Translate

Thursday, 25 July 2013

Relevansi Peristiwa Nuzulul Qur’an dengan Memaknai Eksistensi Tuhan

Hiruk pikuk dunia modern seakan merubah pola pikir manusia yang bercirikan sifat ke-Tuhanan (shifah lahut) menuju alam kebinatangan (alam nassut). Disadari atau tidak, dunia modern telah menggeser paradigma kita dalam ber-Tuhan. Gambaran tersebut bisa dirasakan dalam kompleksitas antara science, business dan teknologi sedang menjajaki spiritualitas manusia dalam kesadaran palsunya sebagai manusia yang bertuhan (homo religious). Ekonomis, Stylis, Pragmatis, dan sebagainya merupakan simbol anak modern dalam menjama manusia. Yang pada akhirnya kita kehilangan makna manusia itu sendiri.

Dalam sejarah pemikiran manusia, seperti ditegaskan oleh Karen Armstrong, sejak mula pertama umat manusia sudah mampu me nangkap tentang adanya satu kekuatan yang mengatasi dan Maha Kuat,[1] namun satu kekuatan tersebut terjaring oleh bingkai-bingkai modernitas pemahaman tentang Tuhan yang dibatasi oleh materialitas. Alhasil kejumudan dalam menemukan sesuatu yang benar (baca: Tuhan) terkikis oleh episteme spekulatif. Beragam cara mencari sesuatu yang Maha benar pun telah dilakukan sebelum agama samawi (baca: Yahudi, Kristen, Islam) hadir secara instutisional. Mereka yang menamakan dirinya sebagai “Sofis” seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes, Epikurus, Phytagoras, Sokrates, Plato, Aristoteles, dan sederet nama yang telah berkotribusi dalam pembuatan metode dalam memahami Sang Maha Absolut (Tuhan). Bahkan pasca agama telah melembaga pun tradisi memahami sesuatu yang benar menjadi konsen khusus oleh para pemikir, salah satunya dari mereka adalah Ibn Sina, al-Farabi, al-Ghazali, al-Miskawih dan banyak lagi yang lainnya.

Berikut ini merupakan alat serta metodelogi menemukan sebuah kebenaran agama dengan beragam tekanannya masing-masing. Pertama ragam episteme empiris—menemukan kebenaran dalam bentuk materialis yang bisa dispesifikasi dalam penalaran indrawi atau pengalaman empirisme seseorang. Batasan metode ini secara sederhana bisa menggunakan perangkat alat indra kita dalam menentukan sebuah kebenaran. Kedua ragam epistem rasionalis— yang titik tekanannya menggunakan silogisme (kesimpulan) berdasarkan akal budi manusia ketika berhadapan dengan objek yang diterka baik rasionalis analitik maupun sintetik. Terakhir adalah ragam epistem yang titik tekanannya berdasarkan hati nurani esoteris.

Bukan untuk menyederhanakan Ragam episteme di atas—tetapi ragam episteme di atas menjadi sangat problematis ketika keberadaan agama yang telah melembaga berhadapan langsung dengan episteme lain. Seperti yang dilansir dalam bukunya A. Marconi, Bagaimana Alam Semesta Diciptakan, di sana dijelaskan bahwa  perpindahan ragam episteme seseorang dari logis-indrawi ke daerah logis spekulatif merupakan suatu lompatan alternatif[2] apabila perangkat indra (empirisme) tak sanggup lagi memahami Tuhan. Namun dalam situasi demikian pula seseorang akan  menghadapi tembok atau tirai kebenaran tunggal dan mutlak, yang dirasakan (diindranya) dibatasi oleh apa yang diindra dengan mengesampingkan akal budi, begitu juga kaum rasionalis akan mengesampingkan secara perlahan pada epistem indra, ditambah pula pengetahuan esoterisme yang terlihat merupakan bentuk apologetic terhadap kekecewaan dua bentuk epistem di atas, pada akhirnya keniscayaan relativis gnosis dengan tidak beragama (agnotis) menjadi sangat memungkinkan di sini.

