Translate

Monday, 16 March 2015

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi


Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi diakhir hidupnya seolah ia kehilangan makna hidupnya, apakah ada yang salah dengan pengelolan waktu pada diri kita. Sebelum melangkah ke pembahasan. Coba lihat ilustrasi masalah di bawah ini.
Di tengah gejolak serta ritme hidup yang tergesa-gesa, kita serta begitu cepat, bahkan nonstop untuk selalu beraktivitas. Hari-hari seakan-akan berkeping dalam bit menuju byte. Kita lebih menghargai luasnya sesuatu ketimbang dalamnya sesuatu, atau lebih memilih reaksi cepat ketimbang refleksi mendalam. Kita melewati banyak hal, mencermati berbagai tujuan dalam tempo singkat  tanpa memiliki waktu untuk tinggal lebih lama. Kita terus berpacu tanpa berhenti sejenak untuk memikirkan apa sebenarnya yang kita inginkan atau ke mana kita hendak pergi. Kita saling terhubung tapi sekaligus kehilangan makna penghubung.
Kebanyakan dari kita berusaha berbuat yang terbaik. Namun, ketika tuntutan datang melampai kapastitas kita, kita mulai membuat pilihan-pilihan yang dianggap tepat untuk menjalani hari-hari kita, meski memakan korban seiring berlalunya waktu. Kita dapat bertahan hidup dengan  tidur yang kurang, menyanyap fast food sambil tergesa-gesa, minum kopi untuk menyegarkan dan konsumsi obat sejenis dopamin untuk menenangkan diri kita. Ketika dihadapkan pada tuntutan kerja yang datang tanpa henti, kita menjadi cepat tersinggung dan mudah marah. Kita kembali ke rumah setelah bekerja seharian penuh dan diliputi kelelahan. Kita pun kerap merasa keluarga bukan lagi sumber kesenangan atau penyegaran, melainkan lebih sebagai tuntutan dalam hidup yang sudah dipenuhi banyak beban.
Kita bekerja dengan agenda harian dan daftar kegitan yang harus dilakukan, Remainder Android, Apple, Blackberry serta pop-up reminder lainnya, semuanya itu dirancang agar kita dapat mengelola waktu dengan lebih baik. Kita merasa bangga karena mampu mengerjakan berbagai tugas; kita merasa terhormat saat kita harus kerja lembur, kita merasa hebat saat orang-orang tidak mendapatkan posisi seperti kita, kita merasa senang saat gaji kita berbeda jauh lebih besar dari pada teman-teman kita. Semua itu terasa begitu cepat bahkan sangat cepat seperti kilat. Waktu mulai tidak lagi bersahabat saat waktu sendiri berhenti menggambarkan jati diri. Ketika kita merasa kehabisan waktu, kita mengira tidak punya pilihan selain menjejalkan pekerjaan demi pekerjaan setiap harinya. Meskipun demikian, mengelola waktu secara efisien tidak lantas menjamin kita mendapatkan eneri memadai untuk mengerjakan apapu yang tengah kita lakukan.

Sadar atau tidak pandangan di atas kurang lebih merupakan representasi dari kehidupan kita saat ini. Pandangan ini pula telah merevolusi pemikiran kita menjadi manusia industri seperti mekanika. Setiap pemikiran, emosi dan perilaku kita membawa konsekuensi energi masing-masing, baik maupun buruk. Ukuran terpenting dalam hidup kita bukanlah seberapa lama waktu yang kita gunakan di dunia, tetapi pada seberapa banyak energi yang kita investasikan dalam waktu kita. Meminjam pola Jim Loehr untuk mendapatkan semua itu, bagan di bawah ini seharusnya apa yang kita rubah saat ini untuk mengelola energi jauh lebih produktif bagi kita:

Jim Loehr & Tony Schwartz, Terampil Mengelola Energi Bukan Waktu, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008, hal.`15

2 comments:

Assalamualaikum kak, suka banget isi blog kakak, jazakumullah yaaa tulisannya..

wala'alakum salam... iya sama-sama jazakumullah... klau kiranya bermanfaat, tlong sbarkan kpd yg lainnya ya.. hee
.. saran kritikannya juga ya ukhtii..

Post a Comment