Dalam
perspektif Islam bahwa Hukum adalah bagian dari agama, dalam hal ini ruang lingkup syariah. Perspektif seperti demikian
sering disebut Diyaani, karena pelaksanaannya sangat tergantung
kepada ketaatan individu penganutnya dimana inti agama (ad-din) antara
lain adalah tunduk dan patuh kepada aturan yang dibawa oleh agama. Hukum Islam
sebagai hukum agama mempunyai cakupan yang lebih luas dari hukum dalam
pemahaman barat yang mengaitkan hukum hanya dengan institusi negara. Hukum
Islam dalam pengertian Barat (yang sempit ini) di samping bersifat diyaani, juga
bersifat qodhaa’i (judicial atau berhubungan dengan penegakan
sistem peradilan).[3] Disebut qodhaa’i karena agama
islam disamping mengandung pengertian tunduk dan patuh tetapi juga mengandung
pengertian balasan (jaza’) yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Balasan
duniawi atas pelanggaran hukum agama ditetapkan oleh pengadilan (qodha’) dan
adapun balasan akhirat ditetapkan oleh Allah SWT. Adapun hukum Islam jika
dilihat dari dimensi kandungan-kekuatannya [4] terdapat
dua bagian, yaitu Pertama, Hukum Islam dalam kaitannya dengan syari'at[5] yang berakar pada nash qath'i berlaku
universal dan menjadi asas pemersatu serta mempolakan arus utama aktivitas umat
Islam sedunia. Dan kedua yaitu Hukum Islam yang berakar
pada nas zhanni yang merupakan wilayah ijtihadi yang
produk-produknya kemudian disebut dengan fiqhi.[6]
Pemaparan
Syaikh Abd. Wahhab khallaf di atas mengenai dimensi yang kedua sangatlah
memungkinkan dalam epistemologi hukum untuk di-ijtihadi, karena setiap wilayah
yang dihuni umat Islam dapat menerapkan hukum Islam secara berbeda-beda pula,[7] sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi.
Seperti halnya bangsa Indonesia yang mempunyai ciri atau kekhasan tersendiri.
Di awali dengan sejarah panjang bangsa (muslim) dalam memahami al-Qur’an
dan al-Hadits sebagai teks dan pergulatan dialektika konteks, belum lagi
dengan keanekaragaman pemahaman substansi hukum Islam, penalaran hukum
Islam serta Praktik hukum Islam. Dari berbagai macam persoalan di atas pulalah
yang kemudian membuat upaya-upaya konkret seperti pembaruan hukum keluarga
telah di mulai kembali sekitar tahun 1950-an[8] yang
sebelumnya telah dibekukan oleh Oleh kolonialis Belanda.
Eksistensinya
beruwujud pada UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuatan-kekuatan pokok kekuasaan
kehakiman[9] Dari sudut pelembagaan, UU ini telah
terkodifikasikan serta terunifikasikan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Sehingga menjadi undang-undang tertulis dan berlaku bagi
seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Namun demikian, secara substansial
terdapat bagian-bagian tertentu yang hanya berlaku khusus bagi masyarakat Islam
saja.
UU No. 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini telah terlahirkan setelah
melalui berbagai perjuangan yang panjang nan sulit penuh liku dalam tiga zaman:
zaman Kolonial Belanda,[10] zaman pendudukan
Jepang, dan pasca kemerdekaan. Upaya pembaharuan hukum Islam[11] berikutnya ditandai dengan lahirnya
Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang materinya mencakup aturan perkawinan,
kewarisan dan perwakafan. Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1
tahun 1991 KHI dikukuhkan sebagai pedoman resmi undang-undang dalam bidang
hukum materil bagi para hakim di lingkungan Peradilan Agama di seluruh Indonesia.[12] KHI terdiri dari tiga buku, Buku I mengenai
Perkawinan; Buku II tentang Kewarisan; Buku III tentang Perwakafan.