Lihat saja seperti yang dirasakan oleh sebagian kalangan—dalam melihat ada atau tidaknya “Yang Maha Absolut”, menurut mereka hal tersebut menjadi sangat problematis, misalnya saja gerakan Deisme, Faith without religion atau New Age— bahkan menurut Purwanto mereka hadir dalam kekecewaan akan macam agama yang melembaga (instusional) namun percaya akan adanya yang maha Esa, sehingga mereka menolak untuk memeluk agama manapun.[3] Ini adalah sikap skiptik yang hadir kembali dalam memaknai Tuhan yang melembaga.

Di atas merupakan suatu kegelisahan akan memaknai eksistensi Tuhan di era modern oleh sebagian kalangan. Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi sebagian penganut ketika berhadapan dengan ajarannya masing-masing. Dan harus di ingat dewasa ini terdapat banyak para ahli yang mencoba kembali membaca teks agama dengan diverifikasi oleh science begitu pula sebaliknya. Namun jika kita melihat kebelakang ada tradisi epistem—yang tertinggal untuk dikejewantahkan dalam memahami Tuhan era sekarang. Tradisi turun temurun tersebut adalah “Membaca Alam Semesta” dengan cara berkhalwat. Khalwat merupakan cara pengasingan diri dari beragam epistem untuk memaknai eksistensi Tuhan.

Dalam sejarahnya, pengasingan diri atau khalwat yang dilakukan oleh sebagian cendikiawan Arab merupakan buah tradisi dari gerakan al-Hanafiyyah. Gerakan Hanafiyah ini dirasa sebagai gerakan yang tidak tercampur dari gerakan yang marak terjadi waktu itu, seperti pemujaan beragam berhala, praktek riba merajalela, penghalalan arak, zina dan sebagainya.[4] Sebelum Islam datang, peradaban Arab kala itu sangatlah konservatif, fatanatis, nomaden serta glamoris bahkan sangatlah kapitalis. Lihat saja praktek teologi maupun hukum yang digunakan kala itu merupakan sindikat perangkat ajaran yang serba pragmatis.

Tradisi Khalwat atau pengasingan diri Zaman Arab ini ternyata dilakukan pula oleh seorang Pemuka agama sekaligus Rasul di antara para nabi yaitu Muhammad Saw. Bisa dicek dengan riwayat Bukhari dalam juz pertama yang menjelaskan bahwa Nabi sering melakukan khalwat di Gua Hira dan disanalah Beliau bertahanuts.[5] Nabi Muhammad ketika menemukan sesuatu yang benar dengan “Khalwat” (mengasingkan diri). Secara historis pristiwa Nabi Muhammad mendapatkan Wahyu merupakan sebuah prestasi besar dalam tahun-tahun berikutnya, terbukti dengan beragam komentar dalam perjalanan hidupnya untuk mendapatkan sesuatu Yang Maha Benar. Pristiwa tersebut dinamakan dengan Malam Kemuliaan atau Keagungan (Lailatul Qodar).[6]

Lailatul Qodar dinamakan pula sebagai “Malam Kemuliaan” atau “Keagungan” karena malam tersebut merupakan malam diturunkannya kitab suci yaitu al-Qur’an.[7] Malam tersebut juga meruapakan suatu malam yang lebih baik dari pada seribu bulan.[8]Dalam (studi Qur’an) Ulumul Qur’an—pristiwa besar ini (nuzul al-Qur’an) tepat terjadinya pristiwa tersebut terdapat banyak pendapat. Namun Ibn ‘Abbas dan Jumhur cendikiawan sepakat kejadian tersebut terjadi bertepatan dengan bulan Ramadhan, dimana Nabi bertahannuts di gua Hira sekaligus menerima wahyu berupa surat al-‘Allaq: ayat 1-5. Ringkasnya nuzulul qur’an merupakan sejarah pertama kali diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk kebenaran sekaligus hidayah bagi seluruh umat manusia. Dan pristiwa tersebut menurut Ibnu ‘Abbas dan Jumhur mengatakan, “Allah menurunkan Al Qur’an secara utuh sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah yang ada di langit dunia. Kemudian Allah menurunkan Al Qur’an kepada Nabi Muhammad- tersebut secara berangsur-angsur selama 23 tahun.[9]

