Siapa yang tak
kenal Kartini, ia dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional yang gigih
memperjuangkan konsep emansipasi perempuan pada abad 19-an. Ia juga menjadi
inspirator dikalangan aktivis kesetaraan gender. Tokoh yang terlahir pada
tanggal 21 April 1879 di Kota Jepara ini, kemudian dikukuhkan sebagai Hari
Kartini, tak lain untuk menghormati jasa-jasanya sebagai pahlawan bangsa.
Jauh sebelum itu,
proses perjuangan panjang Kartini bisa dilihat jelas ketika berusia sekitar 24
tahun, dimana Kartini menuangkan sebagian curahan hati tentang diskriminasi dan
protes terhadap budaya patriarki kala itu. Lewat kumpulan nota-nota atau surat
tersebut juga menjadi awal mula lahirnya buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” (door
duisternis tot licht). Menurut sejarawan Asvi, dua nota yang dikirimkan
Kartini kepada Menteri Jajahan, AWF Indenburg dan Gubernur Jenderal Hidia
Belanda, Willem Rooseboom, pada tahun 1903. Saat itu menteri Idenburg tengah
mempersiapkan undang-undang Pendidikan bagi negeri Jajahan. Kartini diberi
pertanyaan seputar pendidikan bagi perempuan Jawa; Tindakan apa yang cocok untuk membuat bangsa Jawa lebih maju dan lebih
sejahtera? Ke arah mana pengajaran harus diperbaiki dan diperluas? Jawaban
kartini sangat tajam, “orang Belanda suka menertawakan dan
mengolok-olok kebodohan bangsa kami, tetapi kalau kami mau belajar mereka
menghalang-halangi dan mengambil sikap memusuhi kami…”. (Asvi WA, Menguak Misteri Sejarah, Kompas, 183-185).
Belum lagi curahan hati tentang ketidakadilan keluarganya
ketika ia dipingit, dijodohkan dan tidak boleh ikut sekolah kejenjang yang
lebih tinggi, menjadi pengalaman pahit rentetan diskriminasi baginya. Seperti
yang tergambarkan dalam buku Armijn Pane
(penj), Habis Gelap Terbitlah Terang, dikatakan:
Ketika masa sekolah, kartini
merasa menjadi seorang yang bebas, ketika sudah berumur 12 tahun tiba-tiba ia
dipaksa dipingit (ditutup akses) interaksi. Sahabt-sahabtnya orang belanda,
mencari Kartini supaya ia jangan dipingit, tetapi usaha tersebut sia-sia. Orang
tua kartini memegang adat memingit dengan teguh, meskipun dalam hal-hal lain
sudah maju, bahkan sebenarnya keluarga yang termaju di Pulau Jawa. Empat tahun
lamanya kartini tiada diizinkan keluar-keluar. Tetapi, semangat zaman tiada
dapat diulangi. Sahabt-sahabat orang erapo tiada berhenti-henti beriktiyar,
supaya kartini diberi kemerdekaannya kembali, maka waktu sudah berumur 16 tahun
(1895), bolehkan dia melihat dunia luar lagi. Enam bulan kemudian diizinkan
pula keluar sekali lagi kemudian dipingit lagi tetapi baru dalam tahun 1889
diberi kemerdekaan dengan officieel, bahkan diizinkan turu bepergian ke luar
tempat tinggalnya. Sudah tentu mendapat celaan dari orang banyak. Tetapi
kartini belum puas, dia hendak berdiri sendiri, supaya tak usah nikah.”
Cerita di atas memperlihatkan betapa kerasnya arus
diskriminasi lahir kala itu. Frame diskriminasi bisa lahir dari sistem maupun sub
sosial-budaya-agama. Jika kita melihat lebih dalam, sebetulnya Kartini menginginkan
perempuan mendapat perlakuaan yang adil seperti orang Hindia Belanda kala itu, karena
baginya, keadilan merupakan tujuan dari perjuangan untuk mencapai segalanya.
Bagaimana dengan Kondisi
sekarang?
Menurut data BPS (badan pusat statistik), tercatat
pada tahun 2014 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 252 juta jiwa.
Dengan sex ratio sebesar 101,01,
menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki masih sedikit lebih besar dibanding
dengan penduduk perempuan. Komposisi jumlah penduduk laki-laki yang lebih
dominan dari perempuan hampir terjadi pada semua kelompok umur, kecuali usia
tua yaitu 65 tahun ke atas. Menurutnya
juga, jenis kelamin masih sering
digunakan sebagai persyaratan dalam pembagian kerja. Laki-laki memiliki
kewajiban untuk mencari nafkah dan bekerja, sedangkan perempuan memiliki
kewajiban untuk mengurus rumah tangga. Selain itu, laki-laki dianggap memiliki
fisik yang kuat yang menyebabkan laki-laki memiliki peluang lebih tinggi untuk
mendapatkan kesempatan kerja dibandingkan perempuan. Namun disisi lain, banyak
juga jenis pekerjaan yang mensyaratkan dilakukan oleh perempuan karena lebih memerlukan
ketelatenan dan ketelitian. Lihat data di bawah ini:
Perbedaan kesempatan kerja tersebut berdampak pada
partisipasi tenaga kerja yang tercermin dari angka Tingkat Partisipasi Angkatan
Kerja (TPAK). Pada tahun 2014 angka TPAK perempuan hanya sekitar 50 persen,
sedangkan TPAK laki-laki sudah mencapai sekitar 80 persen. Angka TPAK ini
menunjukkan adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam aspek
ketenagakerjaan. Terlihat bahwa persentase perempuan yang bekerja masih jauh
lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Pada tahun 2014, proporsi perempuan yang
bekerja sebesar 47,08 persen sedangkan proporsi laki-laki mencapai 78,27
persen. Lihat di bawah ini:
Rendahnya TPAK perempuan dapat dilihat pada
kegiatan seminggu yang lalu yang sekaligus menunjukkan adanya stigma pembagian
peran laki-laki adalah bekerja dan perempuan adalah mengurus rumah tangga. Pada
2014 diperoleh bahwa selain bekerja, kegiatan lain yang dilakukan perempuan
seminggu yang lalu adalah mengurus rumah tangga dengan proporsi hampir 38
persen. Sementara laki-laki yang mengurus rumah tangga hanya sebesar 2 persen.
