Seiring berjalannya waktu, gerak manusia kian hari kian tak tahu arah sejatinya harkatnya. Pola kehidupan menuntut daya dengan beragam pilihan yang sangat problematis. Harapan di depan mata terasa semakin absurd (tak terlihat). Waktu terasa cepat untuk memutuskan sebuah pilihan hidup. Waktu pula merangsang kita dengan begitu banyak input dari luar sehingga kita sulit bahkan tidak mendengar suara bisikan hati dari dalam. Kita kehilangan diri kita sesungguhnya dalam keramaian dunia ini. Di tambah lagi dengan kreasi entertain sejenis kanal TV, internet, dan sebagainya—terus saja menjajaki nilai spirit kita. Makna hidup mengalami degradasi.
Manusia dengan waktu yang sangat terprogram buru-buru
pergi dari sekolah ke tempat les private, lapangan sepak bola, aula teater,
ruang diskusi dan dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya. Meminjam istilah Phillip
McGraw, manusia berada dalam pusaran komedi putar yang bergerak terlalu cepat
sehingga tak bisa berpegang. Bahkan saking cepatnya, kita tak bisa melompat ke
luar. Akibatnya kita berjongkok dan hanya menunggu sampai putaran komedi
berhenti.[1]
Dalam strata sosial, status seseorang kini mulai ditunjuk
dari seberapa sukses kelihatannya orang itu. Hal ini menimbulkan berbagai upaya
kontrol untuk meniru orang-orang yang lebih sukses. Sikap “membandingkan diri
dengan orang lain” begitu tertanam dalam diri sebagian besar kita,[2]
yang membuat kita menilai diri sendiri tidak lagi objektif, siapa kita
sebenarnya? Hal itu karena parameter orang lain masuk ke dalam citra kita. Kita
kehilangan makna manusia sesungguhnya.
Namun apakah kita hanya berdiam diri menunggu komedi
putar berhenti, seraya sambil mengatakan “aduh, kapan ya giliran kita hidupnya
lebih baik?”. Sungguh nada sumbang lirih seperti itu menandakan hakikat serta
mindset manusia mulai terdapat gejala. Sejatinya manusia selalu hidup
berkembang, bukan hanya berpangku tangan menunggu datangnya sang Raja keadilan
memelas kasih padanya. Katakan untuk “tidak” dengan sikap demikian, sekarang
marilah kita renungkan dalam-dalam bagaimana merubah ini semua? Yang pastinya
kita tak butuh guru, orangtua, pasangan, bahkan siapapun untuk merubah kita
sejatinya. Hanya ada kata “kita sendiri” yang membenahi semua ini.
Setelah merenungi beberapa permasalahan serta
tanggapan di atas, maka mulailah sedini mungkin untuk menyadari semua itu,
beranjak dari fenomena keterpurukan menuju kebangkitan bukan hanya sebatas
romantisme (mengingat prestasi masa lalu)—lebih dari itu. Frank Peppers dalam
bukunya telah mengingatkan kita untuk menjadi seorang yang kreatif serta
merumuskan hal-hal yang terlihat tidak jelas (absurd) menjadi jelas apa
yang harus dilakukan oleh kita, yaitu Apa yang seharusnya kita lakukan hari ini
ketika melihat persamalahan tersebut? Kemudian bagaimana kita melakukan
perwujudan tersebut? Dan yang ketiga kapan kita harus memulainya?.[3]
Untuk lebih terarah secara efektif ketika merencanakan
perubahan, pertama-tama kita harus mengetahui di mana kita memulainya? Mengetahui
sesuatu yang seharusnya kita kerjakan selanjutnya dimulai dengan, dan didasarkan
atas, semua itu merupakan pembuka hakikat kemanusiaan sejatinya. Dan jangan
lupa, identifikasi masalah antara minat dan bakat untuk menopang sifat
keseimbangan diri manusia, dengan melibatkan rasa dorongan sifat manusia (hierarchy
of needs), seperti kelangsungan
hidup (survival), keamanan (security),
penghargaan diri (self-esteem), cinta (love), ungkapan diri (self-expression), pemenuhan
intelektual (intellectual fulfillment) dan terakhir
pemenuhan spiritual (spiritual fulfillment). Ketika aktivitas digerakan
secara seimbang oleh tujuh motivasi gerak ini maka akan berpengaruh besar terhadap
diri kita sesungguhnya.
0 comments:
Post a Comment