Translate

Friday, 23 May 2014

Benarkah Hukum Indonesia Tak Percaya Pada Orang Beragama..?

Memang membingungkan, sebagian orang memahami sederet kepercayaan atheism (agnostik) merupakan sesuatu yang tak wajar— mereka dimusuhi bahkan mereka tak mendapat tempat untuk hidup berdampingan dengan orang-orang beragama. Ditambah lagi dengan pelarangan paham komunis ataupun sejenis atheis di Indonesia seperti yang tertera pada pasal 107 (a) dalam UU No. 27 Tahun 1999, mengapa demikian, karena logika tak meyakini adanya tuhan mereka harus didiskreditkan.
Terlepas dari hal itu, jika kita melihat lebih dalam, substansi hukum Indonesia mulai tidak percaya dengan orang yang beragama. Fakta demikian bisa dikaitkan dengan sejumlah peraturan pidana terkait aspek integritas, kejujuran, keadilan dan sebagainya— apabilla dilanggar mendapat ancaman hukuman berat. Aspek etika demikian seolah tak pernah diajarkan dalam agama hingga pada akhirnya hukum harus bertindak lebih jauh. Padahal sistem keteraturan hidup manusia (conduct of life) telah diajarkan oleh sebagian besar dalam ajaran agama,  baik agama samawi maupun ardi. Seperangkat conduct of life seperti jujur, integritas, adil, damai dan sejenisnya menjadi prioritas ajaran agama manapun.
Padahal hampir sekitar 99% orang Indonesia pasti memiliki agama, karena dalam identitas administarsi (baca: KTP) terdapat status agamanya masing-masing, entah mereka terpaksa atau tidak bukan urusan lain, namun yang terpenting mengapa sederet peraturan hukum Indonesia mulai tak percaya pada gerak-gerik orang Indonesia, akhirnya pula sistem hukum Indonesia sudah mulai tak percaya dengan orang beragama.
Namun apa yang menyebabkan seperangkat sistem hukum Indonesia mulai tidak percaya lagi dengan orang beragama? Jawabannya mungkin aplikasi ajaran beragama sudah mulai dinomorduakan atau bisa dikatakan disingkirkan oleh pemeluknya. Namun mengapa pula kita berbondong-bondong sepakat terhadap aturan pencantuman status agama seseorang dalam sistem pengadministrasian kependudukan. Apakah status pencantuman agama berpengaruh pada etika hidup kita sehari-hari. Jawabannya yang mungkin objektif yaitu tergantung pada person seseorang. Hal itu merupakan sisi relativitas epistemis dan fenomenologis seseorang. Yang terpenting integritas penganut agama menentukan sisi utilitas eksistensi agama itu sendiri.
Menurut sebagian ahli, sulitnya pengejewantahan nilai agama oleh pemeluknya merupakan indikator kurangnya relevansi nilai agama pada kehidupan masing-masing seseorang. Nilai agama menjadi ritualitas tanpa makna, alhasil runinitas serta formalitas dalam beragama seolah menjadi sesuatu yang penting, padahal substansi aplikasi ajaran merupakan sesuatu yang penting. Bukan hanya sekedar sisi formalitas, tetapi lebih dari itu.
Hukum Indonesia memang secara tidak langsung mulai menggeser peran ajaran agama atau bahkan mengenyapingkan orang beragama, hal ini bisa dilihat dari perlakuan sistem hukum kita menjadikan objeknya yaitu masyarakat Indonesia seperti yang tak waras atau tak beragama, seperti binatang bahkan lebih buas.  Atau apakah hukum Indonesia sudah mulai terkontaminasi ala hukum Weberian yang mengatakan Homo Homini Lupus (manusia satu sebagai serigala bagi yang lainnya)—yang tak mengenal dia orang beragama ataukah tidak. Penulis tidak bermaksud untuk mengajak para pembaca untuk berasumsi lebih dari judul di atas, namun hanya ingin mengatakan sebagian orang seoalah mulai tak beragama, dengan  beberapa fakta meningkatnya tingkat non etis, seperti korupsi, pembunuhan, pemerkosaan dan sebagainya menjadi headline berita di media besar Indonesia.

**Salam Pecinta Kesederhanaan….

0 comments:

Post a Comment