Istilah fundamentalisme menurut Dictionary of
Israeli – Palestinian Conflict, diartikan sebagai: a literal
adherence to the tenets of a
religion or belief system; fundamentalism also implies an opposition to all
development or evolution in
religion. On the level of political doctrine, fundamentalism favors an
intransigent conservatism. [1] Sebuah ketaatan terhadap prinsip sebuah agama atau
sistem kepercayaan, dan secara implisit fundamentalisme merupakan respon
perlawanan terhadap semua bentuk kemajuan atau perubahan dalam sebuah agama. Di
level doktrin politik, fundamentalisme menyukai pemahaman konservatif-keras.
Lebih teoritis lagi, menurut Marty dan Appleby,
sebagai gerakan, fundamentalisme dan fundamentalis, ditandai oleh sikap yang
melawan atau berjuang (fight). Di antaranya adalah melawan kembali (fight
back) kelompok yang mengancam keberadaan mereka atau identitas yang menjadi
taruhan hidup. Mereka berjuang untuk (fight for) menegakan cita-cita
yang mencakup persoalan hidup secara umum, seperti keluarga atau institusi social
lain. Kaum fundamentalis juga berjuang dengan (fight with) kerangkan
nilai atau identitas tertentu yang diambil dari warisan masa lalu maupun
konstruksi baru. Mereka juga berjuang melawan (fight against)
musuh-musuh tertentu yang dipandang menyimpang. Terkahir kaum fundamentalis
juga dicirikan oleh perjuangan atau nama (fight under) Tuhan atau ide-ide lain.[2]
Dari
sejarahnya fundamentalisme merujuk
pada gerakan Protestan Amerika awal abad ke-20 yang menyerukan agama kembali
kepada penafsran injil secara harfiah.[3]
A.M
Hendroprino menyatakan bahwa Fundamentalisme merupakan
fenomena global yang dapat ditemui di semua agama besar di dunia.
Fundamentalisme tidak menunjukan katakana-katakana agama tetapi lebih merupakan
pandangan dunia sosio-politik yakni masalah yang menyangkut watak Negara,
masyarakat, dan politik dunia. Sebagian ahli
yang mengatakan bahwa beberapa agama besar dunia sejak semula mempunyai ambisi
terhadap aturan sosial-chauvinistik dan sistem eksklusif terhadap negara-bangsa.
Untuk menjawab semua itu, di bawah ini
catatan penting mengenai karateristik Fundamentalisme Yahudi.
***
Jika kita telusuri lebih dalam, Istilah “Fundamentalisme Yahudi” memiliki persamaan
dan perbedaan dari makna Fundamentalis Kristen. Secara implisit perbedaan
keduanya yaitu pendustaan terhadap teks-teks Alkitab atau Talmud tertentu,[4]
lebih jelasnya Fundamentalis Yahudi percaya bahwa Alkitab itu sendiri tidak mempunyai
kewenangan kecuali ditafsirkan dengan benar melalui literatur Talmud.[5]
Bisa dikatakan Fundamentalisme Yahudi di sini didefinisikan sebagai keyakinan terhadap
Yahudi Ortodoks, yang didasarkan pada Talmud Babilonia, serta pemahaman literatur
Talmud dan sastra halachic yang masih berlaku. Keberadaan Fundamentalis
Yahudi tidak hanya ada di Israel tetapi di setiap negara yang memiliki akses komunitas
Yahudi yang cukup. Gerakan fundamentalis yang sangat mencolok yaitu keinginan pembangunan
kembali tempat ibadah di Yerusalem. Fundamentalisme Yahudi tidak hanya mampu
mempengaruhi kebijakan Israel konvensional tapi bisa juga secara substansial,
seperti mempengaruhi kebijakan nuklir Israel. Kemungkinan konsekuensi yang sama
fundamentalisme ditakuti oleh banyak orang untuk negara-negara lain.[6]
Jauh sebelum itu, dalam perjalananya, abad ke-XIX di Eropa,
gerakan Zionisme- memberikan kontribusi lain yaitu menciptakan tanah air bagi
orang Yahudi di Palestina, tanah dari mana mereka telah didorong oleh orang
Romawi hampir dua ribu tahun sebelumnya. Diaspora Yahudi meratapi kehancuran
Yerusalem dan mereka berdoa setiap hari agar kelak Mesias (sang juru selamat)
mengembalikan kekuasaan Yahudi di tanah Israel. Semua ini, menurut tradisi
Yahudi akan dicapai oleh Allah pada waktu yang dipilih. Awal mula pergerakan
ini merupakan bagian kelompok radikal-intelektual, yang sebelumnya Zionis
dikutuk oleh para pemimpin Yahudi utama untuk mencoba untuk memaksa tangan
Allah melalui tindakan politik. Namun, ledakan kekerasan anti-Semitisme di
seluruh Eropa pada 1870-an memberikan kepercayaan sekaligus mengklaim bahwa
orang Yahudi membutuhkan tanah mereka sendiri, dan hal itu telah memberikan
legitimasi pada gerakan Zionisme yang sebelumnya tidak dimiliki.
