Translate

Tuesday, 11 June 2013

Perkawinan Beda Agama Analisis Tafsir

Oleh Muhamad Daerobi[1]

Tulisan ini adalah kegundahan yang selama ini saya rasakan ketika masih duduk dalam bangku sekolah, ia tetap saja rancu ketika saya hanya berkutat pada sisi tekstual saja, untuk itu saya mecoba akan menyajikannya mulai dari referensi orang-orang skriptural hingga liberal, yang konon dua aliran ini tetap saja masih paradoks dalam memandang nikah beda agama. Skripturalisme mungkin memahami lebih pada tekstual kitab saja, tanpa mengindahkan sisi ta’aquli setiap orang, begitu juga dengan penganut liberalisme, mereka lebih senang ketika hukum harus dijunjung tinggi dengan kemaslahatan rasionalitas dari pada tendensi tekstual yang memang sudah dilakukan sejak dulu. Akibatnya dari dua kubu yang besar ini setiap golongan lebih senang dengan mempertahankan pendapatnya atau akan cenderung pada apologetik (the truth of claims), padahal wajah Islam yang dicontohkan oleh Rasulllah bukanlah seperti demikian, akan tetapi lebih senang saling-mengisi dan mengisi.
Islam memang memiliki dualisme kehidupan di mata setiap orang. Para orientalis akan memandang Islam sebagai agama yang tak memikirkan nilai-nilai kemanusiaan atau lebih senang mereka menamakannya dengan agama yang dehumanisme. Bagi penganut Islam sendiri melihat bahwa Islam adalah agama yang syarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dari dualisme inilah yang mungkin menurut saya sendiri perlu dibenahi, reinterpretasi dan dikonstruksi untuk mengetahui kapan kita harus ta’abudi dan kapan kita harus ta’aquli. Untuk lebih menariknya saya akan membedah lewat disiplin ilmu yang dikembangkan oleh para pemikir dahulu seperti S. Freud, Gustav, Eric Froom dan banyak lagi pemikir lainnya yang menggunakan pisau analisnya dengan “psiko-sosial” ketika menjelaskan ajaran agama.
A.    Ayat tentang Nikah Beda Agama
1.    Surat al-Baqarah: 221
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôtƒ n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôtƒ n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãƒur ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbr㍩.xtGtƒ ÇËËÊÈ

Artinya: Dan jangalah kamu nikahi wanita-wanita  yang musyrikah (penyembah berhala) sehingga mereka beriman; karena sesungguhnya budak wanita yang beriman lebih baik daripada wanita-wanita musyrikah, walaupun wanita musyrikah itu menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang-orang musyrik ­­­­­­­­­­­­­­­­­­­dengan wanita muslimah, sehingga mereka beriman, lebih baik dari pada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka menyeru jodohnya ke neraka, sedang Allah menyerumu dengan perantaraan Rasul ke Syurga dan Ampunan dengan perintah-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka dapat pengajaran dari padanya. [2]

2.    Surat al-Mumtahanah: 10
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ãNà2uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# ;NºtÉf»ygãB £`èdqãZÅstGøB$$sù ( ª!$# ãNn=÷ær& £`ÍkÈ]»yJƒÎ*Î/ ( ÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB Ÿxsù £`èdqãèÅ_ös? n<Î) Í$¤ÿä3ø9$# ( Ÿw £`èd @@Ïm öNçl°; Ÿwur öNèd tbq=Ïts £`çlm; ( Nèdqè?#uäur !$¨B (#qà)xÿRr& 4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ br& £`èdqßsÅ3Zs? !#sŒÎ) £`èdqßJçG÷s?#uä £`èduqã_é& 4 Ÿwur (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ̍Ïù#uqs3ø9$# (#qè=t«óur !$tB ÷Läêø)xÿRr& (#qè=t«ó¡uŠø9ur !$tB (#qà)xÿRr& 4 öNä3Ï9ºsŒ ãNõ3ãm «!$# ( ãNä3øts öNä3oY÷t/ 4 ª!$#ur îLìÎ=tæ ÒOŠÅ3ym ÇÊÉÈ

