Seperti yang kita
ketahui bahwa pengertian serta pembahasan tentang “saksi” terdapat
banyak dalam al-Qur’an, namun spesifikasi pada persoalan saksi perempuan hanya
terdapat pada surat al-Baqarah Ayat 282. Pada ayat ini menjelaskan pengertian saksi pada saat kejadian
atau peristiwa berlangsung. Peristiwa atau
kejadiannya pun sudah sangat spesifik, yakni mu’amalah (transaksi dua pihak)
secara tidak tunai untuk waktu yang telah ditentukan. Hal ini sama dengan
pengertian saksi dalam peristiwa akad nikah, bahwa nikah tidak sah kecuali
dilakukan oleh wali dan dipersaksikan oleh dua orang saksi yang adil.
Persaksian termasuk salah satu dari alat-alat bukti (bayyinah)
yang dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan
sesuatu perselisihan atau perkara.
Dalam kitab fikih, terutama Mazhab Syafi’iyyah,
selalu dinyatakan bahwa untuk bisa dijadikan sebagai saksi dalam akad
pernikahan, seseorang harus memiliki kriteria sebagai berikut: Pertama, ‘adalah
(adil). Ini adalah syarat yang mutlak dalam sebuahpersaksian pernikahan,
sebagaimana teks hadis. Yang dimaksud ‘adalah (adil) dalam fikih klasik adalah
orang yang bebas dari dosa-dosa besar, seperti zina, syirik, durhaka kepada
orang tua, minum khamar, dan sejenisnya. Selain itu, seseorang yang adil adalah
orang yang secara ghalib (pada umumnya) menjauhi perbuatan dosa-dosa kecil,
misalnya makan riba (rentenir) dan transaksi dengan akad ribawi (mengandung
riba).
Kedua, minimal dua orang. Jumlah ini adalah
jumlahminimal yang harus ada. Apabila hanya ada satu orang,maka tidak mencukupi
syarat kesaksian pernikahan yangsah. Sebab teks hadis menyebutkan harus ada 2
(dua) orang saksi yang adil. Ini syarat minimal. Lebih
banyak yang menjadi saksi, maka tentu lebih baik, sebab nilai ‘adalah bisa
semakin kokoh. Ketiga, beragama Islam. Kedua orang saksi
itu haruslah beragama Islam. Apabila salah
satunya di luar Islam atau dua-duanya, maka tentu akad
pernikahan itu tidak sah. Keempat, berakal. Seseorang yang
kurang waras atau idiot atau gila, tentu tidak sah menjadi
saksi sebuah pernikahan. Kelima,baligh. Seorang anak kecil yang belum baligh
(cukup umur, dapat membedakan baik-buruk), tidak sah
menjadisaksi. Keenam, merdeka. Seorang budak tidak sah menjadi saksi sebuah pernikahan. Ketujuh, laki-laki.
Kesaksian perempuan dalam pernikahan dipandang tidak sah, meski dengan empat perempuan untuk penguat. Khusus dalam persaksian nikah, kedudukan
laki-lakisebagai saksi tidak bisa digantikan dengan dua perempuan.
Inilah pandangan tentang persyaratan saksi yang umum ditemui dalam kitab-kitab fikih, terutama
dikalangan Mazhab Syafi’iyyah. Berbeda dengan ketentuan hukum yang berlaku
dewasa ini di negeri kita, ketentuan ini bahkan diberlakukan sangat ketat,
selalu mensyaratkan jumlah, agama, jenis kelamin, status merdeka atau budak,
dan kualitas-kualitas yang lain.
Adapun persaksian dalam mu’amalah sebagaimana
dimaksud dalam teks ayat 282 Surat al-Baqarah, sekurang-kurangnya dilakukan
oleh dua orang laki-laki atau jika tidak ada dua orang laki-laki boleh
dilakukan oleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Fikih
klasikmemberikan ketentuan tentang syarat-syarat laki-laki bagiyang akan
menjadi saksi, yaitu:
Pertama, saksi hendaklah seorang laki-laki muslim. Pendapat ini didasarkan
pada perkataan “min rijalikum” (dari orang laki-laki
di antara kamu [orang-orang yang beriman) yang
terdapat di dalam ayat. Menurut sebagian ulama, beragama
Islam bukanlah syarat bagi seorang saksi dalam mu’amalah.
