Translate

Wednesday, 28 May 2014

Pertarungan Opini Capres Jokowi & Prabowo: Mana Yang Harus Dipilih?

Beberapa partai besar yang menduduki hirarki teratas telah merampungkan siapa yang hendak dijadikan capres-cawapres 9 Juli 2014 mendatang. Nama seperti Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta resmi mendaftarkan sebagai capres dan cawapres. Kedua kandidat ini pula menjadikan beberapa media sebagai headline atau tranding topik paling terhangat dibicarakan. Tak pelak kedua nama tersebut membuat kewalahan lembaga survey dalam memberikan hasil atau poling potensial untuk duduk di kursi panas presiden dan wakil presiden masa mendatang. Terlepas dari hal itu, tanpa disadari pertarungan opini menjadi sesuatu yang urgent—tak lain demi meraup kursi panas nanti. Namun apakah TIMSES Jokowi maupun Prabowo telah mempersiapkan sejumlah agenda opini yang hendak digulirkannya? Jawabannya sangat memungkinkan adalah “iya”, karena dengan membangun opini secara tidak langsung membuat masyarakat sebagai “objek” akan terjerat pada kuda troya fanatisme.
Untuk mencermati lebih dalam, kini opini sudah bergerak pada isu-isu seksis—mulai dari aspek SARA hingga index persepsi kasus personal maupun partai—menjadi konsen builder of negative opinion . Rasionalisasi isu atau oponi menjadi hal utama bagi Timses (tim sukses) bakal presiden. Dengan rentetan pristiwa—yang menghinggapi person/partainya menjadi bumbu sedap untuk dihidangkan nanti. Pertarungan opini pun dimulai dari berbagai sudut kelemahan person atau partai pengusung Bakal Capresnya. Sejauh pengamatan penulis melihat isu yang digulirkan oleh builder of opinion akhir-akhir ini, pertama terkait ekonomi, sosial-budaya dan kedua persoalan sipil-politik.
Untuk lebih jelasnya pertarungan pun lebih mengerucut pada persoalan personal atau partai pendukung /pengusung. Misalnya saja kubu Jokowi mendapat tantangan serangan tentang inkonsistensi jabatannya sebagai Gubernur Jakarta, keturunan tionghoa, Jokowi presiden boneka, antek Amerika, putra sulung Jokowi terima suap, keterlibatan korupsi pengadaan bus transjakarta, pengusung liberalisme agama, pendukung kesetaraan gender (LGBT), pencabutan sertifikasi guru dan sederet isu lainnya.
Isu sekunder partai (PDIP) pun bergeser serta berakibat pada person Jokowi, antara lain partai PDI P sebagai penjual aset negara—hal itu bisa dibuktikan dengan rekam jejak Megawati ketika menjadi presiden pada 2001-2004 yang mana perusahaan BUMN telekomunikasi (Indosat) harus beralih kepemilikan kepada pihak swasta. Belum lagi berita lama lepasnya pulau Sipandan dan Ligitan ketika pemerintahan Megawati telah menguak kembali kepermukaan.[1] Di tambah lagi dengan kebijakan Megawati dalam sistem kerja outsourcing, seolah menampik ideologi partai yang berbasis sosialis menjadi partai pengusung kapitalis.
Dari kubu lain, Prabowo ditantang serta mendapat serangan pada persoalan pelanggaran Ham terkait penculikan aktivis 1997-1998. Tragedi yang tak akan pernah terlupakan oleh sebagian keluarga korban dan masyarakat Indonesia, di mana penculikan serta penghilangan orang secara paksa dilakukan oleh pasukan TIM Mawar—, pada waktu itu Komandan Koppasus Prabowo seharusnya bertanggung jawab lebih, namun pengakuan Prabowo hanya menghasilkan hukuman pemecatan melalui dewan kehormatan perwira (DKP).[2] Hasil yang sangat mengecewakan pula bagi keluarga korban ketika Komnas HAM menyimpulkan ada bukti permulaan pelanggaran HAM berat dalam kasus penghilangan orang secara paksa selama 1997-1998. Kesimpulan ini didasarkan penyelidikan dan kesaksian 58 korban dan warga masyarakat, 18 anggota dan purnawirawan Polri, serta seorang purnawirawan TNI.[3]
Di lain pihak, isu keberadaan Kewarganegaraan Prabowo mencuat kembali ke permukaan. Sebelumnya, muncul isu yang menyebutkan jika Prabowo pernah meminta dan menerima status warga negara Jordania pada 1999.[4] Isu lain yang berhembus pada prabowo adalah kembalinya rezim demokratis menjadi rezim otoriter, bangkitnya militerisasi sebagai tonggak pemerintahan, peningkatan keamanan nasional dengan mengorbankan hak kebebasan Sipol (sipil-politik), pembungkaman hak berpendapat dan beropini pada masyarakat sipil. Bagi sebagaian pengamat HAM, pelanggaran yang dilakukan Prabowo merupakan sisi potensial pembungkaman hak kebebasan masyarakat.
