Hiruk pikuk perdebatan wacana para pemangku kebijakan dengan pemerintah Indonesia kian memanas terlebih tahun ini adalah tahun politik, dimana kontestasi politik tahun 2018 dipercaya menjadi bahan pertimbangan bagi para parpol untuk mengahadapi pertarungan sesungguhnya, yaitu Pilres 2019. Rentetan perdebatan pun dimulai dari E-KTP, Isu intoleran, RKUHP, hingga pengkerdilan kewenangan KPK melalui hasil Hak Angket DPR menjadi bumbu hangat perdebatan tahun awal ini. Belum lagi ditambah gonjang ganjing kasus korupsi, seolah KPK dari 2017 hingga sekarang tak henti-hentinya menjaring para kandidat/petahana kedalam jeruji besi kasus korupsi.
Hingga pada akhirnya perdebatan wacana di tingkat legislator terlihat kurang menjadi perhatian besar bagi kita. Bahkan persoalan subtansial RUU di DPR seperti RKUHP, UUMD3, dan lainnya--- diperdebatkan tidak lagi dilihat sebagai isu substansial tetapi lebih kepada konsumerisme populis konstituen partai. Hingga pada akhirnya kepercayaan publik kepada legislator (DPR) kian memudar.
Beberapa minggu lalu, sebetulnya rakyat sedikit berharap kepada DPR Pasca Novanto ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, namun ketua yang baru Bamsoet pun sama saja memberikan kekecewaan dengan disahkanya UU MD3. Dimana klausul terkait impunitas seperti dalam pasal 122 hurup K, MKD bisa melaporkan perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Kemudian pasal 245, mengatur pemanggilan anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pindana---harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari MKD Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Pasal 73 juga terkait kewajiban bagi seluruh warga Indoensia untuk memenuhi panggilan DPR. Dalam aturan ini terdapat mekanisme pemanggilan paksa pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga --dengan meminta bantuan pihak kepolisian.
Kekecawaan rakyat tidak hanya disitu, selang beberapa hari setelah itu, pasca mendapatkan restu dari Mahkamah Konstitusi (MK) terkait konstitusional Hak Angket DPR kepada KPK, DPR langsung membacakan hasil Pansus Hak Angket KPK pada rapat paripurna 14 Feb 2018, yang hasilnya sangat miris yaitu KPK disarankankan membentuk lembaga pengawas independen yang beranggotakan dari unsur internal KPK dan eksternal KPK yang berasal dari tokoh-tokoh yang berintegritas dalam kerangka terciptanya check and balances.
Padahal hadirnya KPK saat ini karena rendahnya integritas dalam lembaga-lembaga negara akibat adanya asumsi dan bukti mengenai korupsi yang mengakar dan sulit diberantas. Bukankah lahirnya KPK sebagai bentuk independensi terhadap roda pengawasan eksternal, dan dia juga dimonitoring oleh BPK sebagai tugasnya. Bahkan Laporan Keuangan KPK selalu memiliki Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Jika rekomendasi dari pansus angket yaitu membentuk lembaga pengawas independen, apakah itu menandakan KPK selama ini tidak Independen? Padahal dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) beberapa tahun, lembaga yang dipimpinnya mendapat nilai bagus. Selama enam tahun terakhir sejak tahun 2011 KPK memperoleh nilai A.
Rasanya komentar dari ketua DPR terkait perbaikan citra DPR agar lebih merakyat telah gagal diperjuangkan dalam permulaan jabatannya. Demokrasi yang telah diperjuangkan begitu lama seolah pupus begitu saja ditahun politik ini. Tugas pokok yang seharusnya dituntaskan oleh DPR seperti memastikan 50 Rancangan Undang-Undang masuk dalam RUU Prioritas tahun 2018 dikaji kembali mana-mana saja yang lebih bersinggungan dengan rakyat langsung mana yang tidak itu yang seharusnya menjadi prioritas bukan malah membahas kebutuhan politik praktis di tahun politis. Mungkin agak berlebihan bila menilai DPR seperti dalam pepatah kuno: Abeunt studia in mores , artinya yang selalu dilakukan itulah yang kemudian menjadi wataknya.
Salam kesederhanaan.
0 comments:
Post a Comment