Karena tujuan persaksian di dalam mu’amalah ialah sebagai alat bukti
apabila terjadi perselisihan atau perkara antara pihak-pihak yang berjanji di
kemudian hari. Karena itu, orang yang tidak beragama Islam pun dibolehkan menjadi saksi asal saja
tujuanmengadakan persaksian itu dapat tercapai.
Kedua, saksi hendaklah seorang yang adil, tidak memihak sehingga tercapailah
tujuan diadakannya persaksian, sesuai dengan firman Allah swt., “....dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (QS.
al-Thalaq: 2). Selanjutnya, ayat al-Baqarah:282 ini membedakan persaksian
laki-laki denganpersaksian perempuan. Seorang saksi laki-laki dapatdiganti
dengan dua orang saksi perempuan. Para ulama berbeda pendapat tentang
sebab-sebab Allah membedakan jumlah saksi
laki-laki dengan jumlah saksi perempuan.
Ada beberapa alasan yang sering diungkapkan
ialah bahwa laki-laki dan perempuan itu masing-masing diciptakan Allah
mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Masing-masing mempunyai
kesanggupan dan kemampuan dalam suatu lapangan lebih
besar dari kesanggupan pihak yang lain. Dalam bidang muamalat
ketika ayat tersebut turun, laki-laki mempunyai
kemampuan lebih dibandingkan dengan perempuan karena
selama ini muamalat pada umumnya dilakukan oleh
laki-laki. Walaupun sejumlah perempuan terkenal, seperti
Siti Khadijah ra. juga ahli dalam bermuamalat, berdagang. Oleh karena itu, pemikiran dan ingatan perempuan dalam bidang ini pun (saat itu
dinilai) relatif kurang. Apabila persaksian dilakukan
oleh seorangperempuan, dimungkinkan ia lupa, maka hendaklahada perempuan lain
sebagai pendamping saksi yangdapat mengingatkannya. Sekali lagi, perlu diingat
bahwa dalam konteks demikianlah ayat tersebut turun.
Menurut Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi dalam
Hikmatu al-Tasyri’, laki-laki lebih banyak menggunakan pikiran dalam menimbang suatu masalah yang dihadapinya, sedang perempuan lebih banyak menggunakan perasaannya. Karena itu, perempuan lebih lemah
iradahnya (kehendaknya), kurang banyak menggunakan pikirannya dalam masalah
pelik, lebih-lebih apabila ia dalam keadaan benci dan marah atau ia dalam
keadaan gembira atau sedih karena sesuatu hal yang kecil. Lain halnya dengan
laki-laki, ia sanggup, tabah, dan sabar menanggung kesukaran, ia tidak
menetapkan sesuatu urusan kecuali setelah memikirkannya dengan matang.
Bidang muamalat adalah bidang yang lebih banyak menggunakan pikiran dari pada
perasaan. Dalam pada itu, seorang saksi dalam muamalat juga berfungsi sebagai juru
damai antara pihak-pihak yang berjanji apabila terjadi perselisihan di kemudian
hari. Menurut Syaikh al-Jurjawi, itulah di antara hikmah mengapa Allah
menyamakan nilai saksi seorang laki-laki dengan saksi dua orang perempuan.
Sepertiapa yang dikutip dalam bukunya Lia Aliyah
al-Himmah bahwa surat al-baqarah: 282 barulah muncul pandangan dominan bahwa
kesaksian perempuantidak bisa diterima, kecuali bersama (digabung) dengan
laki-laki. Jika hanya perempuan saja tanpa laki-laki, meskipun jumlahnya banyak,
tidak bisa diterima kesaksiannya, kecuali berkaitan dengan masalah (rahasia)
keperempuanan, atau dalam hal hanya perempuan saja yang bisa melihat dan
mengalaminya.
