Baru-baru ini merebak kembali preseden[1] bahwa pendidikan
sebagai basis tata nilai serta basic-norm
sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang ideal. Pendidikan yang awalnya sebagai
basis agent of change atau regeneration bangsa mulai kehilangan
jati dirinya. Ada beberapa hal yang menjustifikasi
itu, salah satunya adalah terdapatnya rentetan pristiwa yang kemudian menjadi
preseden besar bagi kita. Tragedi kekerasan yang melibatkan institusi pendidikan bukanlah hal
yang sepele. Ada yang perlu dicermati pada gerak Kekerasan belakangan ini, yaitu gerak struktural berubah menjadi gerak aktoral dalam satu
segitiga metamorfosa pendidikan.[2] Pristiwa
datang dari Negara kepada rakyatnya (kekerasan-struktural) bermetamorfosa pada
kekerasan aktoral. Ada sejumlah grand
design bahwa balutan negara dengan begitu sistemik merubah pola-pola struktural[3]—menjadi
kekerasan aktoral.
Pristiwa naas tawuran merebak terjadi dilakukan oleh sekolompok pelajar dengan gaya anarki-kekerasan— kepada
sekelompok pelajar lainnya, seolah tak mendapat perhatian serius oleh negara. Ini
terlihat bahwa Negara membiarkan (by omission) terhadap pristiwa yang
paling menyedihkan di negeri ini. Negara
semestinya (have to) membuat produk manusia atas nama
istitusi pendidikan menuju perdamaian, peradaban, martabat serta humanitas bukan sebalinya. Namun
itu hanya bunyi yang tak terlihat (flatus
voice) dalam amanat amanden ke-4 Undang-undang Dasar 1945 kita.
Ada yang perlu
ditelusuri lebih lanjut mengapa pristiwa kekerasan di kalangan pelajar merebak ke
mana-mana? beberapa indikasi kita akan petakan di sini yaitu, Pertama tuntutan Negara dalam pendidikan
yang masih berorintasi kognisi ketika melihat kecerdasan sebagai basis
kesuksesan, yang pada akhirnya pelajar yang kurang mendalami dala hal kognisi akan
menjadi aktor alenasi dan secara bertahap dia akan terkena kekerasan aleanatif
menurut Prof Jamil Salim[4]. Kekerasan
aleanatif ini perlu diamati lebih dalam karena dari kekerasan inilah
bermetamorfosa dari structural menjadi kekerasan aktoral. Lebih jelasnya
tawuran yang terjadi adalah salah satu bentuk ekspresi yang tidak terkejewantahkan lewat intitusi
pendidikan baik dalam materi, kurikulum, pengajaran – fed-back, ataupun managemen bentuk ekspresi lainnya. Kedua adalah atribusi zaman yang sudah
mengalami pergeseran dari makna otoriterian menuju reformian yang akibatnya adalah
rakyat mempunyai kewenangan penuh dalam membuat rentetan keputusan dengan
mengatasnamakan kekerasan adalah legitimasinya. Ketiga, pola sistem pengajaran dalam pendidikan yang masih bergaya top-down yang menjadi arus adanya sistem timokrasi,
yang akhirnya pelajar menyerap sistem gaya top down itu untuk melakukan
inferiorisasi[5]
kembali kepada orang lain. Ke empat yaitu kebebasan yang dimaknai secara peyoratif
oleh pihak yang berkepentingan (stake
holder) dalam hal ini oleh institusi pendidikan, padahal menungutip Imanuel
Kant (abad ke-18) bahwa Kebebasan merupakan suatu postulat, Ia bukan merupakan
sesuatu yang dapat dibuktikan, melainkan pengandaian metafisis yang perlu agar
moralitas menjadi mungkin,[6] artinya
dapat disimpulkan bahwa kekebasan adalah naluri dasar yang perlu dikooptasi
oleh intitusi pendidikan, jika tidak, ekspresi kebebasan itu berkeliaran secara
peyoratif atau dengan konotasi tawuran adalah alternatif bentukan ekspresi bukan
tidak mungkin ia juga merupakan rentetan pengejewantahan timokrasi-ekspresi
berkreasi dalam hegemoni kelompok yang menurutnya mengganggu secara internal.
