu Hanifah (rasionalistis).
Imam Syafi’i mencoba mengkolaborasikan pendapat, pola fikir dan fiqh kedua Imam tersebut, antaraAhlul Al-Hadist (tesa) dan Ahlul Ar-Ra’yu (antitesa). Jadi dapat dikatakan bahwa Imam Syafi’i adalah sintesa dari dua Imam tersebut. Setelah berguru kepada Abu Hanifah, Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke yaman untuk berguru disana, karena keterbatasan dana Imam Syaf’i’i mencari kerja di yaman, dengan bantuan temannya beliau diangkat menjadi hakim di Yaman, tetapi itu hanya sebentar saja, lalu beliau kembali ke mekkah.
Pengetahuan-pengetahuan untuk menggali hukum diperlukan keilmuan tentang dalil-dalil, tentang perintah dan larangan. Pengetahuan-pengetahuan ini diakumulasikan melalui asas-asas tertentu sehingga tersusun dengan baik. Asas-asas yang di maksud misalnya asas tasyri’. Pengetahuan tentang dalil tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan dengan daya nalar fikir dan daya kepahaman dalam menggali hukum tersebut, begitu juga yang dilakukan oleh Imam Syafi’i, dalam menggali hukum Sari’ah, Imam Syafi’i hanya menggunakan empat macam, hal ini di utarakan Imam Syafi’i dalam kitab Ar-Risalah:
a) Al-Qur’an
b) Al-Hadist
c) Ijma’
d) Ra’yu (Qiyas)
Penjelasan dari ke empat pola pengistinbathan hukum yaitu:
1. Al-Qur’an
Konsep Al-Quran menurut para ulama’ dan Syafi’i sama yaitu suatu sumber hukum yang mutlaq, ini adalah landasan dasar, karena tidak mungkin di dapati perbedaan dalamnya baik lafald dengan lafald.[15] Pemahaman Imam Syafi’i dikuatkan dengan firman allah (QS. 2:132). “Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat
Dalam menggali hukum didalam Al-Quran Imam Syafi’i lebih menekankan kepada keilmuan bahasa sebagi mana yang telah beliau utarakan bahwa Al-Quran diturunkan dengan bahasa arab dengan tujuan agar mudah dipelajari dan dipahami tidak mungkin terdapat lafadz-lafadz ‘ajam.[16] Imam Syafi’i selalu mencantumkan ayat-ayat Al-Quran setiap kali beliau berfatwah, namun Safi’i menganggap bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari Al-Sunnah, karena kaitan antara keduanya sangat erat.[17]
Gagasan yang meyangkut keluasan bahasa, pada kenyataannya ia ingin mengatakan bahwa bahas arab tidak mungkin dapat dikuasai dengan sempurna kecuali Nabi, telah kita ketahui bersama bahwa penukilan Al-Quran telah dikenal adanya penukilan Mutwatir dan penukilan Ahad. Imam Syaf’i membenarkan penukilan Mutawatir kaitan untuk diamalkan dan di jadikan hujjah.[18]
2. Al-Sunnah
Arti sunnah yang biasanya disebut dalam Ar-Risalah adalah “khabar” dalam arti istilah ilmu hadist adalah berita, bentuk jama’nya adalah khabar dalam artian yag keseluruhannya datang dari Nabi atau selainnya, penggunaan khabar lebih luas dari pada hadist.[19]
Pemahaman Syafi’i tentang hadist adalah segala bentuk :
a) Al-Aqwal Nabi
b) Al-Af’al Nabi
c) Al-Taqdiru Nabi ’ala amrin
untuk hadist Nabi Imam Syafi’i hanya menggunakan hadist yang bersifat Mutawati dan Ahad, sedangkan untuk hadist yang dhaif hanya digunakan untuk li afdhalil amal, dalam menerima hadist ahad mazhab Syafi’i mensyaratkan:
1. Perawinya tsiqah dan terkenal shidiq
2. Perawinya cerdikdan mahami hadistyang diriwaytkannya
3. Perawinya engan riwayat bi lafdhi bukan dengan riwayat bilmakn.
4. Perawinya tidak mnyalahi ahl-ilmi
Kalau kita perhatikan, persyaratan yang di syaratkan oleh Syafi’i hanya untuk keshahihan suatu hadist, hadist ahad yang diterimanya sebatas kalau hadist tersebut sahih dan bersambung.
