Tulisan ini
adalah kegundahan yang selama ini saya rasakan ketika masih duduk dalam bangku
sekolah, ia tetap saja rancu ketika saya hanya berkutat pada sisi tekstual
saja, untuk itu saya mecoba akan menyajikannya mulai dari referensi orang-orang
skriptural hingga liberal, yang konon dua aliran ini tetap saja masih paradoks
dalam memandang nikah beda agama. Skripturalisme mungkin memahami lebih pada
tekstual kitab saja, tanpa mengindahkan sisi ta’aquli setiap orang, begitu juga
dengan penganut liberalisme, mereka lebih senang ketika hukum harus dijunjung
tinggi dengan kemaslahatan rasionalitas dari pada tendensi tekstual yang memang
sudah dilakukan sejak dulu. Akibatnya dari dua kubu yang besar ini setiap
golongan lebih senang dengan mempertahankan pendapatnya atau akan cenderung
pada apologetik (the truth of claims), padahal wajah Islam yang dicontohkan
oleh Rasulllah bukanlah seperti demikian, akan tetapi lebih senang
saling-mengisi dan mengisi.
Islam memang
memiliki dualisme kehidupan di mata setiap orang. Para orientalis akan
memandang Islam sebagai agama yang tak memikirkan nilai-nilai kemanusiaan atau
lebih senang mereka menamakannya dengan agama yang dehumanisme. Bagi penganut Islam
sendiri melihat bahwa Islam adalah agama yang syarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Dari dualisme inilah yang mungkin menurut saya sendiri perlu dibenahi,
reinterpretasi dan dikonstruksi untuk mengetahui kapan kita harus ta’abudi dan
kapan kita harus ta’aquli. Untuk lebih menariknya saya akan membedah lewat
disiplin ilmu yang dikembangkan oleh para pemikir dahulu seperti S. Freud, Gustav,
Eric Froom dan banyak lagi pemikir lainnya yang menggunakan pisau analisnya dengan
“psiko-sosial” ketika menjelaskan ajaran agama.
A.
Ayat tentang Nikah Beda Agama
1.
Surat al-Baqarah: 221
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ×öyz `ÏiB 78Îô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôt n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãur ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGt ÇËËÊÈ
Artinya: Dan jangalah kamu nikahi
wanita-wanita yang musyrikah (penyembah
berhala) sehingga mereka beriman; karena sesungguhnya budak wanita yang beriman
lebih baik daripada wanita-wanita musyrikah, walaupun wanita musyrikah itu
menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang-orang musyrik dengan
wanita muslimah, sehingga mereka beriman, lebih baik dari pada orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Mereka menyeru jodohnya ke neraka, sedang Allah
menyerumu dengan perantaraan Rasul ke Syurga dan Ampunan dengan perintah-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka dapat
pengajaran dari padanya. [2]
2.
Surat al-Mumtahanah: 10
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ãNà2uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# ;NºtÉf»ygãB £`èdqãZÅstGøB$$sù ( ª!$# ãNn=÷ær& £`ÍkÈ]»yJÎ*Î/ ( ÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB xsù £`èdqãèÅ_ös? n<Î) Í$¤ÿä3ø9$# ( w £`èd @@Ïm öNçl°; wur öNèd tbq=Ïts £`çlm; ( Nèdqè?#uäur !$¨B (#qà)xÿRr& 4 wur yy$oYã_ öNä3øn=tæ br& £`èdqßsÅ3Zs? !#sÎ) £`èdqßJçG÷s?#uä £`èduqã_é& 4 wur (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ÌÏù#uqs3ø9$# (#qè=t«óur !$tB ÷Läêø)xÿRr& (#qè=t«ó¡uø9ur !$tB (#qà)xÿRr& 4 öNä3Ï9ºs ãNõ3ãm «!$# ( ãNä3øts öNä3oY÷t/ 4 ª!$#ur îLìÎ=tæ ÒOÅ3ym ÇÊÉÈ
Artinya: Wahai sekalian yang beriman,
apabila apabila perempuan-perempuan yang beriman datang kepadamu selaku
muhajirah dari Mekah ke Madinah, maka ujialah mereka;[3] Allah lebih
mengetahui perihal keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwasannya
mereka perempuan-perempuan yang beriman berdasarkan sumpah umpamanya, maka janganlah
kamu mengembalikan mereka kepada orang-orang yang tidak beriman (suami mereka yang tetap dalam keadaan kafir)[4]. Wanita-wanita itu
tidak halal bagi orang-orang yang tidak beriman dan orang-orang yang tidak
beriman tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada orang-orang yang tidak
beriman itu (suami-suami dari wanita yang telah Islam itu) apa yang mereka
telah nafkahkan (maskawinnya)[5]; tak ada suatu
keberatan atasmu jika kamu menikahi mereka[6] apabila kamu
berikan kepadanya mas kawinnya. Dan janganlah kamu memegangi pertalian nikahmu
dengan wanita-wanita kafir itu[7], dan mintalah yang
kamu nafkahkan[8], dan orang-orang
yang tidak beriman itu hendaklah meminta apa yang telah mereka nafkahkan[9]. Itulah hukum
Allah, Dia memberikan keputusan di antara kamu; dan Allah senantiasa
menyelesaikan sesuatu sesuai dengan hikmah.[10]
B.