Artinya: Wahai sekalian yang beriman, apabila apabila perempuan-perempuan yang beriman datang kepadamu selaku muhajirah dari Mekah ke Madinah, maka ujialah mereka;[3] Allah lebih mengetahui perihal keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwasannya mereka perempuan-perempuan yang beriman  berdasarkan sumpah umpamanya, maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada orang-orang yang tidak beriman (suami  mereka yang tetap dalam keadaan kafir)[4]. Wanita-wanita itu tidak halal bagi orang-orang yang tidak beriman dan orang-orang yang tidak beriman tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada orang-orang yang tidak beriman itu (suami-suami dari wanita yang telah Islam itu) apa yang mereka telah nafkahkan (maskawinnya)[5]; tak ada suatu keberatan atasmu jika kamu menikahi mereka[6] apabila kamu berikan kepadanya mas kawinnya. Dan janganlah kamu memegangi pertalian nikahmu dengan wanita-wanita kafir itu[7], dan mintalah yang kamu nafkahkan[8], dan orang-orang yang tidak beriman itu hendaklah meminta apa yang telah mereka nafkahkan[9]. Itulah hukum Allah, Dia memberikan keputusan di antara kamu; dan Allah senantiasa menyelesaikan sesuatu sesuai dengan hikmah.[10]

B.     Sebab-sebab Turunnya Ayat (Asbabun Nuzul)
1.      Surat al-Baqarah: 221
Dalam Tafsir al-Jalalain bahwa sebab turunnya ayat ini adalah di mana ketika seseorang yang ingin menikahi budak merdeka tetapi musyrik, oleh sebab itu ayat ini turun untuk melarangnya.[11] Dalam suatu riwayat lain, dikemukakan bahwa turunya ayat ini yaitu wa laa tangkihu al-musrikaati hatta yu’minn……(Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik, sebelum bemanariman.....(Q.S. 2: 221). Ayat ini sebagai petunjuk atas permohonan Ibnu Abi Murtsid al-Ghanawi yang meminta izin kepada Nabi Saw. untuk  menikah dengan seorang wanita musrik yang cantik dan terpandang. (Diriwatkan oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Abu Hatim dan al-Wahidi, yang bersumber dari Muqatil).[12]
Dalam riwayat lain dikemukakan pula, bahwa kelanjutan ayat tersebut di atas, mulai dari ….wa la amatum mu’minatun khair…(sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik…(Q.S. 2: 221), berkenaan dengan ‘Abdullah bin Rawahah yang mempunyai seorang hamba sahaya yang hitam. Pada saat waktu ia marah kepadanya, sampai menamparnya. Ia menyesal kejadian itu, lalu menghadap Nabi Saw. untuk menceritakan hal itu seraya berkata: “Saya akan memerdekakan dia dan mengawininya. Ayat ini juga menegaskan bahwa kamin dengan seorang hamba sahaya muslimah, lebih baik dari pada kamin dengan wanita musrik. Diriwayatkan oleh al-Wahidi dari as-Suddi, dari Abu Malik, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Dan Diriwayatkan pula oleh Ibn Jarir yang bersumber dari as-Suddi. Hadits ini Munqathi.[13]
2.      Surat al-Mumtahanah: 10
Dalam suatu riwayat dikemukakan, setelah Rasulullah Saw. membuat perjanjian hudaibiyyah dengan kaum kadir Quraisy, datanglah wanita-wanita mukminat dari Mekah. Maka turunlah ayat ini, yang memerintahkan untuk menguji dahulu wanita-wanita yang hijrah itu, dan setelah jelas keimanan mereka, tidak boleh dikembalikan ke Mekah. Diriwayatkan oleh as-Syaikhaan (al-Bukhari dan Muslim), yang bersumber dari al-Miswar bin al-Hakam.[14]
Dalam riwayat lain pula dikemukakan, setelah penandatanganan perjanjian hudaibiyyah, Ummu Kaltsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu’aith berhijrah dari Mekah ke Madinah. Kedua saudaranya yang bernama ‘Imarah bin ‘Uqbah dan al-Walid bin ‘Uqbah menyusul Ummu Kaltsum (saudaranya). Keduanya meminta agar Ummu Kaltsum diserahkan kembali kepada mereka. Dengan turunnya ayat ini, Allah membatalkan perjajian Rasulullah dan Kaum Musyrikin, khusus tentang wanita-wanita, yaitu melarang kaum wanita yang beriman dikembalikan kaum musyrikin. (Diriwayatkan oleh at-Thabrani dengan sanad lemah, yang bersumber dari ‘Abdullah bin Abi Ahmad.[15]
Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Mani’ dari al-Kalbi, dari ‘Abi Shalih, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas, bahwa ayat ini diturunkan ketika ‘Umar bin Khatab masuk Islam, akan tetapi istrinya masih mengikuti pihak kaum musyrikin, yang melarang kaum mukminin berpegang pada perkawinan dengan wanita kafir.[16]

