Translate

Makna Dibalik Kegagalan

Kata “Gagal” seringkali diartikan peyoratif/negatif, tak ayal balutan serta bungkusan yang menyelimuti kita ditopang dengan beragam cara. Apapun itu, yang penting kita jauh dengan kata “gagal”. Namun apa makna dibalik kegagalan...

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi

Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi...

Implikasi Putusan Praperadilan Kasus BG, Bukti Nyata Hukum Indonesia Tak Jelas

Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini.....

Adonis, Sastrawan Arab Paling Kritis

Adonis merupakan penyair Arab yang paling berpengaruh di abad ke-20. Karya sastra modernisnya sangat berpengaruh terhadap dampak budaya Arab.....

Lintasan Sejarah Komunisme di Dunia Islam

Persinggungan antara komunisme di barat maupun di wilayah timur, terkhusus di Dunia Islam terdapat titik persamaan konseptual yaitu menolak terhadap kolonialisme barat. Seperti yang kita ketahui, hampir rata-rata di dunia Islam paruh abad 18-19-an, telah terjadi pergeseran antar ideologi.

Sunday 18 October 2020

Jalan Terjal Uji Materi UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi


 

Pada 2016 silam, sebelum Mahfud MD menjadi Menkopolhukam, dia mengkritisi soal ribuan perda/perkada yang dicabut oleh Presiden Jokowi.  Dia mengusulkan perda/perkada hanya bisa dicabut melalui dua mekanisme, yaitu lewat uji materi ke Mahkamah Agung (MA) atau melalui mekanisme di legislatif. Karena mekanisme pembatalan yang dilakukan oleh pemerintah (eksekutif review) jelas perbuatan perbuatan inkonstitusional dan berpotensi disalahgunakan.

Lalu, selang beberapa tahun, kewenangan pembatalan perda oleh eksekutif yang termuat dalam pasal 251 ayat 1, 2 & 7 UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,  dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan 56/PUU-XIV/2016 dan putusan yang sama sebelumnya 137/PUU-XIII/2015. Bahwa kewenangan eksekutif untuk membatalkan peraturan di bawahnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Namun putusan MK tersebut menjadi rancu, pada saat yang sama di dalam UU Cipta Kerja, terdapat prinsip hirarki peraturan perundang-undangan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau bertentangan dengan putusan pengadilan harus dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi yang dikoordinasikan oleh pemerintah pusat diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). (Lihat Pasal 181, UU Cipta Kerja, hal. 587)

Meski bukan klausul 'pembatalan', namun kata 'harmonisasi dan sinkronisasi' dipahami secara tidak tidak langsung  menyalahi prinsip peraturan perundangan-undangan. Ketentuan ini jelas berpotensi disalahgunakan oleh eksekutif, selain itu juga bertabrakan dengan prinsip dan subtansi peraturan perundangan dalam konteks fungsi dari PP sebagai pelaksana teknis dalam sebuah undang-undang, tetapi PP bisa merubah kerangka subtansi peraturan yang dirasa tidak harmonis. Entah berjenis peraturan perundang-undangan atau produk hukum dibawah UU seperti Peraturan Daerah (perda) dan lainya. Pasal ini jelas tidak mengakomodir prinsip desentraliasi peran daerah dalam tata kelola pemerintahan, yang pada akhirnya porsi dan peran eksekutif terlalu besar dalam pemerintahan. Ini tidak hanya merusak prinsip demokrasi, tetapi juga berpotensi disalahgunakan oleh Eksekutif.

Lalu pertanyaannya, mengapa pasal mengenai peran pusat atas daerah mencuat kembali? Padahal jauh sebelum hadirnya UU Cipta kerja, Mahfud mengkritisi soal tersebut. Apakah ini titipan atau memang luput dari pengawasan Mahfud selaku Menkopolhukam. Yang jelas, hanya beliau yang bisa menjawab persoal ini. Tetapi yang jelas publik menangguhkan komitmennya, khususnya yang berkaitan dengan prinsip demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam UU Cipta Kerja.

 

Ketidakjelasan Prinsip Umum dalam Peraturan Perundang-undangan

Selain itu, masalah lain ditemukan dalam UU Cipta kerja yaitu dihapusnya penjelasan prinsip umum tentang kategori peraturan perundang-undangan yang bisa dibatalkan. Dimana ketentuan tersebut diatur jelas dalan kerangka hirarki peraturan-perundangan, seperti termuat dalam UU No. 12 Tahun 2011 dan dijelaskan secara rinci dalam pasal  250 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu:

1) Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.

2) Bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.    terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;

b.    terganggunya akses terhadap pelayanan publik;

c.    terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;

d.    terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau

e.    diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender.

Lalu kemudian, ketentuan Pasal 250 di atas diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 250 Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan."


Dalam ayat tersebut tidak dijelaskan soal penjelasan rinci apa yang dimaksud materi muatan peraturan perundangan-undangan yang bertentangan dengan kepentingan Umum. Seperti materi muatan peraturan perundangan-undangan tidak boleh bertentangan prinsip non diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender.

Pasal ini dirasa sangat penting, mengapa? Karena berdasarkan catatan Komnas Perempuan, setidaknya ditemukan 421 kebijakan diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan di level nasional/daerah tahun 2018.  Hal ini memperlihatkan, selain materi muatan dan asasnya bertentangan dengan prinsip non diskriminasi dan melanggar prinsip hak asasi manusia.  Kebijakan diskriminatif tersebut juga menjadi penghambat bagi upaya penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan pemenuhan hak asasi perempuan.


