Saat
ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era
digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi
lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk
mengelola waktu tetapi diakhir hidupnya seolah ia kehilangan makna hidupnya, apakah
ada yang salah dengan pengelolan waktu pada diri kita. Sebelum melangkah ke pembahasan.
Coba lihat ilustrasi masalah di bawah ini.
Di
tengah gejolak serta ritme hidup yang tergesa-gesa, kita serta begitu cepat, bahkan
nonstop untuk selalu beraktivitas. Hari-hari seakan-akan berkeping dalam bit menuju
byte. Kita lebih menghargai luasnya sesuatu ketimbang dalamnya sesuatu, atau
lebih memilih reaksi cepat ketimbang refleksi mendalam. Kita melewati banyak
hal, mencermati berbagai tujuan dalam tempo singkat tanpa memiliki waktu untuk tinggal lebih
lama. Kita terus berpacu tanpa berhenti sejenak untuk memikirkan apa sebenarnya
yang kita inginkan atau ke mana kita hendak pergi. Kita saling terhubung tapi
sekaligus kehilangan makna penghubung.
Kebanyakan
dari kita berusaha berbuat yang terbaik. Namun, ketika tuntutan datang melampai
kapastitas kita, kita mulai membuat pilihan-pilihan yang dianggap tepat untuk
menjalani hari-hari kita, meski memakan korban seiring berlalunya waktu. Kita dapat
bertahan hidup dengan tidur yang kurang,
menyanyap fast food sambil tergesa-gesa, minum kopi untuk menyegarkan dan
konsumsi obat sejenis dopamin untuk menenangkan diri kita. Ketika dihadapkan
pada tuntutan kerja yang datang tanpa henti, kita menjadi cepat tersinggung dan
mudah marah. Kita kembali ke rumah setelah bekerja seharian penuh dan diliputi
kelelahan. Kita pun kerap merasa keluarga bukan lagi sumber kesenangan atau
penyegaran, melainkan lebih sebagai tuntutan dalam hidup yang sudah dipenuhi
banyak beban.
Kita
bekerja dengan agenda harian dan daftar kegitan yang harus dilakukan, Remainder
Android, Apple, Blackberry serta pop-up reminder lainnya, semuanya itu
dirancang agar kita dapat mengelola waktu dengan lebih baik. Kita merasa bangga
karena mampu mengerjakan berbagai tugas; kita merasa terhormat saat kita harus
kerja lembur, kita merasa hebat saat orang-orang tidak mendapatkan posisi
seperti kita, kita merasa senang saat gaji kita berbeda jauh lebih besar dari
pada teman-teman kita. Semua itu terasa begitu cepat bahkan sangat cepat
seperti kilat. Waktu mulai tidak lagi bersahabat saat waktu sendiri berhenti
menggambarkan jati diri. Ketika kita merasa kehabisan waktu, kita mengira tidak
punya pilihan selain menjejalkan pekerjaan demi pekerjaan setiap harinya. Meskipun
demikian, mengelola waktu secara efisien tidak lantas menjamin kita mendapatkan
eneri memadai untuk mengerjakan apapu yang tengah kita lakukan.
Sadar
atau tidak pandangan di atas kurang lebih merupakan representasi dari kehidupan
kita saat ini. Pandangan ini pula telah merevolusi pemikiran kita menjadi
manusia industri seperti mekanika. Setiap pemikiran, emosi dan perilaku kita
membawa konsekuensi energi masing-masing, baik maupun buruk. Ukuran terpenting
dalam hidup kita bukanlah seberapa lama waktu yang kita gunakan di dunia,
tetapi pada seberapa banyak energi yang kita investasikan dalam waktu kita. Meminjam
pola Jim Loehr untuk mendapatkan semua itu, bagan di bawah ini seharusnya apa yang kita rubah saat ini untuk mengelola energi jauh lebih produktif bagi kita:
Jim Loehr & Tony Schwartz, Terampil Mengelola Energi Bukan Waktu, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008, hal.`15 |
2 comments:
Assalamualaikum kak, suka banget isi blog kakak, jazakumullah yaaa tulisannya..
wala'alakum salam... iya sama-sama jazakumullah... klau kiranya bermanfaat, tlong sbarkan kpd yg lainnya ya.. hee
.. saran kritikannya juga ya ukhtii..
Post a Comment