Translate

Makna Dibalik Kegagalan

Kata “Gagal” seringkali diartikan peyoratif/negatif, tak ayal balutan serta bungkusan yang menyelimuti kita ditopang dengan beragam cara. Apapun itu, yang penting kita jauh dengan kata “gagal”. Namun apa makna dibalik kegagalan...

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi

Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi...

Implikasi Putusan Praperadilan Kasus BG, Bukti Nyata Hukum Indonesia Tak Jelas

Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini.....

Adonis, Sastrawan Arab Paling Kritis

Adonis merupakan penyair Arab yang paling berpengaruh di abad ke-20. Karya sastra modernisnya sangat berpengaruh terhadap dampak budaya Arab.....

Lintasan Sejarah Komunisme di Dunia Islam

Persinggungan antara komunisme di barat maupun di wilayah timur, terkhusus di Dunia Islam terdapat titik persamaan konseptual yaitu menolak terhadap kolonialisme barat. Seperti yang kita ketahui, hampir rata-rata di dunia Islam paruh abad 18-19-an, telah terjadi pergeseran antar ideologi.

Saturday, 22 June 2013

Kesaksian Perempuan Dalam Perkawinan: Analisis Pendapat Fiqh Dan KHI (Kompilasi Hukum Islam)


Oleh Muhamad Daerobi[1]
Seperti yang kita ketahui bahwa pengertian serta pembahasan tentang “saksi” terdapat banyak dalam al-Qur’an, namun spesifikasi pada persoalan saksi perempuan hanya terdapat pada surat al-Baqarah Ayat 282. Pada ayat ini menjelaskan pengertian saksi pada saat kejadian atau peristiwa berlangsung. Peristiwa atau kejadiannya pun sudah sangat spesifik, yakni mu’amalah (transaksi dua pihak) secara tidak tunai untuk waktu yang telah ditentukan. Hal ini sama dengan pengertian saksi dalam peristiwa akad nikah, bahwa nikah tidak sah kecuali dilakukan oleh wali dan dipersaksikan oleh dua orang saksi yang adil.[2] Persaksian termasuk salah satu dari alat-alat bukti (bayyinah) yang dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan sesuatu perselisihan atau perkara.[3]
Dalam kitab fikih, terutama Mazhab Syafi’iyyah, selalu dinyatakan bahwa untuk bisa dijadikan sebagai saksi dalam akad pernikahan, seseorang harus memiliki kriteria sebagai berikut: Pertama, ‘adalah (adil). Ini adalah syarat yang mutlak dalam sebuahpersaksian pernikahan, sebagaimana teks hadis. Yang dimaksud ‘adalah (adil) dalam fikih klasik adalah orang yang bebas dari dosa-dosa besar, seperti zina, syirik, durhaka kepada orang tua, minum khamar, dan sejenisnya. Selain itu, seseorang yang adil adalah orang yang secara ghalib (pada umumnya) menjauhi perbuatan dosa-dosa kecil, misalnya makan riba (rentenir) dan transaksi dengan akad ribawi (mengandung riba).
Kedua, minimal dua orang. Jumlah ini adalah jumlahminimal yang harus ada. Apabila hanya ada satu orang,maka tidak mencukupi syarat kesaksian pernikahan yangsah. Sebab teks hadis menyebutkan harus ada 2 (dua) orang saksi yang adil. Ini syarat minimal. Lebih banyak yang menjadi saksi, maka tentu lebih baik, sebab nilai ‘adalah bisa semakin kokoh. Ketiga, beragama Islam. Kedua orang saksi itu haruslah beragama Islam. Apabila salah satunya di luar Islam atau dua-duanya, maka tentu akad pernikahan itu tidak sah. Keempat, berakal. Seseorang yang kurang waras atau idiot atau gila, tentu tidak sah menjadi saksi sebuah pernikahan. Kelima,baligh. Seorang anak kecil yang belum baligh (cukup umur, dapat membedakan baik-buruk), tidak sah menjadisaksi. Keenam, merdeka. Seorang budak tidak sah menjadi saksi sebuah pernikahan. Ketujuh, laki-laki. Kesaksian perempuan dalam pernikahan dipandang tidak sah, meski dengan empat perempuan untuk penguat. Khusus dalam persaksian nikah, kedudukan laki-lakisebagai saksi tidak bisa digantikan dengan dua perempuan.