Jalan Terjal Judicial Review

Lalu bagaimana nasibnya jika warga negara mengeluhkan soal kebijakan yang dirasa bertentangan dengan prinsip non diskriminasi? Jawabanya jelas harus menggunakan mekanisme pengadilaan (judicial), entah itu melakukan uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi yang levelnya UU bertentangan dengan UUD 1945, atau melalui mekanisme Uji Materi di Mahkamah Agung, yang pertentanganya dibawah Undang-undang. Persoalannya adalah ongkos biaya pencari keadilan tidaklah murah dan prosesnya panjang. Mengingat pada saat yang sama, pasca dilakukanya revisi UU MK, soal ketentuan perubahan dalam UU yang telah diuji dan diputuskan oleh MK untuk ditindaklanjuti oleh DPR dan Presiden sudah dihapuskan (lihat pasal 59 UU MK).

Ditambah lagi, jika persoalnya di bawah undang-undang, mekanisme judicial review di Mahkamah Agung juga masih tertutup rapat untuk terlibat sebagai para pihak yang berkepentingan. Yang seharusnya bisa didengar dan digali argumentasinya sebelum hakim menjatuhkan putusan  (azas audi et alteran partem). Alhasil mekanisme komplain hak warga negara yang dilakukan secara konstitusional pun masih menjadi sisi gelap panjangnya hukum di Indonesia, karena kondisi di atas.

Sangat beralasan, jika kemudian banyak masyarakat menyuarakan pembatalan UU Cipta Kerja melalui aksi masa/unjuk rasa di hampir di seluruh wilayah Indonesia, karena selain soal subtansi bermasalah juga ditambah ada faktor lain (deterrent effect) yang turut serta membuat penolakan, karena harapan menggunakan mekanisme yang tersedia melalui judicial review sangat jauh dari prinsip akses keadilan.

Jika kemampuan dan kewenangan lembaga/institusional saja terbatas untuk mampu memberikan akses keadilan, lalu bagaimana warga berharap soal subtansinya. Kalau saja Pemerintah Indonesia komitmen soal akses Keadilan, seharusnya ruang-ruang mekanisme sebagai garda perlindungan dan jaminan untuk dibuka selebar-lebarnya. Karena pada prinsipnya, di negara demokratis jaminan akses keadilan menjadi persoalan yang fundamental. Karena dengan akses keadilan yang terbuka, maka warga dapat menggunakan hak-haknya untuk mendapatkan keadilan, baik melalui lembaga formal maupun non formal.

Sangat wajar, sebagian masyarakar skiptis jika persoalan dalam UU Cipta Kerja harus menempuh jalur judicial review di MK. Karena selain cacat prosedur dan subtansi hukum, tetapi ruang mekanisme peradilan yang amat gelap dan tidak bisa diprediksi (unpredictable). Terlebih materi muatanya yang berkaitan soal tafsir penyalagunaan kekuasaan, syarat berpotensi politis pembahasanya. Meski pada prinsipnya, mekanisme judicial review baik di Mahkamah Konstitusi menggunakan ‘asas audi alteram et partem,’ dimana semua pihak harus didengar dan diberikan akses yang sama. Namun pada prakteknya berbeda. UU Cipaker ini merubah banyak Undang-undang dan pasal.


Bisa dibayangkan jika seluruh/sebagian pasal UU Cipta Kerja di Uji Materikan ke Mahkamah Konstitusi, selain akan menghabiskan energi dan biaya, pasti tidak sedikit waktu membahas soal informasi  pasal kontroversial. Jika selama ini JR di MK membahas hanya beberapa atau sebagian pasal saja dalam UU dengan menggabungakan permohonan, lalu bagaimana jika kluster persoalanya sangat komplek? Mengingat permohonan JR di MK yang 1 pasal atau sebagian pasal pun membutuhkan waktu bertahun-tahun sampai dengan adanya putusan. Selain itu, komposisi jumlah hakim MK yang hanya diisi 9 orang, juga dirasa tidak cukup komprehensif membahas ribuan pasal yang akan diujikan. Maka akan banyak pemohon, ahli, saksi dan pihak terkait yang terlibat untuk mendalami persoalan mana saja yang dirasa inkonstitusional. 

 

Solusi Memecah Omnimbus Law

Jika negara tetap bersikekeh tidak akan membatalkan UU Ciptakerja, dan mempersilahkan kepada masyarakat untuk mengajukan keberatanya melalui mahkamah konsitusi. Jika demikian, bisa dipastikan memang negara tidak memiliki ‘sense of crisis', disaat kondisi pandemi Covid-19 belum berakhir. Dampaknya adalah proses pemeriksaan perkara secara adil dan fair di MK akan mengalami hambatan dan kesulitan bagi semua pihak, karena ada aturan pembatasan protokol kesehatan. Oleh sebab itu,  seharusnya negara merangkul para pihak dengan mendudukan persoalan sesuai keberimbangan dan keadilan.  Meski prinsip ‘asas audi alteram et partem, hanya dikenal di dalam MK, tetapi spirit para pihak perlu didengar dan dipertimbangkan penting dimanfaatkan oleh lembaga eksekutif, dalam hal ini presiden untuk membahas subtansi dan juga misinformasi persoalan dalam UU Cipta Kerja.

Selain solusi di atas,  Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi, penting kiranya mempertimbangkan opsi Perpu tentang pembatalan sementara atau sekaligus perubahan UU Cipta Kerja, sesuai kluster pasal-pasal yang dinilai bermasalah oleh Publik. Meski tidak mudah, tapi keputusan tersebut akan membuat legacy soal komitmen keberpihakan Presiden melindungi  masyarakat miskin, rentan dan marginal,  juga 260 juta warga Indonesia dari diskriminasi. Mengapa demikian, karena pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja syarat berpotensi terjadinya konsentrasi kekuasaan, sehingga memunculkan penyalahgunaan kekuasaan yang bersifat koruptif dan merusak (power tends  to corrupt, absolut power corrupt absolutely).***

 

 

Sunday 11 October 2020

Sejarah dan Potensi Penyalahgunaan Pam Swakarsa

 


Dalam alam demokrasi, keterlibatan peran masyarakat dalam sebuah pembangunan di sebuah negara sangat penting. Namun upaya keterlibatan dalam konteks keamanan dan ketertiban sebagai kerangka pembangunan yustisi, perlu mendapat perhatian. Karena sejarah  keterlibatan masyarakat dibidang keamanan dan ketertiban (kamtibmas) telah menyisahkan sejarah kelam. Tercatat potensi penyalahgunaan dan rentetan kekerasan di negeri ini, pernah dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan Pasukan Pengamanan Swakarsa (Pam Swakarsa). Kehadiran Peraturan Kepala Kepolisian No. 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa pun berpotensi melanggar prinsip dan standar hak asasi manusia, dalam konteks pengamanan dan penertiban masyarakat.