Sebab-sebab Turunnya Ayat (Asbabun Nuzul)
1.
Surat al-Baqarah: 221
Dalam Tafsir al-Jalalain bahwa sebab
turunnya ayat ini adalah di mana ketika seseorang yang ingin menikahi budak
merdeka tetapi musyrik, oleh sebab itu ayat ini turun untuk melarangnya.[11] Dalam suatu
riwayat lain, dikemukakan bahwa turunya ayat ini yaitu wa laa tangkihu
al-musrikaati hatta yu’minn……(Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musrik, sebelum bemanariman.....(Q.S. 2: 221). Ayat ini sebagai petunjuk atas permohonan Ibnu Abi Murtsid
al-Ghanawi yang meminta izin kepada Nabi Saw. untuk menikah dengan seorang wanita musrik yang
cantik dan terpandang. (Diriwatkan oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Abu Hatim dan
al-Wahidi, yang bersumber dari Muqatil).[12]
Dalam riwayat lain dikemukakan
pula, bahwa kelanjutan ayat tersebut di atas, mulai dari ….wa la amatum
mu’minatun khair…(sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik…(Q.S. 2:
221), berkenaan dengan ‘Abdullah bin Rawahah yang mempunyai seorang hamba
sahaya yang hitam. Pada saat waktu ia marah kepadanya, sampai menamparnya. Ia
menyesal kejadian itu, lalu menghadap Nabi Saw. untuk menceritakan hal itu
seraya berkata: “Saya akan memerdekakan dia dan mengawininya. Ayat ini juga
menegaskan bahwa kamin dengan seorang hamba sahaya muslimah, lebih baik dari
pada kamin dengan wanita musrik. Diriwayatkan oleh al-Wahidi dari as-Suddi,
dari Abu Malik, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Dan Diriwayatkan pula oleh Ibn
Jarir yang bersumber dari as-Suddi. Hadits ini Munqathi.[13]
2.
Surat al-Mumtahanah: 10
Dalam suatu riwayat dikemukakan,
setelah Rasulullah Saw. membuat perjanjian hudaibiyyah dengan kaum kadir
Quraisy, datanglah wanita-wanita mukminat dari Mekah. Maka turunlah ayat ini,
yang memerintahkan untuk menguji dahulu wanita-wanita yang hijrah itu, dan
setelah jelas keimanan mereka, tidak boleh dikembalikan ke Mekah. Diriwayatkan
oleh as-Syaikhaan (al-Bukhari dan Muslim), yang bersumber dari al-Miswar
bin al-Hakam.[14]
Dalam riwayat lain pula
dikemukakan, setelah penandatanganan perjanjian hudaibiyyah, Ummu Kaltsum binti
‘Uqbah bin Abi Mu’aith berhijrah dari Mekah ke Madinah. Kedua saudaranya yang
bernama ‘Imarah bin ‘Uqbah dan al-Walid bin ‘Uqbah menyusul Ummu Kaltsum
(saudaranya). Keduanya meminta agar Ummu Kaltsum diserahkan kembali kepada
mereka. Dengan turunnya ayat ini, Allah membatalkan perjajian Rasulullah dan
Kaum Musyrikin, khusus tentang wanita-wanita, yaitu melarang kaum wanita yang
beriman dikembalikan kaum musyrikin. (Diriwayatkan oleh at-Thabrani dengan
sanad lemah, yang bersumber dari ‘Abdullah bin Abi Ahmad.[15]
Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu
Mani’ dari al-Kalbi, dari ‘Abi Shalih, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas, bahwa
ayat ini diturunkan ketika ‘Umar bin Khatab masuk Islam, akan tetapi istrinya
masih mengikuti pihak kaum musyrikin, yang melarang kaum mukminin berpegang
pada perkawinan dengan wanita kafir.[16]
C.
