Hiruk pikuk dunia modern seakan merubah
pola pikir manusia yang bercirikan sifat ke-Tuhanan (shifah lahut)
menuju alam kebinatangan (alam nassut). Disadari atau tidak, dunia
modern telah menggeser paradigma kita dalam ber-Tuhan. Gambaran tersebut bisa
dirasakan dalam kompleksitas antara science, business dan teknologi sedang
menjajaki spiritualitas manusia dalam kesadaran palsunya sebagai manusia yang
bertuhan (homo religious). Ekonomis, Stylis, Pragmatis, dan sebagainya
merupakan simbol anak modern dalam menjama manusia. Yang pada akhirnya kita
kehilangan makna manusia itu sendiri.
Dalam sejarah pemikiran manusia, seperti
ditegaskan oleh Karen Armstrong, sejak mula pertama umat manusia sudah mampu me
nangkap tentang adanya satu kekuatan yang mengatasi dan Maha Kuat,[1]
namun satu kekuatan tersebut terjaring oleh bingkai-bingkai modernitas
pemahaman tentang Tuhan yang dibatasi oleh materialitas. Alhasil kejumudan dalam
menemukan sesuatu yang benar (baca: Tuhan) terkikis oleh episteme spekulatif. Beragam
cara mencari sesuatu yang Maha benar pun telah dilakukan sebelum agama samawi
(baca: Yahudi, Kristen, Islam) hadir secara instutisional. Mereka yang
menamakan dirinya sebagai “Sofis” seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes,
Epikurus, Phytagoras, Sokrates, Plato, Aristoteles, dan sederet nama yang telah
berkotribusi dalam pembuatan metode dalam memahami Sang Maha Absolut (Tuhan). Bahkan
pasca agama telah melembaga pun tradisi memahami sesuatu yang benar menjadi
konsen khusus oleh para pemikir, salah satunya dari mereka adalah Ibn Sina,
al-Farabi, al-Ghazali, al-Miskawih dan banyak lagi yang lainnya.
Berikut ini merupakan alat serta
metodelogi menemukan sebuah kebenaran agama dengan beragam tekanannya
masing-masing. Pertama ragam episteme empiris—menemukan kebenaran dalam bentuk
materialis yang bisa dispesifikasi dalam penalaran indrawi atau pengalaman
empirisme seseorang. Batasan metode ini secara sederhana bisa menggunakan
perangkat alat indra kita dalam menentukan sebuah kebenaran. Kedua ragam
epistem rasionalis— yang titik tekanannya menggunakan silogisme (kesimpulan)
berdasarkan akal budi manusia ketika berhadapan dengan objek yang diterka baik
rasionalis analitik maupun sintetik. Terakhir adalah ragam epistem yang titik
tekanannya berdasarkan hati nurani esoteris.
Bukan untuk menyederhanakan Ragam
episteme di atas—tetapi ragam episteme di atas menjadi sangat problematis
ketika keberadaan agama yang telah melembaga berhadapan langsung dengan
episteme lain. Seperti yang dilansir dalam bukunya A. Marconi, Bagaimana
Alam Semesta Diciptakan, di sana dijelaskan bahwa perpindahan ragam episteme seseorang dari
logis-indrawi ke daerah logis spekulatif merupakan suatu lompatan alternatif[2]
apabila perangkat indra (empirisme) tak sanggup lagi memahami Tuhan. Namun
dalam situasi demikian pula seseorang akan
menghadapi tembok atau tirai kebenaran tunggal dan mutlak, yang
dirasakan (diindranya) dibatasi oleh apa yang diindra dengan mengesampingkan
akal budi, begitu juga kaum rasionalis akan mengesampingkan secara perlahan
pada epistem indra, ditambah pula pengetahuan esoterisme yang terlihat
merupakan bentuk apologetic terhadap
kekecewaan dua bentuk epistem di atas, pada akhirnya keniscayaan relativis gnosis
dengan tidak beragama (agnotis) menjadi sangat memungkinkan di sini.