Sejarah Pam Swakarsa di Indonesia

Sejarah mencatat, sistem keamanan yang diorganisasi oleh masyarakat di Indonesia sebenarnya telah diperkenalkan pada masa kolonial Belanda, saat sebagian besar dari seperempat orang-orang non-Eropa di kota, di-”polisi”-kan oleh masyarakat sendiri dengan cara sukarela (Anderson 2001: 10) Bahkan, penggunaan istilah ronda, yang merupakan hasil adopsi dari bahasa Portugis yang memiliki arti berjaga, sering kali dikaitkan dengan upaya kolonial mengamankan daerah sekitarnya dengan bantuan warga setempat yang cenderung memaksa.

Mengutip jurnal “Praktik Sistem Keamanan Swakarsa pada Masa Pascakolonial di Jawa Timur”, bahwa duplikasi dari sistem pengadilan terhadap kriminalitas tersebut kadang-kadang melegalkan secara informal kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi untuk mengumpulkan uang dan untuk membagi pembayaran dari dan mengendalikan masuk ke dalam legitimasi perusahaan bisnis. Di beberapa daerah di Indonesia, ancaman kekerasan berpotensi menjadi dasar dari aktivitas-aktivitas yang mendapat keuntungan-keuntungan untuk elit lokal dan kadang-kadang dilegitimasi oleh lembaga pemerintahan lokal. (Arya W. Wirayu dan Koko Srimulyo, 2018, 142).

Setelah berlangsung cukup lama, konsep kemanan lokal juga dilegitimasi beberapa rezim, seperti rezim orde baru mencatat bahwa adanya hansip, linmas, dan satgas kala itu, merupakan asosiasi perpanjangan tangan soal pengamanan dan ketertiban di masyarakat. Meski sedikit terjadi perbedaan istilah namun kerangka kontrol dari militer berperan penuh. Lalu semangat reformasi 98 bergulir, dengan ragam perdeban tututan, namun satu isunya yang paling mengemuka adalah melengserkan suharto dan pencabutan peran dwifungsi ABRI. Tarik menarik soal pentingnya dilakukan sidang istimewa MPR dan tidak, menjadi titik balik hadirnya keterlibatan pasukan pengamanan masyarakat swakarsa atau yang biasa disebut "Pam Swakarsa" pada tahun 1998. Pasukan ini dibentuk dengan tujuan untuk membendung gejolak kritis masyarakat dan demonstrasi mahasiwa, yang hampir terjadi di seluruh Indonesia. Tidak bisa dinafikan, keberadaan pam swakarsa kala itu turut andil memproduksi organ pam swakarsa yang ada hingga saat ini.

Kemudian berselang 4 tahun pasca reformasi, kelahiran UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, memastikan keberadaan Pam Swakarsa dibentuk oleh institusi kepolisian. Dalam Pasal 3 disebutkan, peran Kepolisian dibantu oleh Pam Swakarsa. Hal ini menandai keberadaan Pam Swakarsa berada di wilayah kepolisian. 

Meski terjadi pergeseran konteks peran pam swakarsa, karena semangat reformasi merubah perspektif dan sistem keamanan dan ketertiban kala itu. Namun katup layang eksistensi pam swakarsa saat itu menjadi legitimasi pertama namun demikian ketentuan pelaksanaannya masih dibilang terbatas. 

Kemudian selang beberapa tahun kemudian lahir Perkapolri No. 23 Tahun 2007 tentang Sistem Keamanan Lingkungan, yang juga mengatur soal pamswakarsa, hanya saja masih terlihat kurang jelas. Perkapolri ini mengatur soal pam swakarsa dalam kerangka Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) dan Perpolisian Masyarakat atau disingkat Polmas. Dan perlu dicatat, keterlibatan pranata sosial secara sistematis belum diatur di dalam Perkaporli yang lama.

Kemudian pada tahun 2020, lahir Perkapolri No. 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa sekaligus menghapus Perkapolri yang lama. Perkapolri ini merubah sistem yang telah diatur sebelumnya. Meski sama-sama mengatur soal swakarsa masyarakat dalam keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), namun Perkapolri yang baru jauh lebih rinci. Seperti  terdapat 33 kata 'swakarsa' ditemukan di dalam perkapolri yang baru, sedangkan diaturan yang lama hanya 4 kata ‘swakarsa’ ditemukan. Lalu bagaimana soal subtansi, apa sama atau perbedaan pengaturan? Setelah ditulusuri, terdapat perberbedaan soal subtansi, khusunya soal keterlibatan masyarakat dalam kerangka keamanan dan ketertiban (kamtibmas).