Ada yang terpenting dalam sejarah diturunkannya al-Qur’an kepada Muhammad yang hingga kita masih relevan dengan perdebatan sengit mengenai ragam epistem dasar beragama, yaitu bahwa proses mendapatkan kebenaran melalui metodelogi khalwat (pengasingan diri) di Gua Hira dan yang kedua adalah substansi dari surat al-‘Allaq: ayat 1 sampai 5. Selain Ragam episteme di atas, ternyata ada ragam episteme agama yang harus di alami oleh manusia selain metode empirism maupun rasional-analitis, yaitu khalwat. Keberadaan khalwat merupakan jembatan untuk merenungi episteme rasionalitas berhadapan dengan empiris dalam memahami yang maha benar. Karena pada saat yang sama, dua model episteme dalam bangunan di atas merupakan jembatan jurang pemisah dalam memahami agama, sebab seperti yang dijelaskan di atas bahwa rasionalisme lebih menekankan analisis kompleks akal sedangkan empirisme lebih mengandalkan tingkatan pengetahuan dari indrawi.

Kedua hal itu tersebut tak-akan bersekutu manakala proses penyatuannya tanpa melibatkan “cara Khalwat” (pengasingan diri), sebab dari sanalah kita bisa melepaskan seluruh pengetahuan yang dapat dari rasionalitas kesimpulan—maupun empiris pengetahuan. Ketika proses khalwat dilakukan secara bersamaan, maka proses verifikasi hasil perenungan atau pengasingan akan diuji kembali, yaitu dengan cara Membaca alam semesta dengan mempergunakan seluruh alat yang kita punyai. Hal ini menjadi dasar bahwa kerangka berifikir kita yang selalu menghasilkan keraguan dalam beberapa hal. Oleh sebab itu selain Muhammad melakukan khalwat tetapi beliau pula dibekali oleh Tuhan dengan disuruh “Membaca alam semesta”, kenapa karena pada waktu itu nabi sebagai seorang yang Ummii (tak bisa baca maupun menulis) maka seyogyanya Tuhan menyuruh nabi untuk menemukan kebesaran dan kebenaran-Nya adalah dengan cara membaca alam semesta. Kenapa objek yang dibaca yaitu alam semesta bukan al-Qur’an, karena pada waktu itu al-Qur’an belum diturunkan sekaligus ke dunia serta belum dibukukan (kodifikasi), jadi alam semesta menjadi objek penelitian Nabi untuk ditelaah lebih lanjut. Surat al-‘Allaq ayat 1-5 juga  memberikan gambaran kepada kita  selain membaca alam semesta sekaligus merenungkan alam semesta lewat science maupun teknologi pendukung lain. Dan yang kedua memaknai sejumlah proses penciptaan alam semesta akan memunculkan suatu kebenaran, dan terakhir makna dari surat al-‘Allaq yang diturunkan pada malam nuzulul qur’an yaitu Tuhan akan mengajarkan kepada manusia melalui beragam peralatan baik membaca maupun menulis untuk mengetahui hakikatnya.





[1] Komarudiin Hidayat dan M. Wahyudi N, Agama Masa Depan, (Jakarta: Grammedia Pustaka Utama, 2003), hal. 84
[2]A. Marconi, Bagaimana Alam Semesta Diciptakan, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2003), hal. XV
[3] Purwanto Abd al-Ghaffar, Tuhan Yang Menentramkan Bukan Yang Menggelisahkan, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), hal. 18
[4] Khalil Abdul Karim, Syari’ah: sejarah perkelahian pemaknaan, (Yogyakarta: LKIS, 2003), hal. 15-17
[5] Lihat lebih lengkap redaksi haditsnya dalam kitab Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukharii, (al-Azhar: Daar al-Bayan al-‘Arabi, 1426 H/2005), Juz I, hal. 4. Lihat pula Khalil Abdul Karim, Syari’ah: sejarah perkelahian pemaknaan, (Yogyakarta: LKIS, 2003), hal. 8

[6] Mahmud Syaltut, al-Fatawa, (tp: Daar al-Qolam. Th), hal.  154
[7] QS. Al-Baqarah: 185
[8] QS. Al-Qodar: 3
[9] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fii Ulum al-Qur’an, edisi terjemahan Drs. Mudzakir, (Jakarta: PT. Pustaka Litera Antarnusa, 1996), hal. 151

0 comments:

Post a Comment