Inilah pandangan tentang persyaratan saksi yang umum ditemui dalam kitab-kitab fikih, terutama dikalangan Mazhab Syafi’iyyah. Berbeda dengan ketentuan hukum yang berlaku dewasa ini di negeri kita, ketentuan ini bahkan diberlakukan sangat ketat, selalu mensyaratkan jumlah, agama, jenis kelamin, status merdeka atau budak, dan kualitas-kualitas yang lain.[4]
Adapun persaksian dalam mu’amalah sebagaimana dimaksud dalam teks ayat 282 Surat al-Baqarah, sekurang-kurangnya dilakukan oleh dua orang laki-laki atau jika tidak ada dua orang laki-laki boleh dilakukan oleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Fikih klasikmemberikan ketentuan tentang syarat-syarat laki-laki bagiyang akan menjadi saksi, yaitu:
Pertama, saksi hendaklah seorang laki-laki muslim. Pendapat ini didasarkan pada perkataan “min rijalikum” (dari orang laki-laki di antara kamu [orang-orang yang beriman) yang terdapat di dalam ayat. Menurut sebagian ulama, beragama Islam bukanlah syarat bagi seorang saksi dalam mu’amalah.[5] Karena tujuan persaksian di dalam mu’amalah ialah sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan atau perkara antara pihak-pihak yang berjanji di kemudian hari. Karena itu, orang yang tidak beragama Islam pun dibolehkan menjadi saksi asal saja tujuanmengadakan persaksian itu dapat tercapai.
Kedua, saksi hendaklah seorang yang adil, tidak memihak sehingga tercapailah tujuan diadakannya persaksian, sesuai dengan firman Allah swt., “....dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (QS. al-Thalaq: 2). Selanjutnya, ayat al-Baqarah:282 ini membedakan persaksian laki-laki denganpersaksian perempuan. Seorang saksi laki-laki dapatdiganti dengan dua orang saksi perempuan. Para ulama berbeda pendapat tentang sebab-sebab Allah membedakan jumlah saksi laki-laki dengan jumlah saksi perempuan.
Ada beberapa alasan yang sering diungkapkan ialah bahwa laki-laki dan perempuan itu masing-masing diciptakan Allah mempunyai kelebihan dan kekurangan.[6] Masing-masing mempunyai kesanggupan dan kemampuan dalam suatu lapangan lebih besar dari kesanggupan pihak yang lain. Dalam bidang muamalat ketika ayat tersebut turun, laki-laki mempunyai kemampuan lebih dibandingkan dengan perempuan karena selama ini muamalat pada umumnya dilakukan oleh laki-laki. Walaupun sejumlah perempuan terkenal, seperti Siti Khadijah ra. juga ahli dalam bermuamalat, berdagang. Oleh karena itu, pemikiran dan ingatan perempuan dalam bidang ini pun (saat itu dinilai) relatif kurang. Apabila persaksian dilakukan oleh seorangperempuan, dimungkinkan ia lupa, maka hendaklahada perempuan lain sebagai pendamping saksi yangdapat mengingatkannya. Sekali lagi, perlu diingat bahwa dalam konteks demikianlah ayat tersebut turun.
Menurut Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi dalam Hikmatu al-Tasyri’, laki-laki lebih banyak menggunakan pikiran dalam menimbang suatu masalah yang dihadapinya, sedang perempuan lebih banyak menggunakan perasaannya. Karena itu, perempuan lebih lemah iradahnya (kehendaknya), kurang banyak menggunakan pikirannya dalam masalah pelik, lebih-lebih apabila ia dalam keadaan benci dan marah atau ia dalam keadaan gembira atau sedih karena sesuatu hal yang kecil. Lain halnya dengan laki-laki, ia sanggup, tabah, dan sabar menanggung kesukaran, ia tidak menetapkan sesuatu urusan kecuali setelah memikirkannya dengan matang.[7] Bidang muamalat adalah bidang yang lebih banyak menggunakan pikiran dari pada perasaan. Dalam pada itu, seorang saksi dalam muamalat juga berfungsi sebagai juru damai antara pihak-pihak yang berjanji apabila terjadi perselisihan di kemudian hari. Menurut Syaikh al-Jurjawi, itulah di antara hikmah mengapa Allah menyamakan nilai saksi seorang laki-laki dengan saksi dua orang perempuan.[8]