C.    Tafsir Ijmali
Surat al-Baqarah ayat 221 ini menjelaskan tentang orang-orang muslim tidak diperbolehkan mengawini/menikahi wanita-wanita musyrik karena kekafirannya, sebelum dia beriman kepada Allah dan Rasul-nya, dan budak mu’min lebih baik dari pada wanita musyrik walaupun dia menarik bagimu karena kecantikannya dan hartanya, terkecuali ahli kitab yang diterangkan pada surat al-Maidah ayat 5, yaitu wanita yang menjaga kehormatannya (muhshanah), menganut agama samawi (Yahudi dan Nasrani) sebelum Islam datang.[17] Dan janganlah kamu sekalian para wali menikahkan (mengawinkan) orang-orang musyrik (lk) dengan wanita mukminah, sebelum mereka orang-orang musyrik beriman terlebih dahulu. Budak yang mukmin lebih baik dari pada orang-orang musyrik, walaupun itu menarik hatimu karena hartanya, ketampanannya. Dan Mereka orang-orang musyrik mengajak ke Neraka, karena ajakan mereka diperintahkan untuk tidak taat kepada kewajiban yang ada di Islam, sebab itulah tidak pantas untuk menikahkah orang musyrik dengan wanita mukminah. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka dapat pengajaran dari padanya.[18]
Dan adapun dalam surat al-Mumtahanah ayat 10 Allah SWT menyatakan kepada orang-orang mukmin maksudnya sebagai berikut: “Hai orang-orang mukmin, apabila ada perempuan-perempuan mukminah datang kepadamu dari Daarul Kufri ke Daarul Islam, demi menyelamatkan keagamaan mereka dan demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ujilah lebih dahulu keimanan mereka itu, supaya kamu yakin betul apakah mereka itu betul-betul simpati kepada Islam atau tidak? Ataukah barang kali mereka itu sekedar lari dari suami-suami mereka kerena pamrih harta duniawi atau karena  mencintai seseorang.
Jika kamu yakin  bahwa mereka itu betul-betul beriman berdasarkan fakta dan data, maka janganlah kamu kembalikan dia kepada orang-orang kafir, sebab Allah tidak memperkenankan seorang mukminah kawin dengan laki-laki kafir. Sedangkan mahar yang pernah diberikan oleh orang-orang kafir kepada istrinya itu hendaklah kamu kembalikan. Dan kamu sendiri tidak berdosa untuk mengawini mereka dengan mahar baru lagi, sesudah hak-hak mereka itu kamu tuntaskan.
Dan siapa yang mempunyai istri kafir yang belum mau hijrah bersama suaminya, maka dia tidak dianggap bersuami istri dengan perkawinan seperti ini. Perlindungan pernikahan antara keduanya itu menjadi retak lantaran kekufuran ini, dan akad pernikahannya pun menjadi rusak. Sebab Islam tidak memperkenankan seorang Muslim kawin dengan perempuan musyrik/kafir. Lalu siapa pun yang murtad, dan lari dari daerah kafir, maka perlakukanlah dia itu seperti seperti perlakukanmu terhadap perempuan musyrikah. Pernikahan pun menjadi batal lantaran murtad, dan perempuan tersebut tidak lagi layak berada dalam perlidungan mukmin. Oleh karena itukamu berhak menuntut mahar yang telah kamu berikan kepada mereka yang kini lari ke daerah kafir itu, sebagaimana halnya mereka berhak meminta kembali mahar yang telah mereka berikan kepada istri-istri mereka yang kini hijrah itu.[19]
Begitulah hukum Allah disyari’atkan kepada kamu. Oleh karena itu jangan kamu lawan dan jangan kamu langgar dengan hukum lain, sebab Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana. Yaitu Allah tidak mensya’riatkan sesuatu yang tidak mengandung hikmah yang besar.[20]