Secara keseluruhan KHI terdiri atas 229 pasal dan porsi terbanyak menyangkut
hukum perkawinan yang terdiri dari 170 pasal.
Legislasi
bidang hukum keluarga di atas merupakan sebuah prestasi besar dalam sejarah
panjang bangsa ini. Realitas ini juga menunjukan bahwa negara Indonesia telah
memberikan ruang gerak yang cukup bagi terlembaganya hukum Islam secara legal.[13] Kondisi ini pula membuktikan bahwa hukum Islam
di Indonesia mempunyai kekuatan dan kemampuan dalam berintegrasi dengan Hukum
Nasional, sekaligus memberikan kontribusi yang sangat fundamental dalam Hukum
Nasional Indonesia. Namun hal itu bukan menjadi reward yang mesti
diakhiri, karena eksistensi Hukum Islam di Indonesia masih butuh perjuangan
keras (baca: Ijthiad) bagi masyarakat, baik akademisi maupun praktisi. Seperti
halnya KHI (Kompilasi Hukum Islam), ia bukan hanya bentuk istimbath produk
Fiqh saja, lebih dari itu, ia juga merupakan Ijtihad Jama’i dari ulama, ahli
hukum, akademisi, praktisi, ormas, serta masyarakat yang turut aktif dalam hal
itu. Meskipun statusnya hanya sebatas Inpres (intruksi presiden) tapi
bukan tidak mungkin dengan usaha-usaha keras para ahli, sangat di mungkinkan ia
bisa menjadi undang-undang.[14]
Sebagian
kalangan menilai bahwa KHI yang sudah ada tidak perlu direvisi kembali, karena
sudah cukup relevan. Sementara itu bagi sebagian kalangann lainnya
melihat bahwa KHI yang sudah ada itu memang perlu untuk diperbaharui seiring
dengan perkembangan jaman. Salah satu pendapat yang mewakili kesetujuan
terhadap KHI untuk tidak direvisi datang dari Prof. Tahir
Azhari, Guru Besar Hukum Islam Universitas Indonesia. Menurut Tahir, perubahan
atas KHI yang ada harus dilihat dari tujuannya, apakah pembaharuan itu
ditujukan untuk kepentingan umat Islam atau bukan. Kalau pembaharuan itu tidak
terkait dengan kepentingan untuk umat Islam, maka untuk apa dilakukan
pembaharuan tersebut. Menurut Tahir, Ketentuan-ketentuan dalam KHI sudah
menampung dan menggambarkan seluruh aspirasi dalam hukum Islam, khususnya
aspirasi alim ulama dan para pakar hukum Islam di Indonesia. Apa yang telah
dilakukan oleh para ulama dan pakar hukum Islam inipun menurut Tahir sudah berdasarkan
kaidah-kaidah hukum Islam yang sudah baku dan merujuk pada tiga sumber yaitu
Al-Quran, Sunnah Rasul dan Al-Ra’yu. [15] Majlis
Ulama Indonesia menilai bahwa Materi KHI yang selama ini menjadi pijakan
ketentuan perkawinan perlu segera disusun dalam law drafting yang
sempurna, dan ditingkatkan statusnya.[16]
Upaya
peningkatan bentuk yuridis KHI dari Inpres menjadi undang-undang sebetulnya
telah terjadi akhir tahun 2004, tepatnya setelah lebaran menurut Wahyu
Widiana, Departemen Agama akan mengajukan draft RUU Hukum Terapan Tentang
Perkawinan Islam ke Sekratriat Negara. Akan tetapi perkembangan selanjutnya
tidak ada kejelasan apakah Rancangan Undang-Undang tersebut sudah dibahas atau
belum oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang jelas faktanya sampai saat ini
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak pernah mengeluarkan Undang-Undang Hukum
Terapan Peradilan Agama tentang Perkawinan Islam.