Tafsir Ijmali
Surat
al-Baqarah ayat 221 ini menjelaskan tentang orang-orang muslim tidak
diperbolehkan mengawini/menikahi wanita-wanita musyrik karena kekafirannya, sebelum
dia beriman kepada Allah dan Rasul-nya, dan budak mu’min lebih baik dari pada wanita
musyrik walaupun dia menarik bagimu karena kecantikannya dan hartanya,
terkecuali ahli kitab yang diterangkan pada surat al-Maidah ayat 5, yaitu
wanita yang menjaga kehormatannya (muhshanah), menganut agama samawi (Yahudi
dan Nasrani) sebelum Islam datang.[17] Dan janganlah kamu
sekalian para wali menikahkan (mengawinkan) orang-orang musyrik (lk) dengan wanita
mukminah, sebelum mereka orang-orang musyrik beriman terlebih dahulu. Budak
yang mukmin lebih baik dari pada orang-orang musyrik, walaupun itu menarik
hatimu karena hartanya, ketampanannya. Dan Mereka orang-orang musyrik mengajak
ke Neraka, karena ajakan mereka diperintahkan untuk tidak taat kepada kewajiban
yang ada di Islam, sebab itulah tidak pantas untuk menikahkah orang musyrik
dengan wanita mukminah. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia
supaya mereka dapat pengajaran dari padanya.[18]
Dan adapun dalam
surat al-Mumtahanah ayat 10 Allah SWT menyatakan kepada orang-orang mukmin
maksudnya sebagai berikut: “Hai orang-orang mukmin, apabila ada perempuan-perempuan
mukminah datang kepadamu dari Daarul Kufri ke Daarul Islam, demi menyelamatkan
keagamaan mereka dan demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ujilah lebih
dahulu keimanan mereka itu, supaya kamu yakin betul apakah mereka itu
betul-betul simpati kepada Islam atau tidak? Ataukah barang kali mereka itu sekedar
lari dari suami-suami mereka kerena pamrih harta duniawi atau karena mencintai seseorang.
Jika kamu
yakin bahwa mereka itu betul-betul
beriman berdasarkan fakta dan data, maka janganlah kamu kembalikan dia kepada
orang-orang kafir, sebab Allah tidak memperkenankan seorang mukminah kawin
dengan laki-laki kafir. Sedangkan mahar yang pernah diberikan oleh orang-orang
kafir kepada istrinya itu hendaklah kamu kembalikan. Dan kamu sendiri tidak
berdosa untuk mengawini mereka dengan mahar baru lagi, sesudah hak-hak mereka
itu kamu tuntaskan.
Dan siapa
yang mempunyai istri kafir yang belum mau hijrah bersama suaminya, maka dia
tidak dianggap bersuami istri dengan perkawinan seperti ini. Perlindungan
pernikahan antara keduanya itu menjadi retak lantaran kekufuran ini, dan akad
pernikahannya pun menjadi rusak. Sebab Islam tidak memperkenankan seorang
Muslim kawin dengan perempuan musyrik/kafir. Lalu siapa pun yang murtad, dan
lari dari daerah kafir, maka perlakukanlah dia itu seperti seperti perlakukanmu
terhadap perempuan musyrikah. Pernikahan pun menjadi batal lantaran murtad, dan
perempuan tersebut tidak lagi layak berada dalam perlidungan mukmin. Oleh
karena itukamu berhak menuntut mahar yang telah kamu berikan kepada mereka yang
kini lari ke daerah kafir itu, sebagaimana halnya mereka berhak meminta kembali
mahar yang telah mereka berikan kepada istri-istri mereka yang kini hijrah itu.[19]
Begitulah
hukum Allah disyari’atkan kepada kamu. Oleh karena itu jangan kamu lawan dan
jangan kamu langgar dengan hukum lain, sebab Allah Maha Tahu lagi Maha
Bijaksana. Yaitu Allah tidak mensya’riatkan sesuatu yang tidak mengandung
hikmah yang besar.[20]
D. Penjelasan
Ayat (Tasrih al-Ayaat)
Masalalah
perkawinan adalah masalah yang sangat sakral, karena dia tidak saja hanya
berurusan dengan masalah biologis semata, akan tetapi ekonomi, teologis,
psikologis dan sosial. Sebab itulah Islam datang dengan memberikan banyak problem
solving, di mana kondisi sosio-historis sebelum Islam datang masalah
perkawinan belum diatur begitu sistematis. Di sinilah Islam sebagai agama yang Yu’la
wala Ya’lu, harus bisa memecahkan permasalah yang dihadapi oleh manusia.