D.    Penjelasan Ayat (Tasrih al-Ayaat)
Masalalah perkawinan adalah masalah yang sangat sakral, karena dia tidak saja hanya berurusan dengan masalah biologis semata, akan tetapi ekonomi, teologis, psikologis dan sosial. Sebab itulah Islam datang dengan memberikan banyak problem solving, di mana kondisi sosio-historis sebelum Islam datang masalah perkawinan belum diatur begitu sistematis. Di sinilah Islam sebagai agama yang Yu’la wala Ya’lu, harus bisa memecahkan permasalah yang dihadapi oleh manusia.
Yang dimaksud dengan perkawinan beda agama adalah perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam (pria/wanita).[21] Mengenai masalah ini Islam membedakan hukumnya sebagai berikut:
1.      Perkawinan antara seorang muslim dengan orang musyrik;
2.      Perkawinan antara seorang pria muslim dengan ahlul kitab;
3.      Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria ahlul kitab.
4.      Perkawinan antara Orang Islam baik (lk/pr) dengan non muslim
Pendapat yang pertama adalah perkawinan antara seorang muslim dengan musyrik, yang mana agama Islam mengharamkan bentuk perkawinan seperti ini, karena sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S: al-Baqarah: 211 yang berbunyi:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Para Mufasir sepakat dengan pengharaman perkawinan seorang yang muslim dengan orang yang musyrik baik perempuan atau laki-laki,[22] disebabkan karena mereka menyembah api, berhala (paganisme), mengaku ‘Uzair anak Tuhan  dan ‘Isa anak Tuhan.[23] Tetapi dikalangan mufasir timbul beberapa pendapat tentang siapakah musyrikah yang dilarang untuk dikawini itu. Menurut Ibn Jarir al-Thabari (seorang ahli tafsir), bahwa musyrikah yang dilarang untuk dikawini itu ialah Musyrikah dari bangsa Arab saja, karena Bangsa Arab pada waktu turunnya al-Qur’an memang tidak Mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini, seorang Muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non-Arab, seperti Cina, India dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci, seperti pemeluk agama Budha, Hindu, Konghuchu, yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, percaya adanya sesudah mati, dan sebagainya. Muhammad Abduh Juga berpendapat seperti ini.[24]
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua Musyrikah baik dari Bangsa Arab ataupun non-Arab, selain Ahlul Kitab, yakni Yahudi dan Nasrani yang mengakui ketauhidan. Dan menurut pendapat ini bahwa wanita yang bukan Islam, dan Bukan pula Yahudi/Nasrani (Monotheisme) tidak boleh dikawini oleh pria Muslim, apapun agama ataupun kepercayaannya, seperti Budha, Zoroaster dan lainnya, karena pemeluk agama selain Islam, Yahudi dan Nasrani itu termasuk kategori “musyrikah”.
Untuk pendapat yang kedua perkawinan antara seorang pria muslim dengan ahlul kitab, ada tiga pendapat para mufasir, untuk pendapat yang pertama adalah halal mutlak menikah dengan wanita ahlul kitab, mereka berpendapat berdasarkan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 5:
( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sŒÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uŽöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB Ÿwur üÉÏ­GãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3tƒ Ç`»uKƒM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»sƒø:$#
“..... dan dihalalkan mangawini wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.