Kedua persoalan di atas merupakan pertarungan fakta yang dibalut halus dengan opini, pada akhirnya tanpa disadari kita kehilangan kejerninhan antara fakta dengan opini, begitu pun sebaliknya. Guna melihat persoalan agar lebih jernih, apakah kasus tersebut merupakan lontaran opini yang bersifat politis ataukah fakta? Langkah terbaik adalah menggunakan metode skiptisme dalam per-opinian seperti yang dikatakan oleh Juan Baggini seorang Editor The Philosophers Magazine.[5]
……………………………………………………
Keterkaitan Dengan Kondisi Indonesia
Melihat isu dari sebagian masyarakat pendukung, Nama Prabowo-Hatta memang dipenuhi pembicaraan dapat menyelamatkan eksistensi bangsa dan negara, adapun Jokowi-Hatta bisa mengibarkan demokrasi dengan sejumlah kesejahteraan perekonomian rakyat. Janji memang sekedar janji, batasan janji seorang capres dan cawapres hingga kini menjadi persoalan, janji seorang Capres-Cawapres menjadi bahan baku untuk menutupi index keburukan setiap Capres-Cawapres. Meskipun begitu, untuk mengungkapannya seberapa jauh janji-janji mereka berpengaruh pada kebijakan nanti yaitu dengan mengukur (measure) persoalan bangsa pada tract record dan index persepsi atau keterjangkitan kasus (baik fakta maupun opini).
Memang, sederet persoalan negeri seoalah menjadi estafet pembagian kekuasaan belaka, ini bisa dilihat dari persoalan orde baru, masa transisi sampai pasca reformasi hampir tak jauh berbeda persoalannya. Di wilayah perekonomian, kita seoalah terhibur dengan perkembangan ekonomi di Indonesia pasca reformasi, Namun nyatanya kita masih melihat banyaknya ketimpangan sosial, kemiskinan, kelaparan, busung lapar diberbagai wilayah Indonesia. Belum lagi menyangkut kebijakan ekonomi semi liberasi dengan mengesampingkan nilai nasionalisasi aset (sumber daya). Hal ini bisa terlihat dari kasus besar Indonesia seperti: dominasi ekonomi oleh asing, eksploitasi sumber daya alam, serta penggusuran nilai sosial /sistem adat menjalar di mana-mana. Misalnya dominasi asing terkait minyak dan gas (Migas) di Indonesia—sekitar 329 blok Migas atau 65% dimiliki asing, sedangkan sisanya perusahaan Indonesia. Tambang lain seperti Emas papua dikuasai PT. Freeport (Amerika Serikat), begitu pun tambang nikel di Sulawesi yang dikuasai oleh perusahaan asal Brazil.[6]
Tren ekspoitasi dan privatisasi air pun di negeri ini sudah sangat memprihatinkan. Berdasarkan pengamatan Ahli, Indonesia pada 2025 nanti akan mengalami defisit Air sekitar 78,4%,[7] artinya persoalan ini amatlah mengancam eksistensi masyarakat Indonesia dalam hal kebutuhan terhadap air. Ditambah lagi dengan maraknya Privatisasi air oleh perusahaan asing seperti pada kasus penjualan saham PDAM Jaya kepada Suez Lyonnaise Des Eux (Prancis) dan Thames Water (Inggris) pada tahun 1998. Di mana awalnya perusahaan ini bertujuan untuk meningkatkan produksi, distribusi dan pengolaan air, namun tujuan itu tidak terlaksana, yang ada ialah penaikkan tarif air PAM ibukota selama kurun 1998-2004 telah mencapai 5 kali.