Lihat saja seperti yang dirasakan oleh
sebagian kalangan—dalam melihat ada atau tidaknya “Yang Maha Absolut”, menurut mereka
hal tersebut menjadi sangat problematis, misalnya saja gerakan Deisme, Faith
without religion atau New Age— bahkan menurut Purwanto mereka hadir dalam
kekecewaan akan macam agama yang melembaga (instusional) namun percaya
akan adanya yang maha Esa, sehingga mereka menolak untuk memeluk agama manapun.[3]
Ini adalah sikap skiptik yang hadir kembali dalam memaknai Tuhan yang
melembaga.
Di atas merupakan suatu kegelisahan akan
memaknai eksistensi Tuhan di era modern oleh sebagian kalangan. Hal itu menjadi
tantangan tersendiri bagi sebagian penganut ketika berhadapan dengan ajarannya
masing-masing. Dan harus di ingat dewasa ini terdapat banyak para ahli yang
mencoba kembali membaca teks agama dengan diverifikasi oleh science begitu pula
sebaliknya. Namun jika kita melihat kebelakang ada tradisi epistem—yang
tertinggal untuk dikejewantahkan dalam memahami Tuhan era sekarang. Tradisi turun
temurun tersebut adalah “Membaca Alam Semesta” dengan cara berkhalwat. Khalwat
merupakan cara pengasingan diri dari beragam epistem untuk memaknai eksistensi
Tuhan.
Dalam sejarahnya, pengasingan diri atau
khalwat yang dilakukan oleh sebagian cendikiawan Arab merupakan buah tradisi
dari gerakan al-Hanafiyyah. Gerakan Hanafiyah ini dirasa sebagai gerakan yang
tidak tercampur dari gerakan yang marak terjadi waktu itu, seperti pemujaan
beragam berhala, praktek riba merajalela, penghalalan arak, zina dan
sebagainya.[4]
Sebelum Islam datang, peradaban Arab kala itu sangatlah konservatif, fatanatis,
nomaden serta glamoris bahkan sangatlah kapitalis. Lihat saja praktek teologi
maupun hukum yang digunakan kala itu merupakan sindikat perangkat ajaran yang
serba pragmatis.
Tradisi Khalwat atau pengasingan diri
Zaman Arab ini ternyata dilakukan pula oleh seorang Pemuka agama sekaligus
Rasul di antara para nabi yaitu Muhammad Saw. Bisa dicek dengan riwayat Bukhari
dalam juz pertama yang menjelaskan bahwa Nabi sering melakukan khalwat di Gua
Hira dan disanalah Beliau bertahanuts.[5]
Nabi Muhammad ketika menemukan sesuatu yang benar dengan “Khalwat”
(mengasingkan diri). Secara historis pristiwa Nabi Muhammad mendapatkan Wahyu
merupakan sebuah prestasi besar dalam tahun-tahun berikutnya, terbukti dengan
beragam komentar dalam perjalanan hidupnya untuk mendapatkan sesuatu Yang Maha
Benar. Pristiwa tersebut dinamakan dengan Malam Kemuliaan atau Keagungan
(Lailatul Qodar).[6]
Lailatul Qodar dinamakan pula sebagai “Malam
Kemuliaan” atau “Keagungan” karena malam tersebut merupakan malam diturunkannya
kitab suci yaitu al-Qur’an.[7]
Malam tersebut juga meruapakan suatu malam yang lebih baik dari pada seribu
bulan.[8]Dalam
(studi Qur’an) Ulumul Qur’an—pristiwa besar ini (nuzul al-Qur’an) tepat terjadinya
pristiwa tersebut terdapat banyak pendapat. Namun Ibn ‘Abbas dan Jumhur
cendikiawan sepakat kejadian tersebut terjadi bertepatan dengan bulan Ramadhan,
dimana Nabi bertahannuts di gua Hira sekaligus menerima wahyu berupa surat
al-‘Allaq: ayat 1-5. Ringkasnya nuzulul qur’an merupakan sejarah pertama kali
diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk kebenaran sekaligus hidayah bagi
seluruh umat manusia. Dan pristiwa tersebut menurut Ibnu ‘Abbas dan Jumhur mengatakan, “Allah
menurunkan Al Qur’an secara utuh sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah yang ada di langit dunia. Kemudian
Allah menurunkan Al Qur’an kepada Nabi Muhammad-
tersebut secara berangsur-angsur
selama 23 tahun.[9]
Ada yang terpenting dalam sejarah
diturunkannya al-Qur’an kepada Muhammad yang hingga kita masih relevan dengan
perdebatan sengit mengenai ragam epistem dasar beragama, yaitu bahwa proses mendapatkan
kebenaran melalui metodelogi khalwat (pengasingan diri) di Gua Hira dan yang
kedua adalah substansi dari surat al-‘Allaq: ayat 1 sampai 5. Selain Ragam episteme
di atas, ternyata ada ragam episteme agama yang harus di alami oleh manusia
selain metode empirism maupun rasional-analitis, yaitu khalwat. Keberadaan
khalwat merupakan jembatan untuk merenungi episteme rasionalitas berhadapan
dengan empiris dalam memahami yang maha benar. Karena pada saat yang sama, dua
model episteme dalam bangunan di atas merupakan jembatan jurang pemisah dalam
memahami agama, sebab seperti yang dijelaskan di atas bahwa rasionalisme lebih
menekankan analisis kompleks akal sedangkan empirisme lebih mengandalkan
tingkatan pengetahuan dari indrawi.
