Translate

Makna Dibalik Kegagalan

Kata “Gagal” seringkali diartikan peyoratif/negatif, tak ayal balutan serta bungkusan yang menyelimuti kita ditopang dengan beragam cara. Apapun itu, yang penting kita jauh dengan kata “gagal”. Namun apa makna dibalik kegagalan...

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi

Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi...

Implikasi Putusan Praperadilan Kasus BG, Bukti Nyata Hukum Indonesia Tak Jelas

Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini.....

Adonis, Sastrawan Arab Paling Kritis

Adonis merupakan penyair Arab yang paling berpengaruh di abad ke-20. Karya sastra modernisnya sangat berpengaruh terhadap dampak budaya Arab.....

Lintasan Sejarah Komunisme di Dunia Islam

Persinggungan antara komunisme di barat maupun di wilayah timur, terkhusus di Dunia Islam terdapat titik persamaan konseptual yaitu menolak terhadap kolonialisme barat. Seperti yang kita ketahui, hampir rata-rata di dunia Islam paruh abad 18-19-an, telah terjadi pergeseran antar ideologi.

Wednesday 28 May 2014

Pertarungan Opini Capres Jokowi & Prabowo: Mana Yang Harus Dipilih?

Beberapa partai besar yang menduduki hirarki teratas telah merampungkan siapa yang hendak dijadikan capres-cawapres 9 Juli 2014 mendatang. Nama seperti Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta resmi mendaftarkan sebagai capres dan cawapres. Kedua kandidat ini pula menjadikan beberapa media sebagai headline atau tranding topik paling terhangat dibicarakan. Tak pelak kedua nama tersebut membuat kewalahan lembaga survey dalam memberikan hasil atau poling potensial untuk duduk di kursi panas presiden dan wakil presiden masa mendatang. Terlepas dari hal itu, tanpa disadari pertarungan opini menjadi sesuatu yang urgent—tak lain demi meraup kursi panas nanti. Namun apakah TIMSES Jokowi maupun Prabowo telah mempersiapkan sejumlah agenda opini yang hendak digulirkannya? Jawabannya sangat memungkinkan adalah “iya”, karena dengan membangun opini secara tidak langsung membuat masyarakat sebagai “objek” akan terjerat pada kuda troya fanatisme.
Untuk mencermati lebih dalam, kini opini sudah bergerak pada isu-isu seksis—mulai dari aspek SARA hingga index persepsi kasus personal maupun partai—menjadi konsen builder of negative opinion . Rasionalisasi isu atau oponi menjadi hal utama bagi Timses (tim sukses) bakal presiden. Dengan rentetan pristiwa—yang menghinggapi person/partainya menjadi bumbu sedap untuk dihidangkan nanti. Pertarungan opini pun dimulai dari berbagai sudut kelemahan person atau partai pengusung Bakal Capresnya. Sejauh pengamatan penulis melihat isu yang digulirkan oleh builder of opinion akhir-akhir ini, pertama terkait ekonomi, sosial-budaya dan kedua persoalan sipil-politik.
Untuk lebih jelasnya pertarungan pun lebih mengerucut pada persoalan personal atau partai pendukung /pengusung. Misalnya saja kubu Jokowi mendapat tantangan serangan tentang inkonsistensi jabatannya sebagai Gubernur Jakarta, keturunan tionghoa, Jokowi presiden boneka, antek Amerika, putra sulung Jokowi terima suap, keterlibatan korupsi pengadaan bus transjakarta, pengusung liberalisme agama, pendukung kesetaraan gender (LGBT), pencabutan sertifikasi guru dan sederet isu lainnya.
Isu sekunder partai (PDIP) pun bergeser serta berakibat pada person Jokowi, antara lain partai PDI P sebagai penjual aset negara—hal itu bisa dibuktikan dengan rekam jejak Megawati ketika menjadi presiden pada 2001-2004 yang mana perusahaan BUMN telekomunikasi (Indosat) harus beralih kepemilikan kepada pihak swasta. Belum lagi berita lama lepasnya pulau Sipandan dan Ligitan ketika pemerintahan Megawati telah menguak kembali kepermukaan.[1] Di tambah lagi dengan kebijakan Megawati dalam sistem kerja outsourcing, seolah menampik ideologi partai yang berbasis sosialis menjadi partai pengusung kapitalis.
Dari kubu lain, Prabowo ditantang serta mendapat serangan pada persoalan pelanggaran Ham terkait penculikan aktivis 1997-1998. Tragedi yang tak akan pernah terlupakan oleh sebagian keluarga korban dan masyarakat Indonesia, di mana penculikan serta penghilangan orang secara paksa dilakukan oleh pasukan TIM Mawar—, pada waktu itu Komandan Koppasus Prabowo seharusnya bertanggung jawab lebih, namun pengakuan Prabowo hanya menghasilkan hukuman pemecatan melalui dewan kehormatan perwira (DKP).[2] Hasil yang sangat mengecewakan pula bagi keluarga korban ketika Komnas HAM menyimpulkan ada bukti permulaan pelanggaran HAM berat dalam kasus penghilangan orang secara paksa selama 1997-1998. Kesimpulan ini didasarkan penyelidikan dan kesaksian 58 korban dan warga masyarakat, 18 anggota dan purnawirawan Polri, serta seorang purnawirawan TNI.[3]
Di lain pihak, isu keberadaan Kewarganegaraan Prabowo mencuat kembali ke permukaan. Sebelumnya, muncul isu yang menyebutkan jika Prabowo pernah meminta dan menerima status warga negara Jordania pada 1999.[4] Isu lain yang berhembus pada prabowo adalah kembalinya rezim demokratis menjadi rezim otoriter, bangkitnya militerisasi sebagai tonggak pemerintahan, peningkatan keamanan nasional dengan mengorbankan hak kebebasan Sipol (sipil-politik), pembungkaman hak berpendapat dan beropini pada masyarakat sipil. Bagi sebagaian pengamat HAM, pelanggaran yang dilakukan Prabowo merupakan sisi potensial pembungkaman hak kebebasan masyarakat.
Kedua persoalan di atas merupakan pertarungan fakta yang dibalut halus dengan opini, pada akhirnya tanpa disadari kita kehilangan kejerninhan antara fakta dengan opini, begitu pun sebaliknya. Guna melihat persoalan agar lebih jernih, apakah kasus tersebut merupakan lontaran opini yang bersifat politis ataukah fakta? Langkah terbaik adalah menggunakan metode skiptisme dalam per-opinian seperti yang dikatakan oleh Juan Baggini seorang Editor The Philosophers Magazine.[5]
……………………………………………………
Keterkaitan Dengan Kondisi Indonesia
Melihat isu dari sebagian masyarakat pendukung, Nama Prabowo-Hatta memang dipenuhi pembicaraan dapat menyelamatkan eksistensi bangsa dan negara, adapun Jokowi-Hatta bisa mengibarkan demokrasi dengan sejumlah kesejahteraan perekonomian rakyat. Janji memang sekedar janji, batasan janji seorang capres dan cawapres hingga kini menjadi persoalan, janji seorang Capres-Cawapres menjadi bahan baku untuk menutupi index keburukan setiap Capres-Cawapres. Meskipun begitu, untuk mengungkapannya seberapa jauh janji-janji mereka berpengaruh pada kebijakan nanti yaitu dengan mengukur (measure) persoalan bangsa pada tract record dan index persepsi atau keterjangkitan kasus (baik fakta maupun opini).
Memang, sederet persoalan negeri seoalah menjadi estafet pembagian kekuasaan belaka, ini bisa dilihat dari persoalan orde baru, masa transisi sampai pasca reformasi hampir tak jauh berbeda persoalannya. Di wilayah perekonomian, kita seoalah terhibur dengan perkembangan ekonomi di Indonesia pasca reformasi, Namun nyatanya kita masih melihat banyaknya ketimpangan sosial, kemiskinan, kelaparan, busung lapar diberbagai wilayah Indonesia. Belum lagi menyangkut kebijakan ekonomi semi liberasi dengan mengesampingkan nilai nasionalisasi aset (sumber daya). Hal ini bisa terlihat dari kasus besar Indonesia seperti: dominasi ekonomi oleh asing, eksploitasi sumber daya alam, serta penggusuran nilai sosial /sistem adat menjalar di mana-mana. Misalnya dominasi asing terkait minyak dan gas (Migas) di Indonesia—sekitar 329 blok Migas atau 65% dimiliki asing, sedangkan sisanya perusahaan Indonesia. Tambang lain seperti Emas papua dikuasai PT. Freeport (Amerika Serikat), begitu pun tambang nikel di Sulawesi yang dikuasai oleh perusahaan asal Brazil.[6]
