Translate

Monday, 10 June 2013

Menelusuri Akar-Akar Kekerasan Dikalangan Pelajar

Baru-baru ini merebak kembali preseden[1] bahwa pendidikan sebagai basis tata nilai serta basic-norm sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang ideal. Pendidikan yang awalnya sebagai basis agent of change atau regeneration bangsa mulai kehilangan jati dirinya. Ada beberapa hal yang menjustifikasi itu, salah satunya adalah terdapatnya rentetan pristiwa yang kemudian menjadi preseden besar bagi kita. Tragedi kekerasan yang melibatkan institusi pendidikan bukanlah hal yang sepele. Ada yang perlu dicermati pada gerak Kekerasan belakangan ini, yaitu gerak struktural berubah menjadi gerak aktoral dalam satu segitiga metamorfosa pendidikan.[2] Pristiwa datang dari Negara kepada rakyatnya (kekerasan-struktural) bermetamorfosa pada kekerasan aktoral. Ada sejumlah grand design bahwa balutan negara dengan begitu sistemik merubah pola-pola struktural[3]—menjadi kekerasan aktoral.
Pristiwa naas tawuran merebak terjadi dilakukan oleh sekolompok pelajar  dengan gaya anarki-kekerasan— kepada sekelompok pelajar lainnya, seolah tak mendapat perhatian serius oleh negara. Ini terlihat bahwa Negara membiarkan (by omission) terhadap pristiwa yang paling menyedihkan di negeri ini. Negara semestinya (have to) membuat produk manusia atas nama istitusi pendidikan menuju perdamaian, peradaban, martabat serta humanitas bukan sebalinya. Namun itu hanya bunyi yang tak terlihat (flatus voice) dalam amanat amanden ke-4 Undang-undang Dasar 1945 kita.
Ada yang perlu ditelusuri lebih lanjut mengapa pristiwa kekerasan di kalangan pelajar merebak ke mana-mana? beberapa indikasi kita akan petakan di sini yaitu, Pertama tuntutan Negara dalam pendidikan yang masih berorintasi kognisi ketika melihat kecerdasan sebagai basis kesuksesan, yang pada akhirnya pelajar yang kurang mendalami dala hal kognisi akan menjadi aktor alenasi dan secara bertahap dia akan terkena kekerasan aleanatif menurut Prof Jamil Salim[4]. Kekerasan aleanatif ini perlu diamati lebih dalam karena dari kekerasan inilah bermetamorfosa dari structural menjadi kekerasan aktoral. Lebih jelasnya tawuran yang terjadi adalah salah satu bentuk ekspresi yang tidak terkejewantahkan lewat intitusi pendidikan baik dalam materi, kurikulum, pengajaran – fed-back, ataupun managemen bentuk ekspresi lainnya. Kedua adalah atribusi zaman yang sudah mengalami pergeseran dari makna otoriterian menuju reformian yang akibatnya adalah rakyat mempunyai kewenangan penuh dalam membuat rentetan keputusan dengan mengatasnamakan kekerasan adalah legitimasinya. Ketiga, pola sistem pengajaran dalam pendidikan yang masih bergaya top-down yang menjadi arus adanya sistem timokrasi, yang akhirnya pelajar menyerap sistem gaya top down itu untuk melakukan inferiorisasi[5] kembali kepada orang lain. Ke empat  yaitu kebebasan yang dimaknai secara peyoratif oleh pihak yang berkepentingan (stake holder) dalam hal ini oleh institusi pendidikan, padahal menungutip Imanuel Kant (abad ke-18) bahwa Kebebasan merupakan suatu postulat, Ia bukan merupakan sesuatu yang dapat dibuktikan, melainkan pengandaian metafisis yang perlu agar moralitas menjadi mungkin,[6] artinya dapat disimpulkan bahwa kekebasan adalah naluri dasar yang perlu dikooptasi oleh intitusi pendidikan, jika tidak, ekspresi kebebasan itu berkeliaran secara peyoratif atau dengan konotasi tawuran adalah alternatif bentukan ekspresi bukan tidak mungkin ia juga merupakan rentetan pengejewantahan timokrasi-ekspresi berkreasi dalam hegemoni kelompok yang menurutnya mengganggu secara internal.
Dari beragam penulusuran di atas terdapat beberapa titik yang menjadi akar-akar kekerasan dapat di identifikasi. Pertama kekerasan sebagai tindakan actor atau kelompok. Kelompok ini dipelopori ahli biologi, fisiologi dan sebagainya yang berpendapat bahwa manusia secara kedirian dapat menimbulkan kekerasan karena kecenderungan bawaan (innet) atau sebagai konseksuensi dari kelainan genetik atau fisiologis (seperti teori mark twain). Mereka meneliti hubungan kekerasan dengan keadaan biologis sebagai factor (cause prime) penyebab kekerasan (violence). Kedua, kekerasan sebagai bentukan dari tindakan struktur (nation). Pendapat ini lebih  menekankan bahwa akar-akar kekerasan ada karena struktur (baca: Negara) yang  menyebabkan itu. Seperti teorinya J. Galtung ketika menjelaskan “kekerasan” sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Dan terakhir yang berendapat bahwa kekerasan sebagai jejaringan antara aktor dengan struktur berkelindan. Asumsi kelompok ini ialah konflik kekerasan bersifat endemik bagi kehidupan masyarakat (konflik sebagai sesuatu yang ditentukan)[7], ada sejumlah alat alternatif untuk menyatakan/menyampaikan konflik social, untuk menyampaikan masalah kekerasan dengan efektif diperlukan perubahan dalam organisasi/kelompok dan individu. Pandangan geneologi kekerasan ini pula terdapat bentuk dialektika antara kekerasan actor serta kekerasan structural sebagai akumulasi bentuk pengejewantahannya.
Kesimpulan
Setelah membedah teori kecil mengenai akar-akar kekerasan itu hadir, dapat ditarik kesimpulannya adalah bahwa mengenai kekerasan yang hari-hari dilakukan oleh sekelompok atau oknum pelajar perlu didekati dengan menggunakan pendekatan intra-disipliner karena hanya dengan pendekatan intra-disipliner inilah kekerasan yang setiap hari akan diminimalisir dan pendekatan ini pula menjadi sebuah alternatif ketika paradigma dominan menjadi sebuah pisau analisa mapan. Secara praksis, yang perlu dibenahi ketika melihat kekerasan dalam domain pelajar mulai dari, prima pendekatan yang melibatkan intitusi pendidikan (substansi, kurikulum, falsafat pendidikan, dll) menjadi prioritas utama pembenahan dini. Secundura pendekatan, pendekatan ini lebih kepada upaya preventif Negara-aktor ketika melihat preseden superioritas  kekerasan menjadi jalan akhir dari sebuah peradaban manusia.



