Translate

Thursday, 5 November 2015

Agama dan Kontestasi Politik di Indonesia


Perhelatan politik Indonesia selalu menjadi bahan perdebatan sengit yang tiada habis-habisnya. Tak pelak, diskursus politik selalu dikait-kaitkan dengan berbagai macam isu lainnya. Salah satunya yaitu agama-kepercayaan. Agama-Kepercayaan yang diyakini menjadi obat perdamaian bagi umatnya, kini berubah menjadi taktis pragmatis. Entah karena pemeluknya sudah mulai bosan dengan asupan-asupan katastrofa atau memang agama mulai terlihat stagnan dalam pengejewantahannya. Bahkan ketika politik sudah mendekati agama-kepercayaan, tak jarang sering menjadi objek pengkambinghitaman atas ulah politik praksis (baca: kekuasaan).
Beragam kasus atas nama agama-kepercayaan di Indonesia, seolah menguburkan nilai universal (misi perdamaian) dari ajarannya. Kasus Yasmin Bogor, Syiah di Madura, FPI-AKBB di Monas, Pembubaran Shalat Hari Raya di Tolikara, Pembakaran Gereja di Aceh Singkil, Ahmadiyah di Cikeusik dan banyak lainnya—seolah tak ada habisnya. Legitimasi atas nama agama-kepercayaan menjadi bahan baku untuk mendiskreditkan, mengadudomba bahkan menghakimi pemeluk yang berbeda. Di tambah lagi dengan ruang kontestasi politik praktis di Indonesia, hal itu menambah daftar panjang parahnya persoalan kebhinekaan Indonesia. 
Politik pencitraan merupakan senjata ampuh sebagai langkah taktis, termasuk melalui penerbitan kebijakan, untuk menciptakan sebuah citra semata atau untuk mengedepankan sebuah citra tandingan terhadap stigma atau citra tertentu yang dianggap tidak menguntungkan daerah. Sering kali politik pencitraan ini menggunakan simbol-simbol identitas agama tertentu ataupun dengan mengedepankan satu interpretasi tunggal dari agama tersebut. Konsekuensinya, kelompok masyarakat yang tidak ikut mengusung simbol tersebut, terutama dialami oleh kelompok minoritas berdasarkan agama dan budaya, menjadi terpinggirkan.(Komnas Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia, 2010, 22).
Persoalan demi persoalan seharusnya menjadi bahan renungan dari stakeholders seperti pemerintah maupun DPR untuk menyelesaikan persoalan endemik dan penuh resisten ini. Namun harapan itu juga tak kunjung selesai secara komprehensif. Pemerintah, DPR atau stakeholder—lainnya seolah terlihat kasuistik dalam menyelesaikannya. Kasus atas nama agama dan kepercayaan seperti feonema gunung es, kecil diatas tetapi diakar permukaan tidak. Dari sini juga ruangnya kontestasi politik dimulai. Kasus ini berperan penting untuk membuat eksekutif dan legislatif memainkan peran grand desain isu populis untuk meraup suara rakyat.
Upaya peningkatan kerukunan umat beragama/kepercayaan belum dapat sepenuhnya terwujud di seluruh wilayah Tanah Air. Permasalahannya jelas yaitu: (1) Peraturan perundangan yang ada belum secara komprehensif mengakomodasi dinamika perubahan dan perkembangan di masyarakat; (2) Sosialisasi dan penerapan peraturan perundangan belum optimal; (3) Koordinasi pencegahan dan penyelesaian konflik baik ditingkat pusat dan daerah belum optimal; (4) Pengelolaan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat untuk menjaga harmoni sosial belum optimal. (RPJMN 2015-2019, buku II, 193). Belum lagi persoalan internal pemeluk agama dan kepercayaan, menjadikan daftar hitam sulitnya merangkul kebhinekaan Indonesia.
Konflik bernuansa SARA, konflik politik, konflik perebutan sumber daya alam, diskriminasi, dan kekerasan lain yang merusak fasilitas publik, serta tindakan terorisme, sebagai refleksi adanya kesenjangan, masih tetap menjadi permasalahan dan tantangan. Apabila tidak ditangani dengan serius akan berpotensi menghambat jalannya proses pemantapan konsolidasi demokrasi substansial di Indonesia. Oleh karena itu, dalam pemantapan proses positif konsolidasi demokrasi perlu segera dilakukan internalisasi nilai-nilai demokrasi melalui berbagai arah kebijakan dan strategi yang tepat, didukung dengan intervensi anggaran yang tepat, kerangka regulasi yang kuat dan terintegrasi, dan kerangka kelembagaan yang tepat dan solid. Jangan sampai konflik agama dan kepercayaan menjadi bahan baku citra tersendiri untuk menghegemoni atas nama golongan minoritas-mayoritas atau sebaliknya.
Kita tidak pernah belajar dari konflik hebat di wilayah timur tengah dan sekitarnya, seperti dalam persoalan politik dan agama. Manusia seolah tak bernilai. Pemaksaan serta kebuasaan hukum atas nama agama—melegitimasi kekerasan berbentuk negara. Agama dan negara kita sudah berkelindan dan tak terrasionalkan. Negara kini kehilangan taringnya sebagai pemersatu dengan tanpa keberpihakannya dalam apapun. Pada akhirnya negara sudah menjadi citra taktis para politisi untuk menghegemoni kekuasaannya. Berkaca pada pemilu 2014 lalu, secara terang-terangan para politisi melakukan hate speech (menebar kebencian) atas nama agama untuk menjatuhkan lawannya demi meraup suara tinggi—tak lain demi kekuasaan belaka.
Kondisi politik pencitraan di atas sebetulnya tidak berbeda jauh seperti penerapan hukum pidana atas nama agama di Sudan. Ketika rezim Ja’far Numery berkuasa selama 16 tahun (1969-1985) setelah melakukan kudeta militer. Dimana semula kebijakan-kebijakannya dikenal dengan ‘nasionalis sekuler’ sebagai rezim sebelumnya. Namun diakhir pemerintahannya tiba-tiba berubah menjadi religious. Pada tanggal 8 September 1983 mengeluarkan dekrit presiden yang memberlakukan syariat Islam sebagai satu-satunya hukum di Sudan. (Taufik dan Samsu, Politik Syariat Islam, 115).  Lebih dari 20 kebijakan, hukum, peraturan dirumuskan secara tergesa-gesa dan diumumkan Numery setiap minggu di Media. Perubahan ini ditenggarai karena menguatnya revivalisme Islam, potensi politiknya, serta keinginan Numeiry untuk mengontrol dan mengoptasi kekuatan tersebut di Sudan. Pada akhirnya kekuatan politiknya hanya dilakukan untuk mendapatkan citra populis. Apakah kasus atas nama agama di Indonesia memungkin sama seperti negara di Timur tengah? Hal itu bukan tidak mungkin, jika persoalan selalu ditanggapi secara kasuistik tidak secara komprehensif, maka bersiaplah Indonesia akan menjadi penuh dengan konflik kekerasan bahkan pembunuhan secara masif. Apakah pilkada serentak nanti akan berujung dengan kasus yang sama, yaitu menggunakan hatespeech sebagai katastrofa demi meraih kekuasaannya.




0 comments:

Post a Comment