Tren ekspoitasi dan privatisasi air pun di negeri ini sudah sangat memprihatinkan. Berdasarkan pengamatan Ahli, Indonesia pada 2025 nanti akan mengalami defisit Air sekitar 78,4%,[7] artinya persoalan ini amatlah mengancam eksistensi masyarakat Indonesia dalam hal kebutuhan terhadap air. Ditambah lagi dengan maraknya Privatisasi air oleh perusahaan asing seperti pada kasus penjualan saham PDAM Jaya kepada Suez Lyonnaise Des Eux (Prancis) dan Thames Water (Inggris) pada tahun 1998. Di mana awalnya perusahaan ini bertujuan untuk meningkatkan produksi, distribusi dan pengolaan air, namun tujuan itu tidak terlaksana, yang ada ialah penaikkan tarif air PAM ibukota selama kurun 1998-2004 telah mencapai 5 kali.
Persoalan menarik lainnya yaitu sistem eksistensi nilai sosial dan adat Indonesia yang mulai luntur. Fakta ini bisa dilihat dari maraknya ekspansi asing hadir dalam budaya, nilai sosial maupun ekonomi, yang pada akhirnya terasingnya masyarakat Indonesia di negerinya sendiri. Maraknya kasus pencaplokan seni-budaya adat bangsa bermula dari kurangnya ketahanan (proteksi) nilai bangsa dalam beberapa peraturan Indonesia, ditambah lagi dengan arus globalisasi menghantam eksistensi bangsa, misalnya saja Sejak PT. Freeport mendapat mandat panjang untuk melakukan eksplorasi, masyarakat adat di Papua mulai terancam eksistensinya, seolah hal ini sudah tak diperdulikan oleh pemerintah. Kasus hilangnya tanah adat, budaya lokal dijadikan komoditi, serta banyak lagi kasus-kasus endemik terkait masalah sosial budaya Indonesia.
Pada persoalan lain seperti kasus korupsi di Indonesia menjadi problem mengakar hampir di seluruh instansi negara baik departemen maupun non-departemen. Korupsi dengan modus seperti pemerasan, pungutan liar, penyalahgunaan wewenang, mark up, pemotongan anggaran, proyek fiktif, suap atau gratifikasi, penyalahgunaan anggaran penggelapan[8] dan sebagainya— menjadi ciri khas modus-modus korupsi di Indonesia. Yang sangat menggila adalah kasus kosupsi yang melibatkan ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Nilai idealisme MK sebagai benteng pertahanan kontitusional warga negara justru kehilangan jatidirinya. Yang sangat mengerankan kini mucul kembali kasus yang melibatkan departemen agama. Sakralitas agama mulai dijadikan ladang korupsi oleh departemen agama, bukan menjadi arah bermoral bagi departemen lain malah menjadi mafia terkorup di Indonesia.
Persoalan hukum tak kalah ketinggalan menjadi potret buramnya sistem hukum di Indonesia. Seperti Catatan Komisi Hukum Nasional RI dalam bukunya Akar-Akar Mafia Peradilan di Indonesia 2009, mengatakan: sejumlah persoalan hukum seperti penyalagunahan kewenangan (abuse of power) oleh penegak hukum seperti Polisi, Jaksa dan Hakim, kemudian kerawanan dalam penindakan oleh dua lembaga seperti KPK dan Kepolisian-Kejaksaan menjadi tarik ulur rendahnya penindakan kasus hukum. Diperparah pula lemahnya pemenuhan hak-hak pencari keadilan serta bantuan hukum secara pro bono (gratis) bagi masyarakat menjadi daftar lemahnya hukum di Indonesia. Hal tersebut diperparah dengan minimnya pengawasan eksternal pada penegak hukum seperti Komisi yudisial, Komisi Kepolisian nasional (kompolnas), Komisi Kejaksaan,[9] Komisi Perlidungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Ombudsman dan sebagainya—karena kewenangannya hanya sebatas pengawasan belaka. Kemudian Persoalan kebijakan hukum Indonesia menjadi hal tersendiri, seperti minimnya penghormatan hak asasi manusia, minimnya transparansi kelembagaan penanganan keadministrasian serta akuntabilitas keuangan dan terakhir minimnya supremasi hukum. Belum lagi persoalan arah reformasi birokrasi seolah stagnan di tempat, keberlakuan reformasi hanya pada tataran normativitas, bukan pada tataran keterlaksaan.
Pada persoalan lain, seperti buramnya penghormatan hak sipil politik dalam kasus HAM—yang hingga kini masih belum terselesaikan, menjadi  daftar lemahnya tingkat penghormatan terhadap hak asasi manusia.  Deretan kasus seperti Timur-Timur pasca jajak pendapat, penculikan dan penghilangan paksa 1998, penembakan kasus Trisakti, Kasus Abepura Papua, pristiwa tanjung priok dan lainnya[10]—menjadi buruknya aplikasi hak asasi manusia. Belum lagi persoalan pluralitas suku, agama, budaya dan etnis Indonesia menjadi kendala tersendiri bagi sebagian kalangan, tak pelak konflik SARA menjadi sesuatu problematis dan selalu meningkat tajam konfliknya. Misalnya saja kebebasan hak berekspersi di Indonesia—sebagian golongan merasa teracam jika kebebasan minoritas berkembang pesat. Tak hanya disitu ancaman dari golongan minoritas seperti hendak mendirikan rumah ibadah sering kali diperlakukan tidak adil. Bahkan perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) menjadi tak terhindarkan. Diperparah dengan penegak hukum yang seolah tak punya taring ketika berhadapan dengan penganut mayoritas. Perselisihan terkait subordinasi ras dan suku menjadi persoalan lain, hal tersebut ada karena regulasi tak berpihak pada salah satu suku.
……………………………………………………
Dari rentetan persoalan yang tak bisa disebutkan satu persatu oleh penulis, merupakan tantangan tersendiri untuk memikirkan kembali siapakah yang pantas dan tepat untuk menjadi pemimpin 2014-2019 nanti. Yang terpenting adalah Permasalahan serta polemik yang ada pada bangsa ini untuk dicermati dan dkritisi ketika debat capres-cawapres nanti.
Jangan sampai pertarungan opini telah membuat fakta seolah melayang tak bernalar alias kita kehilangan logika sehat kita untuk mengkritisi mana fakta dan mana opini. Perlu di ingat kembali janji seorang kedua kandidat Capres-Cawapres bukan menjadi bahan baku dijadikan pilihan. Tetapi lihatlah seberapa jauh janji-janji mereka—dengan mengukur (measure) persoalan bangsa pada tract record dan index persepsi atau keterjangkitan kasus (baik fakta maupun opini).
Janganlah kasus besar di atas dijadikan kuda troya demi meraup kursi panas presiden nanti, seharusnya ini menjadi kacamata para pemilih guna memikirkan kembali seberapa jauh track record Capres berpengaruh terhadap persoalan bangsa di depan mata. Apakah dengan pertimbangan banyak opini negatif dan minim fakta kita terus memutuskan untuk memilihnya, menurut saya tentu tidak. Pertimbangan Elektabelitas bukan merupakan indikator keberhasilan seorang calon presiden nanti. Tetapi bisa menanggapi seluruh persoalan baik bersifat sipol (sipil-politik) maupun ekosob (ekonomi-sosial-budaya) menjadi prioritas utama problem solving. Tak ada dikotomi antara sipil maupun militer, yang terpenting yaitu memaksimalkan kebutuhan bangsa dengan sejumlah masalah yang ada. Sungguh ironis negeri ini jika kasus besar tak pernah disasar oleh sang pendekar sadar (Baca: Capres).
*** Salam Pecinta Kesederhaan