Persoalan menarik lainnya yaitu sistem eksistensi nilai sosial dan adat Indonesia yang mulai luntur. Fakta ini bisa dilihat dari maraknya ekspansi asing hadir dalam budaya, nilai sosial maupun ekonomi, yang pada akhirnya terasingnya masyarakat Indonesia di negerinya sendiri. Maraknya kasus pencaplokan seni-budaya adat bangsa bermula dari kurangnya ketahanan (proteksi) nilai bangsa dalam beberapa peraturan Indonesia, ditambah lagi dengan arus globalisasi menghantam eksistensi bangsa, misalnya saja Sejak PT. Freeport mendapat mandat panjang untuk melakukan eksplorasi, masyarakat adat di Papua mulai terancam eksistensinya, seolah hal ini sudah tak diperdulikan oleh pemerintah. Kasus hilangnya tanah adat, budaya lokal dijadikan komoditi, serta banyak lagi kasus-kasus endemik terkait masalah sosial budaya Indonesia.
Pada persoalan lain seperti kasus korupsi di Indonesia menjadi problem mengakar hampir di seluruh instansi negara baik departemen maupun non-departemen. Korupsi dengan modus seperti pemerasan, pungutan liar, penyalahgunaan wewenang, mark up, pemotongan anggaran, proyek fiktif, suap atau gratifikasi, penyalahgunaan anggaran penggelapan[8] dan sebagainya— menjadi ciri khas modus-modus korupsi di Indonesia. Yang sangat menggila adalah kasus kosupsi yang melibatkan ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Nilai idealisme MK sebagai benteng pertahanan kontitusional warga negara justru kehilangan jatidirinya. Yang sangat mengerankan kini mucul kembali kasus yang melibatkan departemen agama. Sakralitas agama mulai dijadikan ladang korupsi oleh departemen agama, bukan menjadi arah bermoral bagi departemen lain malah menjadi mafia terkorup di Indonesia.
Persoalan hukum tak kalah ketinggalan menjadi potret buramnya sistem hukum di Indonesia. Seperti Catatan Komisi Hukum Nasional RI dalam bukunya Akar-Akar Mafia Peradilan di Indonesia 2009, mengatakan: sejumlah persoalan hukum seperti penyalagunahan kewenangan (abuse of power) oleh penegak hukum seperti Polisi, Jaksa dan Hakim, kemudian kerawanan dalam penindakan oleh dua lembaga seperti KPK dan Kepolisian-Kejaksaan menjadi tarik ulur rendahnya penindakan kasus hukum. Diperparah pula lemahnya pemenuhan hak-hak pencari keadilan serta bantuan hukum secara pro bono (gratis) bagi masyarakat menjadi daftar lemahnya hukum di Indonesia. Hal tersebut diperparah dengan minimnya pengawasan eksternal pada penegak hukum seperti Komisi yudisial, Komisi Kepolisian nasional (kompolnas), Komisi Kejaksaan,[9] Komisi Perlidungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Ombudsman dan sebagainya—karena kewenangannya hanya sebatas pengawasan belaka. Kemudian Persoalan kebijakan hukum Indonesia menjadi hal tersendiri, seperti minimnya penghormatan hak asasi manusia, minimnya transparansi kelembagaan penanganan keadministrasian serta akuntabilitas keuangan dan terakhir minimnya supremasi hukum. Belum lagi persoalan arah reformasi birokrasi seolah stagnan di tempat, keberlakuan reformasi hanya pada tataran normativitas, bukan pada tataran keterlaksaan.
Pada persoalan lain, seperti buramnya penghormatan hak sipil politik dalam kasus HAM—yang hingga kini masih belum terselesaikan, menjadi  daftar lemahnya tingkat penghormatan terhadap hak asasi manusia.  Deretan kasus seperti Timur-Timur pasca jajak pendapat, penculikan dan penghilangan paksa 1998, penembakan kasus Trisakti, Kasus Abepura Papua, pristiwa tanjung priok dan lainnya[10]—menjadi buruknya aplikasi hak asasi manusia. Belum lagi persoalan pluralitas suku, agama, budaya dan etnis Indonesia menjadi kendala tersendiri bagi sebagian kalangan, tak pelak konflik SARA menjadi sesuatu problematis dan selalu meningkat tajam konfliknya. Misalnya saja kebebasan hak berekspersi di Indonesia—sebagian golongan merasa teracam jika kebebasan minoritas berkembang pesat. Tak hanya disitu ancaman dari golongan minoritas seperti hendak mendirikan rumah ibadah sering kali diperlakukan tidak adil. Bahkan perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) menjadi tak terhindarkan. Diperparah dengan penegak hukum yang seolah tak punya taring ketika berhadapan dengan penganut mayoritas. Perselisihan terkait subordinasi ras dan suku menjadi persoalan lain, hal tersebut ada karena regulasi tak berpihak pada salah satu suku.