Ayat ini menjadi sangat penting dalam kajian
kesaksian karena memasukkan
faktor jenis kelamin dalam kualitas kesaksian, sah
atau tidaknya kesaksian, dan selanjutnya diterima atau
tidaknya kesaksian. Sementara ayat-ayat lain yang lebih banyak, seperti dalam
surat QS. al- Nisa’: 15 tentang pendatangan empat orang saksi terhadap
perbuatan keji, al-Thalaq: 2 dalam masalah iddah, al-Nur: 13, al-Nur:
24, tentang mendatangkan saksi dalam perzinahan. Dari beberapa ayat al-Qur’an
mengenai kesaksian yang telah disebutkan ternyata lebih menekankan kualitas
kejujuran, keadilan, dan persentuhan langsung saksi dengan kejadian sebagai
penentu kesaksian, tidak menjadikan jenis kelamin sebagai faktor penentu.
Faktor penentu ini pula telah melahirkan
kualifikasi laki-laki yang hanya bisa menjadi saksi dalam akad perkawinan. Dalam KHI, terutama pada Pasal 25, dimana dikatakan bahwa: “Yang dapat ditunjuk menjadi saksi
dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh,
tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli”. Persyaratan
laki-laki dalam saksi akad nikah menjadi dilema besar manakala dihadapkan pada
persoalan kontemporer. Ini akan menimbulkan pola diskriminatif manakala
dibebankan pada jenis kelamin. Problema ini akan terlihat dalam Peradilan Agama
di Indonesia yang secara jelas tidak dilarang perempuan menjadi saksi, selama
dia masih masuk dalam kriteria sebagai saksi (syarat formil).
Bila merujuk
pada fiqh klasik, terdapat relasi kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan dalam kesaksian. Dalam Fikih juga memberikan tempat khusus bagi perempuan untuk bersaksi. Namun, kesaksian ini hanya menyangkut urusan keperempuanan, bukan urusan publik yang luas. Dalam kitab-kitab fikih,
banyak disebutkan bahwa dalam kondisi di mana tidak ada orang yang bisa
menyaksikan kecuali perempuan, maka kesaksian perempuan bisa diterima. Ini
didasarkan pada hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam al-Daruquthni dan
al-Thabrani: Anna al-nabiyya shalallahu‘alaihi wa sallama ajaza syahadata
qabilati. (Sesungguhnya Nabi saw. telah membolehkan kesaksian perempuan
kabilahku). Juga, hadis yang diriwayatkan oleh Abd al-Razaq, dari al-Zuhri
berkata: “Telah berlaku kebiasaan bahwa kesaksian perempuan dibolehkan dalam
kondisi dimana tidak ada orang kecuali perempuan, termasuk dalam hal kelahiran
dan hal-hal yang menyangkut kerahasiaan perempuan.’’
Ada beberapa alasan mengapa KHI memberikan
kualifikasi jenis kelamin laki-laki dalam kesaksian akad nikah (pasal 25),
yaitu pertama pendekatan sumber hukum yang digunakan ketika melakukan
ijtihad, kedua pola pendekatan metodelogi. Seperti yang penulis telah
paparkan di atas, pendekatan sumber hukum islam ketika memformulasikan KHI
sebagai produk perundang-undangan (qonun) seperti biasa menetapkan
al-Qur’an, as-Sunnnah serta hasil ijtihad (fiqh jamai’) sangatlah berpengaruh
terhadap hasil ijtihad dalam merumuskan KHI, ditambah lagi formulasi yang
dipergunakan masih berpegang pada prinsip utama dalam kaidah ushuliyyah ““Hukum-hukum itu tidak diambil terkecuali dari nash atau
mengembalikan kepada nash.” Kaidah ini
adalah kaidah yang dilakukan oleh jumhur ulama ketika hendak mencari suatu
hukum. Pola
pendekatan ini mirip dengan pola pendekatan lafziyyah (tekstual) yang
mana pendekatan lebih ditekankan pada lafaz teks ayat, bukan yang tersurat.
Bisa disimpulkan bahwa pasal 25 mengenai
kesaksian perempuan dalam akad nikah tidak mendapat tempatnya. Karena
pendekatan sumber hukum (mashadir al-hukm) serta formulasi penarikan
hukum (thuruq al-istinbath) dalam hal ini masih memberlakukan teori
klasik yang bersifat dogmatik. Menurut penulis, seharusnya dalam merumuskan KHI
juga melihat surat-surat yang berkaitan dengan kesaksian (munasabah
al-ayat), karena dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa parsyarat yang
menjadi paling dominan sebetulnya adalah adil (‘ádalah), artinya
penempatan jenis kelamin bukanlah persoalan fundamental tetapi seperti
keadilan, tidak gila, dewasa, tidak dibawah pengampuan menjadi prasyarat
menjadi saksi dalam akad nikah menjadi yang dituju.
