Ditengah keresahan dan ketakutan akan pandemik covid-19, masyarakat hampir tak henti-hentinya dijejali dahsyatnya narasi tentang korona. Hampir semua media baik rol online maupun cetak berlomba membuat perkembangan lajunya wabah. Disadari atau tidak, saking jilemetnya persoalan covid-19, semua orang berlomba unjuk gigi mengeluarkan gagasan tentang pentingnya melakukan perlawanan terhadap korona. Pespektif pun beragam, ada yang spesifik soal kesehatan (evidence - based medicine), sosial, ekonomi, politik, agama, bahkan sudut pandang filsafat juga turut serta menyumbangkan idenya dalam penanganan korona.
Mengapa semua turut merespon covid-19, karena ini pandemi. Ia bukan saja merusak soal kesehatan, tetapi semua tatanan kehidupan. Bahkan sampai timbulnya gejala psikosomatis karena lelah, takut dan cemas menghadapi korona. Kecemasan inipun cepat menyebar, bahkan lebih cepat daripada virus itu sendiri.
Namun kengerian korona tak selalu direspon berbentuk ketakutan. Banyak juga prank, dagelan dan kelucuan yang terjadi. Hal itu terlihat dari beragam berita kelucuan-kelucuan negeri +62 saat menghadapi virus korona, seperti:
· negara melarang mudik tapi buka akses moda transportasi ditengah pandemi
· negara membatasi gerak sosial tapi malah berencana membuka mall
· negara siap bantu ekonomi saat pandemi tapi listrik naik tanpa diberi informasi
· warga suruh cetak sawah dan percepat panen tapi lupa bagaimana subsidi petani
· warga disuruh dirumah aja tapi negara lupa akan kewajibanya
· warga disuruh karantina dan isolasi mandiri tapi tidak difasilitasi
· jajaran kabinet dan parlemen suruh fokus tangani korona tapi malah bahas RUU Minerba dan RUU cipta lapangan kerja
· ngomongnya bantu korban PHK, nyatanya bagi-bagi kartu program kerja
·
warga disuruh jaga kekebalan tubuh tapi negara
abai sama kondisi tubuh
warga disuruh jauhi keramaian tapi tidak berlaku sama dunia perbisnisan
· warga disuruh ikut prakerja padahal lapangan kerja belum tersedia
· warga disuruh tingkatkan skill lewat prakerja tapi hp dan pulsa tak tersedia ada
· negara siap bantu stimulus ekonomi tapi malah sibuk kampanye herd immunity
· negara bukanya cari solusi vaksinasi malah disuruh berdamai diri dengan kondisi
· negara suruh tidak stigma pasien covid tapi warga miskin disangka pembawa penyakit
· pemerintah akan menekan laju korona dengan perbanyak jumlah tes tapi alat seadanya
· maunya curva melandai tapi data kasus terus meningkat seperti badai
· ngomongnya melawan korona tetapi malah datangkan WNA
· warga disuruh jauhi keramaian tapi tidak berlaku dari dunia perbisnisan dan ritus keagamaan
· negara siap menghormati putusan, nyatanya iuran BPJS kesehatan dinaikan
· negara suruh jaga jarak tapi antrean bandara seperti tak terelak
Lalu apakah kelucuan hanya datang dari pemerintah saja, oh tentu tidak. Prank, kelucuan dan humor juga datang dari warga +62. Seperti pasca diumumkannya kasus pasien positif awal maret 2020 lalu, banyak warga memblokade komplek atau daerahnya dengan beragam, meskipun dikemudian hari ditentang oleh pemerintah. Selain itu, kelucuan lain seperti banyak orang berjemur diatas pukul 10.00-11.00 waktu setempat. Info tersebut konon datang dari pasien yang telah dinyatakan sembuh dari Korona. Mengapa harus jam 10.00 bukannya untuk meningkatkan kekebala tumbuh khususnya mendapatkan asupan vitamin D, yang perlu diperhatikan adalah indeks ultraviolet (UV) bukan pada waktunya. Dimana indeks tabel UV dapat memperlihatkan kekuatan radiasi dari pancaran sinar matahari. Nah rata-rata waktu UV jam 10.00 di Indonesia sepertinya di atas normal. Hal itu tidak disarankan menurut anjuran WHO karena berpotensi membakar kulit dan rentan terkena kanker kulit. Namun seiring berjalannya waktu banyak warga sekarang sudah tidak berjemur pada pukul tersebut. Entah karena fatalis atau dapat informasi baru.