Faktor yang melatarbelakangi Syafi’i lebih teliti dalam menerima hadist karena sesudah Nabi wafat banyak dari kelangan aliran politik yang membuat hadist-hadist palsu untuk menguatkan posisinya sebagai pemimpin. Dan hadist pun bisa di atur dan di ubah sesuai denegan kenginan pemimpin.
3.Ijma’
Ijma’ yang dimaksud oleh Syafi’i adalah ijma’nya para sahabat, dalam arti perkara yang di putuskan oleh para sahabat dan di sepakati, maka itu menjadi sumber hukum yang ketiga jika tidak ada didalam nash baik Al-Quran maupun hadist, contoh ijma’ yaitu shalat terawih 20 raka’at. Jika terjadi perbedaan diantar para sahabat, maka Imam Syafi’i memilih pendapat yang lebih dekat kepada Al-Quran dan sunnah.
Ijma’ menurut para ulama’ menempati posisi ketiga setelah Al-Quran dan Hadist, begitu juga dengan Syafi’i, konsep ijma’ yang di tawarkan oleh Syafi’i mengharuskan merujuk kepada dalil yang ada yaitu Al-Kitab dan Al-Sunnah yang memiliki hubungan kepada qiyas, alasan yang di utarakan oleh Syafi’i kenapa ijma’ harus disandarkan kepada nash. Petama, bila ijma’ tidak dikaitkan kepada dalil maka ijma’ tersebut tidak akan sampai kepada kebenaran. Kedua, bahwa para sahabat tidak lebih benar dari pada nabi, sementara nabi tidak pernah menetapkan hukum tanpa mengkaitkan dengan dalil-dalil Al-Quran. Ketiga,pendapat agama tanpa dikaitkan kepada dalil maka itu adalah salah besar Keempat, pandapat yang tidak dikaitkan dengan dalil maka tidak diketahui hokum syara’ nya.[20]
4. Qiyas
Qiyas menurut para ahli hukum islam berarti penalaran analogis, yaitu pengambilan kesimpulan dari prinsip tertetu, perbandingan hukum permasalahan yang baru dibandingkan dengan hukum yang lama, contoh yang diberikan oleh Imam Syafi’i, zakat beras, tulang babi dan lain-lain.
Imam Syafi’i sangat membatasi pemikiran analogis, qiyas yang dilakukan oleh Syafi’i tidak bisa independent karena semua yang diutarakan oleh Syafi’i dikaitkan dengan nash Al-Quran dan Sunnah.

4.      Imam Hanbali (164 -231 H)
Beliau bernama Abu Abdillah Ahmad ibn Hambal ibn Hilal Ibn Asad al-Syaibani al-Marwazi. Ia lahir di Baghdad pada Tahun 164 H, dibesarkan dan wafat disana pada Tahun 231 H.[21]  Ahmad ibn Hambal dilahirkan ketika kekalifahan dipegang oleh Musa Al-Mahdi dari kalangan Abbasiyah. Musa al-Mahdi meninggal dan digantikan oleh Harun Ar-Rasyid (170-194H), Harun Ar-Rasyid digantikan oleh Al-Amin (194-198 H), Al-Amin digantikan oleh al-Makmun ( 198-218 H). Al-Makmun adalah khalifah yang menjadikan Mu’tazilah sebagai Madzhab Negara. Karena Imam Ahmad Ibn Hambal ini tidak memiliki pemikiran yang sejalan dengan Mu’tazilah, sehingga beliau mendapatkan penyiksaan bahkan dipenjarakan. Hal itu diketahui ketika Imam Ahmad diajukan pertanyaan tentang apakah Firman Tuhan (Al-Qur’an) adalah makhluk. Akan tetapi beliau tidak sependapat dengan menjawab bahwa Al-Qur’an bersifat Qadim dan bukan Makhluk. Karena menurut Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an adalah baru, dan tidak bersifat qadim. Keberanian mempertahankan keyakinan ini disamping membawa resiko juga membawa keuntungan , yaitu membuatnya mempunyai banyak pengikut di kalangan umat Islam yang tak sepaham dengan kaum Mu’tazilah. Karena itu kendati banyak Ulama’ yang menjalani hukuman mati , Al-Mu’Tashim dan Al-Watsiq tidak berani menjatuhkan hukuman mati terhadap Imam Ahmad karena takut menimbulkan kekacauan. Akhirnya Al-Mutawakkil kahlifah berikutnya menghapuskan pemaksaan paham Mu’tazilah.
