Dalam kehidupan yang serba hampa dari keinginan,
seringkali kedangkalan imaginasi dalam melakukan sesuatu menjadi tak
terkendali. Tujuan-tujuan palsu seperti pondasi ekternal— uang, jabatan serta pengakuan
orang lain) menurut Phillip Mc Graw telah mendominasi kehidupan kita. Alhasil
kita terperangkap dalam sebuah lingkaran eksistensi yang bergerak menurun.
Akibatnya secara terus menerus kita
terasa letih, stres, cemas, tak bergembira berperasaan hambar atau bahkan
depresi menyelimuti diri kita.[1]
Bahkan lebih miris lagi ketika hidup kita serasa tak bermakna, sebagian dari kita
sering berfantasi pada masa lalu, hal demikian merupakan indikasi dimana masa
sekarang sudah mulai tak bermakna seperti dahulu kala. Sebuah pertanda buruk
bahwa kehidupan kita sedang mengalami guncangan dahsyat.
Jika pikiran kita serasa tumpul dan tidak secerdik
dulu lagi, itu pertanda diri sejati sudah mulai terkubur. Ia tengah berjuang
mendapatkan udara dari berbagai macam asupan, jika tak terkontrol maka ledakan
sikap sinis, apatis, putus asa dan kurang optimis menjadi asupan yang logis
bagi kita. Semua itu tak lain karena kita telah menyingkirkan siapa diri kita
sebenarnya. Persoalan makna hidup seolah menjadi bahan perdebatan belaka. Coba
renungkan sejenak kisah sederhana dari Kang Emen si penjual kangkung yang
sehari-hari membawa 15 - 20 ikat kangkung untuk dijual kepada tetangganya. Ketika
ditanya, keutungan yang didapat sekitar Rp. 7.000-10.000 perhari, ketika saya coba
tanyakan kembali kepada Kang Emen tentang kepuasannya, kang Emen hanya
tersenyum dan berkata: “saya senang jualan sayuran kangkung ini, karena saya
merasa telah membantu banyak orang sekitar rumahnya.” Mendengar jawaban tanpa
direka-reka oleh kang Emen membuat saya merasa malu pada diri saya sendiri.
Hingga saat ini kata-kata kang Emen membuat saya ingin belajar menghargai siapa
saya sebenarnya.
Hikmah cerita di atas tak kalah serunya dengan cerita
seorang psikiater sekaligus penulis handal yang hidup pada kekejaman rezim
Nazi, namun hingga kini pengaruhnya sampai di tiap negeri ada. Siapa lagi kalau
bukan Viktor Frankl,[2]
dalam keterbatasannya, ia menjadi seorang psikiater di mana waktu itu
penderitaan akibat penahanan di kamp konsentrasi Nazi selama Perang Dunia II
seharusnya membuatnya gila, tapi tidak dengan Frankl. Ia menemukan makna hidup
dan jauh lebih kreatif. Karya hidupnya menghasilkan pendekatan terapeutik[3]
yang disebut dengan Logoterapi. Ia membuka jalan untuk mengenalkan kepada kita
dasar eksistensi manusia. Viktor Frankl mengatakan bahwa penderitiaan traumatis
bagi manusia bukan prasyarat dalam menemukan makna hidup. Ia berhasil dalam
menemukan beragam konseptual bukan karena posisinya sedang dalam keadaan bahaya,
namun karena diri manusia itu mempunyai pilihan.
Konsep Viktor Frankl memberikan imaginasi pada kita,
sekalipun dan ketika kita menderita, betapa pun beratnya, kita memiliki
kemampuan untuk menemukan makna dalam situasi tersebut. Memilih untnuk melakukannya
merupakan jalan setapak menuju kehidupan yang penuh makna. Dan di dalam sebuah
kehidupan yang penuh makna terdapat pekerjaan yang penuh makna.[4]
Namun ketika hujan badai menghampiri diri kita dengan sejumlah tetesan air
mata, seringkali kita terjebak dalam lingkaran egosime kita. Egoisme kedirian
(aku) dengan perasaan serba keakuan menjadi penghambat kita untuk belajar lebih
banyak siapa kita sebenarnya. Coba renungkan sedikit kutipan dari Viktor
Frankl:[5]
Kutipan inspiratif dari Frank memberikan kita
pemahaman akan memaknai kehidupan. Frank mengibaratkan bahwa hidup dalam dua
dimensi perselisihan, untuk meraihnya kita sering mengorbankan begitu banyak
pembelajaran kita yaitu pengalaman. Dalam dimensi ini, menurut Frankl
pembelajaran pahit seharusnya tidak kita rasakan, karena kita makhluk pemilih,
cukup merasakan kebermaknaan menjadi hal fundalmental bagi kita. Ketika
sentuhan tangisan dan kehampaan dalam diri kita menghapiri secara kompleks,
Frankl mengingatkan kembali dalam kutipan di atas, jika kita sudah terlanjur hidup
dengan banyak penderitaan, maka yang terpenting adalah pengendalian hidup, secara
otomatis hidup kita akan jauh lebih bermakna.
***Salam Pecinta Kesederhanaan…
[2] Viktor Frankl dilahirkan di Wina,
Austria, kelahirannya bertepatan wafatnya seorang seniman terkemuka yaitu
Beethoven, tepatnya pada tanggal 26 Maret 1905. Sejak usia 16 tahun, Frankl
telah telah mengukuhkan dirinya dengan memberikan ceramah public yaitu On the
Meaning of Life. Ketika masih duduk di sekolah dia juga menulis On the
Psychology of Philosophical Though. Dari 32 buku yang telah ditulisnya, magnum
opus yang paling fenomenal karyanya adalah Man’s Search for Meaning. Lebih
lengkap lihat Alex Patakos, Lepas Dari Penjara Pikiran, (Bandung, Kaifa,
2006), hal. 61 dan hal. 67
[3] Logoterapi
digambarkan sebagai corak psikologi/ psikiatri yang mengakui adanya dimensi
kerohanian pada manusia di samping dimensi ragawi dan kejiwaan, serta
beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk
hidup bermakna (the will of meaning) merupakan motivasi utama manusia
guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningful life) yang
didambakannya.
[4] Alex
Patakos, Lepas Dari Penjara Pikiran, (Bandung, Kaifa, 2006), hal. 44
0 comments:
Post a Comment