Sepertiapa yang dikutip dalam bukunya Lia Aliyah al-Himmah bahwa surat al-baqarah: 282 barulah muncul pandangan dominan bahwa kesaksian perempuantidak bisa diterima, kecuali bersama (digabung) dengan laki-laki. Jika hanya perempuan saja tanpa laki-laki, meskipun jumlahnya banyak, tidak bisa diterima kesaksiannya, kecuali berkaitan dengan masalah (rahasia) keperempuanan, atau dalam hal hanya perempuan saja yang bisa melihat dan mengalaminya.[9]
Ayat ini menjadi sangat penting dalam kajian kesaksian karena memasukkan faktor jenis kelamin dalam kualitas kesaksian, sah atau tidaknya kesaksian, dan selanjutnya diterima atau tidaknya kesaksian. Sementara ayat-ayat lain yang lebih banyak, seperti dalam surat QS. al- Nisa’: 15 tentang pendatangan empat orang saksi terhadap perbuatan keji, al-Thalaq: 2 dalam masalah iddah, al-Nur: 13, al-Nur: 24, tentang mendatangkan saksi dalam perzinahan. Dari beberapa ayat al-Qur’an mengenai kesaksian yang telah disebutkan ternyata lebih menekankan kualitas kejujuran, keadilan, dan persentuhan langsung saksi dengan kejadian sebagai penentu kesaksian, tidak menjadikan jenis kelamin sebagai faktor penentu.
Faktor penentu ini pula telah melahirkan kualifikasi laki-laki yang hanya bisa menjadi saksi dalam akad perkawinan. Dalam KHI, terutama pada Pasal 25, dimana dikatakan bahwa:Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli”. Persyaratan laki-laki dalam saksi akad nikah menjadi dilema besar manakala dihadapkan pada persoalan kontemporer. Ini akan menimbulkan pola diskriminatif[10] manakala dibebankan pada jenis kelamin. Problema ini akan terlihat dalam Peradilan Agama di Indonesia yang secara jelas tidak dilarang perempuan menjadi saksi, selama dia masih masuk dalam kriteria sebagai saksi (syarat formil).[11]
Bila merujuk pada fiqh klasik, terdapat relasi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kesaksian. Dalam Fikih juga memberikan tempat khusus bagi perempuan untuk bersaksi. Namun, kesaksian ini hanya menyangkut urusan keperempuanan, bukan urusan publik yang luas. Dalam kitab-kitab fikih, banyak disebutkan bahwa dalam kondisi di mana tidak ada orang yang bisa menyaksikan kecuali perempuan, maka kesaksian perempuan bisa diterima. Ini didasarkan pada hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam al-Daruquthni dan al-Thabrani: Anna al-nabiyya shalallahu‘alaihi wa sallama ajaza syahadata qabilati. (Sesungguhnya Nabi saw. telah membolehkan kesaksian perempuan kabilahku). Juga, hadis yang diriwayatkan oleh Abd al-Razaq, dari al-Zuhri berkata: “Telah berlaku kebiasaan bahwa kesaksian perempuan dibolehkan dalam kondisi dimana tidak ada orang kecuali perempuan, termasuk dalam hal kelahiran dan hal-hal yang menyangkut kerahasiaan perempuan.’’[12]
