Masa kampanye terbuka akan dimulai pada tanggal 16 Maret hingga 5 April
2014 nanti. Perdebatan dan hujatan pada peserta pemilu 2014 tak akan jauh
berbeda pada pemilu sebelumnya. Mulai dari track record (perjananan
hidup) hingga opini yang ditimpa pada partai terus saja menjadi perbincangan
hangat pesta demokrasi Indonesia. Tak pelak, sejumlah Jurkam (juru kampanya)
dari team ahli Partai sampai ahli metafisik alias ilmu sihir pun ikut andil
dalam pembuatan opini partai, baik ditingkat legislatif ataupun eksekutif. Yang
pada akhirnya, masyarakat pun dibuat kelimpungan untuk memilih pemimpin yang
benar-benar mampu mendongkrak permasalahan bangsa ini. Pergeseran nilai
perjuangan setiap partai pun hilang, hal ini memicu masyarakat mulai enggan
berkomentar untuk mendiskusikan prinsip fundamental atau platform setiap partai, padahal dari situlah proses
pencerdasan demokrasi Indonesia dimulai.
Jika
dilihat dari sejarahnya, pemilu Indonesia pertama kali dilakukan pada tahun
1955 dengan diikuti 29 partai politik dan individu. Sesuai tujuannya,
pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu: Tahap pertama adalah
Pemilu untuk memilih anggota DPR, dan tahap kedua Pemilu untuk memilih
anggota Konstituante. Pada saat itu pertarungan peserta pemilu sangat
jelas, mereka memperjuangkan nilai-nilai ideologis yang dibawa setiap
partainya, namun sekarang pertarungan itu hilang begitu saja, hal tersebut
akibat rangkaian jumlah kasus menghinggapi sejumlah partai peserta pemilu.
Masyarakat pun dibuat skiptis, seolah semua elite telah membuat cacat pesta
demokrasi Indonesia, rangkaian kasus korupsi menjadi hal lumrah para elite,
katerjangkitan kasus hukum para elite menjadi headline di tiap media Indonesia.
Setiap hari masyarakat dibuat jengah oleh sikap maupun bualan janji akademis
oleh para elite.
Sikap apapun yang
dilakukan masyrakat nanti pada tanggal 9 Aprill 2014 merupakan akumulasi sikap
yang memang telah dibuat oleh para peserta pemilu 2014, kenapa demikian, karena
dari situlah opini dan sikap masyarakat telah digiring pada pencitraan partai politik.
Singkatnya, jika peserta pemilu berkampanye dengan
cara tidak mencerdaskan masyarakat, maka bisa dikatakan partai tersebut harus
ditangguhkan untuk dipilih, karena dari partailah seharusnya masyarakat bisa
memilih secara cerdas mana pilihan yang seharusnya baik dipilih nanti, bukan
berdasarkan keberpihakan nepotis, kolusi ataupun budgeting yang
dikeluarkan oleh partai ketika berkampanye. Hal tersebut justru akan merusak substansi
demokrasi menuju praktik korupsi.
Tulisan ini tak bermaksud untuk membuat masyarakat ragu (skiptis)
kepada peserta pemilu legislatif ataupun eksekutif 2014 nanti, tetapi hanya
sekedar berbagi mengenai arti dari kampanye itu sendirI, agar tidak terjebak
pada aras fanatisme buta pada partai politik. Dan perlu dingat, jangan
sekali-kali hanya karena kampanye politiknya cerdas kita langsung terbuai,
apalagi dengan memberikan sejumlah uang ataupun bantuan langsung kepada
masyarakat maka secara otomatis parpol bisa dikatakan baik atau patut dipilih,
jawabanya jelas “tidak “. Justru hal itu akan memulai tindak korupsi pada
peserta pemilu nanti ketika mereka terpilih nanti. Terus langkah apa yang
seharusnya dilakukan ketika melihat peserta pemilu memliki kompetensi untuk
dijadikan pemimpin nanti.
Minimal ada empat langkah bagi kita agar memilih dengan cerdas dan tak
salah memilih, yaitu:
1. Indeks Persepsi Keterjangkitan Kasus Hukum
Melihat kompleksitas kasus hukum di Indonesia yang melibatkan sejumlah
partai politik, dirasa penting untuk mempertimbangkan aktor politik untuk menjadi
sebuah pemimpin. Karena bukan tidak mungkin lemahnya supremasi hukum di
Indonesia merupakan hasil rekayasa para aktor tersebut nanti. Jadi, sangat
disayangkan jika kita memilih calon pemimpin nanti yang tersandung pada kasus
hukum yang menimpanya. Bisa dibayangkan jika negara demokratis seperti
Indonesia dipimpin oleh aktor yang kebal terhadap hukum, apakah produk hukumnya
yang berupa regeling (pengaturan) atau beshiking (penetapan) bisa
menjadi sebuah harapan bangsa. Apakah mafia peradilan bisa diberantas dengan
hadirnya aktor elite tersebut.
2. Logika Harta Kekayaan
Maraknya korupsi pada aktor ataupun yang melibatkan partai menjadi
berita faktual di Indonesia, sampai-sampai upaya reformasi di tiga lembaga
penegak hukum pun sulit dikembalikan kepercayaannya oleh masyarakat untuk bebas
dari korupsi, akibat permainan antara aktor politik dengan para penegak hukum
Indonesia. Harta kekayaan para elite pun banyak tidak didaftarkan kepada pihak
yang berwenang, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dibuat dengan
tidak sebenarnya pun banyak terjadi, hal itu
bisa dilihat dari logika harta dan karirnya sering kali tidak berimbang dengan
jabatannya. Alhasil antara kekayaan yang dimiliki para elite seharusnya
berimbang dengan karirnya, bukan sebaliknya. Ini pula yang perlu diwaspadai
jika pada kampanye nanti calon pemimpin mendeklarasikan harta kekayaannya
diluar kapasitas karir yang dimilikinya.
3. Track Record Peserta Pemilu
Agak sedikit sulit memang untuk mencermati semua perserta pemilu yang
baik dan pas untuk dipilih, namun yang perlu dilakukan oleh kita adalah dengan
melihat track record peserta pemilu 2014 nanti yang menunjukan kualitasnya,
baik dia sebagai pejabat publik ataupun masyarakat biasa. Perjalanan para
peserta pemilu dirasa penting, karena dengan hal inilah kita akan mengetahui
sejauh mana motivasi mereka untuk membenahi negeri ini. Apakah para peserta
pemilu mempunyai kecacatan secara hukum ataukah tidak, ataukah para peserta
pemilu mempunyai keterlibatan terhadap sejumlah kasus endemik.
4. Nilai Perjuangan Ideologis
Jika kita masih yakin dengan adanya pertarungan
ideologis pada peserta pemilu nanti, maka tak salah untuk memilih basis
ideologis yang diperjuangkan oleh platform partainya. Namun yang terpenting
adalah ideologi apapun itu, jika masih relevan dengan kebutuhan bangsa, maka
tak salah untuk diperjuangkan. Dan perlu diingat, pertarungan pada aras Ideologis
menurut beberapa survey, peserta pemilu kali ini tidak menunjukan segregasi begitu
tajam. Karena apapun ideolognya, jika bangsa membutuhkan hal itu, mengapa tidak
untuk dijadikan pijakan dalam perjuangannya. Perlu diperhatikan pula bahwa
idelogi apapun itu, selama masih berpedoman dengan dasar negara dan kebutuhan
bangsa, maka itulah yang harusnya kita pilih nanti sebagai pemimpin masa depan.
***Salam Cerdas Memilih
0 comments:
Post a Comment