Translate

Friday, 6 March 2015

Sindiran Atheisme Dalam Memahami Tuhan


Orang-orang skiptis-agnostik—beserta kawan-kawannya yang selalu mempersoalkan eksistensi Tuhan dalam keberwujudan-Nya. Bagi mereka bahwa Dia (Tuhan) bisa diterka lewat dunia Indera dengan berbagai metamorfosa alat pengetahuan, lebih lanjut pemaknaan akan Tuhan bukan tingkat khayalan belaka, namun lebih dari itu, jika tidak bagi mereka tu bisa membuat racun pada logika setiap manusia. Meminjam bahasanya Karl Marx, bahwa ”tuhan adalah candu”, karena menurutnya konsepsinya, karena (pemahaman) akan Tuhan, membuat kita tertindas, penalaran logik setiap manusia terkubur begitu saja dengan sayap kuda troya kata syurga.  

Di sisi lain, Do’a juga menjadi alat tersendiri bagi kalangan pemeluk agama, namun apa kata Facoult, kebenaran agama merupakan sesuatu yang tertunda—yang sulit dibuktikan dalam alam Nyata (bukan bicara Being). Ada lagi yang lebih radix daripada mereka, siapa lagi kalau bukan seorang pemuka The Grand Master Of Atheis, He’s R. Dawkins, kata pemuka Atheist yang satu ini betul-betul merusak kepala hamba ketika hamba membaca karyanya (The God Delusion), pantas saja dalam kitab Munqiz Min ad-Dholaal (Imam Ghozali) seorang ahli hukum, Telogi dan Tasawuf ini sampai kepusingan sekitar 2 bulan ketika memahami eksistensi Tuhan dalam alam maddah (materialsm).

Rangkaian di atas merupakan bentukan provokasi saya  setiap kali bertemu teman sejawat ketika di pesantren dulu, yang terlalu bangga dengan identitasnya sebagai muslim (belum tentu Islam secara kaffah), terlebih sebagian mereka bepikir picik membahas antara modernism dan Islam yang selalu dimenangkan atas nama keberpihakan. Bahkan ada sebagian orang mengatakan, bahwa akibat peradaban modern sebagian kaum beragama selalu tertindas. Modernisme tak lebih dimaknai sebagai peradaban buruk (al-tsaqofah al-jahiliyyah). 

Bagi saya, tidak etis jika pemahaman Tuhan dimaknai sebagai penghegemonian pemahaman, akan tetapi hal ini sebagai katastrofa kita semua guna terhidar dari bentuk fanatisme agama—yang pada akhirnya kita saling menuduh siapa yang paling, siapa yang paling, siapa yang paling. Bukan membenahi diri secara gradual malah menjadi muta’ashib ardh (fanatisme kolot) atau bahasa vulgarnya sering mengkafirkan Orang dengan kacamata materials (Hukum). Coba kita telisik bahasa sang Kholik yang memperingatkan kita akan keberpihakan keyakinan, dalam al-Qur’an “Allah ‘a’lamu bi iimanihim”–  (Allah Lebih mengetahui Kemimanan Mereka), kata ini merupakan bentuk “kalam tasghir” yang artinya Tuhan sebagai penentu orang baik atau buruknya identitas keimanan.

Membicarakan keimanan tidak terlepas dari pembahasan makna keyakinan akan eksistensi Tuhan. Dari sekian banyak filosof, pendeta, biarawan, ulama dan sederet pemuka agama lainnya, memahami Tuhan dengan beragam bentuknya, yaitu substansi dan metodelogi yang harus diperhatikan. Kata-kata Tuhan dituangkan seperti karya normatif belaka. Alhasil, kitab suci seolah menjadi penuh magis. Kita lupa cara memahami tuhan bukan seperti itu. Coba lihat apa kata Imam Malik dalam Kitabnya, beliau pernah berujar: Laa tuqollidnii……...wa khudz mni haitsu akhadzu, (jangan ikuti aku, akan tetapi ambilah dari mana aku mengambil). Secara sederhana Imam Malik ingin mengatakan ambilah cara atau metodelogi yang telah aku pergunakan, bukan hasilnya. Dengan kata lain cara memahami Tuhan-lah yang penting.

Keyakinan akan Tuhan terpaut halus dengan kata keagamaan dan keyakinan, terlepas dari sisi multitafsirnya—memahami tuhan (inti ajaran agama) seharusnya dibarengi dengan alam indera (materalism), hal itu sangat bias diandalkan, karena antara fakta dari rentetan kejadian beserta kumpulan pengalaman (tajribah) akan memberi makna tersendiri akan memahami Tuhan.  Karena alam material menyiratkan sisi akan ketuhanan. Kepicikan penganut atheisme, terlihat buah kekecewaan agama yang melembaga serta bentukan dari sebuah peradaban, Coba bayangkan, jika perangkan etika dan moral pesan tuhan tidak diwujudkan oleh sifat manusia? Apa yang akan terjadi? Mungkin kekacauan peradaban akan melanda kita.

Pemahaman atheism terhadap agama lebih dipahami sebagai fasis hegemoni episteme setiap ilmu. Mereka lupa, Preseden atau Hipotesa yang mereka buat (kaum atheist) adalah preseden meta-theologi juga, yang artinya mereka juga sebetulnya mempercayai adanya Tuhan (sang Kholik) dengan pre-hipotesis/presedent kembali ke preseden baru. Jadi untuk lebih rasionalnya, mreka menempatkan seluruh kitab suci agama diletakan dengan konsepsi ke-ilmiahan positivis. Dan mereka (Atheist) lupa bahwa lagi-lagi epistimologi setiap ilmu berbeda-beda. Intinya memahami tuhan bisa saja dilakukan dengan kacamata positivis dengan mengandalkan dunia indera, namun perlu dicatat, Metodelogi menemukan sebuah kebenaran agama dengan beragamtekanannya masing-masing. Baik dunia empirisme dan rasionalisme—punya sisi kelemahan tersendiri dalam memahami eksitensi Tuhan.

Mendeteksi rangkaian kebesaran Tuhan merupakan suatu kemestian, mengapa? Karena manusia dilengkapi dengan beragam alat untuk mencari apa yang disebut Absolut (yang Maha Esa). Jalan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia amatlah beragam, oleh sebab itu sikap yang paling sederhana dari kita adalah apresiasi hal tersebut dengan membuka cakrawala kita pada dimensi keragu-raguan. Alhasil satu upaya untuk menangkap eksistensi Tuhan adalah bentuk kejumudan (kaku), karena hal ini merupakan bentuk fanatisme yang tak boleh kita pegang dalam pluralitas agama. Sebab hal demikian memunculkan sarat pertentangan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Gunakanlah ragam cara Tuhan untuk menentukan sikap kita dalam memahami Tuhan. Jangan sampai Tuhan digambarkan dengan keterbatasan pengetahuan kita, ini sangat berpotensi pada pada pengetahuan kita akan menghasilkan gambaran tentang Tuhan, kalau itu berhasil tak mengapa? Tetapi kalau tidak berhasl hal ini menjadi sangat problematis.

0 comments:

Post a Comment