……………………………………………………
Dari rentetan persoalan yang tak bisa disebutkan satu persatu oleh penulis, merupakan tantangan tersendiri untuk memikirkan kembali siapakah yang pantas dan tepat untuk menjadi pemimpin 2014-2019 nanti. Yang terpenting adalah Permasalahan serta polemik yang ada pada bangsa ini untuk dicermati dan dkritisi ketika debat capres-cawapres nanti.
Jangan sampai pertarungan opini telah membuat fakta seolah melayang tak bernalar alias kita kehilangan logika sehat kita untuk mengkritisi mana fakta dan mana opini. Perlu di ingat kembali janji seorang kedua kandidat Capres-Cawapres bukan menjadi bahan baku dijadikan pilihan. Tetapi lihatlah seberapa jauh janji-janji mereka—dengan mengukur (measure) persoalan bangsa pada tract record dan index persepsi atau keterjangkitan kasus (baik fakta maupun opini).
Janganlah kasus besar di atas dijadikan kuda troya demi meraup kursi panas presiden nanti, seharusnya ini menjadi kacamata para pemilih guna memikirkan kembali seberapa jauh track record Capres berpengaruh terhadap persoalan bangsa di depan mata. Apakah dengan pertimbangan banyak opini negatif dan minim fakta kita terus memutuskan untuk memilihnya, menurut saya tentu tidak. Pertimbangan Elektabelitas bukan merupakan indikator keberhasilan seorang calon presiden nanti. Tetapi bisa menanggapi seluruh persoalan baik bersifat sipol (sipil-politik) maupun ekosob (ekonomi-sosial-budaya) menjadi prioritas utama problem solving. Tak ada dikotomi antara sipil maupun militer, yang terpenting yaitu memaksimalkan kebutuhan bangsa dengan sejumlah masalah yang ada. Sungguh ironis negeri ini jika kasus besar tak pernah disasar oleh sang pendekar sadar (Baca: Capres).
*** Salam Pecinta Kesederhaan



[1] Hasil analisis dari media dan Isu yang berkembang di Masyarakat
[2] TIM KontraS, Politik Militer dalam Transisi Demokrasi Indonesia: Catatan KontraS Paska Perubahan Rezim 1998, (KontraS: Jakarta, 2005), hal. 87
[4]http://nasional.inilah.com/read/detail/2104391/isu-kewarganegaraan-prabowo-bentuk-kampanye-hitam?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter#.U4TC7-OSw0k
[5] Julian Baggini (Editor The Philosophers Magazine), Making Sence, (Jakarta: Teraju, 2003), hal. 2
[6] Budi R. Minulya, Berharap Renegoisasi Kontrak Bukan Tujuan (Pencitraan), Tetapi Alat Kesejahteraan, dalam Newsletter Desain Hukum Vol. XI, No. 5, Juni 2011, hal. 24
[7] Sutopo P. Nugroho, Tahun 2025 Krisis Air di Jawa mencapai 78, 4%, dalam Newsletter Desain Hukum Vol. XI, No. 8, September, 2011, hal. 11
hal
[8] Agus Sunaryanto, Dkk, Modul Monitoring Penegakan Hukum, (Jakarta: ICW, 2012), hal. 12
[9] Rangkuman Hasil Bacaan dalam buku Komisi Hukum Nasional RI, Akar-akar Mafia Peradilan di Indoensia, Jakarta: KHN RI, 2009.
[10] Rangkuman kasus HAM oleh LBH Jakarta, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, edisi 2006, (Jakarta: YLBHI dan PSHK, 2007), hal. 300-301

0 comments:

Post a Comment