Kepercayaan
fundamental ajaran zionisme ini juga
dimaknai sebelumnya sebagai pemahaman akan pemaknaan akan Bukit Zion yang
menempati kedudukan penting dalam agama Yahudi, karena menurut Taurat versinya,
“Al-Masih yang dijanjikan akan menuntun kaum Yahudi memasuki ‘Tanah yang
Dijanjikan’. Dan Al-Masih akan memerintah dari atas puncak bukit Zion”. Zion
dikemudian hari diidentikkan dengan kota suci Jerusalem itu sendiri. Bisa
dikatakan bahwa akar dari Fundamentalisme Yahudi merupakan faham yang lahir
keyakinan zion di Palestina, dimana tanah tersebut merupakan satu-satunya yang
dihadirkan bagi anak-anak Tuhan. Yahudi menjadi klan yang dijanjikan sebagai
pembawa perubahan dan berhak atas tanah yang dijanjikan terse but. Ide inilah
yang merupakan cikal bakal lahirnya Negara Israel di Palestina.[7]
Sebagai gerakan afiliasi terhadap penafsiran sebuah
kitab, Zionis diperluas dan menjadi matang pergerakannya, namun pada akhirnya
gerakan ini terpecah menjadi tiga aliran pemikiran, yaitu:[8]
Pertama, Zionis religius yang menganut dan percaya bahwa kembali
ke Israel adalah bagian dari rencana keseluruhan Allah bagi orang-orang Yahudi.
Kedua, Zionisme tenaga
kerja yang tumbuh dari akar sosialis Eropa, dan yang, sementara itu tidak
menolak unsur agama, jauh lebih tertarik pada pertumbuhan ekonomi dan
organisasi. Ketiga Zionisme sekuler, di mana aliran rasionalis
ini berusaha untuk menciptakan sebuah negara Yahudi yang demokratis tanpa
peraturan agama atau ornamen.
Ketika negara Israel dibentuk pada tahun 1948, tiga
aliran ini terus mendapat ketegangan dan perpecahan di antara penduduk Yahudi
sendiri. Bagi kelompok Zionisme Buruh yang merupakan aliran terbesar saat itu,
mereka tidak cukup kuat untuk melakukan regulasi pemerintahan yang tanpa
kompromi dan penciptaan koalisi. Dengan demikian pesaing uatama Partai Buruh
yaitu sekuler. Akibatnya partai-partai keagamaan yang lebih kecil adalah
pilihan koalisi murni. Dalam rangka menciptakan pemerintah koalisi pada tahun
1948, Partai Buruh terpaksa memberlakukan unsur-unsur tertentu dari hukum
Yahudi ortodoks, yaitu:[9] a) Ketaatan publik terhadap
semua hari libur Yahudi dan hari Sabat; b) Menghormati hukum halal di
instansi pemerintah; c) Pembiayaan publik untuk
sekolah agama; dan d) Ketaatan pernikahan dan
perceraian pada hukum ortodoks
Ditambah lagi dengan aturan tahun 1950, yang
menyatakan bahwa setiap orang Yahudi di seluruh dunia memiliki hak untuk datang
ke Israel dan mencapai kewarganegaraan. Tindakan ini memiliki dampak yang
sangat besar pada fundamentalisme Yahudi karena mereka membentuk dasar bagi
identitas Yahudi religius bukan sekadar identitas wilayah atau etnis. Agama
Yahudi ortodoks, meskipun minoritas di Israel, tetapi spririt serta sikap
kerasnya telah menyumbangkan di dunia politik Israel, dan hal itu secara
simultan mendorong kepatuhan yang lebih besar agar hukum Taurat menjadi bagian
dari koalisi hukum yang berkuasa. Pemicu Masalah fundamentalisme Yahudi berakar
pada Perang Enam Hari pada bulan Juni 1967. Dalam kemenangan menakjubkan Israel
merebut semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir, Dataran Tinggi Golan dari
Suriah, dan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dari Yordania. Dari semua
penaklukan tersebut, hal itu membawa tidak hanya lahan yang luas dan besar,
populasi Arab vis a vis di bawah kontrol Israel, hal itu juga yang menyebabkan
perseteruaan bagi kaum arab da telah menimbulkan kesulitan besar bagi
pemerintah Israel. Meminjam bahasanya Adele Ferdows dan Paul Weber, Berapa banyak tanah harus itu ditinggali? Haruskah
Yahudi diizinkan untuk menetap di tanah yang ditaklukkan? Dari
pertanyaan-pertanyaan ini lahir kemudian fundamentalisme Yahudi kontemporer.
