Translate

Makna Dibalik Kegagalan

Kata “Gagal” seringkali diartikan peyoratif/negatif, tak ayal balutan serta bungkusan yang menyelimuti kita ditopang dengan beragam cara. Apapun itu, yang penting kita jauh dengan kata “gagal”. Namun apa makna dibalik kegagalan...

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi

Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi...

Implikasi Putusan Praperadilan Kasus BG, Bukti Nyata Hukum Indonesia Tak Jelas

Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini.....

Adonis, Sastrawan Arab Paling Kritis

Adonis merupakan penyair Arab yang paling berpengaruh di abad ke-20. Karya sastra modernisnya sangat berpengaruh terhadap dampak budaya Arab.....

Lintasan Sejarah Komunisme di Dunia Islam

Persinggungan antara komunisme di barat maupun di wilayah timur, terkhusus di Dunia Islam terdapat titik persamaan konseptual yaitu menolak terhadap kolonialisme barat. Seperti yang kita ketahui, hampir rata-rata di dunia Islam paruh abad 18-19-an, telah terjadi pergeseran antar ideologi.

Wednesday 2 November 2016

Logika Pemidanaan Moral dalam KUHP

Hukum sebagaimana ditegaskan oleh penganut teori hukum kodrat maupun positifisme hukum, bertujuan menciptakan tatanan sosial (social order) demi melindungi dan menjamin kepentingan umum. Dalam arti ini, hukum sebetulnya memaminkan peran paradoksal: disatu sisi hukum memfasilitasi kebebasan masyarakat untuk mengejar dan merealisasi kepentingannya. Akan tetapi, pada sisi yang lain, hukum membatasi ruang kebebasan masyarakat. Dengan adanya hukum, masyarakat tidak bertingdak tanpa memperhatikan kepentingannya memberi ruang gerak bagi yang lain untuk mengejar dan mewujudkan apa yang dipandangnya berharga dan bernilai bagi dirinya. Dengan adanya hukum, kebebasan yang digunakan secara sewenang-wenang dalam situasi alamiah, atau prejudicial society dalam bahasa Kant, untuk memenangkan kepentingan sendiri, kini diatur dan dibatasi sehingga pelaksanaaannya tidak melanggar hak dan kepentingan pihak lain. (Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum Membela Keadilan Kanisius, 123).

Persoalannya adalah sejauh mana polarisasi antara hak satu dengan hak yang lain bisa saling tidak bertentangan seperti dalam kasus moralitas, etika dan hukum saling tarik menarik kedalam ruang negara? Hal ini seperti perdebatan tentang kriminalisasi terhadap pelaku zina dalam pengertian sosial masyarakat.  Konon, perdebatan ini sebetulnya sudah dibahas pada pembuatan NA RUU KUHP pertama kali, dengan salah satu alasan bahwa norma KUHP saat ini sudah tidak sesuai dengan konstruksi hukum Indonesia. Persoalan lainnya juga yaitu tarik menarik antara kewenangan negara terlalu ikut campur ke wilayah private menjadi semakin diperhatikan. Belum lagi perdebatan antara yang lebih spesifik seperti apakah semua perbuatan pidana dikatakan delik pidana jika ia memuat unsur paksaan dan adanya akibat dari peristiwa tersebut? Sejauh mana moral dignity mempengaruhi pertimbangan ia menjadi sebuah alasan pidana? apakah setiap tindakan moral yang tidak etis dalam masyarakat bisa dijadikan ia termasuk dalam tindak pidana? Selain itu juga, bagaimana implikasinya jika tindak pidana kesusilaan yang bersumber dari KUHP dan undang-undang di luar KUHP. 

Dalam merumuskan norma hukum pidana di bidang kesusilaan juga mempertimbangkan hasil penelitian dan masukan dari diskusi kelompok terfokus serta perkembangan hukum dalam yurisprodensi dan praktek penegakan hukum. Struktur pokok perumusan tindak pidana kesusilaan:
a.    Norma hukum pidana dalam KUHP yang direformulasi dan disesuaikan dengan nilai kesusilaan masyarakat hukum Indonesia (konsep hukum tentang zina dan kesusilaan).
b.    Norma hukum pidana yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun2008 tentang Pornografi, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dirumuskan menjadi tindak pidana pornografi, pornografi melalui media elektronik, dan pornografi yang melibatkan anak, perkosaan dalam rumah tangga).
c.    Norma hukum pidana yang bersumber dari hukum adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat (tindak pidana hidup bersama tanpa nikah).
d.    Kebijakan perumusan pemberatan ancaman pidana ditujukan kepada tindak pidana di bidang kesusilaan yang melibatkan anak. (NA RUU KUHP)

