Translate

Thursday, 24 May 2018

Persoalan Korupsi dalam Rutan-Lapas di Indonesia



Masih  ingat  dengan  kasus  Syarifuddin  S.  Pane,  seorang  mantan  narapidana  (napi)  Rumah Tahanan  (Rutan)  Salemba,  memicu  kehebohan  lewat  video  kehidupan  mewah  di  Rutan  Salemba yang  dibuatnya  saat  menghuni  lembaga  itu  selama  empat  bulan  pada  tahun  2008.  Syarifuddin  merekam suasana penjara bagi napi berduit (memiliki uang) di Rutan tersebut. Penjara berisi mesin pendingin udara, kulkas, dan dispenser. Selain itu, ada juga bilik bercinta dan ruang karaoke.  Lebih  lanjut  menurut  Syarifuddin,  para  napi  dipungut  biaya  hingga  puluhan  juta  untuk  mendapatkan  fasilitas tersebut.[1]Tidak hanya kasus Syarifuddin, Ombudsman RI juga menemukan kasus pungutan liar  yang  dilakukan  oleh  petugas  Lapas/Rutan,  dimana  dalam  pemantauan  Rutan  Sialang  Bungkuk secara  umum  menyimpulkan  kaburnya  ratusan  tahanan  dan  narapidana  disebabkan  kelebihan penghuni serta dugaan adanya pungutan liar.[2] Bahkan dalam kasus lain juga ditemukan seperti untuk bisa  mendapatkan  air  bersih  satu  ember,  napi  diharuskan  membayar  Rp20.000,  adapun  untuk  air minum ukuran satu galon, mereka harus membayar Rp10.000.[3]

Tak  berbeda  jauh  dengan  hasil  pemantauan  Komnas  Perempuan, dimana Petugas rutan/lapas tidak jarang menjadikan warga binaan sebagai pekerja di dalam tahanan untuk  membantu  kerja-kerjanya.  Petugas  biasanya  menawarkan  ‘previlege’  bagi  penghuni  tahanan. Previlege  ini  biasanya  diberikan  oleh  petugas  kepada  para  penghuni  tahanan  yang  menjadi  pekerja, dengan  memberikan  kemudahan  terhadap  akses  tertentu  di  dalam  tahanan.  Kemudahan  yang didapatkan adalah dapat keluar-masuk dengan mudah di luar blok tahanan. Hal ini dapat membantu penghuni tahanan menghabiskan waktunya sehari-hari. Namun terdapat juga praktek dimana petugas justru mengeksploitasi warga binaan sebagai pekerjanya. Salah satu bentuknya adalah cara melakukan kerja-kerja petugas.[4]

Dari  persoalan  di  atas  memperlihatkan  adanya  gap  antara  akses  mendapatkan  hak  dengan mekanisme pembinaan warga binaan pemasyarakatan baik di rutan maupun lapas. Untuk kasus yang pertama, persoalan disparitas akses keadilan dengan mengandalkan banyaknya uang  dan yang kedua sulitnya  mengakses  hak-hak  dasar  napi  hal  itu  memungkinkan  adanya  pungli  yang  dilakukan  oleh oknum  petugas  lapas  kepada  pihak  keluarga  napi/tahan.  Selain  itu  juga  hal  tersebut  berlarutnya persoalan  lapas  yang  sudah  overcrowding  dan  juga  sistem  pemasyarakatan  sumber  daya  manusia baik dari segi kuantitas maupun kapabilitas.[5]

Di  samping  itu,  persoalan  rutan/lapas  seperti  diberitakan  dalam  media  massa  seperti kaburnya  narapidana  atau  tahanan  dari  sebuah  Lembaga  Pemasyarakatan  (Lapas),  kerusuhan  dari dalam  Lapas,  peredaran  narkotika  yang  dikendalikan  dari  dalam  Lapas,  pembakaran  Lapas  oleh narapidana,  dan  berbagai  permasalahan  dari  dalam  tempat  pemasyarakatan.  Kondisi  ini  bukan saja merupakan  informasi  yang  luar  biasa  lagi,  setelah  sekian  tahun  permasalahan-permasalahan  yang terjadi  di  rutan/lapas  belum  juga  terselesaikan  dengan  baik  dan  komperhensif  hingga  saat  ini,[6] dan hal itu terkesan berlarut-larut.

Selain itu, ada beberapa persoalan yang ditenggarai akibat orientasi penerapan hukum pidana yang berkiblat pada  ‘penjara’ yang menghasilkan situasi  overcrowded  hingga menempatkan  Indonesia  pada  titik  ekstrim  dengan  kelebihan  penghuni  sebesar  188%.  Situasi  ini membuat munculnya berbagai masalah seperti persoalan di atas. Situasi ini terjadi bukan semata mata hanya karena adanya kesalahan dan kekeliruan dalam penanganan oleh petugas Lapas atau minimnya sarana  prasarana,  namun  terjadi  secara  kompleks  antara  sistem  dengan  pelaksanaan  di  lapangan dengan seluruh keterbatasannya.[7]

Sebetulnya persoalan lapas/rutan beberapa kali disebutkan oleh Dirjen Pemasyarakatan yang menginformasikan  bahwa  peluang  terjadinya  suap  atau  pungutan  liar  saat  narapidana  atau tahanan mengurus  hak  remisi,  cuti  jelang  bebas,  pembebasan  bersyarat.[8]  Ketatnya  syarat  pemberian  remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas, panjangnya prosedur yang ditempuh,  pemanfaatna  situasi  oleh  oknum  petugas  lapas,  serta  beberapa  tindak  pidana  yang mensyaratkan  hal-hal  khusus  seperti  tindak  pidana  korupsi,  narkotikam  terorisme,  hal  itu  menjadi ruang negoisasi antara oknum petugas dengan pihak berkepentingan untuk memanfaatkan itu. 