Adapun pola istinbath hukum Ahmad ibn Hambal dibangun atas lima dasar yaitu sebagai berikut :
a)      Al-Nushush dari Al-qur’an dan Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, ia berpendapat sesuai dengan makna yang tersurat , makna yang tersiratnya ia abaikan.
b)      Apabila tidak didapatkan dalam Al-qur’an dan Sunnah ia menukil fatwa sahabat memilih pendapat sahabat yang disepakati sahabat lainnya.
c)      Apabila fatwa sahabat berbeda-beda ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
d)     Imam Ahmad mengambil hadist mursal dan Dhaif sekiranya tidak ada dalil yang menghalanginya. Dimaksud dengan Dhaif disini bukan Dhaif yang batil dan yang mungkar. Tetapi Dhaif yang tergolong sahih atau hasan. Dalam pandangan imam ahmad, hadist itu tidak terbagi atas sahih, hasan dan dhaif, tetapi terbagi atas dua yaitu shahih dan dhaif saja. Pembagian hadist menjadi shahih, hasan dan dhaif dipopulerkan oleh al-Tirmidzi (209-279 H). Karenanya tidak mengherankan kalau di masa Imam Ahmad pembagian hadist masih kepada shahih dan dhaif. Hadist dhaif ada bertingkat-tingkat. Yang dimaksud dhaif tadi adalah pada tingkat yang paling atas. Menggunakan hadist semacam ini lebih utama daripada menggunakan Qiyas. 
e)      Qiyas adalah digunakan dalam keadaan darurat yaitu bila tidak ada “senjata” yang disebut sebelumnya.
Metode yang di kembangkan oleh ahmad bin hambal adalah Metode Dialektika hal ini dpat kita lihat cara beliau menjelaskan tentang seatu hukum, Fiqih Imam Ahmad menjelaskan tentang syarat-syarat penegakan sanksi potong tangan. Dari sisi pelaku pencurian, syarat-syarat yang meski dipenuhi adalah pencurinya sudah mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan budak pemilik, meskipun Syubhat. Sedangkan syarat dari segi benda adalah benda yang dicurinya berupa harta dan sudah mencapai nishab.Menurut Ahmad ibn Hambal, nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 Dirham.
Dalam bidang pemerintahan Imam Ahmad berpendapat bahwa khalifah yang memimpin adalah dari kalangan Quraisy sedangkan taat kepada khalifah adalah mutlak. Imam Ahmad berpendapat : “Mendengarkan dan taat kepada para imam dan amirul mu’minin (adalah wajib), baik ia seorang yang baik maupun Fajir”
Dalam bidang Mu’amalah, terutama tentang Khiyar al-Majlis. Imam Ahmad berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim (meskipun telah terjadi ijab dan qabul) apabila penjual dan pembeli masih dalam satu ruangan yang di tempat itu akad dilakukan. Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi (berpisah) maka akad sudah lazim. Alasannya adalah hadist riwayat Nafi’ dan ‘Abdullah ibn Umar r.a yang menyatakan bahwa nabi Muhammad Saw bersabda :
“Setiap penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (pilih) selama keduanya belum berpisah “
Selanjutnya, tokoh yang membaharui dan melengkapi pemikiran Madzhab Hambali, terutama di bidang Mu’amalah adalah Syeikh al-Islam Taqiyudin Ibn Taimiyah (wafat 728 H) dan Ibn Al-Qayim al-Jauziyyah (Wafat 751 H) murid ibn Taimiyyah. Tadinya pengikut Madzhab Mahbali tidak begitu banyak, setelah dikembangkan oleh dua tokoh tersebut maka madzhab Hambalimenjadi semarak terlebih setelah dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H). dan kini menjadi Madzhab resmi pemerintah Kerajaan Saudi Arabia.