[1] Hasil analisis dari media dan Isu yang berkembang di Masyarakat
[2] TIM KontraS, Politik Militer dalam Transisi Demokrasi Indonesia: Catatan KontraS Paska Perubahan Rezim 1998, (KontraS: Jakarta, 2005), hal. 87
[4]http://nasional.inilah.com/read/detail/2104391/isu-kewarganegaraan-prabowo-bentuk-kampanye-hitam?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter#.U4TC7-OSw0k
[5] Julian Baggini (Editor The Philosophers Magazine), Making Sence, (Jakarta: Teraju, 2003), hal. 2
[6] Budi R. Minulya, Berharap Renegoisasi Kontrak Bukan Tujuan (Pencitraan), Tetapi Alat Kesejahteraan, dalam Newsletter Desain Hukum Vol. XI, No. 5, Juni 2011, hal. 24
[7] Sutopo P. Nugroho, Tahun 2025 Krisis Air di Jawa mencapai 78, 4%, dalam Newsletter Desain Hukum Vol. XI, No. 8, September, 2011, hal. 11
hal
[8] Agus Sunaryanto, Dkk, Modul Monitoring Penegakan Hukum, (Jakarta: ICW, 2012), hal. 12
[9] Rangkuman Hasil Bacaan dalam buku Komisi Hukum Nasional RI, Akar-akar Mafia Peradilan di Indoensia, Jakarta: KHN RI, 2009.
[10] Rangkuman kasus HAM oleh LBH Jakarta, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, edisi 2006, (Jakarta: YLBHI dan PSHK, 2007), hal. 300-301

Friday 23 May 2014

Masa Kampanye Datang?? Inilah Cara Cerdas Memilih Pemimpin 2014 Nanti

Masa kampanye terbuka akan dimulai pada tanggal 16 Maret hingga 5 April 2014 nanti. Perdebatan dan hujatan pada peserta pemilu 2014 tak akan jauh berbeda pada pemilu sebelumnya. Mulai dari track record (perjananan hidup) hingga opini yang ditimpa pada partai terus saja menjadi perbincangan hangat pesta demokrasi Indonesia. Tak pelak, sejumlah Jurkam (juru kampanya) dari team ahli Partai sampai ahli metafisik alias ilmu sihir pun ikut andil dalam pembuatan opini partai, baik ditingkat legislatif ataupun eksekutif. Yang pada akhirnya, masyarakat pun dibuat kelimpungan untuk memilih pemimpin yang benar-benar mampu mendongkrak permasalahan bangsa ini. Pergeseran nilai perjuangan setiap partai pun hilang, hal ini memicu masyarakat mulai enggan berkomentar untuk mendiskusikan prinsip fundamental atau platform  setiap partai, padahal dari situlah proses pencerdasan demokrasi Indonesia dimulai.
Jika dilihat dari sejarahnya, pemilu Indonesia pertama kali dilakukan pada tahun 1955 dengan diikuti 29 partai politik dan individu. Sesuai tujuannya, pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu: Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR, dan tahap kedua Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Pada saat itu pertarungan peserta pemilu sangat jelas, mereka memperjuangkan nilai-nilai ideologis yang dibawa setiap partainya, namun sekarang pertarungan itu hilang begitu saja, hal tersebut akibat rangkaian jumlah kasus menghinggapi sejumlah partai peserta pemilu. Masyarakat pun dibuat skiptis, seolah semua elite telah membuat cacat pesta demokrasi Indonesia, rangkaian kasus korupsi menjadi hal lumrah para elite, katerjangkitan kasus hukum para elite menjadi headline di tiap media Indonesia. Setiap hari masyarakat dibuat jengah oleh sikap maupun bualan janji akademis oleh para elite. 
Sikap apapun yang dilakukan masyrakat nanti pada tanggal 9 Aprill 2014 merupakan akumulasi sikap yang memang telah dibuat oleh para peserta pemilu 2014, kenapa demikian, karena dari situlah opini dan sikap masyarakat telah digiring pada pencitraan partai politik. Singkatnya, jika peserta pemilu berkampanye dengan cara tidak mencerdaskan masyarakat, maka bisa dikatakan partai tersebut harus ditangguhkan untuk dipilih, karena dari partailah seharusnya masyarakat bisa memilih secara cerdas mana pilihan yang seharusnya baik dipilih nanti, bukan berdasarkan keberpihakan nepotis, kolusi ataupun budgeting yang dikeluarkan oleh partai ketika berkampanye. Hal tersebut justru akan merusak substansi demokrasi menuju praktik korupsi.
Tulisan ini tak bermaksud untuk membuat masyarakat ragu (skiptis) kepada peserta pemilu legislatif ataupun eksekutif 2014 nanti, tetapi hanya sekedar berbagi mengenai arti dari kampanye itu sendirI, agar tidak terjebak pada aras fanatisme buta pada partai politik. Dan perlu dingat, jangan sekali-kali hanya karena kampanye politiknya cerdas kita langsung terbuai, apalagi dengan memberikan sejumlah uang ataupun bantuan langsung kepada masyarakat maka secara otomatis parpol bisa dikatakan baik atau patut dipilih, jawabanya jelas “tidak “. Justru hal itu akan memulai tindak korupsi pada peserta pemilu nanti ketika mereka terpilih nanti. Terus langkah apa yang seharusnya dilakukan ketika melihat peserta pemilu memliki kompetensi untuk dijadikan pemimpin nanti.
Minimal ada empat langkah bagi kita agar memilih dengan cerdas dan tak salah memilih, yaitu:
1. Indeks Persepsi Keterjangkitan Kasus Hukum
Melihat kompleksitas kasus hukum di Indonesia yang melibatkan sejumlah partai politik, dirasa penting untuk mempertimbangkan aktor politik untuk menjadi sebuah pemimpin. Karena bukan tidak mungkin lemahnya supremasi hukum di Indonesia merupakan hasil rekayasa para aktor tersebut nanti. Jadi, sangat disayangkan jika kita memilih calon pemimpin nanti yang tersandung pada kasus hukum yang menimpanya. Bisa dibayangkan jika negara demokratis seperti Indonesia dipimpin oleh aktor yang kebal terhadap hukum, apakah produk hukumnya yang berupa regeling (pengaturan) atau beshiking (penetapan) bisa menjadi sebuah harapan bangsa. Apakah mafia peradilan bisa diberantas dengan hadirnya aktor elite tersebut.
2. Logika Harta Kekayaan
Maraknya korupsi pada aktor ataupun yang melibatkan partai menjadi berita faktual di Indonesia, sampai-sampai upaya reformasi di tiga lembaga penegak hukum pun sulit dikembalikan kepercayaannya oleh masyarakat untuk bebas dari korupsi, akibat permainan antara aktor politik dengan para penegak hukum Indonesia. Harta kekayaan para elite pun banyak tidak didaftarkan kepada pihak yang berwenang, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dibuat dengan tidak sebenarnya pun banyak terjadi, hal itu bisa dilihat dari logika harta dan karirnya sering kali tidak berimbang dengan jabatannya. Alhasil antara kekayaan yang dimiliki para elite seharusnya berimbang dengan karirnya, bukan sebaliknya. Ini pula yang perlu diwaspadai jika pada kampanye nanti calon pemimpin mendeklarasikan harta kekayaannya diluar kapasitas karir yang dimilikinya.
3. Track Record Peserta Pemilu
Agak sedikit sulit memang untuk mencermati semua perserta pemilu yang baik dan pas untuk dipilih, namun yang perlu dilakukan oleh kita adalah dengan melihat track record peserta pemilu 2014 nanti yang menunjukan kualitasnya, baik dia sebagai pejabat publik ataupun masyarakat biasa. Perjalanan para peserta pemilu dirasa penting, karena dengan hal inilah kita akan mengetahui sejauh mana motivasi mereka untuk membenahi negeri ini. Apakah para peserta pemilu mempunyai kecacatan secara hukum ataukah tidak, ataukah para peserta pemilu mempunyai keterlibatan terhadap sejumlah kasus endemik.
4. Nilai Perjuangan Ideologis
Jika kita masih yakin dengan adanya pertarungan ideologis pada peserta pemilu nanti, maka tak salah untuk memilih basis ideologis yang diperjuangkan oleh platform partainya. Namun yang terpenting adalah ideologi apapun itu, jika masih relevan dengan kebutuhan bangsa, maka tak salah untuk diperjuangkan. Dan perlu diingat, pertarungan pada aras Ideologis menurut beberapa survey, peserta pemilu kali ini tidak menunjukan segregasi begitu tajam. Karena apapun ideolognya, jika bangsa membutuhkan hal itu, mengapa tidak untuk dijadikan pijakan dalam perjuangannya. Perlu diperhatikan pula bahwa idelogi apapun itu, selama masih berpedoman dengan dasar negara dan kebutuhan bangsa, maka itulah yang harusnya kita pilih nanti sebagai pemimpin masa depan.