Perlu dipahami pada dasarnya Surat al-Baqarah ayat 282 tidak menunjukkan inferioritas (kerendahan)
perempuan danj uga tidak
bermaksud mendiskriminasikannya. Ayat ini justru tengah mengangkat posisi
perempuan agar sederajat dengan laki-laki
dalam persaksian dan mendorong partisipasi
perempuan yang sebelumnya diposisikanhanya pada wilayah domestik.
Manurut Mahmud al-‘Aqqad bahwa penaralan dalam surat al-Baqarah 282 adalah untuk menegakkan keadilan, menjaga kebenaran, dan menciptakan kemaslahatan. Karena itu, jangan
sampai pemahaman kita terhadap ayat ini kemudian
berdampak pada
diskriminasi, subordinasi, dan inferioritas perempuan, sesuatu yang bertentangan dengan keadilan
dankemaslahatan itu sendiri.
Ada beberapa catatan jika Pasal 25 mengambil istinbath
hukumnya dari surat al-Baqarah: 228 dan Riwayat Abu ‘Ubadah (tentang
ketidakbolehannya perempuan dalam hal pidana dan sebagainya, serta hadits
al-Bukhari mengenai kekurangan akal perempuan dalam agamanya, bahwa legitimasi
dari dalil itu semua seharusnya dipahami secara kontekstual. Sepertisurat al-Baqarah,
dalam ayat ini secara spesifik membahas kesaksian dalam
beberapa jenis perjanjian finansial, mu’amalah
yang tidak tunai untuk waktu
yang telah ditentukan (ila ajalinmusamma). Kita tidak bisa melakukan
generalisasi terhadap semua
bentuk transaksi dan perjanjian. Penyebutan dua perempuan juga bukan
dimaksudkan jenis kelamin, tetapi lebih pada kualitas dan kemampuan saksi
sebagaimana perempuan saat itu yang kurang memiliki pengalaman dan pengetahuan
transaksi keuangan. Karena fungsi kesaksian sesungguhnya tidak ditentukan oleh
jenis kelamin, melainkan oleh keterlibatan yang bersangkutan dengan peristiwa
yang terjadi dan kemampuan pemahamannya dengan maksud peristiwa tersebut.
Laki-laki atau perempuan tentu saja memiliki posisi yang sama untuk menjadi
saksi, asalkan yang bersangkutan adil, jujur, dan memiliki pemahaman yang
memadai (tidak mudah ditipu) terhadap hal yang ia persaksikan.
Lia Aliyah al-Himmah, Kesaksian Perempuan: Benarkah Separuh Laki-Laki?, (Jakarta: Rahima, 2008), hal. 17-18
Lia
Aliyah al-Himmah, Kesaksian Perempuan: Benarkah Separuh Laki-Laki?, (Jakarta: Rahima, 2008), hal. 17-18
Syaikh ‘Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmatu
al-Tasyri’ waFalsafatuhu (Jeddah: al-Haramain, tt.), juz I, h. 162-163 dan
juz II, hal. 154.
Syaikh ‘Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmatu
al-Tasyri’ waFalsafatuhu (Jeddah: al-Haramain, tt.), juz I, h. 162-163 dan
juz II, hal. 150-151
Lia
Aliyah al-Himmah, Kesaksian Perempuan: Benarkah Separuh Laki-Laki?, (Jakarta: Rahima, 2008), hal. 24
Sulistyowati. Hukum dan Perempuan; Menuju Hukum yang
Berperspektif Kesetaran dan Keadilan,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 156
Lia Aliyah al-Himmah, Kesaksian Perempuan: Benarkah Separuh Laki-Laki?, (Jakarta: Rahima, 2008), hal. 26
Abbas Mahmud al-‘Aqqad, al-Mar’ah fi
al-Quran,(Beirut:: Dar al-Kutub al-’Araby,
t.t.), hal. 107.