Keberadaan
pelanggaran hak normatif terhadap pekerja/buruh terlihat jelas dalam peraturan mengenai ketenagakerjaan, hal itu bisa dilihat dari dua
upaya hukum dalam hukum perburuhan yaitu mekanisme perdata dengan mengajukan
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) serta mekanisme
pidana melalui kepolisian atau pengawas ketenagakerjaan.[2] Lebih
spesifiknya, usaha untuk mengefektikan penegakan hukum ketenagakerjaan
dapat dilakukan oleh pekerja/buruh dengan meningkatkan pemahaman
pekerja/buruh terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan secara utuh sehingga
pekerja/buruh dapat memahami sesuatu mana yang menjadi hak-haknya disamping yang
lainnya. Ada beberapa persoalan besar untuk mewujudkan keadilan serta kesetaraan
dalam hukum perburuhan di Indonesia, secara umum adalah melakukan rekonstruksi
sistem hukum di Indoensia, dalam hal ini terkait hukum perburuhan. Yang mana
sistem hukum dimaknai pada struktur hukum (legislatif,
eksekutif, yudikatif) yang membuat, menjalankan dan pengawasan dalam hukum
perburuhan di Indonesia. Begitu pula substansi hukum yang
seharusnya dimaknai dapat menjaga keadilan seutuhnya. Dan akar budaya hukum[3] yang mesti dihormati bagi pembuat, Penegak
maupun masyarakat seutuhnya. Tak lain adalah langkah awal untuk menciptakan
masyarakat yang adil, setara dan demokratis dalam negara ini.
Melihat sistem
hukum perburuhan di indonesia yang berdimensikan privat dan publik—telah
berimplikasi pada pola penegakan hukum perburuhan itu sendiri. Ini terlihat
pada substansi hukum perburuhan kita, misalnya saja upaya perlindungan
hukum, Intervensi pemerintah terwujud lewat kebijakan dan hukum perburuhan yang
tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan”. Kemudian lewat
perundang-undangan ini diletakkan serangkaian hak, kewajiban dan tanggungjawab
kepada masing-masing pihak, bahkan diantaranya disertai dengan sanksi pidana
dan denda.[4]
Ada beberapa
kelemahan dalam hukum perburuhan di Indonesia, misalnya saja hukum
ketenagakerjaan yang masih terbukanya peluang dan potensi yang dapat menghambat
pemenuhan hak-hak dasar pekerja/buruh, hal ini disebabkan karena banyak
ketentuan mengenai hak-hak pekerja/buruh dalam peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan yang tidak dilindungi dengan penerapan sanksi apabila
pengusaha tidak memenuhinya. Sebagai contoh adalah tidak adanya ketentuan
sanksi Pidana dan/atau sanksi Administratif atas pelanggaran Pasal 64, Pasal 65
dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Pelanggaran ketentuan dan syarat-syarat outsourcing hanya
berupa sanksi perubahan status hubungan kerja dan pertanggungjawaban atas
pemenuhan hak-hak pekerja/buruh saja, artinya masih bersifat intern dan sebatas
niat baik pengusaha, tanpa ada upaya hukum yang bersifat memaksa dan
menimbulkan efek jera bagi pengusaha yang melanggar ketentuan tersebut.[5]
Oleh karena itu
saksi pidana dalam hukum perburuhan sangatlah memungkinkan diterapkan dalam hal
ini, karena tujuan awal dari sanksi pidana itu sendiri merupakan langkah
terakhir apabila seluruh sanksi apapun yang bersifat privat sudah tidak lagi
ditaati.[6] Dan perlu diingatkan pula upaya
memidanakan perusahan ketika melanggar hak-hak buruh secara normatif, seperti pengusaha
melarang hak berserikat pada pekerja/buruh—implikasinya adalah pasal 28 UU
Serikat Pekerja/Serikat Buruh menjadi alat untuk melindungi buruh dalam hal
kebebasan berserikat. Tapi menjadi yang menjadi dilema ketika buruh menjadi
korban kedua dari kasus tersebut yaitu ketika pengusaha dipidana upaya awal
untuk menentukan perjanjian kerjapun terbengkalai.