Dalam ayat ini jelas mengemukakan tentang halalnya menikahi perempuan ahlul kitab. Selain berdasarkan al-Qur’an surat al-Maidah ayat 5, juga berdasarkan sunah Nabi, dimana Nabi pernah menikah dengan wanita Ahlul Kitab yaitu Mariah Qibtiyah (Nasrani). Demikian pula Sahabat Nabi yaitu Hudzaifah bin al-Yaman pernah menikahi seorang wanita Yahudi, walaupun ia pernah ditentang oleh Umar bin Khatab dengan beberapa dialog, kemudian Hudzaifah meninggalkan Umar bin Khatab kemudian barulah Hudzaifah menceraikan Istrinya. Setelah menceraikan istrinya, Hudzaifah ditanya oleh seseorang: “Mengapa engkau tidak menceraikan istrimu ketika diperintahkan oleh ‘Umar?” jawab Hudzaifah: “Karena aku tidak ingin diketahui orang bahwa aku melakukan sesuatu yang tidak layak.”[25]
Pendapat yang kedua berpendirian bahwa hukumnya adalah haram menikahi wanita ahlul kitab, pendapat golongan ini yaitu ibn Umar, pendapat ini juga menjadi pegangan golongan Syi’ah Imamiyah. Adapun dalil yang dipegang oleh golongan ini adalah Q.S al-Baqarah: 221 dan al-Mumtahanah: 10. Kedua ayat ini jelas melarang kita menikahi perempuan kafir. Dan menurutnya juga Ahlul kitab termasuk golongan orang kafir musyrik, karena orang Yahudi menuhankan ‘Uzair dan orang Nasrani menuhankan Isa ibnu Maryam, sedangkan dosa syirik tidak diampuni oleh Allah SWT, jika mereka tidak bertaubat kepada Allah SWT sebelum mereka mati. Hal ini sebagaimana yang dimaksudkan dalam surat al-Nisa’ ayat 48
¨bÎ) ©!$# Ÿw ãÏÿøótƒ br& x8uŽô³ç ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótƒur $tB tbrߊ y7Ï9ºsŒ `yJÏ9 âä!$t±o 4 `tBur õ8ÎŽô³ç «!$$Î/ Ïs)sù #uŽtIøù$# $¸JøOÎ) $¸JŠÏàtã
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia Telah berbuat dosa yang besar. (Q.S: 4: 48).