***Salam Cerdas Memilih



Benarkah Hukum Indonesia Tak Percaya Pada Orang Beragama..?

Memang membingungkan, sebagian orang memahami sederet kepercayaan atheism (agnostik) merupakan sesuatu yang tak wajar— mereka dimusuhi bahkan mereka tak mendapat tempat untuk hidup berdampingan dengan orang-orang beragama. Ditambah lagi dengan pelarangan paham komunis ataupun sejenis atheis di Indonesia seperti yang tertera pada pasal 107 (a) dalam UU No. 27 Tahun 1999, mengapa demikian, karena logika tak meyakini adanya tuhan mereka harus didiskreditkan.
Terlepas dari hal itu, jika kita melihat lebih dalam, substansi hukum Indonesia mulai tidak percaya dengan orang yang beragama. Fakta demikian bisa dikaitkan dengan sejumlah peraturan pidana terkait aspek integritas, kejujuran, keadilan dan sebagainya— apabilla dilanggar mendapat ancaman hukuman berat. Aspek etika demikian seolah tak pernah diajarkan dalam agama hingga pada akhirnya hukum harus bertindak lebih jauh. Padahal sistem keteraturan hidup manusia (conduct of life) telah diajarkan oleh sebagian besar dalam ajaran agama,  baik agama samawi maupun ardi. Seperangkat conduct of life seperti jujur, integritas, adil, damai dan sejenisnya menjadi prioritas ajaran agama manapun.
Padahal hampir sekitar 99% orang Indonesia pasti memiliki agama, karena dalam identitas administarsi (baca: KTP) terdapat status agamanya masing-masing, entah mereka terpaksa atau tidak bukan urusan lain, namun yang terpenting mengapa sederet peraturan hukum Indonesia mulai tak percaya pada gerak-gerik orang Indonesia, akhirnya pula sistem hukum Indonesia sudah mulai tak percaya dengan orang beragama.
Namun apa yang menyebabkan seperangkat sistem hukum Indonesia mulai tidak percaya lagi dengan orang beragama? Jawabannya mungkin aplikasi ajaran beragama sudah mulai dinomorduakan atau bisa dikatakan disingkirkan oleh pemeluknya. Namun mengapa pula kita berbondong-bondong sepakat terhadap aturan pencantuman status agama seseorang dalam sistem pengadministrasian kependudukan. Apakah status pencantuman agama berpengaruh pada etika hidup kita sehari-hari. Jawabannya yang mungkin objektif yaitu tergantung pada person seseorang. Hal itu merupakan sisi relativitas epistemis dan fenomenologis seseorang. Yang terpenting integritas penganut agama menentukan sisi utilitas eksistensi agama itu sendiri.
Menurut sebagian ahli, sulitnya pengejewantahan nilai agama oleh pemeluknya merupakan indikator kurangnya relevansi nilai agama pada kehidupan masing-masing seseorang. Nilai agama menjadi ritualitas tanpa makna, alhasil runinitas serta formalitas dalam beragama seolah menjadi sesuatu yang penting, padahal substansi aplikasi ajaran merupakan sesuatu yang penting. Bukan hanya sekedar sisi formalitas, tetapi lebih dari itu.
Hukum Indonesia memang secara tidak langsung mulai menggeser peran ajaran agama atau bahkan mengenyapingkan orang beragama, hal ini bisa dilihat dari perlakuan sistem hukum kita menjadikan objeknya yaitu masyarakat Indonesia seperti yang tak waras atau tak beragama, seperti binatang bahkan lebih buas.  Atau apakah hukum Indonesia sudah mulai terkontaminasi ala hukum Weberian yang mengatakan Homo Homini Lupus (manusia satu sebagai serigala bagi yang lainnya)—yang tak mengenal dia orang beragama ataukah tidak. Penulis tidak bermaksud untuk mengajak para pembaca untuk berasumsi lebih dari judul di atas, namun hanya ingin mengatakan sebagian orang seoalah mulai tak beragama, dengan  beberapa fakta meningkatnya tingkat non etis, seperti korupsi, pembunuhan, pemerkosaan dan sebagainya menjadi headline berita di media besar Indonesia.

**Salam Pecinta Kesederhanaan….

Thursday 22 May 2014

Cara Menulis Skripsi Dengan Mudah Dan Cerdas

Penelitian berbasis akademis sejenis skripsi menjadi momok menakutkan bagi sebagian kalangan mahasiswa tingkat akhir, tak pelak ada sebagian mahasiswa mencari jalan pintas dengan men-jokikan pembuatan skripsi kepada seseorang. Hal itu dilakukan tak lain demi menyandang sebuah gelar strata kesarjanaan. Gelar kesarjanaan menjadi hal utama untuk diraih bagi sang mahasiswa. Meskipun jalan yang dilakukannya secara tidak langsung membuat keterbelakangan akademis maupun analis kreatifnya.
Ada beberapa alasan sebetulnya mengapa menulis skripsi terasa terbebani oleh sebagian mahasiswa. Menurut penulis, pertama tak mengerti tujuan substansi masalah skripsi, kedua minimnya wawasan tentang penelitian ilmiah (metode penelitian skripsi), ketiga kurangnya daya minat menulis, keempat minimnya pengetahuan menulis secara ilmiah, kelima malas.
Untuk mengatasi hal-hal di atas, ada beberapa trik serta tips mempermudah bagaimana cara menulis skripsi dengan mudah. Sepengalaman penulis ketika menjadi joki akademis ada dua yang harus dibedah terlebih dahulu untuk mengatasi hal di atas. Pertama mulailah fokus pada persoalan substansi (isi) masalah skripsi, kedua latihlah tangan dengan menulis secara ilmiah (fokus pada teknis penulisan).


