Masih ingat
dengan kasus Syarifuddin
S. Pane, seorang
mantan narapidana (napi)
Rumah Tahanan (Rutan) Salemba,
memicu kehebohan lewat
video kehidupan mewah
di Rutan Salemba yang
dibuatnya saat menghuni
lembaga itu selama
empat bulan pada
tahun 2008. Syarifuddin merekam suasana penjara bagi napi berduit
(memiliki uang) di Rutan tersebut. Penjara berisi mesin pendingin udara,
kulkas, dan dispenser. Selain itu, ada juga bilik bercinta dan ruang
karaoke. Lebih lanjut
menurut Syarifuddin, para
napi dipungut biaya
hingga puluhan juta
untuk mendapatkan fasilitas tersebut.[1]Tidak
hanya kasus Syarifuddin, Ombudsman RI juga menemukan kasus pungutan liar yang
dilakukan oleh petugas
Lapas/Rutan, dimana dalam
pemantauan Rutan Sialang
Bungkuk secara umum menyimpulkan
kaburnya ratusan tahanan
dan narapidana disebabkan
kelebihan penghuni serta dugaan adanya pungutan liar.[2]
Bahkan dalam kasus lain juga ditemukan seperti untuk bisa mendapatkan
air bersih satu
ember, napi diharuskan
membayar Rp20.000, adapun
untuk air minum ukuran satu
galon, mereka harus membayar Rp10.000.[3]
Tak berbeda
jauh dengan hasil pemantauan Komnas
Perempuan, dimana Petugas rutan/lapas tidak jarang menjadikan warga
binaan sebagai pekerja di dalam tahanan untuk
membantu kerja-kerjanya. Petugas
biasanya menawarkan ‘previlege’
bagi penghuni tahanan. Previlege ini
biasanya diberikan oleh
petugas kepada para
penghuni tahanan yang
menjadi pekerja, dengan memberikan
kemudahan terhadap akses
tertentu di dalam
tahanan. Kemudahan yang didapatkan adalah dapat keluar-masuk
dengan mudah di luar blok tahanan. Hal ini dapat membantu penghuni tahanan
menghabiskan waktunya sehari-hari. Namun terdapat juga praktek dimana petugas justru
mengeksploitasi warga binaan sebagai pekerjanya. Salah satu bentuknya adalah
cara melakukan kerja-kerja petugas.[4]
Dari persoalan
di atas memperlihatkan adanya
gap antara akses
mendapatkan hak dengan mekanisme pembinaan warga binaan
pemasyarakatan baik di rutan maupun lapas. Untuk kasus yang pertama, persoalan
disparitas akses keadilan dengan mengandalkan banyaknya uang dan yang kedua sulitnya mengakses
hak-hak dasar napi
hal itu memungkinkan
adanya pungli yang
dilakukan oleh oknum petugas
lapas kepada pihak
keluarga napi/tahan. Selain
itu juga hal
tersebut berlarutnya persoalan lapas
yang sudah overcrowding
dan juga sistem
pemasyarakatan sumber daya
manusia baik dari segi kuantitas maupun kapabilitas.[5]
Di samping
itu, persoalan rutan/lapas
seperti diberitakan dalam
media massa seperti kaburnya narapidana
atau tahanan dari
sebuah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas),
kerusuhan dari dalam Lapas,
peredaran narkotika yang
dikendalikan dari dalam
Lapas, pembakaran Lapas
oleh narapidana, dan berbagai
permasalahan dari dalam
tempat pemasyarakatan. Kondisi
ini bukan saja merupakan informasi
yang luar biasa
lagi, setelah sekian
tahun permasalahan-permasalahan yang terjadi
di rutan/lapas belum
juga terselesaikan dengan
baik dan komperhensif
hingga saat ini,[6]
dan hal itu terkesan berlarut-larut.
Selain itu, ada beberapa
persoalan yang ditenggarai akibat orientasi penerapan hukum pidana yang
berkiblat pada ‘penjara’ yang
menghasilkan situasi overcrowded hingga menempatkan Indonesia
pada titik ekstrim
dengan kelebihan penghuni
sebesar 188%. Situasi
ini membuat munculnya berbagai masalah seperti persoalan di atas.