Adapun surat al-Maidah ayat 5, menurut golongan ini hendaklah di-istimal-kan kepada perempuan ahlul kitab yang telah masuk Islam, atau di-ihtimal-kan kepada pengertian bahwa kebolehan menikahi wanita ahlul kitab itu adalah pada masa perempuan-perempuan Islam masih sedikit jumlahnya.
Penadapat ketiga berpendirian bahwa menikahi perempuan Ahlul kitab itu adalah boleh, tetapi ada beberapa syarat yang dimaksud dengan ahlul kitab. Para mufasir b erbeda pendapat tentang kriteria ahlul kitab yang boleh dinikahi, yakni ahlul kitab yang mempunyai status dzimmi, maksudnya mereka yang mendapat perlingdungan hukum dengan kewajiban membayar jizyah (semacam pajak), sebab ahlul kitab yang tidak yang tidak membayar jizyah maka tetap berlaku hukum perang. Pendapat ini di dasarkan pada Q.S: al-Taubah: 29.[26]
Sementara itu, menurut mazhab Syafi’i (qaul mu’tamadnya), wanita ahlul kitab yang boleh dinikahi adalah wanita yang menganut agama Yahudi dan Nasrani sebagai yang dianut oleh nenek moyang mereka sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul (sebelum al-Qur’an diturunkan), sementara orang-orang yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani setelah al-Qur’an diturunkan tidaklah dipandang sebagai ahli kitab. Hal ini mengingat dalam Q.S al-Maidah ayat 5 terdapat kata-kata “min qablikum” (dari masa sebelum kamu), perkataan “min qablikum” menjadi pembatas (qayd) bagi ahlul kitab dimaksud. Jalan pikiran mazhab Syafi’i ini mengakui bahwa ahlul kitab itu bukan karena agamanya, tetapi melainkan karena menghormati asal keturunannya. [27]
Menurut pendapat ini ada juga yang berpendapat bahwa kitabiyah yang boleh dinikahi, dan kebolehannya itu tidaklah mutlak tetapi memenuhi syarat-syarat yang dijelaskan oleh Yusuf  Qardhawi sebagai berikut:[28]
·            Perempuan kitabiyah itu harus perempuan terhormat yang selalu memelihara dan menjaga kesucian diri dari perbuatan zina (muhshanah).[29]
·            Perempuan kitabiyah itu benar-benar taat, serta berpegang teguh pada ajaran kitab sucinya;  tidak ateis, tidak murtad dari agamanya, dan tidak menganut ajaran agama yang bukan agama samawi. Persyaratan ini dipahami dari redaksi Q.S: 5: 5, yang menggunakan kata “utul kitab” (sering diterjemahkan dengan “diberi kitab”) dan bukan “ahlul kitab”. Kata tersebut digunakan untuk menjelaskan pemberian yang agung dan terhormat. [30]
·            Ia bukan dari kitabiyah tidak akan menimbulkan fitnah (bahaya dampak negatif).
Persyaratan di atas adalah sebuah upaya bagaimana menciptakan perkawinan agar tetap cinta dan damai dalam meniti keluarga yang akan dibina nanti, karena dalam Islam perkawinan bukan untuk permainan.
Perkawinan dengan perempuan ahlul kitab mengandung banyak resiko, baik aspek psikologis maupun sosiologis. Resiko fitnah (mudharat, berbahaya atau dampak negatif secara akidah), karena dikhawatirkan keturunannya atau anak-anaknya akan mengikuti agama si ibu. Apalagi jika mengamati kenyataan bahwa pada umumnya pendidikan si anak sangat bergantung atau dipengaruhi oleh ibu, ini sesuai dengan hadits Nabi (ummu al-madrasatu al-‘ulaa).[31] Jika ibu bukan beragama Islam, sangatlah besar peluang si anak akan memperoleh pendidikan agama yang bukan Islam. Atas dasar itu, ulama menegaskan bahwa jika dikhawatirkan suami dan anak-anaknya terkena fitnah, dalam hal pengaruh agama istri yang ahlul kitab itu, jelas perkawinan dengan ahlul kitab hukumnya adalah haram.[32]
Pendapat yang ketiga yaitu Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim. Sejak al-Qur’an disampaikan oleh Nabi Muhammad pada umatnya hingga sekarang, tidak ditemukakan adanya pendapat dikalangan ulama tentang status hukum perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan laki-laki ahli kitab (yahudi dan Nasrani). Semua ulama sepakat bahwa perkawinan ini adalah hukumnya haram. Ini sesuai dengan Q.S. al-Baqarah: 221. Terkait dengan masalah hijrah, jika yang melakukan itu eksodus adalah wanita, Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Mumtahanah: 10 dengan jelas. Tak ada pengecualian ahlul kitab di dalam nash, sehingga secara yuridis hukum ini merupakan sebuah kesepakatan (ijma’).
Ada pertanyaan kenapa lelaki muslim boleh menikah dengan ahlul kitab, sedangkan wanita muslimah tidak diperbolehkan menikah dengan ahlul kitab? Karena seorang lelaki akan menjadi kepala rumah tangga, bertanggung jawab tentang istrinya.
Pendapat yang keempat yaitu Perkawinan antara Orang Islam baik (lk/pr) dengan non muslim. Sudah barang tentu para Mufasir sepakat tentang keharaman perkawinan muslimah dengan ahlul kitab, apalagi yang nonmuslim. Tetapi di lain pihak bahwa ada beberapa alasan kenapa merka membolehkan perkawinan antara Orang Islam baik (lk/pr) dengan non muslim. Menurut Mereka bahwa makna Kafir, Ahlul kitab dan Syirik semuanya berbeda. Ini terdapat dalam surat al-Bayinah: ayat 1 yang berbunyi:

óOs9 Ç`ä3tƒ tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$#ur tûüÅj3xÿZãB 4Ó®Lym ãNåkuŽÏ?ù's? èpuZÉit7ø9$# ÇÊÈ
Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.