Kedua hal itu tersebut tak-akan
bersekutu manakala proses penyatuannya tanpa melibatkan “cara Khalwat”
(pengasingan diri), sebab dari sanalah kita bisa melepaskan seluruh pengetahuan
yang dapat dari rasionalitas kesimpulan—maupun empiris pengetahuan. Ketika
proses khalwat dilakukan secara bersamaan, maka proses verifikasi hasil
perenungan atau pengasingan akan diuji kembali, yaitu dengan cara Membaca alam
semesta dengan mempergunakan seluruh alat yang kita punyai. Hal ini menjadi
dasar bahwa kerangka berifikir kita yang selalu menghasilkan keraguan dalam beberapa
hal. Oleh sebab itu selain Muhammad melakukan khalwat tetapi beliau pula dibekali
oleh Tuhan dengan disuruh “Membaca alam semesta”, kenapa karena pada waktu itu
nabi sebagai seorang yang Ummii (tak
bisa baca maupun menulis) maka seyogyanya Tuhan menyuruh nabi untuk menemukan
kebesaran dan kebenaran-Nya adalah dengan cara membaca alam semesta. Kenapa
objek yang dibaca yaitu alam semesta bukan al-Qur’an, karena pada waktu itu
al-Qur’an belum diturunkan sekaligus ke dunia serta belum dibukukan
(kodifikasi), jadi alam semesta menjadi objek penelitian Nabi untuk ditelaah
lebih lanjut. Surat al-‘Allaq ayat 1-5 juga memberikan gambaran kepada kita selain membaca alam semesta sekaligus
merenungkan alam semesta lewat science maupun teknologi pendukung lain. Dan yang
kedua memaknai sejumlah proses penciptaan alam semesta akan memunculkan suatu
kebenaran, dan terakhir makna dari surat al-‘Allaq yang diturunkan pada malam
nuzulul qur’an yaitu Tuhan akan mengajarkan kepada manusia melalui beragam
peralatan baik membaca maupun menulis untuk mengetahui hakikatnya.
[1] Komarudiin
Hidayat dan M. Wahyudi N, Agama Masa Depan, (Jakarta: Grammedia Pustaka Utama,
2003), hal. 84
[2]A. Marconi, Bagaimana
Alam Semesta Diciptakan, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2003), hal. XV
[3] Purwanto Abd
al-Ghaffar, Tuhan Yang Menentramkan Bukan Yang Menggelisahkan, (Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), hal. 18
[4] Khalil Abdul
Karim, Syari’ah: sejarah
perkelahian pemaknaan, (Yogyakarta: LKIS, 2003), hal. 15-17
[5] Lihat lebih
lengkap redaksi haditsnya dalam kitab Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, Shahih
al-Bukharii, (al-Azhar: Daar al-Bayan al-‘Arabi, 1426 H/2005), Juz I, hal.
4. Lihat pula Khalil Abdul Karim, Syari’ah:
sejarah perkelahian pemaknaan, (Yogyakarta: LKIS, 2003), hal. 8
[9] Manna’ Khalil
al-Qattan, Mabahits fii Ulum al-Qur’an, edisi
terjemahan Drs. Mudzakir, (Jakarta: PT. Pustaka Litera Antarnusa, 1996), hal.
151
0 comments:
Post a Comment