Saat kita mengalami krisis yang berkepanjangan, otak
kanan kita sering menjadi tertutup. Gelisah dan takut terhadap semua hal selalu
hadir dalam otak kita. Kalkulasi serta pertimbangan himpitan masalah
bertubi-tubi, menjadi otak terlihat kaku. Pekerjaan, status sosial, tanggung
jawab, dan kegagalan menjadi terlihat jelas batas titik keterpurukan. Kita
dipaksa menjadi orang yang rasional, yang picik terhadap pertimbangan otak
kiri—yang serba pertimbangan serta ketakutan. Senyuman dan tawa seolah hilang mendadak
disaat kita dirundung banyak masalah. Dan akibatnya kita tidak lagi menghadapi
masalah dengan cara sedikit terbuka pada otak kanan kita.
Betul dan tidak salah, jika kita sedang digandrung
banyak masalah, kita seharusnya lebih arif menghadapinya. Namun bukan berarti
seolah meniadakan senyuman dibalik penderitaan. Ada pepatah: menangislah
disaat waktu yang tepat, dan tertawalah disaat waktu yang tepat? Ada
yang perlu digarisbawahi dalam pepatah tersebut yaitu dalam menghadapi banyak
masalah kita cenderung dipisahkan dalam suasana hati yang riang dan bergembira.
Pepatah tersebut juga mengisyaratkan agar menghadapi masalah tergantung suasana
hati, jika suasananya kurang mengenakan hati, maka menangislah, dan sebaliknya
jika mengembirakan maka tertawalah.
Saat sedang memuncak bukan berarti kita tidak boleh
tertawa dan tersenyum, kenapa demikian? Karena disaat suasana banyak masalah
diperlukan sedikit ruang kegembiaraan agar suasana lebih sedikit mencair dalam menghadapinya.
Disamping itu, agar menghadapi masalah secara terbuka dan tidak cenderung
pesimistis. Kegembiraan bukan saja sekedar hiburan belaka, tetapi lebih dari
itu, isyarat memunculkan sebuah pemecah masalah sedikit terbuka, apalagi jika
dibalut dengan rasa humor yang positif, dia akan menjadikan kita lebih dewasa
dalam menghadapinya.
Fakta demikian terekam dari bukunya The Art Happines
at Work – Howard Culter yang menyatakan kurang lebih ketika kita membawa rasa
humor ke dalam dunia kerja kita, itu merupakan sebuah keberkahan. Humor
merupakan penyeimbang yang hebat. Karena humor, seorang CEO jadi kelihatan tdak
terlalu menakutkan. Begitupun seorang guru, dosen ataupun direktur, jika
menghadapi masalah besar, ketika rasa humor ditimbulkan, membuat hari-hari
kelabu menjadi sangat cerah. Mengapa rasa humor diperlukan ketika menghadapi
situasi sempit, karena rasa humor biasanya dibarengi dengan kegembiraan. Bukan
zamannya lagi humor merupakan suatu yang reflek, tiba-tiba dan spontan, namun
humor juga bisa diciptakan saat kondisi sempit oleh kita.
Humor yang dibarengi dengan kegembiaraan saat
menghadapi masalah, membuka kesempatan adanya makna disetiap sudut pristiwa. Ia
membantu kita keluar dari kecemasan-kecemasan, dan mengajak kita dan orang lain
di sekitar untuk menemukan sesuatu yang bisa membuat kita gembira. Hal ini
bukan berarti kita lari masalah, tetapi untuk menyeimbangkan antara refleksi
masalah agar dihadapi dengan penuh optimistik dan bergairah—bahwa masalah
merupakan sebuah pembelajaran bukan sebuah ukuran kelemahan/kekuatan.
Sejalan dengan itu, menurut Alex Pattakos, humor
merupakan senjata lain dari jiwa untuk
mempertahankan diri dari tekanan (Alex Pattakos, Prisoners of Our Thought:
Victor Frankl’10s Principles, 2004). Lebih lanjut menurutnya gambaran
tersebut telah ada dalam pristiwa seorang pskolog-terapeutik ternama yaitu
Victor Frankl. Jauh sebelum menjadi seorang psikolog terapeutik, dia hidup di
zaman kekejaman Nazi, serta ditempatkan di kamp konsentrasi Nazi selama Perang
Dunia II. Seharusnya Frankl hidup dalam tekan yang menggila, tetapi tidak
baginya, Frankl berusaha memaksimalkan serta menciptakan suasana riang dan
penuh humor saat krisis menghapirinya. Bahkan Frankl melatih seorang temannya
di salah satu kamp untuk mengembangkan rasa humor. Dia juga mengusulkan kepada
untuk sama-sama berjanji menciptakan setidaknya satu lelucon setiap harinya,
dan lelucon itu harus terkait dengan sesuatu yang mungkin terjadi setelah hari
pembebasan setelah di kamp. Dan hal itu terbukti, Frankl menjadi inspirator
banyak orang hingga kini.
Kisah tersebut memberikan insiprasi kepada kita pada
sebuah harapan di tengah puncak permasalahan, dan Frankl menciptakan suasana
berbeda. Dan hal itu menjadi sebuah awal titik pemecah masalah bisa saja diselesaikan
dengan beragam cara, salah satunya humor menjadi pembuka dalam menghadapi
masalah. Keseimbangan menghadapi masalah sangatlah diperlukan, dia tidak saja
hanya berlaku pada tataran analitis, tetapi juga perasaan. Maka dari itu
diperlukan setetes ruang segar untuk melepaskan penat di tengah hempasan masalah.
*Salam Pecinta Kesederhanaan
0 comments:
Post a Comment