Disamping perkembangan
masyarakat serta adanya keinginan menjadikan KHI sebagai hukum positif dengan
mengundangkannya segera, maka Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG)
Departemen Agama yang dipimpin Dr Siti Musdah Mulia, MA, staf ahli Menteri
Agama bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional sejak masa Said Agil
Husein al-Munawwar, diserahi tugas oleh Direktorat Peradilan Agama Departemen
Agama RI untuk melakukan pengkajian, penelitian, dan perumusan ulang terhadap
materi hukum KHI dan menyusun draft pembaruan (revisi) atau counter legal draft
terhadap Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan berdasarkan Instruksi Presiden
(Inpres) No. 1 tahun 1991.
Setidaknya
ada enam alasan mengapa perlu melakukan kajian kritis terhadap KHI, yang
kemudian melahirkan CLD counter (legal draft). Alasan pertama yaitu
kebijakan nasional guna penghapusan kekerasan terhadap perempuan (zero
tolerance policy). Kedua, karena ketidak seimbangan atau kontra
terhadap pertaturan perundang-undangan diatasya yaitu seperti UU No. 7 Tahun
1984 (tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, UU No. 23
tahun 2004 (tentang pengghapusan KDRT. Ketiga, usulan Direktorat Peradilan
Agama untuk Membuat RUU (rancangan undang-undang) Terapan Bidang perkawinan
untuk menggantikan posisi hukum perkawinan dalam KHI serta merubah status
hukumnya (dari Inpres menjadi undang-undang). Keempat, adanya
tuntutan formalisasi syariat Islam di beberapa daerah yang harus dijawab dengan
membuat langkah akomodatif terhadap persoalan yang ada (dengan membuat
Undang-undang terapan bidang perkawinan). Kelima, bentuk upaya
revitalisasi dalam hukum keluarga di Indonesia. Keenam, hasil survey
di empat willayah dengan landasan, a) KHI sudah berumur cukup lama atau 21
tahun (tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman), b) KHI harus memiliki
Kekuatan hukum tetap dengan mengkodifikasinya kembali, c) materi-materi hukum
dalam KHI perlu dilengkapi dan disempurnakan agar sesuai dengan kebutuhan
praksis masyakarakat Indonesia.[17]
Dari
berbagai faktor pendorong tersebut di atas yang kemudian menghasilkan 14 isu
pokok dalam CLD hukum perkawinan, seperti definisi perkawinan, wali, saksi
batas minimal usia menikah bagi permpuan, mahar, pencatatan perkawinan, nusyuz,
hak dan kewajiban suami-istri, nafkah, poligami, perkawinan beda agama, iddah,
ihdad, serta hak dan status anak di luar perkawinan. Dari 14 pasal
mengenai hukum keluarga tersebut di atas telah menghembus isu kontroversi
hebat di kalangan masyarakat. Menurut Dr. Rifyal Ka’bah, MA
hal-hal mendasar yang menimbulkan kontroversi adalah bahwa pembaruan KHI yang
diajukan oleh yang diajukan oleh Tim Pokja PUG bukanlah dalam konteks tajdid (pemurnian)
atau ishlah (perbaikan terhadap yang rusak/fasad), namun masuk dalam
pengertian bid’ah (penyimpangan) dan taghyir (perubahan)
dari hukum Islam yang asli.[19]
Secara
kasat mata, paradigma yang dilakukan oleh tim pokja PUG, adalah menggunakan
pisau analisa atau daya epistimologi[20] kepada 6
pendekatan prinsip utama dalam perkawinan, yaitu Prinsip kerelaan
(asaasu at-taraadii, Prinsip kesetaraan (asaasu al-musawaah), Prinsip
keadilan (asaasu al-’adalah, Prinsip kemaslahatan (asaasu al-maslahah, Prinsip
pluralisme (asaasu at-ta’aduddiyah), Prinsip demokrasi (asaasu
ad-dimuqratiyyah) dan Prinsip kebahagian (Sa’adah dan sakinah/rahmah).[21] CLD (baca: Fiqh) sebagai bentukan dari formulasi
