Memang membingungkan, sebagian orang memahami sederet kepercayaan
atheism (agnostik) merupakan sesuatu yang tak wajar— mereka dimusuhi bahkan mereka
tak mendapat tempat untuk hidup berdampingan dengan orang-orang beragama.
Ditambah lagi dengan pelarangan paham komunis ataupun sejenis atheis di
Indonesia seperti yang tertera pada pasal 107 (a) dalam UU No. 27 Tahun 1999, mengapa
demikian, karena logika tak meyakini adanya tuhan mereka harus didiskreditkan.
Terlepas dari hal itu, jika kita melihat lebih dalam, substansi
hukum Indonesia mulai tidak percaya dengan orang yang beragama. Fakta demikian
bisa dikaitkan dengan sejumlah peraturan pidana terkait aspek integritas,
kejujuran, keadilan dan sebagainya— apabilla dilanggar mendapat ancaman hukuman
berat. Aspek etika demikian seolah tak pernah diajarkan dalam agama hingga pada
akhirnya hukum harus bertindak lebih jauh. Padahal sistem keteraturan hidup
manusia (conduct of life) telah diajarkan oleh sebagian besar dalam
ajaran agama, baik agama samawi maupun
ardi. Seperangkat conduct of life seperti jujur, integritas,
adil, damai dan sejenisnya menjadi prioritas ajaran agama manapun.
Padahal hampir sekitar 99% orang Indonesia pasti memiliki
agama, karena dalam identitas administarsi (baca: KTP) terdapat status agamanya
masing-masing, entah mereka terpaksa atau tidak bukan urusan lain, namun yang
terpenting mengapa sederet peraturan hukum Indonesia mulai tak percaya pada
gerak-gerik orang Indonesia, akhirnya pula sistem hukum Indonesia sudah mulai
tak percaya dengan orang beragama.
Namun apa yang menyebabkan seperangkat sistem hukum
Indonesia mulai tidak percaya lagi dengan orang beragama? Jawabannya mungkin
aplikasi ajaran beragama sudah mulai dinomorduakan atau bisa dikatakan
disingkirkan oleh pemeluknya. Namun mengapa pula kita berbondong-bondong
sepakat terhadap aturan pencantuman status agama seseorang dalam sistem
pengadministrasian kependudukan. Apakah status pencantuman agama berpengaruh pada
etika hidup kita sehari-hari. Jawabannya yang mungkin objektif yaitu tergantung
pada person seseorang. Hal itu merupakan sisi relativitas epistemis dan
fenomenologis seseorang. Yang terpenting integritas penganut agama menentukan
sisi utilitas eksistensi agama itu sendiri.
Menurut sebagian ahli, sulitnya pengejewantahan nilai
agama oleh pemeluknya merupakan indikator kurangnya relevansi nilai agama pada kehidupan
masing-masing seseorang. Nilai agama menjadi ritualitas tanpa makna, alhasil
runinitas serta formalitas dalam beragama seolah menjadi sesuatu yang penting,
padahal substansi aplikasi ajaran merupakan sesuatu yang penting. Bukan hanya
sekedar sisi formalitas, tetapi lebih dari itu.
Hukum Indonesia memang secara tidak langsung mulai
menggeser peran ajaran agama atau bahkan mengenyapingkan orang beragama, hal
ini bisa dilihat dari perlakuan sistem hukum kita menjadikan objeknya yaitu masyarakat
Indonesia seperti yang tak waras atau tak beragama, seperti binatang bahkan lebih
buas. Atau apakah hukum Indonesia sudah
mulai terkontaminasi ala hukum Weberian yang mengatakan Homo Homini Lupus (manusia
satu sebagai serigala bagi yang lainnya)—yang tak mengenal dia orang beragama
ataukah tidak. Penulis tidak bermaksud untuk mengajak para pembaca untuk berasumsi
lebih dari judul di atas, namun hanya ingin mengatakan sebagian orang seoalah
mulai tak beragama, dengan beberapa
fakta meningkatnya tingkat non etis, seperti korupsi, pembunuhan, pemerkosaan
dan sebagainya menjadi headline berita di media besar Indonesia.
**Salam Pecinta Kesederhanaan….
0 comments:
Post a Comment