Ada beberapa alasan mengapa KHI memberikan kualifikasi jenis kelamin laki-laki dalam kesaksian akad nikah (pasal 25), yaitu pertama pendekatan sumber hukum yang digunakan ketika melakukan ijtihad, kedua pola pendekatan metodelogi. Seperti yang penulis telah paparkan di atas, pendekatan sumber hukum islam ketika memformulasikan KHI sebagai produk perundang-undangan (qonun) seperti biasa menetapkan al-Qur’an, as-Sunnnah serta hasil ijtihad (fiqh jamai’) sangatlah berpengaruh terhadap hasil ijtihad dalam merumuskan KHI, ditambah lagi formulasi yang dipergunakan masih berpegang pada prinsip utama dalam kaidah ushuliyyah ““Hukum-hukum itu tidak diambil terkecuali dari nash atau mengembalikan kepada nash.” Kaidah ini adalah kaidah yang dilakukan oleh jumhur ulama ketika hendak mencari suatu hukum. Pola pendekatan ini mirip dengan pola pendekatan lafziyyah (tekstual) yang mana pendekatan lebih ditekankan pada lafaz teks ayat, bukan yang tersurat.
Bisa disimpulkan bahwa pasal 25 mengenai kesaksian perempuan dalam akad nikah tidak mendapat tempatnya. Karena pendekatan sumber hukum (mashadir al-hukm) serta formulasi penarikan hukum (thuruq al-istinbath) dalam hal ini masih memberlakukan teori klasik yang bersifat dogmatik. Menurut penulis, seharusnya dalam merumuskan KHI juga melihat surat-surat yang berkaitan dengan kesaksian (munasabah al-ayat), karena dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa parsyarat yang menjadi paling dominan sebetulnya adalah adil (‘ádalah), artinya penempatan jenis kelamin bukanlah persoalan fundamental tetapi seperti keadilan, tidak gila, dewasa, tidak dibawah pengampuan menjadi prasyarat menjadi saksi dalam akad nikah menjadi yang dituju.
Perlu dipahami pada dasarnya Surat al-Baqarah ayat 282 tidak menunjukkan inferioritas (kerendahan) perempuan danj uga tidak bermaksud mendiskriminasikannya. Ayat ini justru tengah mengangkat posisi perempuan agar sederajat dengan laki-laki dalam persaksian dan mendorong partisipasi perempuan yang sebelumnya diposisikanhanya pada wilayah domestik.
Manurut Mahmud al-‘Aqqad bahwa penaralan dalam surat al-Baqarah 282 adalah untuk menegakkan keadilan, menjaga kebenaran, dan menciptakan kemaslahatan. Karena itu, jangan sampai pemahaman kita terhadap ayat ini kemudian berdampak pada diskriminasi, subordinasi, dan inferioritas perempuan, sesuatu yang bertentangan dengan keadilan dankemaslahatan itu sendiri.[13]
Ada beberapa catatan jika Pasal 25 mengambil istinbath hukumnya dari surat al-Baqarah: 228 dan Riwayat Abu ‘Ubadah (tentang ketidakbolehannya perempuan dalam hal pidana dan sebagainya, serta hadits al-Bukhari mengenai kekurangan akal perempuan dalam agamanya, bahwa legitimasi dari dalil itu semua seharusnya dipahami secara kontekstual. Sepertisurat al-Baqarah, dalam ayat ini secara spesifik membahas kesaksian dalam beberapa jenis perjanjian finansial, mu’amalah yang tidak tunai untuk waktu yang telah ditentukan (ila ajalinmusamma). Kita tidak bisa melakukan generalisasi terhadap semua bentuk transaksi dan perjanjian. Penyebutan dua perempuan juga bukan dimaksudkan jenis kelamin, tetapi lebih pada kualitas dan kemampuan saksi sebagaimana perempuan saat itu yang kurang memiliki pengalaman dan pengetahuan transaksi keuangan. Karena fungsi kesaksian sesungguhnya tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan oleh keterlibatan yang bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi dan kemampuan pemahamannya dengan maksud peristiwa tersebut. Laki-laki atau perempuan tentu saja memiliki posisi yang sama untuk menjadi saksi, asalkan yang bersangkutan adil, jujur, dan memiliki pemahaman yang memadai (tidak mudah ditipu) terhadap hal yang ia persaksikan.