Yang
dimaksud dengan perkawinan beda agama adalah perkawinan orang Islam
(pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam (pria/wanita).[21] Mengenai masalah
ini Islam membedakan hukumnya sebagai berikut:
1. Perkawinan antara seorang muslim dengan orang
musyrik;
2. Perkawinan antara seorang pria muslim dengan
ahlul kitab;
3. Perkawinan antara seorang wanita muslimah
dengan pria ahlul kitab.
4. Perkawinan antara Orang Islam baik (lk/pr)
dengan non muslim
Pendapat yang pertama adalah perkawinan antara seorang muslim
dengan musyrik, yang mana agama Islam mengharamkan bentuk perkawinan seperti
ini, karena sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S: al-Baqarah: 211 yang
berbunyi:
“Dan janganlah kamu
menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.
Para Mufasir sepakat dengan pengharaman perkawinan seorang yang muslim
dengan orang yang musyrik baik perempuan atau laki-laki,[22] disebabkan karena mereka
menyembah api, berhala (paganisme), mengaku ‘Uzair anak Tuhan dan ‘Isa anak Tuhan.[23] Tetapi dikalangan
mufasir timbul beberapa pendapat tentang siapakah musyrikah yang dilarang untuk
dikawini itu. Menurut Ibn Jarir al-Thabari (seorang ahli tafsir), bahwa
musyrikah yang dilarang untuk dikawini itu ialah Musyrikah dari bangsa Arab
saja, karena Bangsa Arab pada waktu turunnya al-Qur’an memang tidak Mengenal kitab
suci dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini, seorang Muslim
boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non-Arab, seperti Cina, India dan
Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci, seperti
pemeluk agama Budha, Hindu, Konghuchu, yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa,
percaya adanya sesudah mati, dan sebagainya. Muhammad Abduh Juga berpendapat
seperti ini.[24]
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua Musyrikah baik dari Bangsa
Arab ataupun non-Arab, selain Ahlul Kitab, yakni Yahudi dan Nasrani yang
mengakui ketauhidan. Dan menurut pendapat ini bahwa wanita yang bukan
Islam, dan Bukan pula Yahudi/Nasrani (Monotheisme) tidak boleh dikawini oleh
pria Muslim, apapun agama ataupun kepercayaannya, seperti Budha, Zoroaster dan
lainnya, karena pemeluk agama selain Islam, Yahudi dan Nasrani itu termasuk
kategori “musyrikah”.
Untuk pendapat
yang kedua perkawinan
antara seorang pria muslim dengan ahlul kitab, ada tiga pendapat para mufasir,
untuk pendapat yang pertama adalah halal mutlak menikah dengan wanita ahlul
kitab, mereka berpendapat berdasarkan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat
5:
( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB wur üÉÏGãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3t Ç`»uKM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ÎÅ£»sø:$#
“..... dan dihalalkan
mangawini wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima
hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk
orang-orang merugi.
Dalam ayat
ini jelas mengemukakan tentang halalnya menikahi perempuan ahlul kitab. Selain berdasarkan
al-Qur’an surat al-Maidah ayat 5, juga berdasarkan sunah Nabi, dimana Nabi
pernah menikah dengan wanita Ahlul Kitab yaitu Mariah Qibtiyah (Nasrani).