5.      Imam Daud az-Zahiri (202-270 H)
Beliau dilahirkan di Kuffah pada tahun 202 H, dengan nama Abu Sulaiman Daud ibn al-Asbahani yang kemudian dikenal dengan sebutan Daud az-Zahiri, karena beliaulah pendiri mazhab ini.[22]
Mula-mula beliau bermazhab Syafi’I dan amat teguh memegang hadits, sedang ayahnya bermazhab Hanafi, namun pada akhirnya beliau menentang mazhab Syafi’i, karena Syafi’i mempergunakan Qiyas dan memandangnya sebagai sumber hukum hukum. Daud pernah berkata: “saya telah mempelajari dalil-dalil yang dipergunakan oleh asy-Syafi’i untuk menentang istihsan, maka saya dapati bahwa dalil-dalil tersebut membatalkan qiyas.[23]
Beliau berpendapat, bahwa nash-nash yang dipergunakan oleh ahlu ra’yu dalam memandang qiyas sebagai dasar hukum, adalah berguna di waktu tidak ada sesuatu nash dari kitabullah atau sunnah Rasul dan beliau berpendapat, bahwa apabila kita tidak memperoleh nash dari al-Qur’an dan Sunnah, maka hendaklah kita memusyawarahkan hal itu dengan para ulama, bukan kita berpegangan kepada pendapat ijtihad sendiri.
Mazhab beliau ini dikenal dengan nama Mazhab ad-Zahiri karena beliau berpegang kepada zahir al-Qur’an dan as-Sunnah, tidak menerima ada ‘Ijma kecuali Ijma’ yng diakui oleh semua ulama. Walaupun mazhab ini pada dasarnya berpegang pada zahir nash, tetapi kita dapat menjumpai beberapa teori barat, karena dalam mazhab inilah kita jumpai pendapat yang menetapkan bahwa istri yang berharta wajib menfkahi suaminya yang fakir.

6.      Ibn Hazm (384-456 H)
Ibn Hazm ialah Ali bin Ahmad bin Said ibn Ghalib ibn Shaleh ibn sofyan bin Yazid. Beliau dikenal juga dengan sebutan Abu Muhammad dan sehari-hari dikenal dengan nama Ibnu Hazm. Beliau lahir pada bulan Ramadhan tahun 384 H di Cordova dan Beliau Wafat tahun 456 H.
Ia adalah salah seorang mujtahid potensial yang diduga sebagai penerus mazhab zhairi. Ibn Hazm merupakan tokoh yang fenomenal. Pada dirinya melekat gelar az-Zahiri karena berpegang pada teks-teks nash.[24] Tetapi meskipun demikian, Ibn Hazm merupakan salah seorang pemikir muslim yang menekuni multi disiplin ilmu keislaman. Ia dikenal ahli dalam ilmu kalam (teologi), hadits, ushul fiqh, politik, bahasa, sejarah, fiqh bahkan psikologi. Kepiawaiannya dibidang ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak diragukan , hal ini dapat dibuktikan ketika ilmuan sezamannya banyak bertaklid,[25] ternyata ia menentang keras sikap taqlid. Menurutnya seorang tidak dibenarkan taqlid kepada orang lain, baik ulama tersebut masih hidup maupun telah meninggal. Dengan menentang sikap taqlid, maka ijtihad menjadi wajib sesuai dengan batas kemampuan masing-masing, karena makna ijtihad itu menjadi sendiri merupakan batas kesanggupan  untuk mencarti hukum agama yang telah diwajibkan bagi hambanya.[26]
Ibnu Hazm keturunan Persia, yaitu kakeknya Yazid berasal dari negeri itu. Ibnu Hazm dibesarkan dalam lingkungan keluarga kaya dan mempunyai status sosial terhormat. Namun Ibnu Hazm lebih tertarik kepada ilmu, bukan kepada harta dan kemegahan.[27]
Dalam kajian hukum islam Ibn Hazm dikenal dengan tokoh literal, artinya selalu berpendapat sesuai dengan apa adanya pada teks nash. Dengan unkapan ini seakan-akan pada diri ibn Hazm tidak ada fungsi rasio dalam menemukan hukum Islam (tasyri, karena sudah cukup dengan nash (al-Qur’an) dan as-Sunnah) secara tekstual.[28] Pada sisi lain ibn Hazm sangat menganjurkan Ijtihad, bahkan sampai pada tingkat wajib dan konsekwensinya taqlid haram.