[1] Tema ini merupakan sebuah analis skripsi penulis pada tahun 2013 di UIN Jakarta Syarif Hidayatullah
[2] Abdurrahman Al-Jaziry, Kitab Al Fiqh Ala Al-Mazahib Al Arba’ah, (Maktabah Al-Tijariyah Kubra, Juz 4, tth), hal. 118
[3] Zaac S Leihitu dan Fatimah Ahmad, Intisari Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Ghalia Indah, 1985), hal 79
[4] Lia Aliyah al-Himmah, Kesaksian Perempuan: Benarkah Separuh Laki-Laki?, (Jakarta: Rahima, 2008), hal. 17-18
[5] Lia Aliyah al-Himmah, Kesaksian Perempuan: Benarkah Separuh Laki-Laki?, (Jakarta: Rahima, 2008), hal. 17-18
[6]Pemahaman seperti ini didasari pada beberapa ayat seperti QS. At-Taubah: 71, kemudian Ali Imran: 36, al-Baqarah: 228, an-Nisa’: 34 serta beberapa banyak riwayat yang secara tekstual membedakan itu. Lihat juga Romzi al-Amiri yang membedakan antara perempuan dengan laki-laki pada fisik, psokologi dan peraturan agama. Moh. Romzi al-Amiri Mannan, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2011), hal. 63
[7] Syaikh ‘Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmatu al-Tasyri’ waFalsafatuhu (Jeddah: al-Haramain, tt.), juz I, h. 162-163 dan juz II, hal. 154.
[8] Syaikh ‘Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmatu al-Tasyri’ waFalsafatuhu (Jeddah: al-Haramain, tt.), juz I, h. 162-163 dan juz II, hal. 150-151