Demikian pula Sahabat Nabi yaitu Hudzaifah bin al-Yaman pernah menikahi seorang
wanita Yahudi, walaupun ia pernah ditentang oleh Umar bin Khatab dengan
beberapa dialog, kemudian Hudzaifah meninggalkan Umar bin Khatab kemudian
barulah Hudzaifah menceraikan Istrinya. Setelah menceraikan istrinya, Hudzaifah
ditanya oleh seseorang: “Mengapa engkau tidak menceraikan istrimu ketika
diperintahkan oleh ‘Umar?” jawab Hudzaifah: “Karena aku tidak ingin diketahui
orang bahwa aku melakukan sesuatu yang tidak layak.”[25]
Pendapat
yang kedua berpendirian bahwa hukumnya adalah haram menikahi wanita ahlul
kitab, pendapat golongan ini yaitu ibn Umar, pendapat ini juga menjadi pegangan
golongan Syi’ah Imamiyah. Adapun dalil yang dipegang oleh golongan ini adalah Q.S
al-Baqarah: 221 dan al-Mumtahanah: 10. Kedua ayat ini jelas melarang kita menikahi
perempuan kafir. Dan menurutnya juga Ahlul kitab termasuk golongan orang kafir
musyrik, karena orang Yahudi menuhankan ‘Uzair dan orang Nasrani menuhankan Isa
ibnu Maryam, sedangkan dosa syirik tidak diampuni oleh Allah SWT, jika mereka
tidak bertaubat kepada Allah SWT sebelum mereka mati. Hal ini sebagaimana yang
dimaksudkan dalam surat al-Nisa’ ayat 48
¨bÎ) ©!$# w ãÏÿøót br& x8uô³ç ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótur $tB tbrß y7Ï9ºs `yJÏ9 âä!$t±o 4 `tBur õ8Îô³ç «!$$Î/ Ïs)sù #utIøù$# $¸JøOÎ) $¸JÏàtã
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia Telah
berbuat dosa yang besar. (Q.S: 4: 48).
Adapun surat
al-Maidah ayat 5, menurut golongan ini hendaklah di-istimal-kan kepada
perempuan ahlul kitab yang telah masuk Islam, atau di-ihtimal-kan kepada
pengertian bahwa kebolehan menikahi wanita ahlul kitab itu adalah pada masa
perempuan-perempuan Islam masih sedikit jumlahnya.
Penadapat
ketiga berpendirian bahwa menikahi perempuan Ahlul kitab itu adalah boleh, tetapi
ada beberapa syarat yang dimaksud dengan ahlul kitab. Para mufasir b erbeda
pendapat tentang kriteria ahlul kitab yang boleh dinikahi, yakni ahlul kitab
yang mempunyai status dzimmi, maksudnya mereka yang mendapat perlingdungan
hukum dengan kewajiban membayar jizyah (semacam pajak), sebab ahlul kitab yang
tidak yang tidak membayar jizyah maka tetap berlaku hukum perang. Pendapat ini
di dasarkan pada Q.S: al-Taubah: 29.[26]
Sementara
itu, menurut mazhab Syafi’i (qaul mu’tamadnya), wanita ahlul kitab yang boleh
dinikahi adalah wanita yang menganut agama Yahudi dan Nasrani sebagai yang
dianut oleh nenek moyang mereka sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul
(sebelum al-Qur’an diturunkan), sementara orang-orang yang memeluk agama Yahudi
atau Nasrani setelah al-Qur’an diturunkan tidaklah dipandang sebagai ahli kitab.
Hal ini mengingat dalam Q.S al-Maidah ayat 5 terdapat kata-kata “min
qablikum” (dari masa sebelum kamu), perkataan “min qablikum” menjadi
pembatas (qayd) bagi ahlul kitab dimaksud. Jalan pikiran mazhab Syafi’i
ini mengakui bahwa ahlul kitab itu bukan karena agamanya, tetapi melainkan
karena menghormati asal keturunannya. [27]
Menurut pendapat
ini ada juga yang berpendapat bahwa kitabiyah yang boleh dinikahi, dan
kebolehannya itu tidaklah mutlak tetapi memenuhi syarat-syarat yang dijelaskan
oleh Yusuf Qardhawi sebagai berikut:[28]
·
Perempuan kitabiyah
itu harus perempuan terhormat yang selalu memelihara dan menjaga kesucian diri
dari perbuatan zina (muhshanah).[29]
·
Perempuan kitabiyah
itu benar-benar taat, serta berpegang teguh pada ajaran kitab sucinya; tidak ateis, tidak murtad dari agamanya, dan
tidak menganut ajaran agama yang bukan agama samawi. Persyaratan ini dipahami
dari redaksi Q.S: 5: 5, yang menggunakan kata “utul kitab” (sering
diterjemahkan dengan “diberi kitab”) dan bukan “ahlul kitab”. Kata tersebut
digunakan untuk menjelaskan pemberian yang agung dan terhormat. [30]
·
Ia bukan
dari kitabiyah tidak akan menimbulkan fitnah (bahaya dampak negatif).
