Translate

Friday, 12 July 2013

Mengembangkan Potensi Pemimpin Islami Jilid I

Oleh Muhamad Daerobi

Dilema berkepanjangan abad millennium kedua adalah tantangan modernitas serta praktek keislaman salafi yang bersinggungan. Di mana modernitas menghendaki manusia yang serba instan, oportunis, rasional, cepat, dinamis, hemat dan sebagainya—dalam mencapai sebuah tujuan hidup. Modernitas menjadi obat ampuh bagi sebagian kalangan ketika berhadapan dengan rivalnya. Disadari atau tidak praktek keagamaan mulai sedikit terhambat manakala hamparan peradaban modern menjadi obat mujarab manusia instan, akibatnya beberapa hal terjadi semakin tak terduga, seperti gejala stress meningkat tajam, kehilangan jati diri, aleanasi (keterasingan) eksistensi manusia, serta gelaja individualitas semakin menjadi. Ajaran Islam pun mulai terabaikan sedikit demi sedikit, seperti halnya mencari figur pemimpin Islami menjadi sesuatu yang sangat langka di abad modern ini. Kecamuk modernitas menjadi bahan perbincangan di tempat-tempat dan tak pernah terpikirkan bagaimana menyelesaikan modernitas ketika berhadapan dengan ajaran Islam, bukan saling meyalahkan antar sesama manakala krisis kepemimpinan terjadi begitu besar di beberapa negeri kita. Begitu pula bukan saling menghujat ketika modernitas menjadi obat mujarab para generasi muda-mudi yang jauh dari nilai-nilai islami.
Membicarakan modernitas dan ajaran Islam sekilas terlihat ambiguitas, namun terlepas dari itu semua ada beberapa pandangan ketika modernitas diletakan bersamaan dengan ajaran Islam. Pandangan pertama diwakili oleh golongan tasyaddud terhadap zaman. Golongan ini beranggapan bahwa nilai-nilai modernitas menjadi sebuah nilai yang tidak cocok dalam Islam, sebab modernitas menghendaki manusia serba instan, alhasil mereka lebih memilih pelarangan mode maupun style modern ketika dikonversi ke dalam ajaran Islam. Golongan kedua yaitu golongan tajaddid, yaitu golongan yang menghendaki manusia untuk menjadi modern dalam segala hal—baik pemikiran maupun praktek keagamaan dalam Islam secara menyeluruh. Golongan ketiga adalah golongan tawasuth, yaitu sebuah golongan yang menghendaki manusia ketika bersinggungan antara agama dan modernitas diletakan secara bersamaan dengan mengkonversi substansi modernitas ke dalam wilayah asas-asas islami, jadi yang menjadi titik tolak teropong yaitu ajaran islam menerawang dimensi modernitas.
Di atas merupakan potret kecil pandangan antara modernitas dan ajaran Islam diletakan secara bersamaan. Penulis merasa perlu menggambarkan hal tersebut di atas karena itulah sekelumit sikap para pemikir ketika memperbincangkan tema tersebut. Namun perlu ditekankan pula hal tersebut bukanlah penyederhanaan perdebatan tetapi yang ingin ditekankan oleh penulis yaitu kondisi modernitas dan bentuk pemimpin islami seolah sulit didapat di era modern ini, padahal hal tersebut merupakan dua tema yang harus dipecahkan secara bersamaan bukan saling meniadakan. Pemimpin Islami menjadi sesuatu yang sangat sulit didapat hingga beberapa prasyarat kualifikasi pemimpin dalam Islam meski diikurangi. Menurut penulis ini merupakan sesuatu yang sangat miris ketika kualifikasi kepemimpinan islami dibatasi oleh modernitas. Seperti yang dikutip dalam bukunya Thariq Muhammad bahwa kepemimpinan merupakan salah satu masalah penting yang hilang dari umat kita saat ini. Lebih lanjut menurutnya, kita sekarang hidup dalam krisis yang membuat kita kehilangan tujuan hidup (maqaashid al-hayat), kehilangan langkah-langkah pasti dalam kehidupan serta kehilangan logika sehat[1] kita untuk melaju ke depan menjadi seorang pemimpin.
Sesunguhnya masalah kepemimpinan adalah masalah umat, oleh sebab itu tak dipungkiri ketika ijtihad Thariq Muhammad mewajibkan untuk memikirkannya serta bangkit dari persoalan keterpurukan ini.[2] Ada benarnya ketika syair Arab yang dilansir oleh Thariq Ali yang berbunyi: “al-Islam Mahjubun Bi al-Muslimin”. Maksudnya umat Islam akan hancur oleh kaki-tangan umat Muslim sendiri. Lihat saja mulai dari pola pikir kita yang bergeser pada sikap acuh tak acuh, ditambah pula sikap kita yang mulai tidak peduli sesama manusia, nada bicara kita yang kian hari menjadi pengikut zaman modern dan ditambah pula akhlak kita yang menjadi-jadi pada manusia yang tak berguna. Siapa yang harus disalahkan ketika terjadi guncangan bencana di mana-mana, siapa yang harus bertanggung jawab ketika moral umat manusia menjadi tak terarah.
Hari ini mulailah lupakan sikap saling menyalahkan, menghujat, memaki orang lain, karena semua itulah awal pangkal keterpurukan umat ini. Mulailah berpikir bagaimana mencari solusinya sedikit demi sedikit, apapun kontribusinya yang terpenting mulailah sadar pada diri kita sendiri bahwa kita semua sedang ditimpa krisis multi disiplin baik disintegritas-agama dan Negara, terlebih adalah mencari sosok pemimpin Islami. Setiap manusia secara fitrahnya mempunyai kapasitas serta potensi diri yang berbeda-beda,[3] oleh sebab itu perlu kiranya dalam mengupayakan potensi tersebut membedah apa yang menjadi kendala setiap potensi manusia itu terhalang. Beberapa indikator disebutkan oleh para pemikir ketika melihat potensi manusia terhalang, ada tiga point penting yang menghambat potensi manusia yaitu kesadaran manusia yang hilang, sistem yang kurang tepat dan struktur yang tidak berfungsi. Semua itu berawal dari kepicikan akal kita, kemiskinan akal kita dan keterbelakangan pola akal kita yang memang tidak memahami substansi ajaran Islam.