Dalam membuat metodelogi bagaimana cara mengeluarkan hukum serta implikasi istinbath hukumnya maka Ibn Hazm berpegang kepada:
a)      Kitabullah
b)     Sunnah
c)      ‘Ijma’ (harus semua sahabat sepakat).[29]
Ibn Hazm tidak menerima pendapat shahabi, sdangkan imam empat menerimanya. Ibn hazm berpegang kepada zahir kitab dan sunnah, yaitu menanggapi makna yang khas terlintas di hati di waktu menyebut lafa-lafal, tanpa meneliti illatnya dan tanpa mengqiyaskan sesuatu kepadanya. Namun demikian ada yang berbeda secara signifikan dari para imam yang lainnya, seperti pola istinbath hukum Ibn Hazm yaitu menggunakan konsep al-dalil, dan ini juga yang membedakan antara istinbath hukum beliau dengan istinbath hukum Imam Daud az-Zahiri (202-270 H). yang mana konsep al-dalil didasarkan dan lahir dari al-Qur’an, hadits dan Ijma’, bukan dalam bentuk qiyas tetapi dalam bentuk lain yang tidak berpegang pada illah fiqhiyyah, tetapi didasarkan kepada istilah-istilah logika.[30]

7.      Syi’ah
Mazhab ahlul bait adalah mazhab yang lebih dahulu lahir dalam sejarah, karena bukan Imam Ash-Shodiq yang meletakan batu pertama dan menaburkan benihnya, melainkan Rasul sendiri. Mazhab ini lahir pada masa Nabi dan Imam pertama Ali Bin Abi Tholib. Tatkala ia wafat, gerakan ilmiah dan pemimpin mazhab dipimpin oleh putranya Imam Hasan. Dialah tempat rakyat mengembalikan urusan, namun mazhab ini tidak berjalan lancar karena tekanan dan sengketa dengan muawiyah.
Maxhab syi’ah lebih terkema lagih pada masa Imam husein karena kekuasaam dipergunakan dengan sewenamg-wenang oleh yazid, merusak kedudukan hukum islam,hingga menyebabkan husein wafat dengan cara menyedihkan sebagai pahlawan islam.
Pelaksanaan peradilan dan pimpinan mazhab diserahkan kepada Ali bin husein dengan gelar zainal abidin,seorang wara dan takwa.walaupun suatu sangat buruk, dengan cara diam-diam meneruskan usaha ayahnya sehingga melahirkan banyak ulama ahli hukum dan hadist.
Nasas imam al-Baqir, suasana politik agak berubah dengan melemahnya kekuasaan umayyah. Pengajaran ahli bait digiatkan kembali hingga pada masa imam ash-Shadiq mencapai kemajuan pesat. Masa bani abbasiyah, mazhab syi’ah mendapat tekanan, dengan kekuasaan para pembesar mereka menyogok para ulama untuk menyerang syi’ah dengan fatwah mereka, bahwa syi’ah mengkafirkan semua sahabat, tidak berama sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah, dengan demikian meracuni pikiran rakyat untuk membasmi syi’ah.
Perbedaan perinsip dan ajaran yang berakibat timbulnya kelompok ekstrim (ghulat) dan moderat, perbedaan pendirian tentang siapa yang berhak menjadi imam, adalah merupakan penyebab perpecahan di kubu syi’ah menjadi beberapa aliran.
Zaidiah dan imamiyah merupakan kelompok yang paling terkenal dan masih hidup hingga sekarang. Kedua mazhab syi’ah ini tidaklah berbeda  jauh dengan sunni, baik corak pemikiran maupun dasar hukum yang dipakai. Dlam bidang fiqih kedua mazhab ini hampir tidak berbeda, syi’ah imamiyah lebih mendekati fiqh as-syafi’I swdangkan zaidiyah lebih mendekati fiqh hanafi.
a.      Syi’ah Imamiah
Salah satu mazhab syi’ah yang terdekat dengan sunny adalah syi’ah imamiah atau Ja’fariah. Perbedaan diantara kedua-nya hanya terletak pada kewajiban beriman yang menurut mereka harus maksum, memegang nash sebagai sumber hukum dan kemudian menggunakan akal sebagai alat berijtihad yang menurut mereka tidak pernah  tertutup.
