Translate

Thursday, 17 July 2014

Mengatasi Problem Hidup Manusia (Human Existence)



Seiring berjalannya waktu, gerak manusia kian hari kian tak tahu arah sejatinya harkatnya. Pola kehidupan menuntut daya dengan beragam pilihan yang sangat problematis. Harapan di depan mata terasa semakin absurd (tak terlihat). Waktu terasa cepat untuk memutuskan sebuah pilihan hidup. Waktu pula merangsang kita dengan begitu banyak input dari luar sehingga kita sulit bahkan tidak mendengar suara bisikan hati dari dalam. Kita kehilangan diri kita sesungguhnya dalam keramaian dunia ini. Di tambah lagi dengan kreasi entertain sejenis kanal TV, internet, dan sebagainya—terus saja menjajaki nilai spirit kita. Makna hidup mengalami degradasi.
Manusia dengan waktu yang sangat terprogram buru-buru pergi dari sekolah ke tempat les private, lapangan sepak bola, aula teater, ruang diskusi dan dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya. Meminjam istilah Phillip McGraw, manusia berada dalam pusaran komedi putar yang bergerak terlalu cepat sehingga tak bisa berpegang. Bahkan saking cepatnya, kita tak bisa melompat ke luar. Akibatnya kita berjongkok dan hanya menunggu sampai putaran komedi berhenti.[1]
Dalam strata sosial, status seseorang kini mulai ditunjuk dari seberapa sukses kelihatannya orang itu. Hal ini menimbulkan berbagai upaya kontrol untuk meniru orang-orang yang lebih sukses. Sikap “membandingkan diri dengan orang lain” begitu tertanam dalam diri sebagian besar kita,[2] yang membuat kita menilai diri sendiri tidak lagi objektif, siapa kita sebenarnya? Hal itu karena parameter orang lain masuk ke dalam citra kita. Kita kehilangan makna manusia sesungguhnya.
Namun apakah kita hanya berdiam diri menunggu komedi putar berhenti, seraya sambil mengatakan “aduh, kapan ya giliran kita hidupnya lebih baik?”. Sungguh nada sumbang lirih seperti itu menandakan hakikat serta mindset manusia mulai terdapat gejala. Sejatinya manusia selalu hidup berkembang, bukan hanya berpangku tangan menunggu datangnya sang Raja keadilan memelas kasih padanya. Katakan untuk “tidak” dengan sikap demikian, sekarang marilah kita renungkan dalam-dalam bagaimana merubah ini semua? Yang pastinya kita tak butuh guru, orangtua, pasangan, bahkan siapapun untuk merubah kita sejatinya. Hanya ada kata “kita sendiri” yang membenahi semua ini.
Setelah merenungi beberapa permasalahan serta tanggapan di atas, maka mulailah sedini mungkin untuk menyadari semua itu, beranjak dari fenomena keterpurukan menuju kebangkitan bukan hanya sebatas romantisme (mengingat prestasi masa lalu)—lebih dari itu. Frank Peppers dalam bukunya telah mengingatkan kita untuk menjadi seorang yang kreatif serta merumuskan hal-hal yang terlihat tidak jelas (absurd) menjadi jelas apa yang harus dilakukan oleh kita, yaitu Apa yang seharusnya kita lakukan hari ini ketika melihat persamalahan tersebut? Kemudian bagaimana kita melakukan perwujudan tersebut? Dan yang ketiga kapan kita harus memulainya?.[3]
Untuk lebih terarah secara efektif ketika merencanakan perubahan, pertama-tama kita harus mengetahui di mana kita memulainya? Mengetahui sesuatu yang seharusnya kita kerjakan selanjutnya dimulai dengan, dan didasarkan atas, semua itu merupakan pembuka hakikat kemanusiaan sejatinya. Dan jangan lupa, identifikasi masalah antara minat dan bakat untuk menopang sifat keseimbangan diri manusia, dengan melibatkan rasa dorongan sifat manusia (hierarchy of needs), seperti kelangsungan hidup (survival), keamanan (security), penghargaan diri (self-esteem), cinta (love), ungkapan diri (self-expression), pemenuhan intelektual (intellectual fulfillment) dan terakhir pemenuhan spiritual (spiritual fulfillment). Ketika aktivitas digerakan secara seimbang oleh tujuh motivasi gerak ini maka akan berpengaruh besar terhadap diri kita sesungguhnya.




[1] Phillip C. McGraw, Kau Mesti Tahu Yang Kau Mahu, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), hal. 34
[2] James Redfield, The Celestine Viision, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 22
[3] Frank Peppers, Thumb Up!, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008), hal. 27

0 comments:

Post a Comment