Translate

Wednesday, 14 January 2015

Kisruh Pemilihan Kapolri Budi Gunawan: Era Jokowi


Pemilihan calon tunggal Kapolri menuai kritik tajam dari beberapa pengamat, dimulai tak melibatkannya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan KPK menjadi kesalahan tersendiri bagi pemerintahan Jokowi-JK. Ditambah lagi saat uji Fit and Proper Test sedang berlangsung, secara tiba-tiba KPK menetapkan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka korupsi. Dengan dijerat  melanggar Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, atau Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 jo. pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP.[1] Meski statusnya sebagai tersangka, maka tetap berlaku asas praduga tidak bersalah. Di mana seseorang tidak dapat disalahkan sebelum putusan hakim berkekuatan hukum tetap. Namun apakah hal ini akan diteruskan lebih lanjut ataukah tidak? Biarkan hukum berbicara.
Ada yang perlu dicatat dalam pencalonan Kaporli kali ini, proses seleksi yang dajukan Kompolnas kepada Presiden Jokowi yang tidak melibatkan beberapa institusi yang berwenang menjadi dilema tersendiri. Berbeda di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ketika memilih Komjen Pol. Sutarman—Presiden melibatkan PPATK dan KPK sebelum diajukan kepada DPR untuk diuji kelayakannya sebagai Kapolri. Meski proses pemilihan Komjen Sutarman dinilai berjalan mulus, namun tetap, beberapa organisasi seperti KonraS dan IPW (Indonesia Police Watch) mengkritisinya untuk dipertimbangkan dalam pemilihan Kapolri tahun lalu.
Ada yang menarik antara pemilihan Kapolri Sutarman pada tahun 2013 lalu dengan pemilhan Budi Gunawan sekarang. Yang mana Organisasi seperti IPW (Indonesia Police Watch) yang gencar menyerang Komjen Sutarman agar diklarifikasinya sejumlah kasus yang melibatkannya,[2] namun sekarang seolah tak bertaring ketika Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka. Secara tidak langsung IPW malah berbalik arah mendukung pencalonan Budi Gunawan. Bahkan tak segan-segan IPW menyindir Komisioner KPK harus dibubarkan, dengan alasan kriminalisasi. Wah ada apa ini? Sutarman juga mendapat serangan karena memiliki tingkat loyalitas tinggi terhadap atasan. Tapi pemilihan kali ini berbeda lagi ceritanya.
Secara implisit memang rangkaian pemilihan Kapolri sekarang membawa KPK kepada jurang politis, karena disaat bersamaan KPK seolah tidak memberikan (active recommendation) kepada Presiden. Lihat pasal 6 UU No. 30 tahun 2002 yang menyebutkan tugas utama KPK:
a.     Melakukan koordinasi dengan instasi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.     Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.     Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d.     Melakukan tindakan-tindakan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi; dan
e.     Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Jadi logika yang didapat dari pasal di atas seharusnya KPK menetapkan status tersangkanya sebelum proses pemilihan sedang berlangsung, dan memberikan rekomendasi kepada instansi terkait, dalam hal ini presiden maupun Kompolnas. Namun nasib berkata lain, baik Presiden dan Lembaga terkait soalah lempar sembunyi tangan ketika kepala PPATK Muhammad Yusuf mengaku sudah menjelaskan secara langsung kepada Presiden Joko Widodo soal adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan.[3] Memang sangat disayangkan ketika terjadi kasus seperti ini, seolah sinkronisasi antara peran lembaga komisi dan pemerintah tak berjalan sesuai apa yang dikata Jokowi sebagai Nawacita. Lucu sedikit lucu dari negeri ini, namun apa dikata, nasi sudah menjadi bubur.
 Masyarakat seolah apatis terhadap institusi ini, disamping perannya sebagai pengawasan serta mengendalikan penyelidikan, penyidikan, penindakan, pemeriksaan sampai penyelesaian/penyerahan berkas perkara[4] kepada Jaksa Penuntut Umum—menjadi dilema tersendiri ketika Implementasi Grand Strategi Polri 2005-2025[5] masih terlihat di bawah aras. Penegakan hukum dirasa hanya flatus voice (kentut) belaka, karena sedari dulu beberapa kasus di internal kepolisian masih saja menjadi potret buram penegakan hukum di Indonesia. Pilhan masyarakat tak butuh orang cerdas, tapi memiliki integritas dan janji akan kejujuran dalam penindakan apapun. Biarkan hukum berjalan apa adanya, tanpa ada intervensi pihak manapun, jika memang tidak terbukti dari Budi Gunawan dalam persidangan nanti maka sangkaan terhadapnya sebagai pemilik rekening gendut, maka harus lakukan sesuai yang ada.  A confess in fault is the respectable …..
*Salam Pecinta Kesederhanaan



[1] Diakses pada tanggal 13 Januari 2015 pukul 20:28. http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/2431-kpk-tetapkan-bg-kalemdikpol-tersangka
[2] Diakses pada tanggal 17 oktober 2013 pukul 13.20, http://www.pikiran-rakyat.com/node/255186.
[4] Lihat Proses Pengawasan dan Pengendalian Penyidikan dalam Himpunan Bujuklak, Bukuklap dan Bujukmin Proses Penyidikan Tindak Pidana, (Jakarta: Tp, 2000), hal. 32
[5] Lihat Muhamad Daerobi, Antara Komjen Pol. Sutarman Dengan Grand Strategi Reformasi Kepolisian, lihat lebih lengkap: http://hukum.kompasiana.com/2013/10/17/antara-komjen-pol-sutarman-dengan-grand-strategi-reformasi-kepolisian-599840.html

0 comments:

Post a Comment