Menanggapi itu semua penulis akan menjelaskan satu persatu rincian dari tiga poin penting penghambat potensi kepemimpinan. Pertama kesadaran manusia yang hilang yaitu maksudnya adalah manusia secara naluri telah disadarkan oleh Allah SWT, banyak bukti Tuhan menyadarkan manusia kepada kita mulai niat kita sampai laku kita seringkali disindir dalam al-Qur’an dengan sindiran “afala ta’qilun” (apakah kamu tidak berpikir), “faf’alu ma tu’marun” (lakukanlah apa yang telah diperintahkan), afala yubshiruun (apakah mereka tidak melihatnya), dan banyak lagi redaksi sindiran Allah kepada manusia untuk selalu sadar akan jati dirinya sebagai hamba Allah (Abdullah) maupun sebagai Khalifatullah (Pemimpin Di Muka bumi).[4] Kesadaran manusia merupakan sesuatu yang fundamental dalam hidup ini karena ia merupakan pembuka segala hal menuju kebaikan, begitu pula dalam mengembangkan potensi kepemimpinan, Rasulullah telah beramanat kepada umatnya bahwa setiap manusia merupakan pemimpin dalam segala hal, baik dalam wilayah personal atau diri sendiri, keluarga, organisasi, masyarakat, agama maupun Negara sekalipun untuk selalu sadar akan jati dirinya sebagai manusia pemimpin. Kesadaran akan didapat manakala pertanyaan-pertanyaan seperti di bawah ini telah kita pikirkan dan aplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.
1.      Siapa kita ini?
2.      Untuk apa kita diciptakan di muka bumi ini?
3.      Apakah kita penting dalam mengarungi hidup ini?
4.      Pernahkah kita berkontribusi sebagai manusia untuk menjaga serta menciptakan kita, keluarga, masyarakat sekitar menjadi pribadi yang muslim?
5.   Pernahkah kita berprestasi sebagai manusia untuk menjaga serta menciptakan kita, keluarga, masyarakat sekitar menjadi pribadi yang muslim?
6.  Pernahkah kita bergembira ketika kontrbusi dan prestasi kita telah menghantarkan manusia menjadi pribad yang muslim?
Pertanyaan di atas merupakan rangkuman kecil agar kita selalu sadar diri sebagai hamba dan khalifah Allah. Sekarang bukan lagi saatnya untuk berdebat siapa yang salah atau yang benar tetapi mulailah sadar bahwa kita adalah manusia individu sekaligus manusia sosial dalam mengarungi serta menegakan ajaran-ajaran yang telah dituliskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Apakah kita hanya melihat ajaran-ajaran saja dengan cara mengaji dan mengkajinya? Tidak tetapi lebih dari itu.
Kedua adalah sistem yang kurang tepat. Sering kali kita memaksakan logika picik kita yang sok cerdas, pintar dalam memecahkan masalah—akibatnya seringkali kita bahwa Musyawarah merupakan jalan untuk memecahkan masalah, bukan egoism diri kita yang telah berumur tuan ataupun telah sarjana tetapi hasil musyawarah itulah yang harus kita perhatikan dan laksanakan dalam beroganisasi maupun ketika memimpin masyarakat. Seperti halnya ketika ide kita dilontarkan untuk membuat sistem berorganisasi yang baik dalam musyawarah, namun kita malah berbalik arah bahwa sistem tersebut merupakan sebuah sistem yang memang jelas-jelas buruk untuk dilaksanakan ketika hasil musyawarah menolak hal tersebut. Alhasil disamping kita mengkritisi sistem yang buruk tetapi bukan hanya mengkritisi saja, tetapi harus menawarkan beberapa konsep sistem yang memang harus dimusyawarahkan dan itu bisa laksanakan. Jangan sampai ketika sistem yang kurang tepat kemudian terus berlanjut dan berlanjut sampai tak ada gantinya.
Terakhir adalah struktur yang tidak berfungsi. Betapa sering kita menyalahkan orang lain yang telah berbuat sepele kemudian merembet keberbagai persoalan yang lainnya. Pada akhirnya struktur menjadi korban dari segelintir orang yang tidak berfungsi. Oleh sebab itu ketika struktur terlihat tidak berfungsi disinilah peran setiap orang untuk selalu mengingatkan serta memotivasinya untuk tidak saling mengandalkan bahwa dia lebih tinggi derajat organisatorisnya. Diperlukan kreativitas berpikir serta kelegowoan hati untuk menyelesaikan manakala melihat struktur mulai tidak berfungsi lagi.
Bukankah Islam bila dilihat dari berbagai aspek menghendaki perubahan masyarakat demi tujuan duniawi maupun ukrawi. Islam telah mengajarkan kepada kita berbagai macam komprehensif ajarannya baik berorganisasi, keluarga, politik, sosial, berekonomi maupun bernegara untuk diaplikasikannya ajaran-ajaran Islam, bukan hanya dibaca  dan dibaca oleh kita. Misalnya saja Imam Ghazali, Rashid Ridha, Hasan al-Bana dan al-Maudhudi bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang paling lengkap.[5] Tetapi yang perlu disadari adalah apakah kita sendiri hendak menghancurkannya ataukah membangunnya. Konsep dalam al-Qur’an, Hadits, Ijma maupun Hasil Qiyas (pendapat Ulama) terlalu indah jika hanya  kenang dan dibaca, oleh sebab itu apakah dia (ajaran Islam) hanya sebatas konsep saja ataukah sebaliknya, apakah kita hanya berdiam diri dengan melihat kehancuran demi kehancuran pada masyarakat kita atau sebaliknya. Itu semua tergantung pada diri kita masing-masing.  Amanat allah kepada manusia dalam surat ar-Ra’d ayat 11: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka.  Mulailah mengembangkan diri, memberi contoh, memotivasi diri untuk menjadi pemimpin sesungguhnya. 
Setelah merenungi beberapa permasalahan serta tanggapan di atas, maka mulailah sedini mungkin untuk menyadari hal itu semua, beranjak dari fenomena keterpurukan menuju kebangkitan bukan hanya sebatas romantisme peradaban saja—lebih dari itu. Frank Peppers dalam bukunya telah mengingatkan kita untuk menjadi seorang yang kreatif serta merumuskan hal-hal yang terlihat tidak jelas (absurd) menjadi jelas apa yang harus dilakukan oleh kita, yaitu Apa yang seharusnya kita lakukan hari ini ketika melihat persamalahan tersebut? Kemudian bagaimana kita melakukan perwujudan tersebut? Dan yang ketiga Kpan kita harus memulainya?.[6]
Untuk mengakhiri pembahasan ini yang terpenting adalah meneladani sikap akhlak Rasulullah untuk menjadi pemimpin Islami sejati yang tak punya harta (bukan berarti dilarang kaya) dan berpengaruh kepada seluruh dunia oleh-Nya.[7] Sebuah riwayat ulama dapat menjadi renungan kita sehari-hari agar menjadi seorang pemimpin sesungguhnya baik dalam kapasitas individu maupun social-keagamaan:

