Translate

Thursday, 18 December 2014

Menemukan Makna Hidup Ala Viktor Frankl

Dalam kehidupan yang serba hampa dari keinginan, seringkali kedangkalan imaginasi dalam melakukan sesuatu menjadi tak terkendali. Tujuan-tujuan palsu seperti pondasi ekternal— uang, jabatan serta pengakuan orang lain) menurut Phillip Mc Graw telah mendominasi kehidupan kita. Alhasil kita terperangkap dalam sebuah lingkaran eksistensi yang bergerak menurun. Akibatnya secara  terus menerus kita terasa letih, stres, cemas, tak bergembira berperasaan hambar atau bahkan depresi menyelimuti diri kita.[1] Bahkan lebih miris lagi ketika hidup kita serasa tak bermakna, sebagian dari kita sering berfantasi pada masa lalu, hal demikian merupakan indikasi dimana masa sekarang sudah mulai tak bermakna seperti dahulu kala. Sebuah pertanda buruk bahwa kehidupan kita sedang mengalami guncangan dahsyat.

Jika pikiran kita serasa tumpul dan tidak secerdik dulu lagi, itu pertanda diri sejati sudah mulai terkubur. Ia tengah berjuang mendapatkan udara dari berbagai macam asupan, jika tak terkontrol maka ledakan sikap sinis, apatis, putus asa dan kurang optimis menjadi asupan yang logis bagi kita. Semua itu tak lain karena kita telah menyingkirkan siapa diri kita sebenarnya. Persoalan makna hidup seolah menjadi bahan perdebatan belaka. Coba renungkan sejenak kisah sederhana dari Kang Emen si penjual kangkung yang sehari-hari membawa 15 - 20 ikat kangkung untuk dijual kepada tetangganya. Ketika ditanya, keutungan yang didapat sekitar Rp. 7.000-10.000 perhari, ketika saya coba tanyakan kembali kepada Kang Emen tentang kepuasannya, kang Emen hanya tersenyum dan berkata: “saya senang jualan sayuran kangkung ini, karena saya merasa telah membantu banyak orang sekitar rumahnya.” Mendengar jawaban tanpa direka-reka oleh kang Emen membuat saya merasa malu pada diri saya sendiri. Hingga saat ini kata-kata kang Emen membuat saya ingin belajar menghargai siapa saya sebenarnya. 

Hikmah cerita di atas tak kalah serunya dengan cerita seorang psikiater sekaligus penulis handal yang hidup pada kekejaman rezim Nazi, namun hingga kini pengaruhnya sampai di tiap negeri ada. Siapa lagi kalau bukan Viktor Frankl,[2] dalam keterbatasannya, ia menjadi seorang psikiater di mana waktu itu penderitaan akibat penahanan di kamp konsentrasi Nazi selama Perang Dunia II seharusnya membuatnya gila, tapi tidak dengan Frankl. Ia menemukan makna hidup dan jauh lebih kreatif. Karya hidupnya menghasilkan pendekatan terapeutik[3] yang disebut dengan Logoterapi. Ia membuka jalan untuk mengenalkan kepada kita dasar eksistensi manusia. Viktor Frankl mengatakan bahwa penderitiaan traumatis bagi manusia bukan prasyarat dalam menemukan makna hidup. Ia berhasil dalam menemukan beragam konseptual bukan karena posisinya sedang dalam keadaan bahaya, namun karena diri manusia itu mempunyai pilihan.

Konsep Viktor Frankl memberikan imaginasi pada kita, sekalipun dan ketika kita menderita, betapa pun beratnya, kita memiliki kemampuan untuk menemukan makna dalam situasi tersebut. Memilih untnuk melakukannya merupakan jalan setapak menuju kehidupan yang penuh makna. Dan di dalam sebuah kehidupan yang penuh makna terdapat pekerjaan yang penuh makna.[4] Namun ketika hujan badai menghampiri diri kita dengan sejumlah tetesan air mata, seringkali kita terjebak dalam lingkaran egosime kita. Egoisme kedirian (aku) dengan perasaan serba keakuan menjadi penghambat kita untuk belajar lebih banyak siapa kita sebenarnya. Coba renungkan sedikit kutipan dari Viktor Frankl:[5]


Kutipan inspiratif dari Frank memberikan kita pemahaman akan memaknai kehidupan. Frank mengibaratkan bahwa hidup dalam dua dimensi perselisihan, untuk meraihnya kita sering mengorbankan begitu banyak pembelajaran kita yaitu pengalaman. Dalam dimensi ini, menurut Frankl pembelajaran pahit seharusnya tidak kita rasakan, karena kita makhluk pemilih, cukup merasakan kebermaknaan menjadi hal fundalmental bagi kita. Ketika sentuhan tangisan dan kehampaan dalam diri kita menghapiri secara kompleks, Frankl mengingatkan kembali dalam kutipan di atas, jika kita sudah terlanjur hidup dengan banyak penderitaan, maka yang terpenting adalah pengendalian hidup, secara otomatis hidup kita akan jauh lebih bermakna.

***Salam Pecinta Kesederhanaan…



[1] Phillip C. McGraw, Kau Mesti Tahu Yang Kau Mau, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), hal. 30
[2] Viktor Frankl dilahirkan di Wina, Austria, kelahirannya bertepatan wafatnya seorang seniman terkemuka yaitu Beethoven, tepatnya pada tanggal 26 Maret 1905. Sejak usia 16 tahun, Frankl telah telah mengukuhkan dirinya dengan memberikan ceramah public yaitu On the Meaning of Life. Ketika masih duduk di sekolah dia juga menulis On the Psychology of Philosophical Though. Dari 32 buku yang telah ditulisnya, magnum opus yang paling fenomenal karyanya adalah Man’s Search for Meaning. Lebih lengkap lihat Alex Patakos, Lepas Dari Penjara Pikiran, (Bandung, Kaifa, 2006), hal. 61 dan hal. 67
[3]  Logoterapi digambarkan sebagai corak psikologi/ psikiatri yang mengakui adanya dimensi kerohanian pada manusia di samping dimensi ragawi dan kejiwaan, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will of meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningful life) yang didambakannya.
[4] Alex Patakos, Lepas Dari Penjara Pikiran, (Bandung, Kaifa, 2006), hal. 44
[5] Alex Patakos, Lepas Dari Penjara Pikiran, (Bandung, Kaifa, 2006), hal. 69

0 comments:

Post a Comment