Dua masalah di atas sangat fatal jika tidak dimengerti bagi mahasiswa tingkat akhir, karena sering kali mereka mengabaikan hal ini, namun dalam perjalanannya ketika melakukan uji seminar proposal atau bimbingan skripsi, judul skripsi tak ada masalahnya, atau penulisan terlihat rancu atau tidak jelas dan banyak lagi yang lainnya. Alhasil Judul Skripsi mereka ditolak habis-habisan oleh dosen seminar proposal atau dosen pembimbing. Awalnya sang mahasiswa mempunyai tekat dan semangat yang tinggi namun ketika judulnya ditolak semangat itu hilang mendadak dangdut atau mulai disorientasi spirit bagi mahasiswa semester akhir. Maka dari itu sebelum melangkah lebih jauh dalam pembuatan skripsi alngkah lebih baiknya pahami terlebih dahulu 2 persoalan ini.
Agar mempermudah mengatasi dua persoalan di atas, pertama  mulailah fokus pada persoalan substansi (isi) masalah skripsi. Maksudnya adalah jika kita hendak melakukan penelitian skripsi minimal harus menyertakan sebuah pokok permasalahan yang hendak dibahas, contohnya dalam menggunakan metlit kualitatif maka mesti ada Variable masalah yaitu analisis antara das sein (fakta) dan das sollen (norma) berbeda tujuaanya atau kewenanngannya. Contohnya Judul skripsi:
Peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dalam Mengatasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak.”
Variable A: Norma: KPAI mempunyai kewenangan dalam mengupayakan perlidungan bagi seluruh anak Indonesia dalam kasus-kasus kriminalitas terlebih kasus kekerasan seksual.
Variable B: Asumsi (hipotesa) Fakta: namun dalam beberapa pristiwa kekerasan seksual yang terjadi pada anak di beberapa daerah, KPAI seolah tidak mempunyai peran dalam mengupayakan perlidungan anak dalam kasus kekerasan seksual.
Contoh lain dari Variable kualitatif yaitu bisa juga antara norma (teori) dengan norma (teori) berbeda pandangan. Contoh dari ini banyak sekali bagi penelitian sosial misalnya, judul skripsinya:
“Perbandingan Teori Penciptaan Alam Semesta Menurut Ibn Sinna dan Steven Hawking.”
Variable A: Teori Ibn Sinna mengatakan bahwa alam semesta diciptakan melalui konsep teori emanasi. Hal ini bisa dibuktikan dengan pernyataan beliau dalam…………….
Variable B: Teori Steven Hawking mengatakan bahwa alam semesta diciptakan karena ada proses gravitasi, hal itu bisa dilihat dari pernyataannya ……………………..

Masalah lain dari sulitnya pembuatan skripsi adalah minimnya pengetahuan menulis secara ilmiah. Untuk mempermudah dalam mengatasi hal ini yaitu tak lain harus banyak melihat skripsi-skrips dan tulisan-tulisan berstandar ilmiah. Maksudnya adalah penulisan ditulis dengan menggunakan EYD, dengan mengetahui tata letak kalimat, berpola, mengetahui tata letak kalimat penegas, kalimat argumentatif, penghubung, logika bahasa dan sejenisnya. Cara ini akan didapatkan jika kita sering membaca dan mecoba sesering mungkin menulis dengan melihat contoh-contoh yang ada.
Itulah sekelumit tips dan trik cara membuat skripsi dengan mudah dan pasti diterima dari pengalaman penulis. Mudah-mudahan bermanfaat bagi sang calon sarjanawan/wisudawan. Sejelek-jeleknya karya tulis kita haruslah diapresiasi dan mulailai katakan tidak dengan namanya Plagiasi atau sejenisnya, ingat “everyone can do that. Maka dari itu lakukan semaksimal mungkin dan jangan lupa berdoa, maka hasil itu pasti ada.
Untuk pembahasan mengenai spesifikasi pembahasan bagaimana menulis Judul skripsi dengan baik, membuat Latar belakang masalah, Pembatasan masalah, Perumusan masalah, Metode Penelitian dan Cara Analisis Pembahasan Skripsi, insyallah saya akan membuat artikel yang mengenai semua itu akan datang. Jangan lupa tinggalkan komentar serta kritikannya. Salam damai dan hangat dari sang pecinta kesederhanaan …

** Daerobi

Tuesday 6 May 2014

Analisis UU No. 7 Tahun 1989, UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama

Eksistensi hukum Islam di Indonesia sangatlah signifikan bagi umat Islam di seluruh di dunia, tak ayal legitimasi perundang-undangan (qonun) ataupun berbentuk yurisprudensi serta pendapat-pendapat para ahli (mujtahid) sangatlah berpengaruh bagi tatanan muslim di dunia, terlebih khusus di Indonesia. Dari hasil produk itu adalah hasil jerih payah bagaimana konsepsi al-Qur’an dan Al-hadits yang sebagai way of life bagi muslim dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Salah satu contohnya yaitu UU No. 7 Tahun 1989, UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama merupakan eksistensi hukum Islam yang khas bercorak Indonesia. Dimana ketiga bentuk undang-undang tersebut menjelaskan tentang bagaimana tugas dan wewenang peradilan agama dalam hal untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara menurut hukum Islam, dan di sinilah peran hukum Islam diformulasikan.

Secara ringkas, Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan agama, menegakan hukum dan keadilan. Eksistensi peradilan agama telah menjadikan umat Islam Indonesia terlayani dalam penyelesaian masalah perkahwinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf,shadaqah dan lain-lain. Peradilan agama hendak menegakkan substansi nilai-nilai hukum yang mewarnai kehidupan umat Islam.

Perubahan signifikan di bidang ketatanegaran dalam sistem peradilan adalah penyatu-atapan semua lembaga peradilan (One Roof System) di bawah Mahkamah Agung RI. Reformasi sistem peradilan tersebut diawali dengan kemasukan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dalam amendmen ketiga UUD 1945 dan dilanjutkan dengan disahkannya UU Nomor 4 tahun 2005 tentang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan perdilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan perdilan militer, lingkungan perdilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 

Konsekuensi dari penyatu-atapan lembaga peradilan adalah pengalihan organisasi, administrasi dan finansial Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung. Pengalihan tersebut sebagai bagian dari perwujudan reformasi hukum untuk menciptakan kelembagaan negara yang lebih kondusif bagi tercapainya tatanan yang lebih demokratis dan transparan.

Sebelum lari ke dalam analis, gambaran umum tentang persamaan dan perbedaan ke tiga bentuk undang-undang di atas. Persamaannya adalah sama-sama membahas tugas dan wewenang peradilan agama untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan ditingkat pertama. Perbedaannya yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 yang diperjelas dalam Penjelasan Umum angka 2 alenia ketiga yang meliputi bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta waqaf dan shadaqah.

Sedangkan jika kita lihat pada undang UU No. 3 Tahun 2006, Bidang-bidang yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum alenia pertama, Pasal 2, Pasal 3A, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 52 UU No. 3 Tahun 2006 adalah perkara tertentu, yaitu perkara Islam yang meliputi bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, ekonomi syri’ah, sengketa hak milik yang timbul akibat adanya sengketa terhadap bidang yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama, Isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hiriyah, serta pemberian keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu sholat.

Sementara itu undang-undang tentang peradilan agama yang baru, No. 50 Tahun 2009 memuat perubahan dan tambahan yang baru diantaranya sebagai berikut: pengadilan agama khusus dilingkungan peradilan agama, hakim adhoc di Peradilan Agama, pengawasan internal oleh MA dan eksternal oleh KY, putusan bisa dijadikan dasar mutasi, seleksi pengangkatan hakim dilakukan oleh MA dan KY, pemberhentian hakim atas usulan MA dan atau KY via KMA, tunjangan hakim sebagai pejabat negara, Usia pensiun hakim 65 bagi PA dan 67 bagi PTA, panitera/PP, 60 PA dan 62 PTA, pos bantuan hukum disetiap pengadilan agama, jaminan akses masyarakat akan informasi pengadilan dan terakhir yaitu ancaman pemberhentian tidak hormat bagi penarik pungli.