Dari beragam penulusuran di atas terdapat beberapa titik yang menjadi
akar-akar kekerasan dapat di identifikasi. Pertama
kekerasan sebagai tindakan actor atau kelompok. Kelompok ini dipelopori ahli
biologi, fisiologi dan sebagainya yang berpendapat bahwa manusia secara
kedirian dapat menimbulkan kekerasan karena kecenderungan bawaan (innet) atau sebagai konseksuensi dari kelainan genetik atau fisiologis
(seperti teori mark twain). Mereka meneliti hubungan kekerasan dengan keadaan
biologis sebagai factor (cause prime) penyebab
kekerasan (violence). Kedua, kekerasan sebagai bentukan dari
tindakan struktur (nation). Pendapat ini lebih menekankan bahwa akar-akar
kekerasan ada karena struktur (baca: Negara) yang menyebabkan itu. Seperti teorinya J. Galtung ketika
menjelaskan “kekerasan” sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang
terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Dan terakhir yang berendapat bahwa kekerasan
sebagai jejaringan antara aktor dengan struktur berkelindan. Asumsi kelompok
ini ialah konflik kekerasan bersifat endemik bagi kehidupan masyarakat (konflik
sebagai sesuatu yang ditentukan)[7], ada
sejumlah alat alternatif untuk menyatakan/menyampaikan konflik social, untuk
menyampaikan masalah kekerasan dengan efektif diperlukan perubahan dalam
organisasi/kelompok dan individu. Pandangan geneologi kekerasan ini pula
terdapat bentuk dialektika antara kekerasan actor serta kekerasan structural
sebagai akumulasi bentuk pengejewantahannya.
Kesimpulan
Setelah
membedah teori kecil mengenai akar-akar kekerasan itu hadir, dapat ditarik
kesimpulannya adalah bahwa mengenai kekerasan yang hari-hari dilakukan oleh
sekelompok atau oknum pelajar perlu didekati dengan menggunakan pendekatan
intra-disipliner karena hanya dengan pendekatan intra-disipliner inilah
kekerasan yang setiap hari akan diminimalisir dan pendekatan ini pula menjadi
sebuah alternatif ketika paradigma dominan menjadi sebuah pisau analisa mapan. Secara
praksis, yang perlu dibenahi ketika melihat kekerasan dalam domain pelajar
mulai dari, prima pendekatan yang melibatkan intitusi pendidikan (substansi,
kurikulum, falsafat pendidikan, dll) menjadi prioritas utama pembenahan dini.
Secundura pendekatan, pendekatan ini lebih kepada upaya preventif Negara-aktor
ketika melihat preseden superioritas kekerasan
menjadi jalan akhir dari sebuah peradaban manusia.
[1]
Preseden adalah istilah dalam sosiologi yang berarti kumpulan dari beragam
pristiwa yang menjadi asumsi primer pandangan seseorang atau mengeneralisir
sebuah fakta sosial dengan rentetan sebuah pristiwa.
[2]
Saya menyebutkan di sini 1
segitiga metamorfosa kekerasan dalam pendidikan, karena pristiwa
aktoral/kelompok yang berdimensi intitusional.
[3]
Jamil Salmi, Violence and Democratik Society, (Yogyakarta:
Pilar Media, 2005), hal. 43
[4]
Kekerasan aleantif ini merujuk
pada hak-hak yang lebih tinggi, misalnya hak pertumbuhan kejiwaan (emosi), budaya atau inteketual (right to emotional, cultural or intellectual
growth). Jamil Salmi, ___________ (Yogyakarta:
Pilar Media, 2005), hal. 38
[5]
Pengkerdilan atau subordinasi
yang secara bertahap dengan gaya top-down, baik subordinasi lewat fisik, ras,
budaya, agama, stratafikasi social, dll. Proses inferiorirasasi dilakukan
secara sistematis dan dilakukan secara terus menerus akan berakibat fatal,
seperti dia akan menerima inferior atau juga meng-inferiorisasi kepada orang
lain. Bandingkan Rhoda E Howard: HAM
Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, (Jakarta: Grafiti, 2000), hal. 233
[6]
KOntras, Menolak Kekerasan Merawat Kebebasan, (Jakarta: Kontras, 2010), hal.
19
[7]
Tomas santoso, Kekerasan Agama Tanpa Agama, (Jakarta:
PT Pustaka Utan Kayu, 2002), hal. 2
0 comments:
Post a Comment