Rentetan perseteruan legitimasi antara KPK dan
Kepolisian kian memanas, bahkan berujung pada pengujian eksistensi kewenangan
dua lembaga ini. Perhelatan semua ini mirip dengan sebuah cerita romansa “kisah
lama terulang kembali”. Ya, siapa yang tak kenal dengan perseteruan antara Cicak
Vs Buaya kala pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Perseteruan pertama tahun
2009 terkait penyadapan oleh KPK terhadap Kabareskrim Mabes Polri, yang saat
itu Komjen Susno Duadji, puncaknya Bareskrim Mabes Polri menahan Bibit Samad
Riyanto dan Chandra M Hamzah. Tidak
hanya disitu, perseteruan kedua pun berlanjut pada tahun 2012 saat pengusutan
kasus korupsi simulator sim yang menjerat Kepala Korps Lalu Lintas Polri yaitu
Irjen Djoko Susilo, saat itun pula terjadi pergesekan antara KPK dengan anggota
Brigadir, yang mengepung Gedung KPK. Kini kisah itu terulang kembali.
Berawal dari kisruh pemilihan calon tunggal Kapolri
Budi Gunawan yang diajukan oleh presiden, saat uji fit and proper test
berlangsung tepat pada tanggal 13 Januari 2015, KPK menetapkan status tersangka
pada Komjen Budi Gunawan dalam kasus rekening gendut. BG disangka memiliki
rekening gendut ketika menduduki kepala Biro Pembinaan Karir. Perseteruan KPK
dan Kepolisian tak hanya disitu, meski telah berstats sebagai tersangka,
pemilihan BG sebagai kapolri tetap berlanjut dan pada tanggal 14 Januari 2015
Komisi III DPR menggelar rapat pleno, yang hasilnya secara aklamasi sepakat
mengangkat Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Lebih jelasnya rentetan
distraksi perseteruan KPK VS Kepolisian yang dirangkum dari detik.com:
Jika melihat distraksi perseteruan di atas, maka akan
banyak timbul pertanyaan besar. Salah satunya, Mengapa perseteruan dua lembaga
ini terulang lagi? Tak salah jika
beberapa pengamat mengatakan lagitimasi Polri sudah bergeser dalam
penindakannya, tak lain adalah distraksi politis yang digunakan saat ini. Distraksi
politik memang terlihat bergerak bukan saja dari partai politik, tapi sudah
menjalar kepada institusi, yang konon tidak memiliki keberpihakan. Argumen pun bergerak
lebih dari sekedar fakta, bahwa orang-orang yang memiliki opini berbeda
sehingga berhembus pada kebenaran relatif. Atraksi legitimasi dua lembaga
kemudian dipertontonkan kepada publik, tak lain agar kekuasaan ataupun legitimasi
(bargain of legitimate) kedua lembaga ini menjadi semakin kokoh dimata
publik. KPK dengan legitimasinya sebagai pemangsa korupsi berhadapan keras
dengan Institusi kepolisian. Bukannya saling menjaga diri dari musuh sebenarnya (Korupsi), malah mencari-cari
kartu truf demi melemahkan institusi.
Ada yang unik dari perseteruan KPK dan Kepolisian, tak
lain membuka kartu lama dengan alasan mempunyai bukti baru (nouvum), memang
aneh. Disaat kondisi sedang memanas, kepolisian dengan gagahnya ingin membawa
Bambang Widjojanto ke ranah hukum demi terkuaknya sengketa Pilkada Kotawaringin
2010. Dua bukti yang cukup menjadi pertarungan perebutan bergain institusi
untuk menarik simpati publik. Publik tidak lagi sekedar tahu dari perhelatan
panas pemilihan Kapolri, yang berujung pembrangusan kekuatan KPK.
Pembawaan opini dari dua alat bukti kepolisian dalam
kasus sengketa pilkada ini, menjadi tanda tanya besar? Siapa yang sebetulnya
dirugikan pada sengketa Pilkada Kotawaringin 2010? Publik atau kepolisian?
Nampaknya sangat jelas, mencari-cari kartu truf untuk mengokohkan kepolisian semakin
terlihat jelas, lihat saja ketika konfirmasi dari Ujang Iskandar (Bupati
Kotawaringin), saat Bambang Widjojanto menjadi pengacaranya, kasus saksi palsu
pun sudah dicabut oleh pelapor kala itu.
Memainkan peran dan distraksi politik oleh kepolisian
secara tidak langsung akan mencoreng nama institusi, hal itu pula menjadi
keraguan tersendiri bagi publik bahwa apakah Polri sudah terlibat jelas secara
politik praktis ataukah tidak. Hinggap di benak pikiran saya, apakah memang
salah jika pemilihan serta pertanggungjawabannya langsung dari presiden—yang
syarat tersangkut politik praksis. Ataukah institusi ini memang impunitas
terhadap kasus yang menerpanya, sehingga apapun yang terjadi atas nama korps
jalan distraksi politik pun menjadi pilihan tersendiri.
0 comments:
Post a Comment