A. Analisis Undang-undang
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Susunan dan kekuasaan Undang-undang Peradilan Agama yang disahkan dan diundangkan itu terdiri dari 7 Bab 108 pasal dengan sistematika sebagai berikut: Bab 1 tentang ketentuan umum, Bab 2-Bab 3 mengenai susunan dan kekuasaan peradilan agama, Bab 4 hukum acara, Bab 5 ketentuan-ketentuan lain, Bab 6 Ketentuan peralihan, dan Bab 7 ketentuan penutup. Yang dapat disimpulkan bahwa perubahan penting dan mendasar terjadi dalam lingkungan peradilan agama, diantaranya:
a) Peradilan agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya telah sejajajar dan sederajat dengan peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
b) Nama, susunan, wewenang (kekuasaan) dan hukum acara peradilan agama telah sama  dan seragam di seluruh Indonesia. Terciptanya unifikasi hukum acara peradilan agama itu akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan keadilan dalam lingkungan peradilan agama.
c) Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan, dengan jalan antara lain memberikan hak yang sama kepada istri dalam berproses membela kepentingannya dimuka pengadilan agama.
d) Lebih memantapkan upaya penggalian berbagai asas dan kaidah hukum Islam melalui yurisprudensi sebagai salah satu bahan dalam penyusunan dan pembinaan hukum nasional
e) Terlaksananya ketentuan-ketentuan dalam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman, terutama yang disebut pasal 10 ayat (1) mengenai kedudukan pengadilan agama dan pasal 12 tentang susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya.
f) Terselenggaranya pembangunan hukum nasional berwawasan Bhenika Tunggal Ika dalam bentuk undang-undang peradilan agama.[2]

Terlepas dari kesimpulan di atas, bahwa kritik terhadap UU No. 7 Tahun 1989 bahwa menyatakan peradilan agama telah menjadi peradilan mandiri, secara tersurat memang telihat mandiri, tetapi dalam beberapa pasal masih terlihat ketidak mandirian, ini terlihat dalam 49 ayat (3) bahwa dalam penjelasan umum disebutkan bahwa para pihak dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang digunakan oleh dalam pembagian warisannya. Dalam pasal ini terlihat bahwa kemandirian peradilan agama masih dipertanyakan, pasal ini pula masih terpengaruh oleh pemikiran Snouck Hugrongje yang di telurkan dalam Staatblad 1937 No. 116 dalam pasal 134 ayat (2) yang intinya bahwa wewenang peradilan agama (pristraad) pada waktu itu dikurangi (khususnya masalah kewarisan) dan ia hanya berwenang dalam perkawinan dan perceraian saja.

Ketimpangan kemandirian yang lain terlihat pula ketika beracara dalam pengadilan agama pada Bab 4 undang-undang peradilan agama. Bagian pertama mengatur hal-hal yang bersifat umum, diantaranya disebutkan bahwa “hukum acara yang berlaku dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara peradata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradillan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”. Bab ini tak lain adalah penggunaan dalam beracara di pengadilan agama belum bisa mandiri.

Dalam Bab 5 menyebutkan tentang ketentuan-ketentuan lain mengenai admistrasi peradilan, pembagian tugas hakim, panitera dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Dalam bab ini pula dijelaskan bahwa tugas juru sita[3]. Juru sita, tidak ada dalam urusan peradilan agama ini, sehingga dalam melaksanakan putusannya yang tidak mau dilaksanakan oleh para pihak, terutama oleh mereka yang kalah, pengadilan agama selalu bergantung pada pengadilan negeri, ini terlihat bahwa kemandirian peradilan agama masih ada yang meragukan dalam melaksanakan tugasnya.

Itulah sekulumit analisis Undang-udang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama yang intinya bahwa undang-undang tersebut adalah cita-cita masyarakat Muslim di Indonesia  sekaligus tentang eksistensi bahwa hukum Islam di indonesia bisa diterapkan secara legal-formal meski terdapat hambatan-hambatan baik bersifak politis ataupun struktural. Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia telah menjalani perjalanan sejarah panjang yang berliku untuk sampai pada eksistensi, status dan kedudukannya yang begitu kuat seperti sekarang ini.

B. Analisis UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009

Sejarah juga menyaksikan betapa Peradilan Agama dalam proses perkembangannya mengalami pasang surut seiring dengan lahirnya peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan Islam ini. Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14/1970 menandai pembaharaun Peradilan Agama meski belum bisa dikatakan sebagai lembaga yang independen, mandiri dan kokoh.

Perkembangan signifikan baru terjadi setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 7/1989 tentang Peradilan Agama. Disusul 10 tahun kemudian dengan lahirnya UU No. 35/1999 yang mengatur sistem satu atap (one-roof system) yang ditegaskan kembali oleh UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Tetapi, Undang-Undang No. 3/2006 tentang perubahan UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama lah yang kemudian dianggap oleh banyak kalangan sebagai momentum paling bersejarah bagi perkembangan PA dengan perluasan kewenangannya dalam perkara ekonomi syari’ah.

Namun demikian, lahirnya paket undang-undang kekuasaan kehakiman yang mulai diberlakukan sejak 29 Oktober lalu, terutama UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyisakan sedikit tanda tanya akan kewenangan Peradilan Agama yang diberikan oleh UU No. 3/2006 yang sudah dirubah dengan UU No. 50/2009. Sekali lagi, Peradilan Agama mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Berbicara mengenai perkembangan Peradilan Agama di Indonesia, ada empat aspek penting yang berkaitan dengan perkembangan tersebut. Pertama, berkenaan dengan kedudukan peradilan dalam tatanan hukum dan peradilan nasional. Kedua, berkaitan dengan susunan badan peradilan, yang mencakup hierarki dan struktur organisasi pengadilan termasuk komponen sumber daya manusia di dalamnya. Ketiga, berkenaan dengan kewenangan pengadilan baik kewenangan mutlak (absolute competency) maupun kekuasaan relatif (relative competency). Keempat, berkenaan dengan hukum acara yang dijadikan landasan dalam menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara. (Cik Hasan Bisri: 1997).

1. Kedudukan (Eksistensi) Peradilan Agama
Mantan ketua MA, Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL, dalam salah satu kesempatan pernah mengatakan masih adanya kesan yang menganggap Peradilan Agama bukanlah sesuatu yang penting dilihat dari sistem bernegara secara keseluruhan. Peradilan Agama dianggap tidak atau kurang penting dibandingkan dengan lingkungan badan peradilan lain.

Semua kesan itu adalah hasil dari kebijakan politik kolonial belanda yang memandang Peradilan Agama sebagai ‘the necessary evil’, sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi harus diterima. Dasar politik ini, kata Prof. Bagir, berpengaruh pada berbagai kebijakan praktis yang datang kemudian. Salah satu politik kolonial tersebut adalah dengan menggerogoti kewenangan Peradilan Agama baik dilakukan secara normatif maupun melalui ilmu pengetahuan dengan mengintrodusir hukum adat dan kemudian disandingkannya dengan hukum Islam.

Politik hukum penguasa pun sepertinya tidak lepas dari akibat politik hukum kolonial ini. Dalam kenyataan di lapangan misalnya, apa yang dikatakan Daniel S. Lev bahwa “eksistensi Peradilan Agama sangat bergantung dengan kemauan politik pemerintahan yang berkuasa” menemukan pembenarannya. Dua disertasi Doktor (Nur Ahmad Fadhil Lubis, 1994 dan Muhammad Farid, 2008) juga membenarkan analisis tersebut, meski kemudian dibantah oleh Disertasi lainnya (Jaenal Aripin, 2009) yang dengan teori Cultural Existence theory menegaskan bahwa kokohnya keberadaan Peradilan Agama lebih disebabkan karena dorongan sosial dan budaya.

Terlepas dari hal tersebut diatas, kini keberadaan Peradilan Agama sudah sangat kuat secara konstitusional. Jika dirunut secara historis, penguatan kedudukan ini bisa dibaca dari lahirnya beberapa Undang-Undang yang secara jelas mengatur tentang Peradilan Agama. Dimulai dari UU No. 14/1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mementahkan UU No. 19/1948 yang menghapus keberadaan Peradilan Agama secara konstitusional. Undang-Undang No. 7/1989 memberikan kemandirian penuh kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkara yang menjadi kewenangannya. Pengadilan Agama tidak lagi menjadiquasi dari Pengadilan Negeri. Meski undang-undang ini masih memberikan ruang intervensi bagi eksekutif (karena pembinaan kepegawaian masih dibawah Departemen Agama), tetapi undang-undang inilah yang dianggap sebagai titik bangkitnya Peradilan Agama menjadi peradilan yang sesungguhnya. 