 

Potensi Penyalahgunaan Pam Swakarsa

Konsep kamtibmas yang diatur dalam perkapolri ini memberikan ruang pam swakarsa yang dilakukan oleh 3 elemen utama. Keranga pertama diletakan pada Satpam, kedua Satkamling dan terkahir dari pranata sosial/kearifan lokal. Jika dilihat sekilas, 3 (tiga) kerangka tersebut terlihat seperti upaya kepolisian dalam membangun citra lebih dekat kepada masyarakat dengan memberikan distribusi atau peran kamtibmas dari elemen masyarakat dan profesional/satpam. Namun jika kita melihat lebih dalam, kerangka ini tidak hanya berpotensi tumpang tindih soal peran kepolisian tetapi juga membuat rancu delegasi sistem kamtibmas dalam sektor reformasi kemananan di kepolisian

Selain mengatur 3 komponen utama dalam kerangka kamtibmas, peraturan ini juga mengatur soal relasi kuasa peran delegasi. Seperti dalam pasal 12 dan 13, adanya perbedaan antara posisi garda pratama, madya dan utama. Jelas ini mengukuhkan posisi sipil dibawah garis komando militer. Pasal ini bukan saja potensial mendiskriminasi tetapi juga membatasi ruang gerak masyarakat untuk berkarya dan berkembang. Ambil contoh, seorang sahabat (security) bercerita soal kasus pemerasan yang dilakukan oleh atasanya (madya/utama) kepada anak buahnya di sebuah perusahaan. Karena ada kesalahan fatal yang tidak diketahui, hal itu menimbulkan kerugian yang dirasa akibat kelalaian semua personel security. Akibatnya para security wajib mengganti kerugian atas kelalaian seseorang. Penafsiran kerugian menurut atasanya harus ditanggung renteng karena didasari prinsip jiwa korsa.

Jika dilihat, ini persoalan hukum biasa jadi bisa diselesaikan secara sipil (pidana umum), tidak ada istilah tanggung renteng ganti kerugian dibebankan bersama-sama karena yang melakukan kelalaian jelas personal bukan bawahannya yang tidak tahu menahu soal kelalaian bekerja. Perkaporli ini mengukuhkan relasi kuasa dengan jiwa tribrata kepada sipil.

Kemudian potensi penyalahgunaan lain ditemukan  dalam Pasal 38 dan 39 soal diskresi satkamling kepada Rukun Tetangga (RT). Meski sekilas peranya terlihat kecil namun sangat besar dampaknya kepada masyarakat pada umumnya. Contohnya, kasus penggerebekan sepasang kekasih di Tangerang pada 2017 silam, ditafsiri karena adanya kepentingan ketertiban umum. Pada akhirnya RT dan beberapa orang yang turut terlibat mempersekusi kedua pasangan dengan menelanjanginya. Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kepolisian untuk merubah kerangka dan perspektif partisipan publik soal kamtibmas. Karena delegasi peran kamtibmas kepolisian diserahkan kepada beberapa pihak/lembaga, akhirnya diskresi soal penegakan hukum dijadikan ladang para oknum membuat panggung peradilan baru, dan bahkan potensial untuk main hakim sendiri (eigen righting) seperti kasus di atas.

Ini juga pernah diatur dalam Surat Kapolri No.Pol : B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 04 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui ADR. Dimana ada klausul pemberdayaan anggota Pemolisian/Perpolisian Masyarakat (Polmas) dan peran serta Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) yang ada di wilayah masing-masing untuk mampu mengidentifikasi kasus-kasus pidana....", padahal jelas dalam pasal 5 KUHAP, tugas penyelidik yaitu menerima laporan/pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. Atas laporan/pengaduan tersebut kepolisian mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga kuat sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya lanjut ke proses penyidikan sesuai Pasal 1 angka 4 KUHAP. Proses pendelegasian wewenang yang dilakukan kepolisian kepada Pam Swakarsa jelas melanggar prosedur  kepolisian dalam proses penyelidikan dan penyidikan sesuai KUHAP.

Lalu potensi lain juga ditemukan dalam Perkaporli yang baru, seperti tugas melaporkan setiap gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang terjadi kepada Bhabinkamtibmas atau Satuan Kepolisian terdekat, juga rentan dijadikan alat kepolisian dan RT untuk melakukan tindakan OTT (operasi tertangkap tangan) kepada masyarakat, hal ini syarat potensial dijadikan ladang pemerasan. Seperti, pada musim tertentu ada sebagian masyarakat memilki tradisi mengadu ayam, pada saat yang sama organ perpanjangan kepolisian melaporkan peristiwa tersebut, kemudian berdasarkan laporan tersebut pula dilakukan penggerebekan oleh aparat kepolisian dan pam swakarsa. Persoalan tertangkap tangan dalam konteks tersebut tidak serta merta berdiri sendiri, tetapi ada dasar mengapa upaya paksa penggerebekan dilakukan. Bisa melalui laporan ataupun pengaduan masyarakat. Hal itu memunculkan potensi penyalahgunaan wewenang dan rentan eksploitasi saat penetapan tersangka selama kurun waktu 1 x 24 Jam.

Selain itu, potensi penyalahgunaan delegasi peran kamtibmas juga bisa ditemukan dalam kasus kekerasan seksual, KDRT dan lain-lain--, yang dimaknai bisa diselesaikan melalui mediasi kasus pidana (mediasi penal). Padahal pada prinsipnya, tidak ada istilah mediasi dalam kasus pidana. Di banyak kasus, korban kekerasan seksual sering kali dimediasi oleh para oknum, bahkan jika tidak mau dimediasi sering diancam oleh oknum aparat/masyarakat jika mau mencabut laporan di kepolisian, padahal korban mengalami kekerasan luar biasa. Oleh karena itu kasus ini menggambarkan kompleksitas persoalan, mana wewenang penegak hukum mana peran masyarakat.


Kembalikan Wewenang Kepolisian Sesuai Prinsip HAM

Sejatinya negara yang menganut demokrasi selalu menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dalam proses bernegara dan berbangsa. Oleh karenanya, posisi kedaulatan rakyat menjadi indikator penting dimana negara memastikan prinsip persamaan dan kesederajatan harus termaktub dalam kerangka negara hukum. Oleh karenanya juga, negara memiliki kewajiban untuk memenuhi, melindungi dan mempromosikan hak-hak warga negara sebagai katalisator negara yang demokratis. Hal itu juga tak terbatas pada isu perindungan, keamananan dan ketertiban di masyarakat.