Kelucuan lain tergambar juga kebiasaan mencuci tangan. Hampir disetiap tempat, seperti swalayan, toko atau parkiran dan kompleks menyediakan alat pencuci tangan bahkan ada bilik disinfektan. Namun seiring berjalannya waktu, tradisi ini mulai hilang ditelan waktu meskipun pandemik masih tetap melaju. Bahkan beberapa tempat vital sudah tak lagi menyediakan handsanitizer atau bilik disinfektan. Tak ketinggalan juga tradisi penyemprotan wilayah, hampir semua daerah mengadakan penyemprotan. Tak berselang lama, tradisi ini hanya bertahan sesaat, saat momentum ketakukan melanda, atau istilah lain pas ‘anget-anget tai kucing’. Meminjam istilah Prof Komarudin Hidayat manusia suka hal seremonial yang besar disetiap momentum ‘Homo Festifus’.
Selain itu, kulucuan juga terjadi saat kelangkaan masker, disinfektan, hand sanitizer dan obat penguat imunitas di toko dan apotek. Semua orang panik, sebagai langkah preventif, orang-orang berlomba membeli barang tersebut, karena takut terkena korona. Tapi tradisi ini sepertinya juga tak bertahan lama, gelagat warga sudah terlihat bosan disaat yang sama warga sudah tak mengindahkan protokol kesehatan saat bepergian. Ambil contoh berkumpulnya warga diacara penutupan McD Sarinah disaat Pandemi.
Kelucuan lain terlihat dari respon warga +62, suka membicarakan negara lain yang terkena korona akibat lemahnya social distancing dan minimnya implementasi perilaku hidup bersih, hal itu justeru menimbulkan tingkat kematian yang tinggi. Disaat yang sama warga +62 juga tersinggung saat ditanya mengapa tingkat kematian dan kasus covid-19 di Indonesia tinggi. Seketika kena tembakan, seketika itu juga langsung diem seribu bahasa.
Ada juga kelucuan berbaut religius, saat warga tetap ngotot ibadah bisa dilakukan di mesjid/gereja dll saat pandemi tetap mewabah—mereka percaya mati dan hidup adalah takdir Tuhan bukan karena korona. Sudah dihimbau oleh masing-masing pemuka agama untuk tetap ibadah di rumah saja. Namun ada saja kengototan warga +62 cari cara justifikasi dalil-dalil yang ada. Herannya, selang beberapa hari saat dilakukan rapid test, hasilnya diluar dugaan, warga tersebut reaktif korona. Sebetulnya ini bukan soal perdebatan teologis, tetapi soal kesadaran bagaimana pentingnya menghargai para petugas medis, disaat kerapuhan sistem kesehatan Indonesia dan tidak berimbang jumlah paramedis. Bisa saja kalau tetap ngotot untuk ibadah di manapun dan kapanpun selagi tidak merepotkan paramedis dan tidak menularkan kepada orang lain. Lucunya negeriku ini. Entah dari pemerintahnya maupun warganya seolah disambut kompak saat menghadapi pandemi ini.
Bederet berita prank dan kelucuan di atas mungkin menggambarkan kondisi, dimana negara dan warganya bukan saja tidak siap dari serbuan serangan virus, tetapi karena kerapuhan persoalan antara tatakelola negara, perangkat dan kesadaran warganya. Ketidakseimbangan, ketidaksinkronan dan keterlambatan penanganan, menjadi bahan candaan, tertawaan yang sarat akan kritikan di tengah wabah adalah hal yang wajar. Karena kelucuan tersebut mengandung upaya perbaikan agar pemerintah dan warganya untuk waspada akan virus korona. Meminjam bebas istilah teori ‘kelucuan’ ala Immanual Kant, (the incongruity theory), bahwa kelucuan hadir manakala pola mental dan ekspetasi normal diluar nalar. Inilah mungkin yang dinamakan kelucuan negara dan warga +62 saat menghadapi korona.
*Salam pecinta kesederhanaan.
0 comments:
Post a Comment