Ushul Fiqh Modern[22] (baca: Epistem) seperti
qoidah “al-Ibrah bi al-Maqaashid laa bi al-Alfaadzi”, Jawaazu naskh
an-Nushuush bi al-Maslahah, Yajuuzu tanqihu an-Nushush bi al-‘Amali
al-Mujtami’. Implikasi bentuk epistem[23] (baca:
qoidah ushulliyah) ini yang pada akhirnya sejumlah pasal dalam KHI menjadi
kurang relevan menurut tim Pokja PUG, bahkan seperti apa yang dikutip dalam
tulisannya Moqsith Ghazali bahwa terdapat beberapa sisi ketidakrelevanan dalam
KHI karena masih memakai pisau analisa fiqh klasik (dalam hal ini
epistimologinya) disusun dalam era, kultur, dan imajinasi sosial yang berbeda. Di
mana menurutnya Fikih klasik tersebut bukan saja tidak relevan dari sudut
materialnya, melainkan juga bermasalah dari pangkal paradigmanya.[24]
Dari
berbagai persoalan yang ada, penulis ingin menganalisa bentuk epistimologis CLD
di atas yang menjadi acuan atau sumber metodelogi yang digunakan, karena
menurut penulis rangkaian bentuk epistimologis inilah yang menjadi titik hasil ijtihad
berbeda dari kebanyakan umumnya dan ini pula yang menjadi tumpuan antara teks
agama (al-Qur’an dan al-Hadits) dengan konteks bersebrangan. Di samping itu,
rangkaian epistimologi CLD juga merupakan bentuk ijtihad tim POKJA, yang pada
akhirnya wacana tim Pokja CLD perlu dijadikan sumber pengetahuan (dalam hal
epistimologi hukum Islam) dan perlu pula dikritisi mendalam pengandaian-pengandaian
dasar yang menjadi latar belakangnya,[25] mengapa
demikian? Epistemologi sebagai cara memperoleh pengetahuan dalam hukum
Islam memiliki fokus pembahasan pada aspek sumber, metode dan aplikasi.[26] Demikian juga kegiatan keilmuan bidang ijtihad
hukum Islam dalam hal ini CLD sebagai counter terhadap KHI sangat
memungkinkan apa kata Abdullah Ahmed an-Na’im berkembang sesuai perkembangan situasi
dan kondisi dalam menetapkan sumber, teknik dan aplikasinya, baik dalam teori
hukum islam (ushul fiqh) maupun hukum islam (fiqh),[27] terlepas
dia sebagai produk kontroversial.
Kompilasi
Hukum Islam yang berlaku sampai saat ini adalah masih tetap Kompilasi Hukum
Islam yang berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991, bukan
Kompilasi Hukum Islam yang menjadi Undang-Undang dan bukan pula Kompilasi Hukum
Islam yang ditawarkan oleh Tim Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG)
Departemen Agama, yakni Counter Legal Draft KHI (CLD KHI). Namun karena secara
subtantif sudah seyogyanya UU tentang Perkawinan perlu mendapat perhatian
serius terlebih UU no 1 tahun 1974 kurang mengakomodir gerak zaman, upaya
revitalisasi KHI secara materil demikian pula, akhirnya penulis perlu membahas
secara mendalam mengenai materi hukum (content of law) dalam hal ini
adalah Counter Legal Draft (CLD)[28] yang
mempunyai simplikasi Ijtihad dengan menitikberatkan pada empat bentuk
epistimologi hukum CLD yaitu, hak asasi manusia (HAM), Pluralisme,
Kesetaraan dan Demokrasi yang acuan landasan berpikirnya berbeda
dari bentuk epistimologi yang dibangun oleh para ushuliyyin seperti dalam
bentuk istimbath hukum Lafziyah (al-Thuruq al-Lafziyah) atapun Ma’nawiyah
(al-Thuruq al-Ma’nawiyah). [29]
Rujukan:
[1] Amrullah Ahmad, SF. Dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), h. ix
[1] Amrullah Ahmad, SF. Dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), h. ix
[2] Untuk
lebih jelasnya bahwa fungsi hukum lihat Satjipto Rahardjo, Hukum dan
Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hal.
