Translate

Monday, 27 April 2015

Minimal Batas Usia Perkawinan Ideal Analisis Medis


Minimal batas usia perkawinan di Indonesia bisa dilihat pada pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya 16 tahun. Demikian isi pasal pula 6 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 diulang pada pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, “Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harusa mendapatkan izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.
Bagi orang yang belum mencapai umur minimal tersebut akan kemungkinan melangsungkan perkawinan dengan syarat dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain, seperti disebut dalam pasal 7 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, “Dalam hal penyimpangan ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat alin yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak peria maupun pihak wanita”. Ada point penting yang harus dijelaskan dalam bab ini terkait batas minimal usia perkawianan jika dilihat dari segi hukum dan medis.
Pertama dalam pandangan hukum Islam fikih klasik tidak memberikan batasan usia perkawinan, namun para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas minimal usia perkawinan laki-laki dan perempuan. Dengan jelas para ulama mengacu pada ketentuan normatif seperti pemahaman al-Qur’an dan as-Sunnah, Khabar Sahabat, Ijtihad para ulama serta argumentasi kaidah lainnya. Para ulama menentukan kesiapan menikah dua mempelai laki-laki dan perempuan dengan menitikberatkan pada tingkat kedewasaannya, dengan tanda-tanda baligh pria maupun perempuan. Seperti dengan datangnya tanda haid, kerasnya suara, tumbuhnya bulu ketiak, atau tumbuhnya bulu kasar di sekitar kemaluan. Adapun yang kedua para ulama menentukan kedewasaan dengan batasan minimal usia kedua mempelai seperti Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menentukan bahwa masa dewasa itu mulai 15 tahun. Walaupun mereka dapat menerima kedewasaan dengan tanda-tanda, seperti di atas, tetapi karena tanda-tanda itu datangnya tidak sama untuk semua orang, maka kedewasaan ditentukan dengan umur. Disamakannya masa kedewasaannya untuk pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal. Dengan akallah terjadinya taklif, dan karena akal pulalah adanya hukum.[1]  
Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan itu datang mulai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam Malik menetapkan 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka beralasan dengan “ketentuan dewasa menurut syarat ialah mimpi”, karenanya mendasarkan hukum kepada mimpi itu saja. Mimpi tidak diharapkan lagi datangnya bila usia telah 18 tahun. Umur antara 15 sampe 18 tahun masih diharapkan datangnya. Karena itu ditetapkanlah bahwa umur dewasa itu pada usia 18 tahun.
Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun. Hal ini dikarenakan pada zaman modern orang memerlukan persiapan yang matang, sebab mereka masih kurang pengalaman hidup dan masih dalam proses belajar. namun demikian kepada mereka sudah dapat diberikan beberapa urusan sejak usia 18 tahun.[2]
Meninjau apa yang ada dalam kitab-kitab fiqih konvensional ini, dapat dibandingkan dengan hukum perkawinan di Indonesia yang menetapkan bahwa batas minimal usia perkawinan di Indonesia sejatinya adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Bagi mereka yang tidak mencapai usia ini maka harus meminta izin dari pengadilan, dan bagi calon pengantin yang belum mencapai usia 21 tahun maka harus menyertakan izin dari orang tua.
Perlu dicatat disini, konsep ijtihad batas pada minimal yang diajukan oleh para ulama fikih merujuk pada nilai normatif yang relevansinya pada kala itu, terlihat melompati peristiwa perkawinan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah ketika berumur 6 tahun dan dicampurinya pada usia 9 tahun.[3] Namun para ulama fikih lebih dari itu. Di sini para ulama fikih melompat pada tingkat kontekstual zamannya dengan berijtihad pada batas usia minimal perkawinan dengan dua konsepsi yaitu nilai baligh dan batas minimal usia perkawinan. Antara usia 15 tahun menurut Syafi’iyah dan Hanabilah,  Abu Hanifah usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita, Imam Malik menetapkan 18 tahun baik laki-laki maupun perempuan dan pendapat Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun.