Pembahasan
Hukum perburuhan
dapat ditegakkan melalui instrument hukum pidana, hukum administrasi
maupun hukum keperdataan.[7] Bahkan juga hukum internasional
turut berpengaruh dalam penegakan hukum perburuhan. Sebagai ilustrasi, ILO
dalam rangka memajukan hak berserikat di Indonesia mengritik kebijakan
Negara yang menghalangi penikmatan hak ini oleh buruh dan selanjutnya
mengirimkan utusan khusus untuk bernegosiasi dan menekan pemerintah
mengubah sikap dan pendiriannya Perselisihan hubungan industrial yang
mengandung unsur pelanggaran
pidana ketenagakerjaan dapat diproses secara bersamaan sesuai
kewenangan lembaga penegak hukum masing-masing, seperti Pengawasan
Depnakertrans atau kepolisian.
Pada dasarnya
Hukum ketenagakerjaan yang mengatur hubungan kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan,
perintah dan upah pada dasarnya merupakan hubungan hukum perdata. Namun, agar
manusia sebagai makhluk Ilahi tidak dieksploitasi dan agar tidak terjadi
pelanggaran hak azasi manusia (HAM), maka dalam pelaksanaan hubungan kerja
Negara melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan ikut campur tangan untuk mengatur
hal-hal tertentu. Disamping itu juga diatur sanksi pidana dalam hal
terjadi tindak pidana dibidang ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pengusaha
terhadap pekerja/buruh. Sanksi pidana dalam Hukum Ketenagakerjaan diatur
dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam
Pasal 183 s/d Pasal 189 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Pasal 43.
Secara umum,
pemidanan dalam hukum perburuhan dibagi dua macam, yaitu terkait dengan
kejahatan dan pelanggaran. Misalnya saja dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dalam Pasal 183 s/d Pasal 189 merupakan ranah kejahatan dan UU.
21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Pasal 43 terkait
pelanggaran. Penegakkan Hukum Pidana Perburuhan merupakan langkah maju
dalam hukum perburuhan Indoensia, namun faktanya sangatlah sedikit perusahan
yang mendapat hukuman pidana ini. Meskipun menjadi sangat dilema manakala para
buruh/serikat sedang memperjuangkan kasus perselisihan hak antara buruh/serikat
dengan pengusaha lewat jalur mediasi, bipatrit ataupun lewat PHI.[8] Namun disaat yang bersamaan ketika usaha-usaha
dalam memperjuangkan hak-hak mereka (pekerja/buruh) dalam kasus yang awalnya
privat—seringkali pengusaha melakukan pemecatan, union busting,
pemotongan pesangon, dll yang pada akhirnya berujung pada kasus pelanggaran
ataupun kejahatan oleh pengusaha. Dalam beberapa kasus di Indonesia terdapat
banyak kasus-kasus seperti ini, tapi lagi-lagi buruh menjadi apatis ketika
bentuk pelanggaran ataupun kejahatan oleh pengusaha tidak ditindaklanjuti oleh
PPK/PPNS sebagai penyelidik/penyidik.
Di beberapa
daerah terkait Pembayaran Upah di bawah UMP seringkali terjadi dan ini
tidak diselidiki oleh pihak yang berwenang, secara normatif pihak pelanggar
(perusahaan) akan dikenakan pidana. Lain halnya dengan Pemberangusan serikat
buruh yang banyak terjadi di beberapa daerah. Padahal awalnya merupakan kasus
perselisihan. Dalam perselisihan, sesuai UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) prosedur yang ditempuh
lewat bipartit dan tripartit (mediasi) termasuk hak mogok atau lock out (penutupan
perusahaan) dan di PHI. Selama proses mediasi atau PHI itu kerap terjadi PHK,
skorsing, dan demosi (penurunan jabatan) yang merupakan pelanggaran Pasal 28 UU
Serikat Pekerja. Dalam kasus seperti adalah merupakan ranah pidana perburuhan,
yang memungkinkan adalah memidanakan perusahaan ketika melanggar hak-hak buruh
sesuai dalam perundang-udangan yang ada, seperti Pasal 183 s/d Pasal 189
UU no. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 43 dalam UU. 21/2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Secara umum
fungsi sanksi pidana dalam hukum ketenagakerjaan adalah sebagai salah satu
sarana untuk menegakkan norma hukum perburuhan dengan memberikan hukuman kepada
pengusaha apabila terjadi tindak pidana ketenagakerjaan. Namun yang menjadi
dilema adalah ketika hukuman pidana tersebut berupa hukuman kurungan terhadap
pengusaha, apakah mungkin itu adalah langkah efektif penegakan hukum
perburuhan? Dan perlu menjadi pertimbangan adalah apakah
penerapan sanksi tersebut tidak akan kontraproduktif manakala sanksi yang
dijatuhkan adalah langsung berupa sanksi pidana penjara, tidak berupa sanksi
pidana denda terlebih dahulu, mengingat terdakwa adalah juga pemilik perusahaan
tersebut yang harus menjalankan kelangsungan roda usaha perusahaan tersebut.