Alasan pertama bahwa pada surat ini mereka membedakan artikata kafir, ahli kitab dan musyrik, karena menurutnya di dalam ayat itu terdapat huruf “waw” yang dalam kaidah bahasa arab disebut “athfun” yang berarti perbedaan antara kata yang sebelumnya dan yang sesudahnya.[33]
Alasan Kedua, larangan menikahi “musyrik”, itu karena dikhawatirkan wanita musyrik atau laki-laki musyrik memerangi orang Islam. Menurutnya pendapat ini juga bahwa di mana situasi turunya ayat ini dalam kondisi terjadinya ketegangan antara orang-orang Muslim dengan Orang-orang Musyrik Arab. Menurut mereka terdapat kejelasan bahwa yang dimaksud dengan Musyrik adalah mereka yang suka memerangi orang-orang muslim. Ketiga, alasan mereka adalah dengan meligitimasi Q.S. al-Maidah: 5, dengan alasan bahwa ahli kitab itu dimaknai dengan menikah beda agama mutlak. Alasan lain menurut mereka yaitu ayat ini merupakan ayat madaniyyah yang diturunkan setelah ayat yang melarang pernikahan dengan orang-orang musyrik. Manurut mereka ayat ini penghapus (nasikh) dan pengkhusus (mukhashshish) dari ayat sebelumnya. [34]
Alasan mereka sungguh lebih mementingkan akal semata (ta’aquli), tidak mempertimbangkan isi kandungan semua yang ada dalam al-Qur’an. Pendapat ini jelas menyimpang dari pada isi syariat yang dibawa Rasulullah, sungguh mereka telah medistorsi dan mereduksi ajaran Islam yang ada. Terlepas dari penafsiran lewat sisi ta’wil—menjadi hal yang sangat relevan manakala diskusi selanjutnya menelaah perkembangan agama secara personal menjadi agama secara lembaga social. Artinya perkewinan beda agama bisa dilihat dari segi implikasi dari keyakinan mereka yang bermuara pada pengharaman nikah beda agama.
E.     Istimbat Hukum
Dalam Surat al-Baqarah: 221, Allah telah mengharamkan orang Islam menikahi dan meikahkan orang yang musyrik. Walaupun dia menarik bagimu, baik dalam hartanya, kecantikannya, keturunannya, ataupun kecerdasannya, karena budak yang mukmin itu lebih baik bagimu. Karena orang-orang musyrik itu mengajak kepada apa yang tidak diwajibkan oleh Allah dan Rasulnnya, mereka mengajak kepada kemunkaran (ke dalam neraka), bahwasannya jalan Allah itu lurus.
Adapun masalah ahlul kitab ada dua pendapat yang kuat, yang pertama tidak diperbolehkan menikahinya karena ada sambungan ayat yang menjadi pembatas(qayd) yaitu “min qolikum” yakni Yahudi dan Nasrani yang masih menganut monotheisme/tauhid, bukan paganis, dan bukan penyembah kepercayaan-kepercayaan. Kedua jikalau pada zaman sekarang masih memang dimungkinkan adanya ahli kitab yang sesuai dengan kriteria yang disebutkan di atas, maka dalam keadaan darurat diperbolehkan tetapi asalkan syarat-syaratnya harus terpenuhi.
Pada surat al-Mumtahanah: 10, adalah menguji perempuan-perempuan yang hijrah itu dengan mengetahui sebab/latar belakang hijrahnya. Kita bisa menentukan keimanan dia hanya sebatas lahiriah saja, akan tetapi untuk keimanan dalam hatinya hanyalah Allah.
Diharamkan menikahi Musyrik sebelum mereka beriman kepada Allah dan Rasulnya. Keislaman seorang wanita menyebabkan terputusnya perkawinan dengan suaminya yang masih Musyrik. Laki-laki mukmin boleh menikah dengan ahli kitab yang telah dijelaskan sebelumnya. Bagi wanita muslimah menikah dengan ahli kitab laki-laki tidak diperbolehkan, apalagi dengan yang berlain agama, jelas haram.