Lalu jika negara ingin memastikan keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat, negara juga harus memastikan prinsip negara yang demokratis. Setidak-tidaknya ia memuat supremasi hukum, persamaan di dalam hukum (equality before the law), asas legalitas, pembatasan kekuasaan, prinsip hak asasi manusia serta memuat kontrol mekanisme internal/eksternal. Karena jika tidak, potensi penyalahgunaan (abuse of power) seperti di atas sangat terbuka lebar diberikan kepada orang-orang yang ditunjuk dari mekanisme yang tidak jelas dan tranparan. Oleh sebab itu prinsip limitasi kekuasan dan kewenangan penting untuk diatur secara jelas, transparan dan akuntabel. Bukan malah memperuncing peran delegasi wewenang kepolisian seperti yang tertuang dalam peraturan perkapolri baru.

Seharusnya kepolisian cukup memastikan para bawahannya mengimpelemtasikan Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Menyelenggarakan Tugas Kepolisian, mengapa? Sering sekali terjadi gesekan dan pelanggaran oleh kepolisian karena kurangnya pemahaman soal Perkapol tentang standar HAM. Sebagai pengayom dan pelayan masyarakat, kepolisian seharusnya bisa memelihara keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat, melalui berbagai layananya. Bukan justeru menjadi aktor dalam melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Jangan sampai Perkapolri  No. 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa menjadi pijakan dalam membungkam demokrasi, atau juga menjadi batu loncatan untuk bertindak serampangan dan bahkan mengalihkan tugas dan tanggung jawab kepolisian. Bukan tidak mungkin sejarah kelam pam swakarsa hadir kembali di tengah panggung demokrasi.***


Friday 26 June 2020

3 Alasan Mengapa Harus Menggunakan Protokol Kesehatan di Era New Normal

Era baru, tananan baru, pola hidup baru menjadi tak terelakan di tengah wabah yang terus menggila. Apakah tatanan baru  sama dengan babak pra pandemi? Tentu saja tidak, karena wabah ini menghancurkan segala lini, yang jelas era ini membuat semua komponen sendi pola kehidupan berubah total. 

Di era ini semua tatanan harus melepaskan atribut lama sebelum vaksin ditemukan. Lalu apakah kita harus tetap konsisten mematuhi protokol kesehatan ditengah wabah covid-19? Jawaban iya, karena kasus covid-19 yang terus meningkat di seluruh dunia. 

Dilansir dari data worldmeter pertanggal 23 Juni 2020, tercatat 9,229,504 orang dinyatakan positif virus corona. Ditambah dengan tingkat kematian juga yang cukup tinggi yaitu sebanyak 475,164 dan juga tingkat kesembuhan yang kalah tinggi sebanyak 4,971,800 orang. Kondisi ini memang tidak perlu membuat kita panik, tapi kita juga harus mawas diri,  selain karena kasus yang semakin tinggi tetap juga karena:

PERTAMA, wabah ini tak memandang orang sehat, setengah sehat ataupun sakit, dia bisa tertular atau jadi potensi penular, jadi jangan bebani tenaga medis dengan beban yang tak berimbang. Hargai mereka yang berjibaku menyelamatkan banyak pasien.

Mereka rela tertekan dan bertaruh jiwa raga demi menyelamatkan nyawa manusia. Saya rasakan kekhawatiran itu tiap kali istri bercerita bagaimana takutnya bekerja di ruang ICU Rumah Sakit di tengah wabah covid-19.

Selain merasakan rumitnya menggunakan alat kontrol pasien, juga harus menggunakan pakaian ala astronot, yang notabene nya sangat tidak enak dipakai, gerah, panas, dll. Ditambah adanya kasus pasien covid-19 yang tak jujur, membuat takut seluruh tenaga medis. 

Ditambah lagi ketika pulang ke rumah harus semprot sana harus bersih sini, ribet pokonya. Tapi saya bilang, "yang kamu kerjakan itu kerja kemanusiaan dan ganjaranya tidak main-main, itu upaya menyelamatkan manusia dan jarang orang mendapatkan posisi itu, maka dari itu bekerja untuk kemanusiaan jangan takut dan bersedih selagi kita ikuti protokol kesehatan dan jangan lupa berdoa. Meski dalam hati berteriak "ya Tuhan jaga dia dari wabah ini, jauhkan dari segala marabahaya."

KEDUA, saya sadar betapa ringkihnya kondisi sistem kesehatan Indonesia, baik dari sebaran tenaga medis yang tidak seimbang dengan jumlah penduduk, belum lagi alat kesehatan, faskes yang kurang, ditambah jumlah pasien sakit yang beraneka ragam, jelas akan menyulitkan fokus penanganan medis pasien cov-19. 

Selain itu, ditambah regulasi yang dikeluarkan pemerintah Indonesia tidak jelas dan absurd, antara menyelamatkan nyawa manusia atau menjaga kapitasi ekonomi. Terlihat saat pemerintah mengeluarkan perpu tentang penangan covid-19 dan mengeluarkan kebijakan PSBB. 

Pasal yang sangat membuat sakit hati yaitu soal impunitas pembuat kebijakan, itu tertuang dalam pasal 27 Perpu, yang menunjukkan bahwa lembaga keuangan berpotensi kebal hukum lantaran tidak bisa dituntut, baik secara pidana maupun perdata. 

Seperti seluruh anggota dan sekertaris komite stabilitas sistem keuangan (KSSK) dan Pejabat atau pegawai kementerian keuangan, pihak Bank Indonesia, OJK, LPS dan pejabat lain yang termasuk di dalamnya. 

Belum lagi soal yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengaturan ini tidak perlu ditegaskan dalam dalam pasal perpu karena pada prinsipnya ketika terjadi penyalahgunaan wewenang/abuse atau terjadi kerugian negara maka yang akan diuji di pengadilan adalah pembuktian apakah negara betul-betul beritikad baik saat mengeluarkan kebijakan ini. 