Persyaratan
di atas adalah sebuah upaya bagaimana menciptakan perkawinan agar tetap cinta
dan damai dalam meniti keluarga yang akan dibina nanti, karena dalam Islam
perkawinan bukan untuk permainan.
Perkawinan
dengan perempuan ahlul kitab mengandung banyak resiko, baik aspek psikologis
maupun sosiologis. Resiko fitnah (mudharat, berbahaya atau dampak negatif
secara akidah), karena dikhawatirkan keturunannya atau anak-anaknya akan
mengikuti agama si ibu. Apalagi jika mengamati kenyataan bahwa pada umumnya pendidikan
si anak sangat bergantung atau dipengaruhi oleh ibu, ini sesuai dengan hadits
Nabi (ummu al-madrasatu al-‘ulaa).[31] Jika ibu bukan beragama Islam, sangatlah
besar peluang si anak akan memperoleh pendidikan agama yang bukan Islam. Atas dasar
itu, ulama menegaskan bahwa jika dikhawatirkan suami dan anak-anaknya terkena
fitnah, dalam hal pengaruh agama istri yang ahlul kitab itu, jelas perkawinan
dengan ahlul kitab hukumnya adalah haram.[32]
Pendapat
yang ketiga yaitu
Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim. Sejak
al-Qur’an disampaikan oleh Nabi Muhammad pada umatnya hingga sekarang, tidak
ditemukakan adanya pendapat dikalangan ulama tentang status hukum perkawinan
antara seorang wanita muslimah dengan laki-laki ahli kitab (yahudi dan Nasrani).
Semua ulama sepakat bahwa perkawinan ini adalah hukumnya haram. Ini sesuai dengan
Q.S. al-Baqarah: 221. Terkait dengan masalah hijrah, jika yang melakukan itu
eksodus adalah wanita, Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Mumtahanah: 10 dengan
jelas. Tak ada pengecualian ahlul kitab di dalam nash, sehingga secara yuridis
hukum ini merupakan sebuah kesepakatan (ijma’).
Ada
pertanyaan kenapa lelaki muslim boleh menikah dengan ahlul kitab, sedangkan
wanita muslimah tidak diperbolehkan menikah dengan ahlul kitab? Karena seorang
lelaki akan menjadi kepala rumah tangga, bertanggung jawab tentang istrinya.
Pendapat
yang keempat yaitu Perkawinan
antara Orang Islam baik (lk/pr) dengan non muslim. Sudah barang tentu para Mufasir
sepakat tentang keharaman perkawinan muslimah dengan ahlul kitab, apalagi yang
nonmuslim. Tetapi di lain pihak bahwa ada beberapa alasan kenapa merka
membolehkan perkawinan antara Orang Islam baik (lk/pr) dengan non muslim.
Menurut Mereka bahwa makna Kafir, Ahlul kitab dan Syirik semuanya berbeda. Ini
terdapat dalam surat al-Bayinah: ayat 1 yang berbunyi:
óOs9 Ç`ä3t tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# tûüÏ.Îô³ßJø9$#ur tûüÅj3xÿZãB 4Ó®Lym ãNåkuÏ?ù's? èpuZÉit7ø9$# ÇÊÈ
Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan
orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan
(agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.
Alasan
pertama bahwa pada
surat ini mereka membedakan artikata kafir, ahli kitab dan musyrik, karena
menurutnya di dalam ayat itu terdapat huruf “waw” yang dalam kaidah bahasa arab
disebut “athfun” yang berarti perbedaan antara kata yang sebelumnya dan yang
sesudahnya.[33]
Alasan Kedua,
larangan menikahi “musyrik”, itu karena
dikhawatirkan wanita musyrik atau laki-laki musyrik memerangi orang Islam.