Jika  melihat  latarbelakang  sejarah  sistem  pemidanaan  di  Indonesia  telah  mengalami perubahan  transformasi  konseptual,  seperti  yang  dikutip  dalam  penelitiannya  ICJR,[9] dari  konsepsi retribusi  ke  arah  konsepsi  rehabilitasi.  Hal  ini  dapat  dilihat  dari  munculnya  gagasan  perubahan mengenai  lembaga  penjara  (dalam  sejarah  disebut  sebagai  rumah  penjara)  menjadi  Lembaga Pemasyarakatan  (Lapas)  sejak  tahun  1963.[10]  Pidana  penjara  dengan  sistem  pemasyarakatan  lebih berorientasi pada ide perlindungan/pembinaan dan perbaikan narapidana untuk dikembalikan lagi ke masyarakat,  yang  didasarkan  pada  nalar  pembinaan  (treatment,  rehabilitation,  correction).[11]  Lapas diharapkan bukan saja sebagai tempat untuk semata-mata memidana orang, melainkan juga sebagai tempat  untuk  membina  atau  mendidik  narapidana,  agar  mereka  setelah  selesai  menjalankan pidananya mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar Lapas sebagai warga negara yang baik dan taat pada hukum yang berlaku.[12]

Peningkatan  jumlah  penghuni  LP  dan  Rutan  yang  mengakibatkan  overcrowded  tersebut  tidak dibarengi  dengan  peningkatan  jumlah  fasilitas  serta  sarana  dan  prasarana  yang  memadai.  Kondisi tersebut jauh dari harapan untuk dapat memenuhi tuntutan dari standard minimum rules (SMR). Salah satu  persyaratan  SMR  yaitu  satu  sel  bagi  setiap  narapidana  atau  setidak-tidaknya  tempat  yang memberikan  ruang  gerak  yang  memadai  bagi  mereka  ketika  mereka  tidur.  Bersamaan  dengan  kondisi  overcrowded  tersebut,  sejumlah  LP  dan  rutan  mengalami  persoalan  pembinaan  terhadap narapidana. Semakin besar jumlah narapidana, semakin besar potensi konflik sehingga petugas akan lebih terkonsentrasi kepada pendekatan keamanan dengan konsekuensi pendekatan pembinaan atau rehabilitasi terhadap narapidana kurang memperoleh perhatian.[13] Lebih dari itu, hal yang utama dan pertama yang sangat mempengaruhi tingginya angka overcrowding di Indonesia adalah kehendak negara yang serta merta masih berorientasi pemenjaraan dalam setiap proses politik pembuatan hukum yang memuat ketentuan pidana.

Konsep  pemasyarakatan  dianggap  sebagai  pengganti  dari  sistem  kepenjaraan  kolonial  yang diberlakukan  sebelumnya.  Melihat  hal  itu  timbul  pertanyaan  apa  sebenarnya  perbedaan  diantara keduanya,  penting  dipertanyakan  karena  dalam  beberapa  literatur  mengambarkan  dan  menjelaskan sistem  perlakuan  terhadap  narapidana  dalam  sistem  pemasyarakatan  dinilai  lebih  manusiawi,  tidak bersifat  punitif,  bersikap  bukan  pembalasan  dan  perlakuan  didalam  penjara  yang  disebut  sebagai Lembaga  Pemasyarakatan  (Lapas),  adalah  pembinaan  yang  bertujuan  memberikan  bekal  bagi narapidana  sebelum  kembali  ke  masyarakat.  Lapas  yang  menjadi  salah  satu  bagian  dari  sistem pemasyarakatan  hakikatnya  diselenggarakan  dalam  rangka  membentuk  Warga  Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan  dalam  pembangunan,  dan  dapat  hidup  secara  wajar  sebagai  warga  yang  baik  dan bertanggung jawab.

