Translate

Tuesday, 11 June 2013

Pidana Perburuhan: Analisis Penegakkan Hukum Pidana Perburuhan

Keberadaan pelanggaran hak normatif terhadap pekerja/buruh terlihat jelas dalam peraturan mengenai ketenagakerjaan, hal itu bisa dilihat dari dua upaya hukum dalam hukum perburuhan yaitu mekanisme perdata dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) serta mekanisme pidana melalui kepolisian atau pengawas ketenagakerjaan.[2] Lebih spesifiknya, usaha untuk mengefektikan penegakan hukum ketenagakerjaan dapat dilakukan oleh pekerja/buruh dengan meningkatkan pemahaman pekerja/buruh terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan secara utuh sehingga pekerja/buruh dapat memahami sesuatu mana yang menjadi hak-haknya disamping yang lainnyaAda beberapa persoalan besar untuk mewujudkan keadilan serta kesetaraan dalam hukum perburuhan di Indonesia, secara umum adalah melakukan rekonstruksi sistem hukum di Indoensia, dalam hal ini terkait hukum perburuhan. Yang mana sistem hukum dimaknai pada struktur hukum (legislatif, eksekutif, yudikatif) yang membuat, menjalankan dan pengawasan dalam hukum perburuhan di Indonesia. Begitu pula substansi hukum yang seharusnya dimaknai dapat menjaga keadilan seutuhnya. Dan akar budaya hukum[3] yang mesti dihormati bagi pembuat, Penegak maupun masyarakat seutuhnya. Tak lain adalah langkah awal untuk menciptakan masyarakat yang adil, setara dan demokratis dalam negara ini.
Melihat sistem hukum perburuhan di indonesia yang berdimensikan privat dan publik—telah berimplikasi pada pola penegakan hukum perburuhan itu sendiri. Ini terlihat pada substansi hukum perburuhan kita, misalnya saja upaya perlindungan hukum, Intervensi pemerintah terwujud lewat kebijakan dan hukum perburuhan yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan”. Kemudian lewat perundang-undangan ini diletakkan serangkaian hak, kewajiban dan tanggungjawab kepada masing-masing pihak, bahkan diantaranya disertai dengan sanksi pidana dan denda.[4]
Ada beberapa kelemahan dalam hukum perburuhan di Indonesia, misalnya saja hukum ketenagakerjaan yang masih terbukanya peluang dan potensi yang dapat menghambat pemenuhan hak-hak dasar pekerja/buruh, hal ini disebabkan karena banyak ketentuan mengenai hak-hak pekerja/buruh dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang tidak dilindungi dengan penerapan sanksi apabila pengusaha tidak memenuhinya. Sebagai contoh adalah tidak adanya ketentuan sanksi Pidana dan/atau sanksi Administratif atas pelanggaran Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pelanggaran ketentuan dan syarat-syarat outsourcing hanya berupa sanksi perubahan status hubungan kerja dan pertanggungjawaban atas pemenuhan hak-hak pekerja/buruh saja, artinya masih bersifat intern dan sebatas niat baik pengusaha, tanpa ada upaya hukum yang bersifat memaksa dan menimbulkan efek jera bagi pengusaha yang melanggar ketentuan tersebut.[5]
Oleh karena itu saksi pidana dalam hukum perburuhan sangatlah memungkinkan diterapkan dalam hal ini, karena tujuan awal dari sanksi pidana itu sendiri merupakan langkah terakhir apabila seluruh sanksi apapun yang bersifat privat sudah tidak lagi ditaati.[6] Dan perlu diingatkan pula upaya memidanakan perusahan ketika melanggar hak-hak buruh secara normatif, seperti pengusaha melarang hak berserikat pada pekerja/buruh—implikasinya adalah pasal 28 UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh menjadi alat untuk melindungi buruh dalam hal kebebasan berserikat. Tapi menjadi yang menjadi dilema ketika buruh menjadi korban kedua dari kasus tersebut yaitu ketika pengusaha dipidana upaya awal untuk menentukan perjanjian kerjapun terbengkalai.