[1] Tema ini dibawakan pada diskusi hukum Islam di Ciputat UIN Jakarta
[2] Prof. TM Hasbi Ash Shddieqy, Tafsir al-Bayaan Juz I, (Bandung: PT Alma’arif, 1966), hal. 252
[3] Yakni: ujilah tentang keimanannya dengan suatu yang dapat menjadi ujian terhadap kebenaran pengakuan mereka, seperti dengan sumpah.
[4] Inilah ayat yang mengharamkan muslimah mengawini laki-laki kafir yang pada permualan Islam masih dibiarkan.
[5] Menurut Asy-Syafi’i, perintah ini adalah sunnat.
[6] Yakni walaupun mereka masih mempunyai suami yang masih dalam syirik; karena perhubungan mereka telah putus.
[7] Menurut Ibn Jarir, ayat ini memerintahkan para muslim menceraikan istri-istri yang musyrikah. Menurut Mujahid, ayat ini memerintahkan para muslim menceraikan istrinya yang menetap di Mekah, yang tetap berdiam di sana bersama-sama orang musyrik. Menurut an-Nakhai’iy muslimah yang pergi ke Darul Harb. Jumlah ulama yang berpendapat bahwa apabila si suami memeluk agama Islam tidaklah langsung diceraikan antara keduanya, terkecuali setelah beraakhir ‘iddah. Menurut sebagian ulama, langsung diceraikan antara keduanya.
[8] Yakni mintalah kepada orang-orang musyrikin apa yang kamu telah nafkahkan kepada istrimu jika istrimu itu pergi menggambungkan diri kepada orang-orang musyrik yang menikahi istrimu itu.
[9] Yakni meminta kembai mahar kepada muslim yang menikahi bekas istrinya.
[10] Prof. TM Hasbi Ash Shddieqy, Tafsir al-Bayaan Juz II, (Bandung: PT Alma’arif, 1966), hal. 1361
[11] Jalaaluddin as-Suyuthi dan Jalaaluddin al-Mahalli, Tafsir al-Jalaalain,
[12] Lihat M. ‘Ali ash-Shabunii, Rawaiu’ al-Bayaan: Tafsiir ayaati al-Ahkami min al-Qur’an, (Mekah: Daar al-Kutub al-Islamiyyah,1999), hal 222, dan lihat juga K.H. Shaleh dan H.A.A Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Penerbit Bandung, 2007), hal. 73
[13] Ibid, hal 73. Dan adapun yang dikatakan dengan Hadits Munqathi ialah hadits yang gugur seorang rawi, lain dari sahabat atau gugur dua orang rawi yang tidak berdekatan, yakni gugurnya berselang.
[14] K.H. Shaleh dan H.A.A Dahlan, op.cit. hal. 565
[15] Ibid. hal. 565
[16] Ibid. hal. 566
[17] Jalaaluddin,,,
[18] Ibid, hal.
[19] M. ‘Ali ash-Shabuni, Rawa’i  al-Bayaan Tafsiir Ayaat al-Ahkaam, (Mekah: Daar al-Kutub al-Islamiyyah, 1999), hal. 448
[20] Ibid, hal. 448
[21] Prof. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1997), hal. 4
[22] Yusuf Qordhawi, al-Halalu wa al-Haramu fi al-Islam, (Mesir: Daar al-Ma’rifah,  2005), hal. 211
[23] Lihat M. ‘Ali ash-Shabuni, op.cit, hal. 221
[24] Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, vol. VI, (Cairo: Daar al-Manar, 1367 H), hal. 187-188; 190 dan 193.
[25] Dikutip dari buku LSM Kapal Perempuan, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), hal.45
[26] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hal. 203
[27] Dikutip tulisnya Hasanuddin, dalam buku Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama; Perspektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), hal. 46
[28] Yusuf Qardhawi, Hadyu al-Islam Fatawa Mu’ashirah, (Beirut: Daar al-Fikr, 1988), cet ke-IV, Juz II. Hal. 96-98.
[29] Lihat Q.S al-Nisa’ ayat 25
[30] Quraisy Shihab, Wawasan al-Qur’an. (Bandung: Mizan, 2000), hal. 198
[31] H.R Hiban
[32] M.’Ali ash-Shabuni, rawa’i al-Bayaan; Tafsir Ayaat al-Ahkam Juz II, (Mekah: Daar al-Qur’an al-Karim, 1972), hal. 573
[33] Nurkholish Madjid. dkk, Fiqh Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), hal. 160
[34] Ibid, hal. 161-163

0 comments:

Post a Comment