Mazhab Imamiyah terbagi pula dalam beberapa aliran; aliran kisaniyah (sudah tak ada lagih) yang menjadi imam muhammad bin hanifah yang bergelar kisan, aliran fathaniah yang menjadikan abdullah al-fath sebagai imam; aliran wakiah yang ingin menetapkan Ali al-kazim sebagai imam, aliran nawusiah yang hanya mengatakan imam ja’far bin muhammad shadiq belum mati dan takan mati, ia akan lahir kembali mengatur masyarakat, dan ia yang berhak digemari al-mahdi, aliran al-sabaiah yang mengatakan Ali sebagai Tuhan, aliran isma’iliah yang menjadikan ismail bin ja’far Shadiq sebagai imam yang ketuju, disebut juga sab’iah karena membatasi sampai tujuh, aliran zaiiah dan Itsna’asyariah. Semua aliran-aliran tersebut di atas sudah tidak ada lagih, selain aliran Imamiah Itsana’asyriah, zaidiah dan aliran Isma’iliah.
Syi’ah Imamiyah Itsna’asyriah meyakini kesucin dua belas imam, yaitu Ali bin Abi Thalib, hasan bin ali, husein bin Ali,Ali bin husein (zainal Abidin). Muhammad A. Baqir, ja’far shadiq, musa al-kazim, Ali ridha, muhammad al-jawad, Ali al-Hadi, hasan al- Askari dan muhammad bin hasan al-Mahdi.
2. Syi’ah Zaidiyah
Syi’ah zaidiyah didirikan oleh Zaid bin Ali Zaenal Abidin bin Husen bin Ali Abi Thalib, keturunan Fatimah putri Nabi. Zaid bin Ali adalah seperguruan dengan Imam Ja’fat Shadiq, keduanya sama-sama berguru kepada al-Baqir.
Zaidiyyah mempunyai banyak pengikut di Yaman  dan merupakan mazhab syi’ah yang pahamnya paling dekat dengan sunny, terutama dengan mazhab Hanafi. Hal ini dikarenakan Imam Hanafi pada mulanya belajar kepada Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin. Zaidiyah lebih moderat bila dibandingkan dengan syi’ah Imamiyah.
Dalam menetapkan hokum, Zaidiyah berpeganganpada al-Qu’ran dan as-Sunnah. Ijtihad bagi mereka tetap terbuka dan setiap masa tidak boleh kosong dari seoran mujtahid. Qiyas mereka tolak selama masih ada Imam-imam bersama mereka yang mengetahui hokum syariat.
Pola pemikiran Zaidiyah dalam masalah khilafah dapat diuraikan sebagai berikut:
a.      Imam seharusnya dari keturunan Fatimah /Ali, tetapi tidak menolak jika jabatan itu diduduki oleh orang lain asal memenuhi syarat. Oleh karena itu mereka mengakui kekhalifaan Abu Bakar, Umar dan Usman, meskipun menurut urutan prioritas, Ali seharusnya yang menjadi khalifah.
b.      Imam tidak maksum, dia dapat saja berbuat salah dan dosa seperti manusia lain.
c.       Tidak ada imam dalam kegelapan (persembunyian) yang diliputi misteri. (Imam Mahdi al-Muntazhar).