Secara tidak langsung, ijtihad para ulama di atas sangatlah dipengaruhi tidak saja berdasarkan dalil yang ada, namun lebih kepada konteks zaman dewasa kala itu. Begitu juga dengan peraturan perundangan Indonesia yang mengatur batas mimal usia perkawinan. Dalam KHI pasal 15 merumuskan: (1) untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yakni calon suami sekuang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri  sekurang kurangnya berumur 16 tahun. (2) bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2) ,(3) ,(4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.[4] 
Batas minimal 19 tahun bagi calon pria dan 16 tahun bagi perempuan merupakan ranah ijtihadi fikih ala ulama Indonesia yang sudah dipositifkan (diundang-udangkan). Meskipun begitu, spirit peningkatan usia perkawinan pada tahun itu jelas berbeda dengan minimal batas usia perkawinan ijtihad para ulama sebelumnya. Artinya kondisi masyarakat dan tingkat pendewasaan laki-laki dan perempuan di setiap wilayah bersifat kontekstual tergantung faktor-faktor yang mendukung kedewasaan, seperti faktor pendidikan, psikis, sosial, medis dan faktor lainnya.
Jika peningkatan batas usia perkawinan telah dilakukan sebelumnya oleh para ulama klasik dan hukum positif Indonesia pada tahun 1974, mengapa tidak jika saat ini peraturan pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sudah seharusnya direvisi karena berdasarkan beberapa ahli dan pandangan ahli.
Seperti Sarlito Wirawan Sarwono melihat bahwa usia kedewasaan untuk siapnya seseorang memasuki hidup berumah tangga harus diperpanjang menjadi 20 tahun untuk wanita dan 25 tahun bagi pria. Hal ini diperlukan karena zaman modern menuntut untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan, baik dari segi kesehatan maupun tanggung jawab sosial.[5]
Dr. Marc Hendry Frank, mengatakan bahwa perkawinan sebaiknya dilakukan antara usia 20 sampai 25 tahun bagi wanita, dan antara 25 sampai 30 tahun bagi laki-laki. Tinjauan ini juga berdasarkan atas pertimbangan kesehatan. Para ahli Ilmu Jiwa Agama menilai bahwa kematangan adalah beragam pada seseorang tidak terjadi sebelum usia 25 tahun.
Perbedaan pendapat yang tidak terlalu tajam di atas menunjukan bahwa beberapa faktor ikut menentukan cepat atau lambatnya seseorang mencapai usia kedewasaan, terutama kedewasaan untuk berkeluarga. Menurut kondisi Indonesia sekarang, usia yang tepat bagi seseorang untuk menikah ialah sekurang-kurangnya umur 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi pria. Mengapa demikian? Sebab, usia tersebut calon suami istri perlu mempersiapkan diri sebaik mungkin, sehingga pada usia itu seseorang telah matang jasmaninya, sempurna akalnya, dan dapat diterima sebagai anggota masyarakat secara utuh. Pada usia itu, menurut Allport, seseorang telah bisa memaparkan diri (extention of the self) kepada teman hidupnya, di samping biasa menilai dirinya secara obyektif dan mempunyai pandangan tentang posisi dirinya dalam kerangka hal-hal lain yang ada di dunia ini, sehingga ia tahu posisi dirinya dalam mengatur tingkah laku secara konsisten. Dengan kematangan itu kehidupan rumah tangga yang dibinanya diharapkan dapat berjalan sesuai ketentuan agama.
Begitu pula dengan penelitian medis lainnya, seperti ditemukan banyak faktor mengapa peningkatan batas usia minimal perkawinan diperlukan, karena usia di bawah 20 tahun sangat rentan terhadap berbagai penyakit baik dari perempuan mapun dari laki-laki.
Menurut penelitian dari The National Center for Health Statistics, menurut The National Center for Health Statistics, pernikahan yang dilakukan di usia cukup muda, antara 12 hingga 21 tahun, tiga kali lebih banyak berakhir dengan perceraian dibandingkan dengan pernikahan pada usia yang lebih matang. Data di tahun 2002 tersebut memaparkan, 59% pernikahan wanita di bawah 18 tahun berakhir dengan perceraian dalam waktu 15 tahun menikah dibandingkan dengan 36% dari mereka yang menikah di usia lebih dari 20.