[3] Makalah
Rifyal Ka’bah disampaikan pada Pendidikan Calon Hakim Pengadilan Agama di
Komplek PPPG keguruan, (Parung-Bogor, 20 agustus 2001). hal 2.
[4] Hukum
Islam merupakan koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan
syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat
Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988, cet III), hal. 44
[5] Syariat
mempunyai dua pengertian: umum dan khusus. Secara umum, mencakup keseluruhan
tata kehidupan dan Islam termasuk pengetahuan tentang ketuhanan. Dalam
pengertian khusus, ketetapan yang dihasilkan dari pemahaman seorang muslim yang
memenuhi syarat tertentu tentang al-Qur'an dan sunnah dengan menggunakan metode
tertentu (Ushul Fiqhi), Lihat: Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia…,
hal. vii
[6] Fiqh adalah
hukum syara' yang bersifat praktis diperoleh melalui dalil-dalil yang terinci.
Lihat: Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Kuwait: Dar al-Qalam,
1978), hal. 11
[7] Amruullah
Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional…,hal. 13
[8] Pada
tanggal 1 Oktober 1950 Menteri Agama membentuk panitia penyelidik yang
bertugas meniti kembali semua peraturan mengenai perkawinan serta penyusunan
RUU yang sesuai dengan perkembangan zaman. RUU tersebut itu selanjutnya oleh
pemerintah diajukan kepada DPR sebagai legislator kala itu untuk membahas
kembali, namun sayang upaya tersebut gagal dengan dibekukannya DPR melalui
Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1950 dan nasib RUU itu tidak terdengar
lagi. Lihat Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, (Leiden-Jakarta:
INIS, 2002), hal. 51
[9] Pada
pasal 10 ayat (1) terdapat mengenai eksistensi Peradilan Agama, yang
berbunyi; "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh peradilan dalam lingkungan:
1) Peradilan umum, 2) Peradilan Agama, 3) Peradilan Militer, 4) Peradilan Tata
Usaha Negara.
[10] Pada
masa kerajaan Islam dengan Tahkim sebagai lembaga peradilan dalam
bentuknya yang masih sederhana dengan tokoh agama sebagai hakimnya. Lihat:
Syadzali Musthofa, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Islam di Indonesia (Cet.
II, Solo: CV. Ramadani, 1990), h. 59
[11] Upaya
pembaharuan hukum islam di indonesia seiring dengan perjalanan peradilan agama
di Indonesia, dan kebutuhan hukum materil itu dibuktikan lewat keluarnya surat
edaran kepala biro peradilan agama No. B/1/737 tanggal 18 Februari 1958 tentang
PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di
luar Jawa dan Madura. Lihat Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Kencana PMG, 2010), cet. II, hal, 115
[12] Insruksi
Presiden RI (Inpres) No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Dirjen Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaran Haji, Departemen Agama RI., 2002), hal. 152
[13] Akhmad
Mujahidin, Aktualisasi Hukum Islam; Tekstual dan Kontekstual, (Yogyakarta:
LkiS, Pelangi Aksara, 2007), hal. 195
[14] Selama
tidak berbenturan dengan pasal 29 ayat (1) dan (2)
[15] Lihat
skirpsi Nurzamin, Eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam Peraturan
Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia, (Malang, 2009), hal. 63
[16] Artikel
ini hasil Majlis Ulama Indonesia (MUI) pada bulan juli 2012, lebih
lengkap http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=609:hasil-ijtima-ulama-iv--masalah-peraturan-perundang-undangan&catid=37:press-realease&Itemid=57.