Dalam masalah Fiqh, Zaidiyah berpendapat antara lain:
a.      Mengharamkan sembelihan orang kafir
b.      Tidak membolehkan menyapu sepatu dalam berwudhu
c.       Tidak boleh mengawini wanita kitabiyah
d.      Tidak membenarkan atau tidak sepaham dengan syi’ah dalam masalah kawin mut’ah.[31]





[1] Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya, Thobrani, Bazzar dan lainnya dari Ibn ‘Abbas, katanya: ada yang bertanya kepada Rasullah saw. Wahai Rasulullah, manakah diantara agama-agama ini yang disukai Allah SWT? Beliau menjawab: “yang benar dan mudah”. Bazzar menyampaikan dengan redaksi yang berbeda “yang manakah Islam itu” sebagai ganti lafatdz manakah di antara agama-agama.” Thobrani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah dengan redaksi lain: “sesungguhnya agama yang disukai Allah adalah agama yang benar dan mudah”. Lihat Ahmad Mujahidin, Dkk, Aktualisasi Hukum Islam, (Yogyakarta: PT. Lkis, 2007), hal. 118
[2] Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Mesir: Daar al-Fath, 1998), Jilid. I, hal. 11
[3] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), cet. Ke-4, hal. 183
[4] Ibrahim Hosen, “Memecahkan Permasalahan Hukum Baru” dalam Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 25
[5] Amir Syrifuddin, Usûl Fiqh 2, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), Cet. Ke-2, Jilid 2, hal. 34
[6] Ahmad Mujahidin, Dkk, Aktualisasi Hukum Islam, (Yogyakarta: PT. Lkis, 2007), hal. 118
[7] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), cet. Ke-4, hal. 188
[8] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal.  95
[9] Abu Ameanah Bilah Philip, Asal-Usus dan Perkembangan Fiqh, (Bandung: Nusa Media, 2005), hal. 88
[10] Asep Saifuddin Al Mansu, Kedudukan Mazhab dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1984), hal.  47-48
[11] Hasan Al-Jamal, Biografi 10 imam Besar, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2003), hal. 37
[12] Adanya mamfaat baik secara asal maupun melului suatu proses, seperti manghasilkan kenikmatan dan faedah ataupun menjauhkn dari kemudharatan. Lihat tulisanya Syarfuddin, Dinamika Tarikh Tasrie pada Masa Imam, diakses pada tanggal 21 Desember 2012, pukul 22.32 WIB. http://m-syarifuddin.blogspot.com/2009/05/dinamika-tarikh-tasyri-pada-masa-imam.html
[13] Abdul Fatah Abdullah Al-Barsumi, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, ( Beirut: Dar Al-Fikr, Tanpa tahun), hal. 307
[14] Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, ( Jakarta: Pustaka Tarbiah, 1994), hal. 14-32
[15] Abdul Fatah Abdullah Al-Barsumi, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, ( Beirut: Dar Al-Fikr, Tanpa tahun), hal. 306
[16] Wahbah Al-Zuhaili, Usul Fiqh Al-Islamiyah, (Damsyik: Dar Fiqr, 1996), hal. 420
[17] Rahmat Syafi’I, Usul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), hal. 52
[18] Roibin, Sosiologi Hukum Islam; Telaah Sosio-Historis pemikiran Syafi’i, (Malang: UIN Malang, 2008), hal. 93
[19] Manna Al-Qathan. Mabahits Fi Ulumu Al-Hadist. terj oleh Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautar, tanpa tahun), hal. 25
[20] Roibin, Sosiologi Hukum Islam; Telaah Sosio-Historis pemikiran Syafi’i, (Malang: UIN Malang, 2008), hal. 105
[21] Muh Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan sejarah, (Jakarta: Rajagrafindo,Tt), hal. 122
[22] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), cet. Ke-4, hal. 231
[23] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), cet. Ke-4, hal. 231
[24] Jalaluddin Rahmat, Tinjauan Kritis atas sejarah Fiqh: dari Fiqh al-Khulafa al-Rasyidiin hingga Mazhab Liberalisme dalam Budhy Munawir Rahman (ed), kontekstualisasi Doktrin Islam dalam sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994), hal. 272
[25] Banyaknya mereka yang taqlid pada  waktu itu karena memandang ijtihad yang dilakuakan imam mazhab sudah menjawab tantangan zaman. Rasa puas dengan pendapat-pendapat imam mazhab yang ada, tanpa merasa perlu merujuk langsung pada al-Qur’an ataupun as-Sunnah justru menimbulkan sikap fanatisme (at-ta’asubiyyah) dan keujumudan dalam dunia Islam. LIhat lebih lengkap Hudhari Beik, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, (Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1970), hal. 237
[26] Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm al-Andalusi al-ZAHIRI, selanjutnya ditulis Ibn Hazm, al-Muhalla, Jilid I, (beirut: Daar al-Jail, 1997), hal. 66-67
[27] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), cet. Ke-4, hal. 231
[28] Ahmad Mujahidin, Dkk, Aktualisasi Hukum Islam, (Yogyakarta: PT. Lkis, 2007), hal. 122
[29] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), cet. Ke-4, hal. 231
[30] Lebih jelas baca tulisannya Khairuddin, Kompetensi Rasio dalam Epistemologi Hukum Islam Ibn Hazm 994-1064 M, dalam buku Ahmad Mujahidin, Aktualisasi Hukum Islam, (Yogyakarta: PT. Lkis, 2007), hal. 146-147
[31] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2002), cet. ke-4, hal. 245-246

0 comments:

Post a Comment