Kesimpulan
Meskipun
terdapat kelemahan dalam hukum perburuhan kita, seperti tidak adanya pengaturan
pemidanaan dalam UU Indoensia ketika outsourcing terjadi diwilayah pekerja inti (core
business). Belum lagi yang terjadi dari kasus penangguhan upah,
memberangusan buruh (union busting) oleh pengusaha serta kasus-kasus lainnya
yang berujung pada pemidanaan dengan memenjarakan pengusaha ketika melanggar
hak-hak mereka. Jika kita sedikit melihat beberapa kasus yang ada, persoalan
pekerja/buruh dengan perusahaan merupakan persoalan privat—tapi menjadi dilema
ketika penerapan privat ini tidak ditaati oleh pengusaha. Seharusnya beberapa
kasus perusahaan yang melanggar tindak pidana, hukuman yang lebih baik yaitu
dengan memidanakan pengusaha lewat sanksi administrasi atau denda. Karena
disatu sisi dia merupakan penggerak perusahaan, oleh karena itu langkah
perselisihan perdata merupakan jalur yang paling moderat. Upaya penegakan hukum
perburuhan dengan memidanakan merupakan upaya sangatlah maju karena disamping
membangun kepercayaan masyarakat kepada hukum serta terhindar pula pada
penyelesaian konflik lewat kekerasan.
Daftar Pustaka
UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Agusmidah dkk. Bab-bab tentang Hukum
Perburuhan Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia. 2012.
Harjono. Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa.
Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2008
Juanda Dkk, Catatan Akademik Rancangan
Undang-undang Pengadilan Hubungan Industrial. Jakarta: Trade Union
Right Centre. 2012
Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana Materil. Jilid
I. Yogyakarta: Kurnia Kalam. 2005
Royen, Uti Ilmu. Perlindung Hukum Terhadap
Pekerja/Buruh Outsourcing (Studi Kasus di Kabupaten Ketapang). Semarang:
Program Pascasarjana Undip. 2009.
YLBHI dan PSHK. Panduan Bantuan Hukum di
Indoensia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007.
[2] Lihat pasal 56 UU No. 2 Tahun
2004 tentang PPHI (Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) sebuah
penyelesaian yang bersifat keperdataan dan sebaliknya Pasal 183-189 UU No. 13
Tentang Ketenagakerjaan, kemudian pasal 43 ayat (1), 48 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah upaya jaminan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dari perusahaan yang bersifat pidana.
[3] Lihat YLBHI dan PSHK, Panduan Bantuan Hukum di Indoensia, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 5
[4] Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, (Sekretaris
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hal. 386
[5] Lihat tesis Uti Ilmu Royen, Perlindung Hukum Terhadap
Pekerja/Buruh Outsourcing (Studi Kasus di Kabupaten Ketapang), (Semarang:
Program Pascasarjana Undip, 2009), hal. 132
[6] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Materil, Jilid I,
(Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), hal. 21
[7] Agusmidah dkk, Bab-bab tentang Hukum Perburuhan Indonesia, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 2012), Hal. 7
[8] Juanda Dkk, Catatan Akademik Rancangan Undang-undang
Pengadilan Hubungan Industrial, (Jakarta: Trade Union Right Centre,
2012), hal. 17
0 comments:
Post a Comment