Diakses pada tanggal 17 September 2012, 03.33 WIB
[17] Penulis
meringkas alasan-alasan tersebut di atas dalam tulisan Musda Mulia, Menuju
Hukum Perkawinan yang Adi (memberdayakan perempuan Indonesia), hal. 9. Lihat
pula Sulistyowati Irianto, Hukum dan perempuan (menuju hukum yang
berperspektif kesetaran dan keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2006), hal. 147-149
[18] Diambil
dari http://eliberalisme.blogspot.com/2012/03/kontroversi-revisi-kompilasi-hukum.html.
Diakses pada tanggal 17 September 2012, 03.33 WIB
[19]“Sebuah
Catatan Tentang Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam”,
http://chamzawi.wordpress.com/2008/07/26/sebuah-catatan-tentang-kontroversi-revisi-kompilasihukum-islam/.
Diakses pada 21 April 2012
[20] Lihat
[21] Sulistyowati
Irianto, Hukum dan perempuan (menuju hukum yang berperspektif kesetaran
dan keadilan, (Jakarta: yayasan obor Indonesia, 2006), hal. 147-149
[22] Amin
Abdullah menguraikan paradigma metodik usul fiqh kedalam pradigma fiqh literalistik, utilitarianistik dan liberalistik-penomenologik. Lihat
lebih lengkap Amin Abdullah, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh
dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer, dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma
Ushul Fiqh Kontemporer, Ar-Ruz, 2002, hlm 118-123, bandingkan dengan M. Dahlan, Paradigma
Ushul Fiqih Multikultural di Indonesia, (Surakarta, ACIS, 2009), hal. 3
[23] Kajian
tentang teori pengetahuan disebut juga dengan epistemologi (Yunani: episteme = knowledge,
pengetahuan; dan logos = teori). Definisi epistemologi secara umum adalah teori pengetahuan
(theory of knowledge). Istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1854 oleh
J.F. Ferrier yang membuat perbedaan antara dua cabang filsafat yaitu
ontologi (Yunani: on = being, wujud, ada; dan logos = teori) dan
epistemologi. Ontologi sering disinonimkan dengan metafisika, meskipun
yang disebutkan terakhir ini dapat berarti ontologi yang merupakan teori
tentang apa, juga berarti pula epistemologi sebagai teori pengetahuan.
Baca: Donald Gotterbarn dalam Barnes dan Noble, New American Encyclopedia (USA:
Grolier Incorporated, 1991), hlm. 221
[25] Abd
Moqsith Ghazali, Argumen Metodologis CLD KHI,
dipublikasikan di Rubrik Swara, Kompas,
Senin, 7 Maret 2005.
[26] Ada
pula fokus epistimologi menelusuri pada tataran asal, struktur,
metode dan validitas pengetahuan (the branch of philosophy with
investigates the origin, structure, methods, and validity of
knowledge). Lihat Idri, Epistimologi Ilmu Pengetahuan dan Keilmuan
Hukum Islam, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2008), hal. 2
[27] M.
Dahlan, Abdullah Ahmed an-Naim: Epistimologi Hukum Islam, (Indonesia:
Pustaka Pelajar, 2009), hal. 109
[28] Mengenai
untuk mengungkapkan bahwa ketimpangan dalam bidang hukum dapat dijumpai pada
tiga aspek, yaitu materi hukum content of law, budaya hukum culture of law
dan struktur hokum. Lihat
[29] Muhammad
Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, (Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, 1985), hal. 115
Lihat lebih lengkap Disertasi M. Jamil, Metode Istinbȃt Hukum
Hamka: Studi Terhadap Ayat-Ayat Aẖkâm
Tafsir Al-Azhar, (Jakarta, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2008), hal.
64-65
0 comments:
Post a Comment