Situasi ini terjadi bukan semata mata hanya karena adanya kesalahan dan
kekeliruan dalam penanganan oleh petugas Lapas atau minimnya sarana prasarana,
namun terjadi secara
kompleks antara sistem
dengan pelaksanaan di
lapangan dengan seluruh keterbatasannya.[7]
Sebetulnya persoalan lapas/rutan
beberapa kali disebutkan oleh Dirjen Pemasyarakatan yang menginformasikan bahwa
peluang terjadinya suap
atau pungutan liar
saat narapidana atau tahanan mengurus hak
remisi, cuti jelang bebas,
pembebasan bersyarat.[8] Ketatnya
syarat pemberian remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti
bersyarat dan cuti menjelang bebas, panjangnya prosedur yang ditempuh, pemanfaatna
situasi oleh oknum
petugas lapas, serta beberapa tindak
pidana yang mensyaratkan hal-hal
khusus seperti tindak
pidana korupsi, narkotikam terorisme,
hal itu menjadi ruang negoisasi antara oknum petugas
dengan pihak berkepentingan untuk memanfaatkan itu.
Jika melihat
latarbelakang sejarah sistem
pemidanaan di Indonesia
telah mengalami perubahan transformasi
konseptual, seperti yang
dikutip dalam penelitiannya
ICJR,[9]
dari konsepsi retribusi ke
arah konsepsi rehabilitasi.
Hal ini dapat
dilihat dari munculnya
gagasan perubahan mengenai lembaga
penjara (dalam sejarah
disebut sebagai rumah
penjara) menjadi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)
sejak tahun 1963.[10] Pidana
penjara dengan sistem
pemasyarakatan lebih berorientasi
pada ide perlindungan/pembinaan dan perbaikan narapidana untuk dikembalikan
lagi ke masyarakat, yang didasarkan
pada nalar pembinaan
(treatment, rehabilitation, correction).[11] Lapas diharapkan bukan saja sebagai tempat
untuk semata-mata memidana orang, melainkan juga sebagai tempat untuk
membina atau mendidik
narapidana, agar mereka setelah
selesai menjalankan pidananya
mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar Lapas
sebagai warga negara yang baik dan taat pada hukum yang berlaku.[12]
Peningkatan jumlah
penghuni LP dan
Rutan yang mengakibatkan
overcrowded tersebut tidak dibarengi dengan
peningkatan jumlah fasilitas
serta sarana dan
prasarana yang memadai.
Kondisi tersebut jauh dari harapan untuk dapat memenuhi tuntutan dari
standard minimum rules (SMR). Salah satu
persyaratan SMR yaitu
satu sel bagi
setiap narapidana atau
setidak-tidaknya tempat yang memberikan ruang
gerak yang memadai
bagi mereka ketika
mereka tidur. Bersamaan
dengan kondisi overcrowded
tersebut, sejumlah LP dan rutan
mengalami persoalan pembinaan terhadap narapidana. Semakin besar jumlah
narapidana, semakin besar potensi konflik sehingga petugas akan lebih
terkonsentrasi kepada pendekatan keamanan dengan konsekuensi pendekatan
pembinaan atau rehabilitasi terhadap narapidana kurang memperoleh perhatian.[13]
Lebih dari itu, hal yang utama dan pertama yang sangat mempengaruhi tingginya
angka overcrowding di Indonesia adalah kehendak negara yang serta merta masih
berorientasi pemenjaraan dalam setiap proses politik pembuatan hukum yang memuat
ketentuan pidana.
Konsep pemasyarakatan dianggap
sebagai pengganti dari
sistem kepenjaraan kolonial
yang diberlakukan
sebelumnya. Melihat hal
itu timbul pertanyaan
apa sebenarnya perbedaan
diantara keduanya, penting dipertanyakan
karena dalam beberapa
literatur mengambarkan dan
menjelaskan sistem perlakuan terhadap
narapidana dalam sistem
pemasyarakatan dinilai lebih
manusiawi, tidak bersifat punitif,
bersikap bukan pembalasan
dan perlakuan didalam
penjara yang disebut
sebagai Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas), adalah
pembinaan yang bertujuan
memberikan bekal bagi narapidana sebelum
kembali ke masyarakat.
Lapas yang menjadi
salah satu bagian
dari sistem pemasyarakatan hakikatnya
diselenggarakan dalam rangka
membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia
seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak
pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat
hidup secara wajar
sebagai warga yang
baik dan bertanggung jawab.
Penting perlunya
pembenahan dari segi
substansi maupun politik
hukum pemidanaan sekaligus sistem
budaya melihat tantangan
sebagaimana digambarkan di
atas untuk memastikan political will
pemerintah dan DPR
dalam membenahi situasi
lembaga pemasyarakatan secara komprehensif. Dari
rencana paket reformasi
hukum di rutan/lapas,
bisa disimak bahwa
overcrowded dan overstaying lembaga
pemasyarakatan/ rumah tahanan,
tata kelola barang
sitaan, akan menjadi pintu masuk perbaikan holistik
kondisi lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Hingga pada akhirnya Kualitas Layanan
Pemasyarakatan, pada aspek
pendaftaran dan penem-patan,
akomodasi, sanitasi, kebersihan
personal, pakaian, tempat tidur, makanan, air, olahraga, kesehatan, kekerasan,
hubungan dengan dunia luar, fasilitas peribadatan, info perkara, keluhan dan pengaduan,
bahan bacaan, latihan kerja dan kerja,
pendidikan, pemisahan, reintegrasi
sosial, kebutuhan khusus
wanita, kebutuhan khusus anak, dan
pungutan liar relatif baik.