Pembahasan
Hukum perburuhan dapat ditegakkan melalui instrument hukum pidana, hukum administrasi maupun hukum keperdataan.[7] Bahkan juga hukum internasional turut berpengaruh dalam penegakan hukum perburuhan. Sebagai ilustrasi, ILO dalam rangka memajukan hak berserikat di Indonesia mengritik kebijakan Negara yang menghalangi penikmatan hak ini oleh buruh dan selanjutnya mengirimkan utusan khusus untuk bernegosiasi dan menekan pemerintah mengubah sikap dan pendiriannya Perselisihan hubungan industrial yang mengandung unsur pelanggaran pidana ketenagakerjaan dapat diproses secara bersamaan sesuai kewenangan lembaga penegak hukum masing-masing, seperti Pengawasan Depnakertrans atau kepolisian.
Pada dasarnya Hukum ketenagakerjaan yang mengatur hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, perintah dan upah pada dasarnya merupakan hubungan hukum perdata. Namun, agar manusia sebagai makhluk Ilahi tidak dieksploitasi dan agar tidak terjadi pelanggaran hak azasi manusia (HAM), maka dalam pelaksanaan hubungan kerja Negara melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan ikut campur tangan untuk mengatur hal-hal tertentu. Disamping itu juga diatur sanksi pidana dalam hal terjadi tindak pidana dibidang ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh. Sanksi pidana dalam Hukum Ketenagakerjaan diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Pasal 183 s/d Pasal 189 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Pasal 43.
Secara umum, pemidanan dalam hukum perburuhan dibagi dua macam, yaitu terkait dengan kejahatan dan pelanggaran. Misalnya saja dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Pasal 183 s/d Pasal 189 merupakan ranah kejahatan dan UU. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Pasal 43 terkait pelanggaran. Penegakkan Hukum Pidana Perburuhan merupakan langkah maju dalam hukum perburuhan Indoensia, namun faktanya sangatlah sedikit perusahan yang mendapat hukuman pidana ini. Meskipun menjadi sangat dilema manakala para buruh/serikat sedang memperjuangkan kasus perselisihan hak antara buruh/serikat dengan pengusaha lewat jalur mediasi, bipatrit ataupun lewat PHI.[8] Namun disaat yang bersamaan ketika usaha-usaha dalam memperjuangkan hak-hak mereka (pekerja/buruh) dalam kasus yang awalnya privat—seringkali pengusaha melakukan pemecatan, union busting, pemotongan pesangon, dll yang pada akhirnya berujung pada kasus pelanggaran ataupun kejahatan oleh pengusaha. Dalam beberapa kasus di Indonesia terdapat banyak kasus-kasus seperti ini, tapi lagi-lagi buruh menjadi apatis ketika bentuk pelanggaran ataupun kejahatan oleh pengusaha tidak ditindaklanjuti oleh PPK/PPNS sebagai penyelidik/penyidik.
Di beberapa daerah terkait Pembayaran Upah di bawah UMP seringkali terjadi dan ini tidak diselidiki oleh pihak yang berwenang, secara normatif pihak pelanggar (perusahaan) akan dikenakan pidana. Lain halnya dengan Pemberangusan serikat buruh yang banyak terjadi di beberapa daerah. Padahal awalnya merupakan kasus perselisihan. Dalam perselisihan, sesuai UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) prosedur yang ditempuh lewat bipartit dan tripartit (mediasi) termasuk hak mogok atau lock out (penutupan perusahaan) dan di PHI. Selama proses mediasi atau PHI itu kerap terjadi PHK, skorsing, dan demosi (penurunan jabatan) yang merupakan pelanggaran Pasal 28 UU Serikat Pekerja. Dalam kasus seperti adalah merupakan ranah pidana perburuhan, yang memungkinkan adalah memidanakan perusahaan ketika melanggar hak-hak buruh sesuai dalam perundang-udangan yang ada, seperti Pasal 183 s/d Pasal 189 UU no. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 43 dalam UU. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Secara umum fungsi sanksi pidana dalam hukum ketenagakerjaan adalah sebagai salah satu sarana untuk menegakkan norma hukum perburuhan dengan memberikan hukuman kepada pengusaha apabila terjadi tindak pidana ketenagakerjaan. Namun yang menjadi dilema adalah ketika hukuman pidana tersebut berupa hukuman kurungan terhadap pengusaha, apakah mungkin itu adalah langkah efektif penegakan hukum perburuhan?  Dan perlu menjadi pertimbangan adalah apakah penerapan sanksi tersebut tidak akan kontraproduktif manakala sanksi yang dijatuhkan adalah langsung berupa sanksi pidana penjara, tidak berupa sanksi pidana denda terlebih dahulu, mengingat terdakwa adalah juga pemilik perusahaan tersebut yang harus menjalankan kelangsungan roda usaha perusahaan tersebut.