Pada prinsipnya hampir sama dengan doktrin business judgment rule (BJR), yang menegaskan pada dasarnya bahwa atasan atau direksi dalam sebuah lembaga harus menerapkan prinsip kehati-hatian dengan itikad baik dan sesuai dengan batas wewenangnya. J

ika batas wewenangnya diluar dari amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan maka itu jelas sudah beritikad tidak baik, apalagi jika meninggalkan kerugian negara. Jelas urusanya adalah pidana, yaitu korupsi. Meskipun dikatakan sebagai upaya penyematan perekonomian dari krisis. 

Belum lagi soal regulasi PSBB yang melewati amanat UU Kekarantinaan, membuat banyaknya kerugian yang harus ditanggung oleh masyarakat secara ekonomi, sosial, pskologi dan lain lain. 

Ditambah kabar Uji Materi MK soal perpu ditolak karena telah kehilangan objek gugatan. Hal ini membuat saya skiptis/ragu, wabah ini akan berakhir secara cepat, mengingat kasus yang terus meningkat.

KETIGA, Ini bukan soal takdir, tapi bagaimana soal mengelola pemahaman takdir. Dalam diskursus Islam, soal takdir telah lama Jadi perdebatan, namun yang perlu mendapat perhatian mengenai konsepsi takdir Tuhan sesuatu yang tidak terlihat alam metafisik/ghaib. 

Oleh karenanya ikhtiar dan doa yang menjadi penting yang harus ditekankan sesuai prinsip menjaga kehidupan manusia jauh lebih baik, bahkan diumpamakan ketika menjaga kehidupan seseorang seperti memelihara kehidupan manusia semuanya, ini masuk prinsip alam asbab (causalitas) dan doa masuk alam tajrid. 

Lebih jelasnya dalam al-Qur'an surat Almaidah: 32 dan surat Ar-Ra’d/13:11.

..مَن قَتَلَ نَفْسًۢا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى ٱلْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحْيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعًا
.....barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya....

..إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ..
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendirii.

Dalam kaidah Ushul fiqh:
إِذَا تَزَاحَمَتِ الْمَصَالِحُ قُدِّمَ اْلأَعْلَى مِنْهَا وَإِذَا تَزَاحَمَتِ الْمَفَاسِدُ قُدِّمَ اْلأَخَفُّ مِنْهَا
"Jika ada beberapa kemaslahatan bertabrakan, maka maslahat yang lebih besar (lebih tinggi) harus didahulukan. Dan jika ada beberapa mafsadah (bahaya, kerusakan) bertabrakan, maka yang dipilih adalah mafsadah yang paling ringan......"

إذا اجتمع الضرران أسقط الأكبر للأصغر
" Jika ada dua mudharat yang berkumpul, maka yang lebih besar harus digugurkan, untuk melakukan yang lebih kecil..."

الضرورات تبيح المحظورات
"Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang..."

Jadi siapapun kita, apapun profesinya, jika masih menghargai kehidupan mohon terapkan protokol kesehatan.  Meskipun ada beberapa aktivitas yang tidak bisa dilakukan di rumah namun sedapat mungkin menggunakan standar protokol kesehatan, seperti menggunakan masker, jaga jarak, sering mencuci tangan, tidak menyentuh mulut, hidung dan mata sebelum bersih, jauhi keramaian, lakukan ibadah bisa di rumah. Dengan jalan ini semua, kita berharap semoga wabah ini cepat berlalu  dan vaksin segera ditemukan secepat mungkin. Amin

Monday 25 May 2020

Fatwa Salat Idulfitri di Rumah Tak Bertaring: Akankah Memicu Kenaikan Kurva Korona?

Keramaian di tengah PSBB seolah tak memperdulikan wabah didepan mata. Di beberapa daerah, pasar, mall dan jalan dipadati kendaraan dan hirukpikuk masyarakat dengan segala aktivitasnya. 

Dikutip dari Kompas, Kerumunan warga membuat protokol Covid-19 yang harusnya diterapkan jadi terabaikan. Teranyar dan menjadi hangat di kalangan media sosial adalah penuhnya Pasar Tanah Abang di tengah Pemprov DKI masih menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar ( PSBB). Begitu pula di pusat perbelanjaan Roxy Mall, Jember, Jawa Timur, yang sempat ramai dengan pengunjung.

Masyarakat seolah tak mahu tahu kompeksitas ringkihnya sistem kesehatan Indonesia, mulai sebaran tenaga medis yang tak seimbang dengan jumlah penduduk, alat kesehatan yang kurang, faskes yang kurang, ditambah jumlah pasien sakit yang beraneka ragam. Kondisi ini seolah tak membuat masyarakat tetap ngotot beraktivitas tanpa memperdulikan protokol kesehatan.

Himbauan dari pelbagai elemen seolah tak mampu menghadang lajunya aktivitas masyarakat Indonesia. Mengapa hal itu terjadi, karena negara lupa akan kewajibanya untuk memenuhi seluruh hak warga negara. 

Ambil contoh, himbauan untuk tetap dirumah seakan menjadi bualan kengeyelan ala sebagian masyarakat. Karena negara abai saat wabah merebak malah asik membuka ruang investasi dan penerbangan luar negeri.

Lalu bagaimana dengan kondisi pasca lembaran, apakah kurva akan melandai seperti yang diinginkan oleh pemerintah? Sepertinya hanya mimpi kasus korona akan jauh dari kata 'melandai'. Lihat saja fatwa MUI untuk tetap berada dirumah pun seolah tak bertaring, begitu juga sekelas fatwa ormas NU, Muhammadiyah dan lainya tak berbeda jauh. 

Bahkan contohnya daerah Jawa Timur yang memiliki kedekatan dengan NU, Yogyakarta berdekatan dengan Muhammadiyah dan daerah lainya-- juga menjadi ladang naiknya tingkat kurva positif korona, namun pada saat yang sama esok hari banyak juga yang tetap ingin melakukan shalat idulfitri di Mesjid. 

Tulisan ini tak berniat untuk mendiskreditkan nama besar Ormas atau apapun, tetapi hanya menjadi media pembelajaran bersama dan pra hipotesa kajian sosial soal respon masyarakat akan ketaatan terhadap organisasi keagamaan.