“Jadilah seorang yang alim (ahli ilmu) atau Pengajar ilmu atau Pendengar Ilmu atau Pecinta Ilmu dan janganlah menjadi yang kelima—maka celakalah dia.”
Pernyataan di atas merupakan buah peringatan kepada kita agar selalu beraktivitas dengan kapasitas keilmuan, sebab jika tidak kita akan menjadi orang yang kelima dari pendapat ulama di atas yaitu orang yang tidak masuk dalam kriterium orang berilmu, pengajar, pendengar maupun pencinta. Seperti penghujat, pembenci, perusak dan bentuk kezoliman yang lainnya.








[1] Thariq Muhammad, Sukses Menjadi Pemimpin Islami, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2005), hal. 15

[2] Thariq Muhammad, ________, hal. 15
[3] Kapasitas potensi tersebut bisa teratualisasi jika structural maupun aktoral berfungsi, lihat M. Daerobi, Menelusuri Akak-Akar Kekerasan Dikalangan Pelajar.  Diakses dari: http://diskursusidea.blogspot.com/2013/06/menelusuri-akar-akar.html. pada 10 Juli 2013 Pukul 19.14 WIB.
[4] Rachmat Ramadhana al-Banjari, Prophetic Leadership, (Yogyakarta: Diva Press, 2008), hal. 21
[5] J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta: PT. RajaGrafndo Persada, 2002), hal. 1

[6] Frank Peppers, Thumb Up!, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008), hal. 27
[7] M Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), hal. 21

0 comments:

Post a Comment