Menurutnya pendapat ini juga bahwa di mana situasi turunya ayat ini dalam
kondisi terjadinya ketegangan antara orang-orang Muslim dengan Orang-orang
Musyrik Arab. Menurut mereka terdapat kejelasan bahwa yang dimaksud dengan
Musyrik adalah mereka yang suka memerangi orang-orang muslim. Ketiga, alasan
mereka adalah dengan meligitimasi Q.S. al-Maidah: 5, dengan alasan bahwa ahli
kitab itu dimaknai dengan menikah beda agama mutlak. Alasan lain menurut mereka
yaitu ayat ini merupakan ayat madaniyyah yang diturunkan setelah ayat yang
melarang pernikahan dengan orang-orang musyrik. Manurut mereka ayat ini
penghapus (nasikh) dan pengkhusus (mukhashshish) dari ayat
sebelumnya. [34]
Alasan
mereka sungguh lebih mementingkan akal semata (ta’aquli), tidak
mempertimbangkan isi kandungan semua yang ada dalam al-Qur’an. Pendapat ini
jelas menyimpang dari pada isi syariat yang dibawa Rasulullah, sungguh mereka
telah medistorsi dan mereduksi ajaran Islam yang ada. Terlepas dari penafsiran lewat sisi ta’wil—menjadi hal yang
sangat relevan manakala diskusi selanjutnya menelaah perkembangan agama secara
personal menjadi agama secara lembaga social. Artinya perkewinan beda agama
bisa dilihat dari segi implikasi dari keyakinan mereka yang bermuara pada
pengharaman nikah beda agama.
E.
Istimbat Hukum
Dalam Surat
al-Baqarah: 221, Allah telah mengharamkan orang Islam menikahi dan meikahkan
orang yang musyrik. Walaupun dia menarik bagimu, baik dalam hartanya,
kecantikannya, keturunannya, ataupun kecerdasannya, karena budak yang mukmin
itu lebih baik bagimu. Karena orang-orang musyrik itu mengajak kepada apa yang
tidak diwajibkan oleh Allah dan Rasulnnya, mereka mengajak kepada kemunkaran
(ke dalam neraka), bahwasannya jalan Allah itu lurus.
Adapun
masalah ahlul kitab ada dua pendapat yang kuat, yang pertama tidak
diperbolehkan menikahinya karena ada sambungan ayat yang menjadi pembatas(qayd)
yaitu “min qolikum” yakni Yahudi dan Nasrani yang masih menganut
monotheisme/tauhid, bukan paganis, dan bukan penyembah kepercayaan-kepercayaan.
Kedua jikalau pada zaman sekarang masih memang dimungkinkan adanya ahli kitab
yang sesuai dengan kriteria yang disebutkan di atas, maka dalam keadaan darurat
diperbolehkan tetapi asalkan syarat-syaratnya harus terpenuhi.
Pada surat
al-Mumtahanah: 10, adalah menguji perempuan-perempuan yang hijrah itu dengan
mengetahui sebab/latar belakang hijrahnya. Kita bisa menentukan keimanan dia
hanya sebatas lahiriah saja, akan tetapi untuk keimanan dalam hatinya hanyalah
Allah.
Diharamkan
menikahi Musyrik sebelum mereka beriman kepada Allah dan Rasulnya. Keislaman
seorang wanita menyebabkan terputusnya perkawinan dengan suaminya yang masih
Musyrik. Laki-laki mukmin boleh menikah dengan ahli kitab yang telah dijelaskan
sebelumnya. Bagi wanita muslimah menikah dengan ahli kitab laki-laki tidak
diperbolehkan, apalagi dengan yang berlain agama, jelas haram.
[1] Tema ini dibawakan pada diskusi hukum Islam di Ciputat UIN Jakarta
[2] Prof. TM Hasbi Ash
Shddieqy, Tafsir al-Bayaan Juz I, (Bandung: PT Alma’arif, 1966), hal.
252
[3] Yakni: ujilah tentang
keimanannya dengan suatu yang dapat menjadi ujian terhadap kebenaran pengakuan
mereka, seperti dengan sumpah.
[4] Inilah ayat yang
mengharamkan muslimah mengawini laki-laki kafir yang pada permualan Islam masih
dibiarkan.