Banyak Zionis religius memaknai kemenangan Israel
sebagai pembenaran keyakinan mereka, yang mana hal itu buah upaya rencana Tuhan
Sementara yang lain, baik negeri Israel sendiri maupun masyarakat internasional
percaya bahwa orang-orang Yahudi sekarang dalam posisi untuk perdagangan tanah
ditangkap (termasuk tempat-tempat suci dan beberapa daerah kecil yang dianggap
perlu untuk keamanan nasional) untuk jaminan perdamaian, Zionis religius
membuat retensi isu tanah yang berkaitan dengan ajaran dasar agama, dan itu
tidak mungkin ada kompromi dan tidak ada konsesi. Mereka bergabung untuk
pertama kalinya, kelompok nasionalis, sekuler dan militan serta bersikeras
untuk memblokir setiap upaya pemerintah untuk bernegosiasi.
Sebuah strategi utama dengan cepat dikembangkan untuk
mendirikan pemukiman Yahudi di wilayah penduduk, khususnya Tepi Barat, dalam
rangka merrebut kembali tanah bagi pemerintah. Pada tahun 1974 upaya ini
menyebabkan pembentukan Gerakan Gush Emunim, atau 'Blokir Mukminin',
sebuah gerakan religio-politik fundamentalis yang baik secara legal maupun
ilegal mengembangkan pemukiman baru yang mereka menentang pemerintah untuk
meruntuhkan. Yang kedua sebuah strategi lebih tidak menyenangkan untuk
mengganggu dan mengusir orang-orang Arab yang menolak untuk menjual tanah
mereka untuk pemukiman ini. Diperparah pada tahun 1977 kemenangan menakjubkan
dari sayap kanan Partai Likuid, yang dipimpin oleh Menachem Begin, atas Partai
Buruh, mengakibatkan pemerintah koalisi secara signifikan lebih bersimpati
kepada tujuan Gush Emunim, dan permukiman Yahudi di wilayah-wilayah pendudukan
cepat meluas. Menurut salah satu otoritas, Gush Emunim 'kurang lebih sengaja
mendorong pelecehan warga Palestina di tepi Barat dalam rangka menciptakan
ketegangan dan meningkatkan keengganan Israel untuk menarik diri dari daerah.
Jika ini memang strategi mereka, mereka pasti berhasil. Salah satu hasilnya
yaitu mengubah iklim politik sehingga sejumlah partai keagamaan baru
fundamentalis muncul, termasuk Morasha dan Kach, yang terakhir kelompok
kekerasan rawan yang diselenggarakan oleh mantan Amerika Meir Kahane dengan
tujuan yang dinyatakan mengusir semua orang Arab Palestina dari tanah
menaklukkan.
Sementara kelompok-kelompok ini tetap menjadi
minoritas kecil di Israel, kemunculan mereka telah menambahkan dukungan untuk
Gush Emunim dan gerakan pemukiman. Sekarang tidak mungkin bahwa setiap
pemerintah Israel memaksa untuk melakukan agar membongkar pemukiman atau
menarik militer dari wilayah yang diduduki. Antara pengusiran dan pelecehan
oleh kelompok-kelompok fundamentalis yahudi mendapatkan ledakan protes dari
sebuah gerakan atau yang biasa disebut 'intifada'. Di mana lebih dari satu juta
orang Arab, hampir dari semuanya meyakinkan bahwa tidak ada koesistensi damai
akan berujud di masa mendatang. Hasil ketiga adalah erosi lebih lanjut dari
dukungan untuk Israel di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat dan
Inggris. Fundamentalisme Yahudi tetap kuat, kekuatan militan dalam politik
Israel. Apakah kebijakan mereka akan menghasilkan reaksi antara warga Israel
dan penurunan berikutnya masih harus dilihat. Itu tidak terjadi pada akhir
1991. Hanya satu hal tampaknya pasti: apakah itu diwujudkan dalam Islam,
Kristen, tradisi agama Yahudi atau lainnya, fundamentalisme tetap menjadi
kekuatan politik yang terbatas namun tetap ampuh dan tidak akan menghilang
dalam waktu dekat.
