Translate

Thursday, 27 April 2017

Jangan Lupakan Masalah TKI dalam MoU RI-Saudi

Kunjungan Raja Salman menjadi perhatian besar pemerintah Indonesia, bahkan tak tanggung-tanggung pemerintah Indonesia memerintahkan jajaran di bawahnya untuk fokus terhadap pertemuan ini. Mulai dari pengamanan, penginapan hingga kesehatan dan lainnya berkelas VVIP dipersiapkan. Persiapan tersebut tak lain untuk melancarkan agenda bilateral pemerintah RI-Saudi dalam penandatanganan MoU.

Ada sebanyak 10 tema yang akan ditandatangani yaitu kerja sama dibidang kebudayaan, kesehatan, peningkatan status mekanisme bilateral, kerja sama keislaman dan dakwah, pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi, kerja sama kelautan dan perikanan, kerja sama penanganan kejatahan lintas batas, kerja sama pelayanan udara, kerja sama usaha kecil dan menengah (UKM)dan kerja sama perdagangan.

Jika melihat garis besar MoU di atas persentase bidang ekonomi menjadi prioritas utama kerjasama, seperti yang ramai diperbincangkam bahwa Arab Saudi akan berinvestasi sekitar 25 miliar dollar atau sekitar 334 triliun rupiah. Angka yang cukup fantastis. Mengapa Arab Saudi begitu tertarik dengan Indonesia, menurut pengamat timur tengah Zuhairi  Misrawi, pertama Indonesia negara mayoritas muslim terbesar, kedua  Indomesia menjadi negara pemasok haji dan umrah terbesar, hal ini sesuai dengan visi ekonomi arab saudi tahun 2030 yaitu merencanakan jumlah haji dan umrah mencapai 30 juta pertahun. Ketiga indonesia merupakan negara yang terbukti mengadaptasikan nilai-nilai keislalaman dan kemodernan, dan keempat karena indonesia memiliki sikap politik luar negeri yang bebas aktif.

Bisa dikatakan berhasil lobi besar Jokowi pada tahun 2015 lalu dalam lawatannya, karena bisa meyakinkan Sang Raja untuk datang sekaligus bekerjasama dengan Indonesia pada 2017 ini. Namun apakah yang dibicarakan hanya sekedar 10 grand desain, detail  turunan MoU-nya belum bisa dipastikan lebih jelas, kita bisa lihat nanti seperti apa. Namun ada yang perlu dicatat bagi pemerintah Jokowi yaitu upaya pemeritah dalam mengatasi para pekerja migran Indonesia.

Seperti yang dikatakan Anies Migrant Care bahwa kebijakan moratorium ke timteng bukanlah jawaban dari maraknya kasus kekerasan terhadap TKI migran Indonesia. Pasalnya, kata dia, beberapa kali moratorium justru mencerminkan ketiadaan inovasi kebijakan dalam hal perlindungan buruh migran. Selain itu, juga menimbulkan kesan pemerintah tidak pernah mengevaluasi secara serius efektivitas kebijakan moratorium. Migrant Care juga mencatat terdapat pengiriman 2.793 orang PRT migran Indonesia dari Bandara Soekarno Hatta, dalam kurun 2015-2016, atau saat moratorium berlangsung.

Belum lagi dengan kasus seperti TKI yang terkena hukuman mati, masalah besaran diat (denda pengampunan), tenaga kerja tak terdaftar dan human traficking, juga upah yang tidak dibayarkan, eksploitasi, kekerasan fisik, psikis sampai dengan seksual, pencaloan, remitensi dan berlindungan hukum dan masalah lainnya. Menjadi daftar buruknya penanganan masalah tenaga kerja Indonesia dengan Arab Saudi.

Sebagai perbandingan, pajak Freeport selama 25 tahun hanya 214 trilliun rupiah atau dirata-ratakan sekitar 8 trilliun rupiah per tahun saja ramai diperjuangkan. Ini yang jelas-jelas besaran pemasukan devisa negara dari TKI sebesar 144 trilliun rupiah per tahun seolah tidak menjadi prioritas pembahasan dalam lawatan. Sangat penting dimasukan dalam klausul bahwa upaya perlindungan hukum TKI menjadi prioritas pembahasan nanti dalam MoU, bukan saja hanya sekedar isu pembangunan dan investasi yang menjadi prioritas.

*Salam Pecinta Kesederhanaan

0 comments:

Post a Comment