[1] Preseden adalah istilah dalam sosiologi yang berarti kumpulan dari beragam pristiwa yang menjadi asumsi primer pandangan seseorang atau mengeneralisir sebuah fakta sosial dengan rentetan sebuah pristiwa.
[2] Saya menyebutkan di sini 1 segitiga metamorfosa kekerasan dalam pendidikan, karena pristiwa aktoral/kelompok yang berdimensi intitusional.
[3] Jamil Salmi, Violence and Democratik Society, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hal. 43
[4] Kekerasan aleantif ini merujuk pada hak-hak yang lebih tinggi, misalnya hak pertumbuhan kejiwaan (emosi), budaya atau inteketual (right to emotional, cultural or intellectual growth). Jamil Salmi, ___________ (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hal. 38
[5] Pengkerdilan atau subordinasi yang secara bertahap dengan gaya top-down, baik subordinasi lewat fisik, ras, budaya, agama, stratafikasi social, dll. Proses inferiorirasasi dilakukan secara sistematis dan dilakukan secara terus menerus akan berakibat fatal, seperti dia akan menerima inferior atau juga meng-inferiorisasi kepada orang lain. Bandingkan Rhoda E Howard: HAM Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, (Jakarta: Grafiti, 2000), hal. 233
[6] KOntras, Menolak Kekerasan Merawat Kebebasan, (Jakarta: Kontras, 2010), hal. 19
[7] Tomas santoso, Kekerasan Agama Tanpa Agama, (Jakarta: PT Pustaka Utan Kayu, 2002), hal. 2

0 comments:

Post a Comment