Lalu apakah ketaatan sebagian masyarakat memang sudah pudar dan tersentral ataukah sebagian aktivitas masyarakat memang ditentukan oleh faktor determinan lain, dan berjalan seperti apa adanya. Apakah masyarakat sadar akan ancaman korona didepan mata? Ataukah masyarakat memang abai akibat plin planya PSBB ala pemerintah. Ataukah rendahnya kesadaran masyarakat akan kesehatan dan keselamatan jiwa manusia.

Mengutip hasil kajian Wawan Mas'udi dkk, Tata Kelola Penanganan Covid-19 di Indonesia: Kajian Awal 2020, bahwa dengan karakter wabah yang sejauh ini masih misterius dan dampak unprecedented yang ditimbulkannya, pandemi covid-19 telah membuka sisi gelap dan kelemahan dari sistem tata kelola kepentingan publik yang berlangsung selama ini. Keandalan sebuah sistem dan komitmen publik yang sesungguhnya hanya akan teruji pada masa krisis.

Peran sentral penegakan hukum (law enforcement) disertai komitmen publik menjadi perhatian penting bagaimana laju korona bisa melandai. Itupun pada saat yang sama keterlibatan masyarakat dipacu oleh keterlibatan secara organisatoris.

Agaknya kemampuan kolaborasi antar ormas dan pemerintah dalam menangani covid-19 belum serta merta mendapat restu di tingkat bawah (grassroot). 

Dalam konteks pencegahan covid-19, sepertinya relevan, teori ketaatan yang menyatakan bahwa individu yang memiliki kekuasaan merupakan suatu sumber yang dapat mempengaruhi perilaku orang dengan perintah yang diberikannya. 

Hal ini disebabkan oleh keberadaan kekuasaan atau otoritas yang merupakan bentuk legitimate power atau kemampuan atasan untuk mempengaruhi bawahan karena adanya posisi khusus dalam struktur hierarki organisasi (Hartanto dan Indra, 2001).

Sepertinya polarisasi politik pasca pilres juga mempengaruhi dan atau masih membekas diingatan publik bahwa dualisme pertarungan politik menjadi keengganan sebagian akan ketaatan terhadap pemerintah. Perlu keterlibatan akar rumput dan lintas sektor untuk mengubah pola perilaku sehat dalam menghadapi Covid-19. 

Meskipun gelagat fatwa MUI/Ormas seperti tak bertaring, dan masyarakat lebih memilih tetap melaksanakan shalat Idulfitri esok pagi, semoga tradisi salaman, berkunjung silaturahmi ketetangga, dan tradisi keramaian lainya--tidak menjadi pemicu lonjakan kurva covid-19. Meskipun prediksi puncak kasus covid-19 Mei-Juni 2020 akan terus meningkat. 

Gerbong terakhir penangkal naiknya kasus Covid-19 adalah kesadaran personal dan komunal untuk tetap siaga akan naiknya kurva, mengingat tingginya intensitas aktvitas warga pada bulan Mei-Juni 2020 mengingat momentum bertepatan pasca lebaran idulfitri. Semoga prediksi kenaikan kurva korona tidak sesuai dengan lajunya intensitas aktivitas warga.


Selamat Hari Raya Idulfitri 1441 H.

*Salam Pecinta Kesederhanaan

 

Saturday 16 May 2020

Kelucuan Negara dan Warga +62 Saat Mengadapi Corona

Ditengah keresahan dan ketakutan akan pandemik covid-19, masyarakat hampir tak henti-hentinya dijejali dahsyatnya narasi tentang korona. Hampir semua media baik rol online maupun cetak berlomba membuat perkembangan lajunya wabah. Disadari atau tidak, saking jilemetnya persoalan covid-19, semua orang berlomba unjuk gigi mengeluarkan gagasan tentang pentingnya melakukan perlawanan terhadap korona. Pespektif pun beragam, ada yang spesifik soal kesehatan (evidence - based medicine), sosial, ekonomi, politik, agama, bahkan sudut pandang filsafat juga turut serta menyumbangkan idenya dalam penanganan korona.

Mengapa semua turut merespon covid-19, karena ini pandemi. Ia bukan saja merusak soal kesehatan, tetapi semua tatanan kehidupan. Bahkan sampai timbulnya gejala psikosomatis karena lelah, takut dan cemas menghadapi korona. Kecemasan inipun cepat menyebar, bahkan lebih cepat daripada virus itu sendiri.

Namun kengerian korona tak selalu direspon berbentuk ketakutan. Banyak juga prank, dagelan dan kelucuan yang terjadi. Hal itu terlihat dari beragam berita kelucuan-kelucuan negeri +62 saat menghadapi virus korona, seperti:

·         negara melarang mudik tapi buka akses moda transportasi ditengah pandemi

·         negara membatasi gerak sosial tapi malah berencana membuka mall

·         negara siap bantu ekonomi saat pandemi tapi listrik naik tanpa diberi informasi

·         warga suruh cetak sawah dan percepat panen tapi lupa bagaimana subsidi petani

·         warga disuruh dirumah aja tapi negara lupa akan kewajibanya

·         warga disuruh karantina dan isolasi mandiri tapi tidak difasilitasi

·         jajaran kabinet dan parlemen suruh fokus tangani korona tapi malah bahas RUU Minerba dan RUU cipta lapangan kerja

·         ngomongnya bantu korban PHK, nyatanya bagi-bagi kartu program kerja

·         warga disuruh jaga kekebalan tubuh tapi negara abai sama kondisi tubuh
warga disuruh jauhi keramaian tapi tidak berlaku sama dunia perbisnisan

·         warga disuruh ikut prakerja padahal lapangan kerja belum tersedia

·         warga disuruh tingkatkan skill lewat prakerja tapi hp dan pulsa tak tersedia ada

·         negara siap bantu stimulus ekonomi tapi malah sibuk kampanye herd immunity