[9] Lia Aliyah al-Himmah, Kesaksian Perempuan: Benarkah Separuh Laki-Laki?, (Jakarta: Rahima, 2008), hal. 24
[10] Sulistyowati. Hukum dan Perempuan; Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaran dan Keadilan,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 156
[11] Adapun syarat formil saksi yaitu Berumur 15 tahun ke atas, sehat akalnya, tidak ada hubungan darah (kecuali ditentukan oleh undang-undang), tidak ada hubungan perkawinan, sekurang-kurangnya berjumlah dua orang (kecuali mengenai perzinahan), memberikan secara lisan, dipanggil masuk keruangan satu persatu. Lihat lebih jelas pasal 168-172/ pasal 165-179 RBg, dalam  Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelakar), cet. Ke-5, hal. 165-166
[12]Lia Aliyah al-Himmah, Kesaksian Perempuan: Benarkah Separuh Laki-Laki?, (Jakarta: Rahima, 2008), hal. 26
[13] Abbas Mahmud al-‘Aqqad, al-Mar’ah fi al-Quran,(Beirut:: Dar al-Kutub al-’Araby, t.t.), hal. 107.

Tuesday, 11 June 2013

Pidana Perburuhan: Analisis Penegakkan Hukum Pidana Perburuhan

Keberadaan pelanggaran hak normatif terhadap pekerja/buruh terlihat jelas dalam peraturan mengenai ketenagakerjaan, hal itu bisa dilihat dari dua upaya hukum dalam hukum perburuhan yaitu mekanisme perdata dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) serta mekanisme pidana melalui kepolisian atau pengawas ketenagakerjaan.[2] Lebih spesifiknya, usaha untuk mengefektikan penegakan hukum ketenagakerjaan dapat dilakukan oleh pekerja/buruh dengan meningkatkan pemahaman pekerja/buruh terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan secara utuh sehingga pekerja/buruh dapat memahami sesuatu mana yang menjadi hak-haknya disamping yang lainnyaAda beberapa persoalan besar untuk mewujudkan keadilan serta kesetaraan dalam hukum perburuhan di Indonesia, secara umum adalah melakukan rekonstruksi sistem hukum di Indoensia, dalam hal ini terkait hukum perburuhan. Yang mana sistem hukum dimaknai pada struktur hukum (legislatif, eksekutif, yudikatif) yang membuat, menjalankan dan pengawasan dalam hukum perburuhan di Indonesia. Begitu pula substansi hukum yang seharusnya dimaknai dapat menjaga keadilan seutuhnya. Dan akar budaya hukum[3] yang mesti dihormati bagi pembuat, Penegak maupun masyarakat seutuhnya. Tak lain adalah langkah awal untuk menciptakan masyarakat yang adil, setara dan demokratis dalam negara ini.
Melihat sistem hukum perburuhan di indonesia yang berdimensikan privat dan publik—telah berimplikasi pada pola penegakan hukum perburuhan itu sendiri. Ini terlihat pada substansi hukum perburuhan kita, misalnya saja upaya perlindungan hukum, Intervensi pemerintah terwujud lewat kebijakan dan hukum perburuhan yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan”. Kemudian lewat perundang-undangan ini diletakkan serangkaian hak, kewajiban dan tanggungjawab kepada masing-masing pihak, bahkan diantaranya disertai dengan sanksi pidana dan denda.[4]
Ada beberapa kelemahan dalam hukum perburuhan di Indonesia, misalnya saja hukum ketenagakerjaan yang masih terbukanya peluang dan potensi yang dapat menghambat pemenuhan hak-hak dasar pekerja/buruh, hal ini disebabkan karena banyak ketentuan mengenai hak-hak pekerja/buruh dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang tidak dilindungi dengan penerapan sanksi apabila pengusaha tidak memenuhinya. Sebagai contoh adalah tidak adanya ketentuan sanksi Pidana dan/atau sanksi Administratif atas pelanggaran Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pelanggaran ketentuan dan syarat-syarat outsourcing hanya berupa sanksi perubahan status hubungan kerja dan pertanggungjawaban atas pemenuhan hak-hak pekerja/buruh saja, artinya masih bersifat intern dan sebatas niat baik pengusaha, tanpa ada upaya hukum yang bersifat memaksa dan menimbulkan efek jera bagi pengusaha yang melanggar ketentuan tersebut.[5]
Oleh karena itu saksi pidana dalam hukum perburuhan sangatlah memungkinkan diterapkan dalam hal ini, karena tujuan awal dari sanksi pidana itu sendiri merupakan langkah terakhir apabila seluruh sanksi apapun yang bersifat privat sudah tidak lagi ditaati.[6] Dan perlu diingatkan pula upaya memidanakan perusahan ketika melanggar hak-hak buruh secara normatif, seperti pengusaha melarang hak berserikat pada pekerja/buruh—implikasinya adalah pasal 28 UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh menjadi alat untuk melindungi buruh dalam hal kebebasan berserikat. Tapi menjadi yang menjadi dilema ketika buruh menjadi korban kedua dari kasus tersebut yaitu ketika pengusaha dipidana upaya awal untuk menentukan perjanjian kerjapun terbengkalai.