Penyatu-atapan pembinaan administrasi, organisasi, keuangan dan teknis judisial oleh Mahkamah Agung dengan lahirnya UU NO. 35/1999 semakin memperkuat kedudukan Peradilan Agama. UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman kemudian semakin memperkokoh dan mempertegas keberadaan Peradilan Agama sebagaimana juga yang ditegaskan dalam perubahannya, yakni UU No. 48 tahun 2009 yang diundangkan belum lama ini.[4]

Undang-Undang No. 3 tahun 2006 yang berisi 42 perubahan atas UU No. 7/1989 yang kemudian dirubah lagi dengan UU No. 50/2009 merupakan landasan kuat akan kokohnya kedudukan Peradilan Agama berikut dengan kewenangan yang dimilikinya. Kesan tentang tidak pentingnya Peradilan Agama seharusnya sudah sirna seiring dengan penguatan status dan kedudukan Peradilan ini, terlebih jika melihat haluan politik hukum negara secara resmi sudah berubah dan perkara-perkara yang ditangani Peradilan Agama adalah perkara hukum yang langsung menyentuh kepentingan mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam.

2. Kewenangan Peradilan Agama

Pada awalnya, seperti yang diatur dalam UU No. 7/1989, Pengadilan Agama hanya berwenang menangani perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. UU No. 3/2006 yang merubah UU No. 7/1989 kemudian memperluas kewenangan Pengadilan Agama. Dalam pasal 49 kewenangan tersebut ditambah dengan penangan perkara zakat, infaq dan ekonomi syari’ah. Penjelasan pasal 49 UU NO. 3/2006 merinci perkara apa saja yang dimaksud dengan “perkawinan”, yang salah satunya juga menyebutkan tentang pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.

Dalam pasal yang sama, dijelaskan 11 kegiatan usaha yang termasuk dalam ekonomi syari’ah yakni bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syaria’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensin lembaga keuangan syari’ah, dan bisnis syari’ah.

Kewenangan baru lainnya dari UU No. 3/2006 ini adalah dalam hal penyelesaian sengketa hak milik antara sesama orang Islam dan pemberian itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah, serta pemberian keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu sholat.
Sementara itu Undang-Undang tentang Peradilan Agama yang baru, No. 50/2009 memuat perubahan/tambahan baru diantaranya sebagai berikut:

·         Pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Agama
·         Hakim Adhoc di Peradilan Agama
·         Pengawasan Internal oleh MA dan eksternal oleh KY
·         Putusan bisa dijadikan dasar mutasi
·         Seleksi pengangkatan hakim dilakukan oleh MA dan KY
·         Pemberhentian hakim atas usulan MA dan atau KY via KMA
·         Tunjangan hakim sebagai pejabat Negara
·         Usia pensiun hakim 65 bagi PA dan 67 bagi PTA. Panitera/PP, 60 PA dan 62 PTA
·         Pos Bantuan Hukum di setiap Pengadilan Agama
·         Jaminan akses masyarakat akan informasi pengadilan, dan
·         Ancaman pemberhentian tidak hormat bagi penarik pungli.

3. UU No. 48/2009 Versus UU No. 3/2006 dan SEMA No. 08/2008 tentang Eksekusi Arbitrase Syari’ah.

Jika kelahiran UU No. 3/2006 dipandang banyak orang sebagai blessing in disguise karena meski sangat terlambat jika dibandingkan dengan perubahan undang-undang lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 3/2006 ini memberikan banyak keuntungan’ bagi Peradilan Agama.

Salah satunya adalah pemberian wewenang menangani perkara ekonomi syariah. Pemberian wewenang penanganan perkara baru ini bukannya tanpa hambatan. Resistensi dari berbagai pihak bermunculan, bahkan salah satu petinggi Bank Indonesia sampai harus mengirimkan surat protesnya kepada presiden yang merasa keberatan jika perkara ekonomi syari’ah harus ditangani oleh hakim-hakim agama yang menurutnya awam mengenai masalah ekonomi. Belum lagi resistensi dari pihak-pihak lain yang memang didasari oleh ketidak percayaan dan alasan-alasan lainnya.

Pasal 49 UU No. 3/2006 dengan jelas menggariskan bahwa segala perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah ditangani oleh Pengadilan Agama. Namun demikian pada prakteknya penanganan perkara ekonomi syari’ah ‘masih diperebutkan’ antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, terutama dalam hal eksekusi putusan Badan Arbitrase Syari’ah.

Pasal 60 UU No. 30/1999 tentang Arbitrase Syari’ah mengatur bahwa putusan Badan Arbitrase Syari’ah bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Oleh karenanya para pihak wajib melaksanakan putusan tersebut secara sukarela. Persoalannya adalah ketika putusan Badan Arbitrase Syariah itu tidak dilaksanakan secara suka rela, maka putusan itu dilaksanakan atas perintah siapa, Ketua Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri?

Sejatinya dengan lahirnya UU No. 3/2006 yang memberikan kewenangan penanganan ekonomi syari’ah kepada Pengadilan Agama, polemik pelaksanaan eksekusi itu tidak perlu terjadi karena jelas-jelas perkara itu merupakan kewenangan Pengadilan Agama.
Namun demikian, untuk memberikan kepastian hukum akhirnya Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No. 08 Tahun 2008 tanggal 10 Oktober 2008 yang menyatakan Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari’ah dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Agama. Penting dicatat, Mahkamah Agung mendasarkan SEMA tersebut pada pasal 49 UU No. 3/2006.

Diluar dugaan, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang baru, No. 48/2009 pada pasal 59 dan penjelasannya secara gamblang menyebut bahwa eksekusi putusan arbitrase (termasuk arbitrase syari’ah) dilaksanakan atas perintah ketua pengadilan negeri.

Ketentuan pasal 59 UU No. 48/2009 ini jelas bertentangan dengan pasal 49 UU No. 3/2006 yang telah dirubah dengan UU No. 50/2009. Pasal 59 itu juga bertentangan dengan SEMA No. 08/2008 tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah. Di tingkat praktis, pertentangan pasal-pasal ini dikhawatirkan menimbulkan polemik yang tak berkesudahan jika tidak segera diselesaikan dengan bijak dan hati yang lapang.

4. Langkah Strategis Peradilan Agama

Sejarah dan kebijakan masa lalu serta suasana internal pengadilan dan Peradilan Agama menempatkan Peradilan Agama ‘tertinggal’ dari lingkungan badan peradilan lain pada masa-masa awal sistem satu atap (one roof system). Bagir Manan, menyebut hanya ada tiga obat yang mujarab untuk mengejar ketertinggalan itu. Pertama, kesadaran bahwa perubahan ke arah kemajuan adalah suatu kemestian. Kedua, kesadaran untuk bekerja lebih keras mewujudkan perubahan ke arah kemajuan. Ketiga, kesadaran untuk membangun dan menjaga kredibilitas.

Usaha bersama dari seluruh warga Peradilan Agama dengan dukungan penuh jajaran pimpinan Mahkamah Agung RI untuk terus berbenah diri berhasil membawa perubahan signifikan di Peradilan Agama di Indonesia. Salah satu indikator dari perubahan tersebut adalah tingginya tingkat kepercayaan dan kepuasan publik terhadap Peradilan Agama.

Hasil survey 2007 dan 2009 yang dilakukan oleh IALDF (Indonesia Australia Legal Development Facility), Family Court of Australia dan Ditjen Badilag MA RI menunjukkan adanya tingkat kepuasan yang tinggi (70%) dari para pengguna Peradilan Agama. Bahkan berdasarkan hasil survey The Asia Foundation (2001), Peradilan Agama menjadi satu-satunya institusi penegak hukum yang memiliki performance paling baik. Persepsi publik mengungkapkan Peradilan Agama sebagai institusi yang trustworthy dan does its job well nya paling tinggi.