Dalam Simposium tentang pembaharuan hukum pidana yang diadakan di Semarang pada tanggal 28 Agustus 1980, ditegaskan bahwa tujuan dari kebijakan menetapkan suatu sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik kriminil dalam arti keseluruhannya, yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Dikemukakan pula bahwa setiap kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan harus disusun dan diletakkan dalam suatu perencanaan sosial yang menyeluruh dan terpadu sehingga dapat dihindarkan akses-akses yang tidak dikehendaki, khususnya yang menyangkut perkembangan kriminalitas. Lebih jauh diakui bahwa salah satu jalan keluar yang strategis dalam penanggulangan kriminalitas adalah peningkatan daya tahan atau daya tolak budaya, mengingat kriminalitas sendiri pada hakekatnya merupakan bagian dari budaya manusia. (NA RUU KUHP)

Khusus mengenai pengertian kejahatan telah disepakati pula pengertian bahwa ia merupakan suatu hal yang relative, bergantung pada penentuan sikap dan kebijakan penguasa, serta berkaiatn erat dengan pola dan tata nilai budaya, serta tata kaedah dan struktur masyarakat. Dan meskipun ada sifat-sifat universal dari kejahatan, namun masih dibenarkan adanya pekecualian yang selalu ada dalam setiap aturan, hal mana tidak terlepas dari budaya dan struktur masyarakat.

Memperhatikan hal-hal yang telah disepakti diatas, sebagai hasil dari suatu pengkajian dan diskusi yang cukup luas dan mendalam, kiranya semua unsur-unsur dari ungkapan diatas dapat digunakan sebagai ukuran dalam menentukan perbuatan-perbuatan apa sepatutnya ditentukan sebagai tindak pidana kesusilaan ini.
Menarik pula apa yang telah dikemukakan oleh Prof. Oemar Senoadji sekitar kejahatan terhadap kesusilaan ini bahwa dalam mengisi dan mengarahkan delik-delik susila itu, seharusnyalah unsur-unsur agama memegang peranannya. Baik sekali diperhatikan keterangan-keterangan beliau sekitar adanya pandangan yang semata-mata melihat hubungan antara hukum dan moral, seakan-akan pengaruh unsur agama terhadap hukum tidak mendapat perhatian, khususnya dalam kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan. (NA RUU KUHP)

Pasal 284, 285 dan 292 apakah bentuk Kejahatan atau Pelanggaran Moral?

Mengacu pada pasal 284, 285 dan 292, bahwa Zina sebagai (1) perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan); (2) perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seroang laki-laki yang bukan suaminya.

Pasal 284 (KUHP), a contrario, zina dilakukan diluar pernikahan legal, dalam konteks kejahatan kesusilaan adalah menjaga dari serangan “kekerasan” terhadap badan. Unsur “harm to other” disini sangat jelas, makanya yang diatur disini terbatas pada larangan terhadap perkosaan, pengguguran kandungan, perbuatan cabul, pelacuran, dan perzinahan. Perbuatan yang dilarang bukan lagi terfokus pada “kehidupan seksual” (sebagaimana dalam KUHP), tetapi sudah tidak terfokus lagi pada “bodily and psychological integrity”. Yang dimaksud dengan melindungi “bodily and psycolagical integrity” (integritas badan dan jiwa) dalam konteks kejahatan kesusilaan adalah menjaga dari serangan “kekerasan” terhadap badan. Unsur “harm to other” disini sangat jelas, makanya yang diatur disini terbatas pada larangan terhadap perkosaan, pengguguran kandungan, perbuatan cabul, pelacuran, dan perzinahan. Karena prinsipnya dalam kasus kesusilaan sesuai pasal 48 KUHP:”Barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum”. (Laporan Komnas HAM dalam RUU KUHP)