Kesimpulan
Meskipun terdapat kelemahan dalam hukum perburuhan kita, seperti tidak adanya pengaturan pemidanaan dalam UU Indoensia ketika outsourcing terjadi diwilayah pekerja inti (core business). Belum lagi yang terjadi dari kasus penangguhan upah, memberangusan buruh (union busting) oleh pengusaha serta kasus-kasus lainnya yang berujung pada pemidanaan dengan memenjarakan pengusaha ketika melanggar hak-hak mereka. Jika kita sedikit melihat beberapa kasus yang ada, persoalan pekerja/buruh dengan perusahaan merupakan persoalan privat—tapi menjadi dilema ketika penerapan privat ini tidak ditaati oleh pengusaha. Seharusnya beberapa kasus perusahaan yang melanggar tindak pidana, hukuman yang lebih baik yaitu dengan memidanakan pengusaha lewat sanksi administrasi atau denda. Karena disatu sisi dia merupakan penggerak perusahaan, oleh karena itu langkah perselisihan perdata merupakan jalur yang paling moderat. Upaya penegakan hukum perburuhan dengan memidanakan merupakan upaya sangatlah maju karena disamping membangun kepercayaan masyarakat kepada hukum serta terhindar pula pada penyelesaian konflik lewat kekerasan.

Daftar Pustaka
UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Agusmidah dkk. Bab-bab tentang Hukum Perburuhan IndonesiaJakarta: Universitas Indonesia. 2012.
Harjono. Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa. Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2008
Juanda Dkk, Catatan Akademik Rancangan Undang-undang Pengadilan Hubungan Industrial. Jakarta: Trade Union Right Centre. 2012
Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana Materil. Jilid I. Yogyakarta: Kurnia Kalam. 2005
Royen, Uti Ilmu. Perlindung Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Outsourcing (Studi Kasus di Kabupaten Ketapang). Semarang: Program Pascasarjana Undip. 2009.
YLBHI dan PSHK. Panduan Bantuan Hukum di Indoensia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007.

[1] Tema ini pernah dipersentasikan pada diskursus hukum di KOMPAK 2013
[2] Lihat pasal 56 UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI (Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) sebuah penyelesaian yang bersifat keperdataan dan sebaliknya Pasal 183-189 UU No. 13 Tentang Ketenagakerjaan, kemudian pasal 43 ayat (1), 48 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah upaya jaminan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dari perusahaan yang bersifat pidana.
[3] Lihat YLBHI dan PSHK, Panduan Bantuan Hukum di Indoensia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 5
[4] Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, (Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hal. 386
[5] Lihat tesis Uti Ilmu Royen, Perlindung Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Outsourcing (Studi Kasus di Kabupaten Ketapang), (Semarang: Program Pascasarjana Undip, 2009), hal. 132
[6] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Materil, Jilid I, (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), hal. 21
[7] Agusmidah dkkBab-bab tentang Hukum Perburuhan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2012), Hal. 7
[8] Juanda Dkk, Catatan Akademik Rancangan Undang-undang Pengadilan Hubungan Industrial, (Jakarta: Trade Union Right Centre, 2012), hal. 17


0 comments:

Post a Comment