Dalam penelitian lainnya, dari 1.000 pria yang diteliti (berusia 25 - 34) ditemukan bahwa 81% di antaranya percaya bahwa waktu yang tepat untuk melepas lajang sekitar umur 25 sampai 27 tahun. Sedangkan untuk wanita, dari data statistik di Amerika Serikat pada tahun 2000 menunjukkan bahwa wanita rata-rata menikah pada usia 25. Pada usia tersebut kebanyakan wanita telah menyelesaikan pendidikannya, memiliki karir mapan dan bisa hidup terpisah dari orang tua.[6]
Berdasarkan catatan di atas, maka Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengimbau para remaja di bawah usia 20 tahun di tanah air untuk dapat menunda usia perkawinan atau tidak buru-buru menikah. Atau dengan kata lain jangan menikah di usia dini, menikahlah di usia matang. Dan menurut Kepala BKKBN Fasli Jalal menjelaskan, kasus pernikahan dini masih kerap ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia dengan usia pernikahan dini antara 16 hingga 19 tahun bahkan ada yang di bawah itu. Saat seorang perempuan menikah di usia 16 tahun dia mempunyai masa reproduksi jauh lebih panjang dibanding mereka yang menikah di atas usia 25 tahun dimana masa reproduksi yang lama maka kemungkinan untuk melahirkan semakin besar sehingga bisa saja mempunyai anak lebih dari dua bahkan lebih dari lima. Selain itu, menurut Fasli, pernikahan di usia dini bisa meningkatkan risiko kematian ibu melahirkan, karena salah satu penyebabnya adalah usia yang terlalu muda saat hamil.[7]
Selain itu berdasarkan catatan medis lainnya, bahwa menikah pada usia kisaran 21-35 tahun resiko gangguan kesehatan pada ibu hamil paling rendah yaitu sekitar 15%. Selain itu apabila dilihat dari perkembangan kematangan, wanita pada kelompok umur ini telah memiliki kematangan reproduksi, emosional maupun aspek sosial. Meskipun pada saat ini beberapa wanita di usia 21 tahun menunda pernikahan karena belum meletakan prioritas utama pada kehidupan baru tersebut. Pada umumnya usia ini merupakan usia yang ideal untuk anda hamil dan melahirkan untuk menekan resiko gangguan kesehatan baik pada ibu dan juga janin. Selain itu sebuah ahli mengatakan wanita pada usia 24 tahun mengalami puncak kesuburan dan pada usia selanjutnya mengalami penurunan kesuburan akan tetapi masih bisa hamil.[8]
Dari situ dapat disimpulkan bahwa sudah selayaknya perundangan terkait batas minimal usia perkawinan terlihat sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan lagi untuk saat ini, berdasarkan argumentasi medis dan pandangan keilmuan lainnya. Seperti yang kita tahu bahwa hukum islam seharusnya melihat prinsip al-hukmu yaduru ma’a illatihi yaitu sebuah hukum diterapkan harus berdasarkan ilat hukum itu sendiri. Dengan kata lain prinsip medis sudah selayaknya diterapkan saat ini untuk batas usia perkawinan.


[1] Abdul Qadir Audah, al-Tasyri al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dâr al-‘Urubah, 1964), hal. 603.
[2] Abdul Qadir Audah, al-Tasyri al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dâr al-‘Urubah, 1964), hal. 603
[3] Ed. Chuzaimah T. Yanggo dan H.A Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer,  (Jakarta: LSIK, Pustaka Firdaus, 2009), hal. 81
[4] Pasal 6 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[5] Ed. Chuzaimah T. Yanggo dan H.A Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer,  (Jakarta: LSIK, Pustaka Firdaus, 2009), hal. 84
[6] Ini Usia yang Tepat untuk Menikah, lebih lengkap lihat http://wolipop.detik.com/read/2014/04/25/193911/2566088/852/ini-usia-yang-tepat-untuk-menikah. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00
[7] Nikah Ideal Itu, 20 Tahun Bagi Wanita, 25 Tahun Bagi Pria, lebih lengkap baca: http://www.merdeka.com/peristiwa/bkkbn-nikah-ideal-itu-20-tahun-bagi-wanita-25-tahun-bagi-pria.html. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00

0 comments:

Post a Comment