Selain itu
juga penting dilakukan
secara berkala baik
dalam jangka pendek
maupun jangka panjang terkait
pembenahan dan penataan
sumber daya manusia
pada Direktorat Pemasyarakatan Kemekumham dengan
mempertimbangkan ketahanan operasional
di lembaga pemasyarakatan dan balai
pemasyarakatan. Kunci keberhasilan
pembinaan adalah pada sumber daya
manusia lembaga pemasyarakatan
termasuk membekali mereka dengan keahlian dan kepedulian khusus. Sementara itu,
keterbatasan anggaran dalam
lapas juga menjadi
penyebab berbagai tantangan
pembinaan/ pemasyarakatan
tidak berjalan optimal.
Gagasan pelibatan sektor
swasta penting dipertimbangkan juga seperti
dalam membantu keuangan
lembaga pemasyarakatan (baca:
negara) bisa menjadi alternatif lain[14]
dalam menyelesaikan aspek pengeluaran anggaran negara yang cukup besar di
wilayah pembinaan di lapas.
[1] Lidya Suryani
Widayati, Kemewahan Lembaga
Pemasyarakatan dan Rutan,
Vol. III, No. 22/II/P3DI/November/2011, hal. 1
[2] Tempo, Pungutan
Liar Cengkeram LP,
lebih lengkap:
http://mediaindonesia.com/read/detail/104732-pungutan-liar-cengkeram-lp.
Diakses pada 10 September 2017
[3] Sindo, Temuan
Ombudsman: Napi Ditarik
Rp20.000 untuk Seember Air
Bersih, Lebih lengkap: https://nasional.sindonews.com/read/1284499/13/temuan-ombudsman-napi-ditarik-rp20000-untuk-seember-air-bersih-1519359141.
Diakses pada 15 Mei 2018
[4] Komnas Perempuan,
Pemetaan Kekerasan terhadap
Perempuan dalam Tahanan
dan Serupa Tahanan, (Jakarta: Komnas
Perempuan, 2012), hal. 124
[5] Inggrit Ifani,
dkk, Fair Trial
dalam Sistem Peradilan
Pidana Terpadu di
Indonesia: Studi pada
Institusi Kepolisian dan Lembaga Pemasyarakatan, (Jakarta: Pustaka
Masyarakat Setara, 2016), hal. 72
[6] Ruly, Dkk,
Strategi Menangani Overcrowding
di Indonesia: Penyebab,
Dampak Dan Penyelesaiannya, (Jakarta:
Institute for Criminal Justice
Reform (ICJR), 2018), hal. 1
[7] Ibid
[8] Kemenkumham, Hilangkan
Pungli dalam Pemberian
Remisi, Lebih lengkap https://jakarta.kemenkumham.go.id/berita-hukum-dan-ham/434-hilangkan-pungli-dalam-pemberian-remisi.
Diakses pada 14 maret 2018.
[9] Ruly, Dkk,
Strategi Menangani Overcrowding
di Indonesia: Penyebab, Dampak
Dan Penyelesaiannya,
(Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), 2018),
hal. 36
[10] Andi Hamzah, Sistem Pidana
di Indonesia: Dari Retribusi ke Reformasi, dalam Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan
Hukum, Ed. 1, Cet. 1, (Tt: Pradnya Paramita, 1986), hal. 161.
[11] Mardjono Reksodiputro,
Kriminologi dan Sistem
Peradilan Pidana, (Jakarta:
Pusat Pelayanan Keadilan
dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga
Kriminologi) Universitas Indonesia, 1987), hal. 151
[12] P.A.F. Lamintang dan Theo
Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 31
[13] Badan Penelitian
dan Pengembangan HAM,
Departemen Kehakiman dan
HAM RI, Pelaksanaan
Standard Minimum Rules (SMR) di
Lembaga Pemasyarakatan, (Jakarta, Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2003), hal.
69
[14] Inggrit Ifani,
dkk, Fair Trial
dalam Sistem Peradilan
Pidana Terpadu di Indonesia: Studi
pada Institusi Kepolisian dan
Lembaga Pemasyarakatan, (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2016), hal.
98
0 comments:
Post a Comment