Pembahasan
Hukum perburuhan dapat ditegakkan melalui instrument hukum pidana, hukum administrasi maupun hukum keperdataan.[7] Bahkan juga hukum internasional turut berpengaruh dalam penegakan hukum perburuhan. Sebagai ilustrasi, ILO dalam rangka memajukan hak berserikat di Indonesia mengritik kebijakan Negara yang menghalangi penikmatan hak ini oleh buruh dan selanjutnya mengirimkan utusan khusus untuk bernegosiasi dan menekan pemerintah mengubah sikap dan pendiriannya Perselisihan hubungan industrial yang mengandung unsur pelanggaran pidana ketenagakerjaan dapat diproses secara bersamaan sesuai kewenangan lembaga penegak hukum masing-masing, seperti Pengawasan Depnakertrans atau kepolisian.
Pada dasarnya Hukum ketenagakerjaan yang mengatur hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, perintah dan upah pada dasarnya merupakan hubungan hukum perdata. Namun, agar manusia sebagai makhluk Ilahi tidak dieksploitasi dan agar tidak terjadi pelanggaran hak azasi manusia (HAM), maka dalam pelaksanaan hubungan kerja Negara melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan ikut campur tangan untuk mengatur hal-hal tertentu. Disamping itu juga diatur sanksi pidana dalam hal terjadi tindak pidana dibidang ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh. Sanksi pidana dalam Hukum Ketenagakerjaan diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Pasal 183 s/d Pasal 189 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Pasal 43.
Secara umum, pemidanan dalam hukum perburuhan dibagi dua macam, yaitu terkait dengan kejahatan dan pelanggaran. Misalnya saja dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Pasal 183 s/d Pasal 189 merupakan ranah kejahatan dan UU. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Pasal 43 terkait pelanggaran. Penegakkan Hukum Pidana Perburuhan merupakan langkah maju dalam hukum perburuhan Indoensia, namun faktanya sangatlah sedikit perusahan yang mendapat hukuman pidana ini. Meskipun menjadi sangat dilema manakala para buruh/serikat sedang memperjuangkan kasus perselisihan hak antara buruh/serikat dengan pengusaha lewat jalur mediasi, bipatrit ataupun lewat PHI.[8] Namun disaat yang bersamaan ketika usaha-usaha dalam memperjuangkan hak-hak mereka (pekerja/buruh) dalam kasus yang awalnya privat—seringkali pengusaha melakukan pemecatan, union busting, pemotongan pesangon, dll yang pada akhirnya berujung pada kasus pelanggaran ataupun kejahatan oleh pengusaha. Dalam beberapa kasus di Indonesia terdapat banyak kasus-kasus seperti ini, tapi lagi-lagi buruh menjadi apatis ketika bentuk pelanggaran ataupun kejahatan oleh pengusaha tidak ditindaklanjuti oleh PPK/PPNS sebagai penyelidik/penyidik.
Di beberapa daerah terkait Pembayaran Upah di bawah UMP seringkali terjadi dan ini tidak diselidiki oleh pihak yang berwenang, secara normatif pihak pelanggar (perusahaan) akan dikenakan pidana. Lain halnya dengan Pemberangusan serikat buruh yang banyak terjadi di beberapa daerah. Padahal awalnya merupakan kasus perselisihan. Dalam perselisihan, sesuai UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) prosedur yang ditempuh lewat bipartit dan tripartit (mediasi) termasuk hak mogok atau lock out (penutupan perusahaan) dan di PHI. Selama proses mediasi atau PHI itu kerap terjadi PHK, skorsing, dan demosi (penurunan jabatan) yang merupakan pelanggaran Pasal 28 UU Serikat Pekerja. Dalam kasus seperti adalah merupakan ranah pidana perburuhan, yang memungkinkan adalah memidanakan perusahaan ketika melanggar hak-hak buruh sesuai dalam perundang-udangan yang ada, seperti Pasal 183 s/d Pasal 189 UU no. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 43 dalam UU. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Secara umum fungsi sanksi pidana dalam hukum ketenagakerjaan adalah sebagai salah satu sarana untuk menegakkan norma hukum perburuhan dengan memberikan hukuman kepada pengusaha apabila terjadi tindak pidana ketenagakerjaan. Namun yang menjadi dilema adalah ketika hukuman pidana tersebut berupa hukuman kurungan terhadap pengusaha, apakah mungkin itu adalah langkah efektif penegakan hukum perburuhan?  Dan perlu menjadi pertimbangan adalah apakah penerapan sanksi tersebut tidak akan kontraproduktif manakala sanksi yang dijatuhkan adalah langsung berupa sanksi pidana penjara, tidak berupa sanksi pidana denda terlebih dahulu, mengingat terdakwa adalah juga pemilik perusahaan tersebut yang harus menjalankan kelangsungan roda usaha perusahaan tersebut.