Sekarang ini Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama masih terus mengembangkan langkah-langkah stratejik dalam rangka pemberian pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan. Beberapa langkah stratejik tersebut adalah sebagai berikut:

a)   Untuk meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap Pengadilan Agama, Mahkamah Agung memberikan fasilitas berperkara gratis (prodeo) dan sidang keliling dengan meningkatkan anggaran yang signifikan untuk kedua hal tersebut.
b)  Publikasi informasi tentang hak-hak masyarakat miskin untuk mengakses pengadilan. Hal ini dilakukan melalui website, meja informasi, TV media, brosur dan lain sebagainya.
c)  Memperkuat kerjasama dengan pemerintah lokal, universitas dan NGO.
d)  Meningkatkan upaya-upaya transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan SK KMA No. 144/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
e)   Kewajiban setia Pengadilan Agama untuk memberikan transparansi biaya perkara.
f) Publikasi putusan melalui situs internasional www.asianlii.org (1561 putusan sudah dipublikasikan).
g)   Pembuatan dan Pembudayaan Sistem Informasi dan Manajemen Perkara (SIADPA).
h) Membangun website sebagai sarana komunikasi dan pembinaan internal serta pemberian informasi kepada publik:

1 website Direktorat Jenderal, www.badilag.net. Situs yang dibangun sejak 3 tahun lalu ini dikunjungi + 6000 pengunjung setiap harinya. Sampai saat ini jumlah total pengunjung lebih dari 5.500.000 pengunjung.
·         29 website Pengadilan Tinggi Agama
·         268 website dari 343 Pengadilan Agama
·         Untuk komunitas internasional yaitu: www.badilag.net/english,www.arabic.badilag.net.
Kerja keras segenap jajaran Peradilan Agama untuk terus berubah menuju peradilan yang modern banyak mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Tokoh-tokoh nasional dan Internasional serta berbagai NGO dalam dan luar negeri secara terus terang menyampaikan kekagumannya atas pencapaian Peradilan Agama selama ini.
Apresiasi ini tidak kemudian menjadikan jajaran Peradilan Agama dibawah pembinaan Badilag MA RI menjadi bangga dan terlena. Justru sebaliknya, pujian dan apresiasi dijadikan sebagai pemicu dan motivasi bagi seluruh elemen untuk selalu berbuat lebih baik lagi bagi masyarakat khususnya para pencari keadilan (justice seekers) di Peradilan Agama. Apresiasi dan masukan dari berbagai pihak juga selalu dijadikan sebagai bahan dalam memperbaiki banyak kekurangan yang selama ini dimiliki oleh Peradilan Agama.

5. Peluang Dan Tantangan Sarjana Syari’ah
Pasal 13 UU No. 50/2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan agama, seseorang harus memenuhi syarat (diantaranya) sebagai sarjana syariah, sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam. Berbeda dengan sistem penerimaan pada calon hakim peradilan lainnya, calon hakim peradilan agama harus mengikuti test membaca kitab kuning sebagai salah satu syarat kelulusannya. Disinilah letak peluang sarjana syariah untuk berkiprah di Pengadilan Agama. Sarjana Syariah bisa dikatakan sebagai bahan baku dari SDM Peradilan Agama. Meskipun ada kalimat yang membolehkan calon hakim pengadilan agama yang berasal dari sarjana hukum tetapi jika ia tidak menguasai hukum Islam dan tidak bisa membaca kitab, maka peluangnya akan tertutup.
Bagi sarjana syari’ah pun jika ia tidak menguasai hukum Islam yang dibuktikan dengan lulus ujian tulis dan lisan, maka peluangnya pun tertutup. Yang dikhawatirkan sarjana syari’ah dalam penguasaan hukum Islam dan baca kitabnya kalah oleh sarjana hukum karena, misalnya, mereka tinggal di pesantren. Kekhawatiran ini dalam beberapa kasus memang sudah banyak terjadi. Sementara itu tantangan yang cukup kentara sementara ini adalah adanya keluhan bahwa sarjana syari’ah kurang memahami hukum acara dan hukum perdata. Tantangan ini akan dengan mudah dijawab jika para alumni syariah juga mau lebih banyak lagi menggali hukum acara dan hukum perdata tersebut melalui kajian dan praktek, serta pendalaman materi dengan mengikuti kuliah di fakultas hukum umum, misalnya.


PENUTUP

Independensi lembaga peradilan adalah merupakan salah satu sub sistem yang didukung oleh beberapa sub sistem lain yang saling terkait, dan secara bersamaan atau bergantian terkadang muncul sebagai pengaruh yang kuat dalam penegakan hukum, untuk itu agar beberapa sub sistem dari sistem penegakan hukum itu berjalan efektif, menurut Lawrence Meir Friedman harus berjalan seimbang antara tiga unsur sistem hukum (three elements of legal system) yakni: legal structure, legal substance dan legal culture. Eksistensi dan kewenangan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dari waktu ke waktu berubah tergantung kepada dinamika politik hukum bangsa. Meskipun demikian, eksistensi peradilan agama di Indonesia sangat kuat mengingat memiliki akar historis yang kuat pula dalam perjalanan sejarah masyarakat muslim Indonesia.

Di era reformasi, Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, secara konstitusional posisinya semakin kuat. Ia tidak hanya diakui dalam konstitusi UUD 1945, akan tetapi juga diakui penuh dalam UU No. 4 Tahun 2004 yang telah diubah menjadi UU No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Tidak hanya status dan kedudukan yang telah mengalami perubahan, kewenangannya pun juga telah bertambah, tidak hanya menangani persoalan hukum keluarga, tapi juga hukum ekonomi syariah sebagaimana yang diatur dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2009 yang telah diubah menjadi UU No. 50 tahun 2009. Namun untuk hukum materiilnya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Oleh karena itu, dengan analisis SWOT (sistem analisis pemerintahan) maka di situ ada perlunya untuk meningkatkan kekuatan (strength) dan memanfaat kesempatan (opportunity) di atas semaksimal mungkin serta meminimalisir aspek kelemahan (weakness) dan ancaman (threat) dengan merumuskan agenda perbaikan dan perubahan secara menyeluruh.

Pengadilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Karena telah mempunyai hukum acara sendiri, dapat melaksanakan keputusannya sendiri, mempunyai juru sita sendiri, serta mempunyai struktur dan perangkat yang kuat berdasarkan UU. Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, tidak saja yang berlaku secara yuridis formal, yakni menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan (hukum positif), namun juga berlaku secara normatif. Karena hukum Islam adalah hukum yang mengalir dan berakar pada budaya masyarakat. Salah satu faktornya adalah karena fleksibilitas dan elastisitasnya.

Pasang surut perkembangan Peradilan Agama di Indonesia memang ditentukan oleh niat baik penguasa dan stackholder, tetapi juga sosial budaya setempat memegang peranan yang tidak kalah pentingnya. Usaha menjadikan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan yang modern membutuhkan usaha sinergis dan simultan serta berkelanjutan dari semua elemen. Kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas dengan dibarengi kredibilitas pada akhirnya akan mampu menjawab ketidak percayaan publik akan aparat Peradilan Agama. Sarjana syari’ah merupakan main human resources untuk Peradilan Agama. Karenanya sarjana syari’ah diharapkan mampu mengisi peluang sekaligus menjawab tantangan yang disodorkan Peradilan Agama.

Endnote
[1] Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah dan Aktivis KOMPAK (Komite Mahasiswa dan Pemuda Anti Kekerasan)
[2] Kesimpulan UU No. 7 tahun 1989 ini diambil dari Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 101
[3] Tugas juru sita antara lain: a) melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh ketua sidang, b) meyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran dan pemberitahuan penetapan atau putusan pengadilan menurut cara-cara berdasarkan undang-undang, c) melakukan penyitaan atas perintah ketua pengadilan, d) membuat berita penyitaan, yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkempentingan. Juru sita pengadilan agama berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum yang bersangkutan.
[4] Dengan belakunya UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, hubungan antara Peradilan Agama dengan Departemen Agama secara structural dan organisatoris sudah terputus sama sekali. Namun demikian, hubungan fungsional dan histories tetap tidak akan pernah hilang. Bahkan secara eksplisit dalam penjelasan UU No. 4/2004 alinea 4 disebutkan bahwa pembinaan terhadap Peradilan Agama dilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia. Kini UU No. 4/2004 tersebut diganti dengan UU No. 48/2009 sekaligus juga menghilangkan phrase pada alinea 4 penjelasan tersebut.