Alihalih menjaga moralitas publik terhadap seseorang atau lebih, malah mengkriminalkan seseorang/lebih karena diduga patut berbuat tindak pidana sesuai pasal 292. Dalam konteks ini tindak pidana kesusilaan dengan mengkriminalisasi terhadap perbuatan tersebut jelas tidak diperlukan. Karena tidak ada “kekerasan” terhadap badan dan jiwa disitu atau tidak ada “intentional harm-causing” atau “risking to others”. Sehingga kriminalisasi terhadap perbuatan ini merupakan tindak pidana tanpa korban atau “victimless crime”. Masalah ini sebetulnya berada dalam wilayah “private” atau “civil liberties” yang seharusnya dilindungi oleh negara baik dari “intervensi” masyarakat maupun orang lain. Tindak pidana kesusilaan dalam pasal 284, 285 dan 292 menjadi sangat kontradiksi jika dikaitkan dengan konteks yang berbeda, seperti pada pasal 284 ditafsirkan secara a contrario yaitu penalaran hubungan zina antara perempuan dan laki-laki dianggap benar jika ia tertulis secara sah, yang sah dalam hubungan seksual baik sejenis maupun non sejenis, kedua yaitu problem zina mengandung adanya paksaan apakah sama dengan perbuatan zina jika dilakukan suka sama suka, ketiga adanya aspek kerelaan dalam hubungan seksual. Alhasil jika logika Drafter RUU KUHP sama persis dengan apa yang di Judicial Riview di MK saat ini, maka akan bertambahnya jenis tindak pidana. Selain itu, penafsiran a contrario yang digunakan oleh pemohon JR MK pada pasal 284, 285 dan 292 akan berakibat langsung bertambahnya objek pidana, yaitu Pasal 284 mengatur pernikahan diluar yang sah baik perempuan maupun laki-laki dianggap kejahatan, padahal ini telah diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.  Begitu juga dengan Pasal 285 perkosaan bisa juga dilakukan oleh laki-laki maka termasuk juga jenis kejahatan. Pasal 292 hubungan dewasa sesama jenis juga.

Demakrasi Moral dan Hukum?

Mari mengamati persoalan antara moral dan hukum apakah saling berkaitan atau tidak itu bisa dilihat dari pengamatan Data Kepolisian Daerah Tahun 2011-2013, dimana 10 daerah besar seperti Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung dan Kepulauan Riau menempati posisi banyak angka kejahatan. (BPS, Statistik Kriminal 2014, hlm. 24). Padahal 10 daerah tersebut merupakan basis penerapan peraturan daerah yang bersendikan moralitas dan agama. Artinya ini tidak adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara moral dan tindak kejatahan.

Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan karena itu tujuan akhir dan tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.  Dengan demikian maka politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial (yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial). (Barda Nawai Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, h. 5) 

Penerapan hukum pidana yang semula sebagai upaya/cara terakhir (ultimum remedium) menjadi upaya/cara pertama (primum remedium). Pencantuman sanksi pidana dalam undang-undang sebagai primum remedium sejatinya dapat mengakibatkan terlanggarnya hak-hak konstitusional warga Negara Indonesia. Selain itu, pengajuan pengujian undang-undang terkait sanksi pidana semakin bertambah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Titis Anindyajati, Dkk dalam Jurnal Mahkamah Konstitusi, menunjukkan bahwa dari undang-undang yang diundangkan sejak 2003 sampai dengan 2014 memosisikan norma sanksi pidana sebagai primum remedium. Hal ini dapat terlihat pada konstruksi pasal yang memuat sanksi pidana. Padahal dalam konsepsi pemidanaan, sanksi pidana haruslah diposisikan sebagai ultimum remedium. Dalam pada itu, MK sebagai pelindung hak konstitusional warga negara dan pelindung hak asasi manusia memiliki peranan yang sangat penting untuk mengembalikan posisi sanksi pidana sebagai ultimum remedium. (Titis Anindyajati, dkk, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 4, Desember 2015, h. 87).

Mengacu pada konsep pembaruan KUHP yang didasarkan atas empat tujuan yakni misi dekolonisasi hukum pidana, misi demokratisasi hukum pidana, misi konsolidasi hukum pidana, dan misi adaptasi dan harmonisasi. Tim Penyusun RUU KUHP nampaknya menyadari bahwa misi pembaruan KUHP bukan sekedar dekolonisasi melalui langkah-langkah rekodifikasi kembali hukum pidana materiil. Artinya sistem nilai yang mendasari pentingnya pembaruan KUHP bukan disandarkan pada misi  tunggal untuk meniadakan produk kolonial semata. Perlu ditimbang kembali apakah landasan  pemikiran mengenai produk hukum yang dihasilkan semasa kolonial itu merupakan permasalahan mendasar yang menjadi pertimbangan dalam pembaruan KUHP. Dan yang paling terpenting adalah kapankah negara (Baca: Hukum pidana) bisa menjatuhkan hukuman, atau memperbolehkan orang lain menghukum seseorang yang melakukan pelanggaran secara moral? Mungin saya sepakat dengan Julian Baggini, dalam bukunya “Making Sense”, ketika perbuatan salah tersebut mengakibatkan kerugian yang signifikan dan relevan. (Julian Baggini, Making Sense, Teraju Mizan, h. 58)

“Salam Pecinta Kesederhanaan.