Penting  perlunya  pembenahan  dari  segi  substansi  maupun  politik  hukum  pemidanaan sekaligus  sistem  budaya  melihat  tantangan  sebagaimana  digambarkan  di  atas  untuk  memastikan political  will  pemerintah  dan  DPR  dalam  membenahi  situasi  lembaga  pemasyarakatan  secara komprehensif.  Dari  rencana  paket  reformasi  hukum  di  rutan/lapas,  bisa  disimak  bahwa  overcrowded dan  overstaying  lembaga  pemasyarakatan/  rumah  tahanan,  tata  kelola  barang  sitaan,  akan  menjadi pintu masuk perbaikan holistik kondisi lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Hingga pada akhirnya Kualitas  Layanan  Pemasyarakatan,  pada  aspek  pendaftaran  dan  penem-patan,  akomodasi,  sanitasi, kebersihan personal, pakaian, tempat tidur, makanan, air, olahraga, kesehatan, kekerasan, hubungan dengan dunia luar, fasilitas peribadatan, info perkara, keluhan dan pengaduan, bahan bacaan, latihan kerja  dan  kerja,  pendidikan,  pemisahan,  reintegrasi  sosial,  kebutuhan  khusus  wanita,  kebutuhan khusus anak, dan pungutan liar relatif baik. 

Selain  itu  juga  penting  dilakukan  secara  berkala  baik  dalam  jangka  pendek  maupun  jangka panjang  terkait  pembenahan  dan  penataan  sumber  daya  manusia  pada  Direktorat  Pemasyarakatan Kemekumham  dengan  mempertimbangkan  ketahanan  operasional  di  lembaga  pemasyarakatan  dan balai  pemasyarakatan.  Kunci  keberhasilan  pembinaan  adalah  pada  sumber  daya  manusia  lembaga pemasyarakatan termasuk membekali mereka dengan keahlian dan kepedulian khusus. Sementara itu, keterbatasan  anggaran  dalam  lapas  juga  menjadi  penyebab  berbagai  tantangan  pembinaan/ pemasyarakatan  tidak  berjalan  optimal.  Gagasan  pelibatan  sektor  swasta  penting  dipertimbangkan juga  seperti  dalam  membantu  keuangan  lembaga  pemasyarakatan  (baca:  negara)  bisa  menjadi alternatif lain[14] dalam menyelesaikan aspek pengeluaran anggaran negara yang cukup besar di wilayah pembinaan di lapas.


[1] Lidya  Suryani  Widayati,  Kemewahan  Lembaga  Pemasyarakatan  dan  Rutan,  Vol.  III,  No. 22/II/P3DI/November/2011, hal. 1
[2] Tempo,  Pungutan  Liar  Cengkeram  LP,  lebih  lengkap:  http://mediaindonesia.com/read/detail/104732-pungutan-liar-cengkeram-lp. Diakses pada 10 September 2017
[3] Sindo,  Temuan  Ombudsman:  Napi  Ditarik  Rp20.000  untuk  Seember  Air  Bersih,  Lebih  lengkap:  https://nasional.sindonews.com/read/1284499/13/temuan-ombudsman-napi-ditarik-rp20000-untuk-seember-air-bersih-1519359141. Diakses pada 15 Mei 2018
[4] Komnas  Perempuan,  Pemetaan  Kekerasan  terhadap  Perempuan  dalam  Tahanan  dan  Serupa  Tahanan, (Jakarta:  Komnas  Perempuan, 2012), hal. 124
[5] Inggrit  Ifani,  dkk,  Fair  Trial  dalam  Sistem  Peradilan  Pidana  Terpadu  di  Indonesia:  Studi  pada  Institusi Kepolisian  dan  Lembaga Pemasyarakatan, (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2016), hal. 72
[6] Ruly,  Dkk,  Strategi  Menangani  Overcrowding  di  Indonesia:  Penyebab,  Dampak  Dan  Penyelesaiannya,  (Jakarta:  Institute  for Criminal Justice Reform (ICJR), 2018), hal. 1
[7] Ibid
[8] Kemenkumham,  Hilangkan  Pungli  dalam  Pemberian  Remisi,  Lebih  lengkap https://jakarta.kemenkumham.go.id/berita-hukum-dan-ham/434-hilangkan-pungli-dalam-pemberian-remisi. Diakses pada 14 maret 2018.
[9] Ruly,  Dkk,  Strategi  Menangani  Overcrowding  di  Indonesia:  Penyebab,  Dampak  Dan  Penyelesaiannya, (Jakarta:  Institute  for Criminal Justice Reform (ICJR), 2018), hal. 36
[10] Andi Hamzah, Sistem Pidana di Indonesia: Dari Retribusi ke Reformasi, dalam Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum, Ed. 1, Cet. 1, (Tt: Pradnya Paramita, 1986), hal. 161. 
[11] Mardjono  Reksodiputro,  Kriminologi  dan  Sistem  Peradilan  Pidana,  (Jakarta:  Pusat  Pelayanan  Keadilan  dan  Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1987), hal. 151
[12] P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 31
[13] Badan  Penelitian  dan  Pengembangan  HAM,  Departemen  Kehakiman  dan  HAM  RI,  Pelaksanaan    Standard  Minimum Rules (SMR) di Lembaga Pemasyarakatan, (Jakarta, Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2003), hal. 69
[14] Inggrit  Ifani,  dkk,  Fair  Trial  dalam  Sistem  Peradilan  Pidana  Terpadu  di  Indonesia:  Studi  pada  Institusi Kepolisian  dan  Lembaga Pemasyarakatan, (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2016), hal. 98

0 comments:

Post a Comment