Orang-orang skiptis-agnostik—beserta
kawan-kawannya yang selalu mempersoalkan eksistensi Tuhan dalam
keberwujudan-Nya. Bagi mereka bahwa Dia (Tuhan) bisa diterka lewat dunia Indera
dengan berbagai metamorfosa alat pengetahuan, lebih lanjut pemaknaan akan Tuhan
bukan tingkat khayalan belaka, namun lebih dari itu, jika tidak bagi mereka tu
bisa membuat racun pada logika setiap manusia. Meminjam bahasanya Karl
Marx, bahwa ”tuhan adalah candu”, karena menurutnya konsepsinya, karena
(pemahaman) akan Tuhan, membuat kita tertindas, penalaran logik setiap manusia
terkubur begitu saja dengan sayap kuda troya kata syurga.
Di sisi lain, Do’a juga menjadi alat
tersendiri bagi kalangan pemeluk agama, namun apa kata Facoult, kebenaran agama
merupakan sesuatu yang tertunda—yang sulit dibuktikan dalam alam Nyata (bukan
bicara Being). Ada lagi yang lebih radix daripada mereka, siapa lagi kalau
bukan seorang pemuka The Grand Master Of Atheis, He’s R. Dawkins, kata pemuka
Atheist yang satu ini betul-betul merusak kepala hamba ketika hamba membaca
karyanya (The God Delusion), pantas saja dalam kitab Munqiz Min
ad-Dholaal (Imam Ghozali) seorang ahli hukum, Telogi dan Tasawuf ini
sampai kepusingan sekitar 2 bulan ketika memahami eksistensi Tuhan dalam alam
maddah (materialsm).
Rangkaian di atas merupakan bentukan
provokasi saya setiap kali bertemu teman sejawat ketika di pesantren dulu,
yang terlalu bangga dengan identitasnya sebagai muslim (belum tentu Islam
secara kaffah), terlebih sebagian mereka bepikir picik membahas antara
modernism dan Islam yang selalu dimenangkan atas nama keberpihakan. Bahkan ada
sebagian orang mengatakan, bahwa akibat peradaban modern sebagian kaum beragama
selalu tertindas. Modernisme tak lebih dimaknai sebagai peradaban buruk (al-tsaqofah
al-jahiliyyah).
Bagi saya, tidak etis jika pemahaman Tuhan
dimaknai sebagai penghegemonian pemahaman, akan tetapi hal ini sebagai
katastrofa kita semua guna terhidar dari bentuk fanatisme agama—yang pada
akhirnya kita saling menuduh siapa yang paling, siapa yang paling, siapa yang
paling. Bukan membenahi diri secara gradual malah menjadi muta’ashib ardh (fanatisme
kolot) atau bahasa vulgarnya sering mengkafirkan Orang dengan kacamata
materials (Hukum). Coba kita telisik bahasa sang Kholik yang memperingatkan
kita akan keberpihakan keyakinan, dalam al-Qur’an “Allah ‘a’lamu bi
iimanihim”– (Allah Lebih mengetahui Kemimanan Mereka), kata ini merupakan
bentuk “kalam tasghir” yang artinya Tuhan sebagai penentu orang baik
atau buruknya identitas keimanan.
Membicarakan keimanan tidak terlepas dari
pembahasan makna keyakinan akan eksistensi Tuhan. Dari sekian banyak filosof,
pendeta, biarawan, ulama dan sederet pemuka agama lainnya, memahami Tuhan
dengan beragam bentuknya, yaitu substansi dan metodelogi yang harus
diperhatikan. Kata-kata Tuhan dituangkan seperti karya normatif belaka.
Alhasil, kitab suci seolah menjadi penuh magis. Kita lupa cara memahami tuhan
bukan seperti itu. Coba lihat apa kata Imam Malik dalam Kitabnya, beliau pernah
berujar: Laa tuqollidnii……...wa khudz mni haitsu akhadzu, (jangan ikuti
aku, akan tetapi ambilah dari mana aku mengambil). Secara sederhana Imam Malik
ingin mengatakan ambilah cara atau metodelogi yang telah aku pergunakan, bukan
hasilnya. Dengan kata lain cara memahami Tuhan-lah yang penting.
Keyakinan akan Tuhan terpaut halus dengan
kata keagamaan dan keyakinan, terlepas dari sisi multitafsirnya—memahami tuhan
(inti ajaran agama) seharusnya dibarengi dengan alam indera (materalism), hal
itu sangat bias diandalkan, karena antara fakta dari rentetan kejadian beserta
kumpulan pengalaman (tajribah) akan memberi makna tersendiri akan memahami
Tuhan. Karena alam material menyiratkan sisi akan ketuhanan.
Kepicikan penganut atheisme, terlihat buah kekecewaan agama yang melembaga
serta bentukan dari sebuah peradaban, Coba bayangkan, jika perangkan etika dan
moral pesan tuhan tidak diwujudkan oleh sifat manusia? Apa yang akan terjadi?
Mungkin kekacauan peradaban akan melanda kita.
Pemahaman atheism terhadap agama lebih
dipahami sebagai fasis hegemoni episteme setiap ilmu. Mereka lupa, Preseden
atau Hipotesa yang mereka buat (kaum atheist) adalah preseden meta-theologi
juga, yang artinya mereka juga sebetulnya mempercayai adanya Tuhan (sang
Kholik) dengan pre-hipotesis/presedent kembali ke preseden baru. Jadi untuk
lebih rasionalnya, mreka menempatkan seluruh kitab suci agama diletakan dengan
konsepsi ke-ilmiahan positivis. Dan mereka (Atheist) lupa bahwa lagi-lagi
epistimologi setiap ilmu berbeda-beda. Intinya memahami tuhan bisa saja
dilakukan dengan kacamata positivis dengan mengandalkan dunia indera, namun
perlu dicatat, Metodelogi
menemukan sebuah kebenaran agama dengan beragamtekanannya masing-masing.
Baik dunia empirisme dan rasionalisme—punya sisi kelemahan tersendiri dalam
memahami eksitensi Tuhan.
Mendeteksi rangkaian kebesaran Tuhan
merupakan suatu kemestian, mengapa? Karena manusia dilengkapi dengan beragam
alat untuk mencari apa yang disebut Absolut (yang Maha Esa). Jalan yang
diberikan oleh Tuhan kepada manusia amatlah beragam, oleh sebab itu sikap yang
paling sederhana dari kita adalah apresiasi hal tersebut dengan membuka
cakrawala kita pada dimensi keragu-raguan. Alhasil satu upaya untuk menangkap
eksistensi Tuhan adalah bentuk kejumudan (kaku), karena hal ini merupakan
bentuk fanatisme yang tak boleh kita pegang dalam pluralitas agama. Sebab hal
demikian memunculkan sarat pertentangan antara satu pihak dengan pihak yang
lain. Gunakanlah ragam cara Tuhan untuk menentukan sikap kita dalam memahami
Tuhan. Jangan sampai Tuhan digambarkan dengan keterbatasan pengetahuan kita,
ini sangat berpotensi pada pada pengetahuan kita akan menghasilkan gambaran
tentang Tuhan, kalau itu berhasil tak mengapa? Tetapi kalau tidak berhasl hal
ini menjadi sangat problematis.
0 comments:
Post a Comment