***
Jika
mecermati gerakan fundamentalisme yahudi di atas, ada beberapa catatan penting
untuk dikaji lebih lanjut. Pertama, Kekurang-mampuan orang Yahudi dalam
memahami demokrasi. Watak orang Yahudi terbentuk oleh budaya dan agamanya
cenderung otoriter. Demokrasi barangkali baik bagi orang lain, tetapi bagi
orang Yahudi dimana pun ia berada, ia akan mendirikan suatu masyarakat
aristokrasi atau sejenisnya (periksa tentang: ajaran Qabala). Demokrasi oleh
orang Yahudi digunakan hanyalah sebagai alat, sekedar buah kata, yang digunakan
oleh para juru-bicara Yahudi sekedar sebagai suatu mekanisme perlindungan
kelompok (‘defence mechanism’) di tempat-tempat dimana mereka ditindas, serta untuk
mendapatkan status persamaan; begitu telah mencapai kedudukan dan status yang
sama, mereka segera berusaha mendapatkan privilese, hak-hak istimewa, yang
seolah-olah telah menjadi hak mereka – seperti pada ‘Konperensi Perdamaian’
Versailes 1918 – menjadi contoh yang mengagetkan banyak orang. Kaum Yahudi
sekarang ini adalah satu-satunya masyarakat dimana hak-hak khusus dan privilese
yang dicantumkan khusus bagi mereka dituliskan di dalam ‘perjanjian-perjanjian’
dunia (teks aseli hak-hak istimewa bagi orang Yahudi dalam perjanjian
Perdamaian Versailes 1918 dipublikasikan pada bulan Juli 1920; harap dirujuk
juga kepada hak-hak khusu dan privilese istimewa Israel dalam resolusi-resolusi
PBB).
Kedua,
Terhadap sikap anti-Yahudi, ada tiga penyebab yang biasanya dijadikan mereka
sebagai argumen : 1. prasangka keagamaan, 2. prasangka ekonomi, 3.antipati
sosial. Masalahnya apakah kaum Yahudi itu menyadari atau tidak, bahwa bagi
orang non-Yahudi, Yudaisme itu dipandang sebagai salah satu “agama wahyu”
bersama-sama dengan Kristen dan Islam. Prasangka yang ada lebih banyak
bersumber dari sebab non-keagamaan soal kecemburuan ekonomi barangkali memang
ada. Sudah bukan rahasia lagi keuangan dunia itu ada dalam genggaman para
bankir Yahudi; keputusan dan kebijaksanaan mereka menjadi hukum
ekonomi-keuangan bagi dunia barat. Kecemburuan ekonomi mungkin dapat
menjelaskan sebagai salah satu sebab dari timbulnya sikap anti-Yahudi; tetapi
isa juga kecemburuan ekonomi yang menimbulkan “masalah Yahudi” itu merupakan
unsur kecil dari suatu problema yang lebih besar. Sedangkan antipati-sosial di
masyarakat Barat yang berkulit putih dan Kristen – beban antipati itu di Barat
bukan hanya dipikul oleh orang Yahudi, tetapi juga oleh orang kulit hitam,
orang Cina, orang muslim, serta komunitas lain di dunia ini, yang jumlah mereka
justru lebih banyak daripada orang Yahudi. Orang Yahudi itu tidak pernah
menyebut-nyebut politik sebagai penyebabnya, atau jika mereka nyaris keseleo
lidah yang bernada sugestif ke arah itu, mereka segera membatasinya, atau
melokalisasinya. Unsur politik yang inheren melekat pada masyarakat Yahudi, dimana
saja mereka itu berada mereka senantiasa akan membentuk semacam “negara”
sendiri di dalam negara tuan-rumah. Ketertutupan sikap masyarakat Yahudi yang
lebih mengutamakan hubungan internal diantara mereka sendiri, menjadi salah
satu penyebab utama yang menimbulkan sikap anti Yahudi.
[2] Dikutip dari Tarmizi Taher, Dkk, Radkalisme
Agam, (Jakarta: PPIM-IAIN Jakarta, 1998), hal. xix
[3] Roxanne L. Euben, Musuh dalam
Cermin: Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalisme Modern,(Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2002),hal. 41
[4] Adele Ferdows dan Paul
Weber, Fundamentalism, dalam Encyclopedia of Government
and Politics, edited by Mary Hawkesworth and Maurice Kogan, Vol. I-II, (New
York: Routledge, 1992), hal. 189
[5] Israel
Shahak dan Norton M, Jews Fundamentalism in Israeli, (Tt: Pluto Press,
1999), hal. 11
[6] Israel Shahak dan NortonM, Jews Fundamentalism
in Israeli, (Tt: Pluto Press, 1999), hal. 11
[7] Zainal Azhar Maulani, dalam Zionisme
Gerakan Menaklukan Dunia, ___________,
[8] Adele Ferdows dan Paul
Weber, Fundamentalism, dalam Encyclopedia of Government
and Politics, edited by Mary Hawkesworth and Maurice Kogan, Vol. I-II, (New
York: Routledge, 1992), hal. 189
[9]Adele Ferdows dan Paul
Weber, Fundamentalism, dalam Encyclopedia of Government
and Politics, edited by Mary Hawkesworth and Maurice Kogan, Vol. I-II, (New
York: Routledge, 1992), hal. 189-190
0 comments:
Post a Comment