Angka ini yang seolah menjadi pertanda bahwa ketidakadilan perempuan memang
masih berjalan hingga kini dan itu seolah terlegitimasi di wilayah warisan
budaya (culture heritage) kita. Upaya
dekonstruksi menjadi titik poin bagamana seharusnya perempuan mendapat keadilan
secara subtantif.
Bagaimana dengan kondisi Perempuan
dalam Sub Hukum?
Perjalanan
panjang akan perjuangan kesetaraan tidak hanya berakhir pada masa Kartini saja,
tetapi hingga saat ini ketidakadilan terhadap akses, manfaat, partisipasi dan
kotrol terhadap perempuan masih saja tetap diberlakukan. Contoh kecil ketidak
adilan gender bisa dilihat dari peraturan Bupati
Purwakarta No. 69 Tahun 2015 Tentang Pendidikan Berkarakter, dimana tertuang
secara jelas yaitu:
Upaya maskulinisasi dan
femininimisasi dalam pasal 26 tersebut menjadi jelas bahwa perempuan dan
laki-laki diperlakukan secara berbeda. Bupati Purwakarta memahami eksisten “karakter”
seperti sesuatu yang harus ditentukan berdasarkan jenis kelamin, bahwa anak
laki-laki harus bisa menanam,
meramu, bergembala (hunter). Sebaliknya memiliki
keterampilan memasak, menenun, menyulam,
harus dimiliki bagi perempuan (gatherer).
Hingga
saat ini kebijakan hukum Indonesia seolah tidak berpihak pada perempuan,
meskipun telah hadir sejumlah kebijakan ditingkat nasional Seperti UU No 7
tahun 1984 tentang Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi
Terhadap Wanita (CEDAW), UU 23 tahun 2004 tentang PKDRT, UU 21 Tahun 2007
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan banyak lagi
lainnya—seolah memutuskan harapan besar ketika Komnas Perempuan hinggaseptember 2015 menemukan sejumlah 389 kebijakan diskriminatif, 322 diantaranyaberdampak langsung pada kehidupan perempuan (138 kebijakan mengkriminalisasiperempuan, 30 kebijakan mengatur ruang dan relasi personal, 100 kebijakantentang pemaksaan busana, 39 mengatur jam malam, 15 mengatur tentang pembatasanmobilitas perempuan), dan 54 diantaranya membatasi jaminan kebebasan hidupberagama warga negara. Aksi anarkhisme kelompok intoleran pada kelompokminoritas agama, menjadi terlegitimasi karena adanya kebijakan atas tindakanintoleransi tersebut. Bahkan pemaksaan menjalankan keyakinan kelompok tertentu,atau justru pelarangan atas keyakinan yang dianut sehingga terjadi pengusiran,berdampak pada ketidakpastian hukum, pemiskinan, dan konflik sosial.
**
Pertanyaanya adalah apakah hanya cukup mengenang hari
Kartini 21 April saja sudah cukup menggembirakan bahwa upaya keadilan perempuan
bisa didapatkan? Apakah dihari ke-137 tahun lahirnya Kartini hingga kini
menjadi pertanda bahwa keadilan dan kesetaraan gender sudah di dapat? Jawabannya
jelas “tidak”. Kartini hanya sebatas Kartini, Kartini dulu melawan Hindia
Belanda, Kartini dulu melawan domestifikasi keluarga dan adat agama. Perlawanan
Kartini dulu hingga sekarang masih tetap berjalan, keadilan bagi perempuan dan
laki-laki menjadi harga mati untuk sebuah perjuangan. Data BPS terkait
peningkatan ketidakadilan tidak hanya sebatas lip service saja, ia bentuk rentetan perjalan panjang bagaimana
Kartini Baru menjelma di tataran sistem, struktur maupun budaya (adat) dalam
keadilan maupun kesetaraan. Kartini bukan untuk dikenang, bukan pula upaya
seremonial Kementerian/Lembaga ataupun masyarakat, tetapi bagaimana capaian
indeks pembangunan perempuan bersamaan dengan indikator keberhasilan keadilan,
kesetaraan, non disrkiminasi antara laki-laki dan perempuan. Jika hanya sebatas
upaya seremonial ia tak lebihnya seperti manusia yang hobinya bercerita tetapi
minim untuk diceritakan (homo festifus). Ia
tak ubahnya hanya menjadi penjilat sejarah, ketimbang mengukir peradaban
sejarah.
*Salam
Pecinta Kesederhanaan
0 comments:
Post a Comment