Kesimpulan
Meskipun terdapat kelemahan dalam hukum perburuhan kita, seperti tidak adanya pengaturan pemidanaan dalam UU Indoensia ketika outsourcing terjadi diwilayah pekerja inti (core business). Belum lagi yang terjadi dari kasus penangguhan upah, memberangusan buruh (union busting) oleh pengusaha serta kasus-kasus lainnya yang berujung pada pemidanaan dengan memenjarakan pengusaha ketika melanggar hak-hak mereka. Jika kita sedikit melihat beberapa kasus yang ada, persoalan pekerja/buruh dengan perusahaan merupakan persoalan privat—tapi menjadi dilema ketika penerapan privat ini tidak ditaati oleh pengusaha. Seharusnya beberapa kasus perusahaan yang melanggar tindak pidana, hukuman yang lebih baik yaitu dengan memidanakan pengusaha lewat sanksi administrasi atau denda. Karena disatu sisi dia merupakan penggerak perusahaan, oleh karena itu langkah perselisihan perdata merupakan jalur yang paling moderat. Upaya penegakan hukum perburuhan dengan memidanakan merupakan upaya sangatlah maju karena disamping membangun kepercayaan masyarakat kepada hukum serta terhindar pula pada penyelesaian konflik lewat kekerasan.

Daftar Pustaka
UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Agusmidah dkk. Bab-bab tentang Hukum Perburuhan IndonesiaJakarta: Universitas Indonesia. 2012.
Harjono. Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa. Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2008
Juanda Dkk, Catatan Akademik Rancangan Undang-undang Pengadilan Hubungan Industrial. Jakarta: Trade Union Right Centre. 2012
Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana Materil. Jilid I. Yogyakarta: Kurnia Kalam. 2005
Royen, Uti Ilmu. Perlindung Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Outsourcing (Studi Kasus di Kabupaten Ketapang). Semarang: Program Pascasarjana Undip. 2009.
YLBHI dan PSHK. Panduan Bantuan Hukum di Indoensia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007.

[1] Tema ini pernah dipersentasikan pada diskursus hukum di KOMPAK 2013
[2] Lihat pasal 56 UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI (Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) sebuah penyelesaian yang bersifat keperdataan dan sebaliknya Pasal 183-189 UU No. 13 Tentang Ketenagakerjaan, kemudian pasal 43 ayat (1), 48 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah upaya jaminan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dari perusahaan yang bersifat pidana.
[3] Lihat YLBHI dan PSHK, Panduan Bantuan Hukum di Indoensia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 5
[4] Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, (Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hal. 386
[5] Lihat tesis Uti Ilmu Royen, Perlindung Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Outsourcing (Studi Kasus di Kabupaten Ketapang), (Semarang: Program Pascasarjana Undip, 2009), hal. 132
[6] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Materil, Jilid I, (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), hal. 21
[7] Agusmidah dkkBab-bab tentang Hukum Perburuhan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2012), Hal. 7
[8] Juanda Dkk, Catatan Akademik Rancangan Undang-undang Pengadilan Hubungan Industrial, (Jakarta: Trade Union Right Centre, 2012), hal. 17