[5] Menurut Asy-Syafi’i,
perintah ini adalah sunnat.
[6] Yakni walaupun mereka
masih mempunyai suami yang masih dalam syirik; karena perhubungan mereka telah
putus.
[7] Menurut Ibn Jarir, ayat
ini memerintahkan para muslim menceraikan istri-istri yang musyrikah. Menurut
Mujahid, ayat ini memerintahkan para muslim menceraikan istrinya yang menetap
di Mekah, yang tetap berdiam di sana bersama-sama orang musyrik. Menurut an-Nakhai’iy
muslimah yang pergi ke Darul Harb. Jumlah ulama yang berpendapat bahwa apabila
si suami memeluk agama Islam tidaklah langsung diceraikan antara keduanya,
terkecuali setelah beraakhir ‘iddah. Menurut sebagian ulama, langsung
diceraikan antara keduanya.
[8] Yakni mintalah kepada orang-orang musyrikin apa yang kamu telah nafkahkan
kepada istrimu jika istrimu itu pergi menggambungkan diri kepada orang-orang
musyrik yang menikahi istrimu itu.
[9] Yakni meminta kembai
mahar kepada muslim yang menikahi bekas istrinya.
[10] Prof. TM Hasbi Ash
Shddieqy, Tafsir al-Bayaan Juz II, (Bandung: PT Alma’arif, 1966), hal.
1361
[11] Jalaaluddin as-Suyuthi
dan Jalaaluddin al-Mahalli, Tafsir al-Jalaalain,
[12] Lihat M. ‘Ali
ash-Shabunii, Rawaiu’ al-Bayaan: Tafsiir ayaati al-Ahkami min al-Qur’an,
(Mekah: Daar al-Kutub al-Islamiyyah,1999), hal 222, dan lihat juga K.H. Shaleh dan H.A.A Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV
Penerbit Bandung, 2007), hal. 73
[13] Ibid, hal 73. Dan adapun yang dikatakan dengan Hadits
Munqathi ialah hadits yang gugur seorang rawi, lain dari sahabat atau gugur dua
orang rawi yang tidak berdekatan, yakni gugurnya berselang.
[14] K.H. Shaleh dan H.A.A Dahlan, op.cit. hal. 565
[15] Ibid. hal. 565
[16] Ibid. hal. 566
[17] Jalaaluddin,,,
[18] Ibid, hal.
[19] M. ‘Ali ash-Shabuni, Rawa’i
al-Bayaan Tafsiir Ayaat al-Ahkaam, (Mekah: Daar al-Kutub
al-Islamiyyah, 1999), hal. 448
[20] Ibid, hal. 448
[21] Prof. Masjfuk Zuhdi, Masail
Fiqhiyah, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1997), hal. 4
[22] Yusuf Qordhawi, al-Halalu
wa al-Haramu fi al-Islam, (Mesir: Daar al-Ma’rifah, 2005), hal. 211
[23] Lihat M. ‘Ali
ash-Shabuni, op.cit, hal. 221
[24] Rasyid Ridha, Tafsir
al-Manar, vol. VI, (Cairo: Daar al-Manar, 1367 H), hal. 187-188; 190 dan
193.
[25] Dikutip dari buku LSM
Kapal Perempuan, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama, (Jakarta: Kapal
Perempuan, 2004), hal.45
[26] Ibrahim Hosen, Fiqh
Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hal. 203
[27] Dikutip tulisnya
Hasanuddin, dalam buku Tafsir Ulang Perkawinan
Lintas Agama; Perspektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), hal. 46
[28] Yusuf Qardhawi, Hadyu al-Islam Fatawa Mu’ashirah, (Beirut: Daar
al-Fikr, 1988), cet ke-IV, Juz II. Hal. 96-98.
[29] Lihat Q.S al-Nisa’ ayat
25
[30] Quraisy Shihab, Wawasan al-Qur’an. (Bandung: Mizan, 2000), hal. 198
[31] H.R Hiban
[32] M.’Ali ash-Shabuni, rawa’i al-Bayaan; Tafsir Ayaat al-Ahkam Juz II, (Mekah:
Daar al-Qur’an al-Karim, 1972), hal. 573
[33] Nurkholish Madjid. dkk, Fiqh
Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), hal. 160
[34] Ibid, hal. 161-163
0 comments:
Post a Comment