·         negara bukanya cari solusi vaksinasi malah disuruh berdamai diri dengan kondisi

·         negara suruh tidak stigma pasien covid tapi warga miskin disangka pembawa penyakit

·         pemerintah akan menekan laju korona dengan perbanyak jumlah tes tapi alat seadanya

·         maunya curva melandai tapi data kasus terus meningkat seperti badai

·         ngomongnya melawan korona tetapi malah datangkan WNA

·         warga disuruh jauhi keramaian tapi tidak berlaku dari dunia perbisnisan dan ritus keagamaan

·         negara siap menghormati putusan, nyatanya iuran BPJS kesehatan dinaikan

·         negara suruh jaga jarak tapi antrean bandara seperti tak terelak

Lalu apakah kelucuan hanya datang dari pemerintah saja, oh tentu tidak. Prank, kelucuan dan humor juga datang dari warga +62. Seperti pasca diumumkannya kasus pasien positif awal maret 2020 lalu, banyak warga memblokade komplek atau daerahnya dengan beragam, meskipun dikemudian hari ditentang oleh pemerintah. Selain itu, kelucuan lain seperti banyak orang berjemur diatas pukul 10.00-11.00 waktu setempat. Info tersebut konon datang dari pasien yang telah dinyatakan sembuh dari Korona. Mengapa harus jam 10.00 bukannya untuk meningkatkan kekebala tumbuh khususnya mendapatkan asupan vitamin D, yang perlu diperhatikan adalah indeks ultraviolet (UV) bukan pada waktunya. Dimana indeks tabel UV dapat memperlihatkan kekuatan radiasi dari pancaran sinar matahari. Nah rata-rata waktu UV jam 10.00 di Indonesia sepertinya di atas normal.  Hal itu tidak disarankan menurut anjuran WHO karena berpotensi membakar kulit dan rentan terkena kanker kulit. Namun seiring berjalannya waktu banyak warga sekarang sudah tidak berjemur pada pukul tersebut. Entah karena fatalis atau dapat informasi baru.

Kelucuan lain tergambar juga kebiasaan mencuci tangan. Hampir disetiap tempat, seperti swalayan, toko atau parkiran dan kompleks menyediakan alat pencuci tangan bahkan ada bilik disinfektan. Namun seiring berjalannya waktu, tradisi ini mulai hilang ditelan waktu meskipun pandemik masih tetap melaju. Bahkan beberapa tempat vital sudah tak lagi menyediakan handsanitizer atau bilik disinfektan. Tak ketinggalan juga tradisi penyemprotan wilayah, hampir semua daerah mengadakan penyemprotan. Tak berselang lama, tradisi ini hanya bertahan sesaat, saat momentum ketakukan melanda, atau istilah lain pas ‘anget-anget tai kucing’. Meminjam istilah Prof Komarudin Hidayat manusia suka hal seremonial yang besar disetiap momentum ‘Homo Festifus’.

Selain itu, kulucuan juga terjadi saat kelangkaan masker, disinfektan, hand sanitizer dan obat penguat imunitas di toko dan apotek. Semua orang panik, sebagai langkah preventif, orang-orang berlomba membeli barang tersebut, karena takut terkena korona. Tapi tradisi ini sepertinya juga tak bertahan lama, gelagat warga sudah terlihat bosan disaat yang sama warga sudah tak mengindahkan protokol kesehatan saat bepergian. Ambil contoh berkumpulnya warga diacara penutupan McD Sarinah disaat Pandemi.

Kelucuan lain terlihat dari respon warga +62, suka membicarakan negara lain yang terkena korona akibat lemahnya social distancing dan minimnya implementasi perilaku hidup bersih, hal itu justeru menimbulkan tingkat kematian yang tinggi. Disaat yang sama warga +62 juga tersinggung saat ditanya mengapa tingkat kematian dan kasus covid-19 di Indonesia tinggi. Seketika kena tembakan, seketika itu juga langsung diem seribu bahasa.

Ada juga kelucuan berbaut religius, saat warga tetap ngotot ibadah bisa dilakukan di mesjid/gereja dll saat pandemi tetap mewabah—mereka percaya mati dan hidup adalah takdir Tuhan bukan karena korona. Sudah dihimbau oleh masing-masing pemuka agama untuk tetap ibadah di rumah saja. Namun ada saja kengototan warga +62 cari cara justifikasi dalil-dalil yang ada. Herannya, selang beberapa hari saat dilakukan rapid test, hasilnya diluar dugaan, warga tersebut reaktif korona. Sebetulnya ini bukan soal perdebatan teologis, tetapi soal kesadaran bagaimana pentingnya menghargai para petugas medis, disaat kerapuhan sistem kesehatan Indonesia dan tidak berimbang jumlah paramedis. Bisa saja kalau tetap ngotot untuk ibadah di manapun dan kapanpun selagi tidak merepotkan paramedis dan tidak menularkan kepada orang lain. Lucunya negeriku ini. Entah dari pemerintahnya maupun warganya seolah disambut kompak saat menghadapi pandemi ini.

Bederet berita prank dan kelucuan di atas mungkin menggambarkan kondisi, dimana negara dan warganya bukan saja tidak siap dari serbuan serangan virus, tetapi karena kerapuhan persoalan antara tatakelola negara, perangkat dan kesadaran warganya. Ketidakseimbangan, ketidaksinkronan dan keterlambatan penanganan, menjadi bahan candaan, tertawaan yang sarat akan kritikan di tengah wabah adalah hal yang wajar. Karena kelucuan tersebut mengandung upaya perbaikan agar pemerintah dan warganya untuk waspada akan virus korona. Meminjam bebas istilah teori ‘kelucuan’ ala Immanual Kant, (the incongruity theory), bahwa kelucuan hadir manakala pola mental dan ekspetasi normal diluar nalar. Inilah mungkin yang dinamakan kelucuan negara dan warga +62 saat menghadapi korona.

 

 

*Salam pecinta kesederhanaan.