Translate

Makna Dibalik Kegagalan

Kata “Gagal” seringkali diartikan peyoratif/negatif, tak ayal balutan serta bungkusan yang menyelimuti kita ditopang dengan beragam cara. Apapun itu, yang penting kita jauh dengan kata “gagal”. Namun apa makna dibalik kegagalan...

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi

Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi...

Implikasi Putusan Praperadilan Kasus BG, Bukti Nyata Hukum Indonesia Tak Jelas

Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini.....

Adonis, Sastrawan Arab Paling Kritis

Adonis merupakan penyair Arab yang paling berpengaruh di abad ke-20. Karya sastra modernisnya sangat berpengaruh terhadap dampak budaya Arab.....

Lintasan Sejarah Komunisme di Dunia Islam

Persinggungan antara komunisme di barat maupun di wilayah timur, terkhusus di Dunia Islam terdapat titik persamaan konseptual yaitu menolak terhadap kolonialisme barat. Seperti yang kita ketahui, hampir rata-rata di dunia Islam paruh abad 18-19-an, telah terjadi pergeseran antar ideologi.

Saturday, 24 January 2015

Distraksi Politik Polri Berhadapan KPK

Rentetan perseteruan legitimasi antara KPK dan Kepolisian kian memanas, bahkan berujung pada pengujian eksistensi kewenangan dua lembaga ini. Perhelatan semua ini mirip dengan sebuah cerita romansa “kisah lama terulang kembali”. Ya, siapa yang tak kenal dengan perseteruan antara Cicak Vs Buaya kala pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Perseteruan pertama tahun 2009 terkait penyadapan oleh KPK terhadap Kabareskrim Mabes Polri, yang saat itu Komjen Susno Duadji, puncaknya Bareskrim Mabes Polri menahan Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah.  Tidak hanya disitu, perseteruan kedua pun berlanjut pada tahun 2012 saat pengusutan kasus korupsi simulator sim yang menjerat Kepala Korps Lalu Lintas Polri yaitu Irjen Djoko Susilo, saat itun pula terjadi pergesekan antara KPK dengan anggota Brigadir, yang mengepung Gedung KPK. Kini kisah itu terulang kembali. 

Berawal dari kisruh pemilihan calon tunggal Kapolri Budi Gunawan yang diajukan oleh presiden, saat uji fit and proper test berlangsung tepat pada tanggal 13 Januari 2015, KPK menetapkan status tersangka pada Komjen Budi Gunawan dalam kasus rekening gendut. BG disangka memiliki rekening gendut ketika menduduki kepala Biro Pembinaan Karir. Perseteruan KPK dan Kepolisian tak hanya disitu, meski telah berstats sebagai tersangka, pemilihan BG sebagai kapolri tetap berlanjut dan pada tanggal 14 Januari 2015 Komisi III DPR menggelar rapat pleno, yang hasilnya secara aklamasi sepakat mengangkat Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Lebih jelasnya rentetan distraksi perseteruan KPK VS Kepolisian yang dirangkum dari detik.com:



Jika melihat distraksi perseteruan di atas, maka akan banyak timbul pertanyaan besar. Salah satunya, Mengapa perseteruan dua lembaga ini terulang lagi?  Tak salah jika beberapa pengamat mengatakan lagitimasi Polri sudah bergeser dalam penindakannya, tak lain adalah distraksi politis yang digunakan saat ini. Distraksi politik memang terlihat bergerak bukan saja dari partai politik, tapi sudah menjalar kepada institusi, yang konon tidak memiliki keberpihakan. Argumen pun bergerak lebih dari sekedar fakta, bahwa orang-orang yang memiliki opini berbeda sehingga berhembus pada kebenaran relatif. Atraksi legitimasi dua lembaga kemudian dipertontonkan kepada publik, tak lain agar kekuasaan ataupun legitimasi (bargain of legitimate) kedua lembaga ini menjadi semakin kokoh dimata publik. KPK dengan legitimasinya sebagai pemangsa korupsi berhadapan keras dengan Institusi kepolisian. Bukannya saling menjaga diri dari musuh  sebenarnya (Korupsi), malah mencari-cari kartu truf demi melemahkan institusi.

Ada yang unik dari perseteruan KPK dan Kepolisian, tak lain membuka kartu lama dengan alasan mempunyai bukti baru (nouvum), memang aneh. Disaat kondisi sedang memanas, kepolisian dengan gagahnya ingin membawa Bambang Widjojanto ke ranah hukum demi terkuaknya sengketa Pilkada Kotawaringin 2010. Dua bukti yang cukup menjadi pertarungan perebutan bergain institusi untuk menarik simpati publik. Publik tidak lagi sekedar tahu dari perhelatan panas pemilihan Kapolri, yang berujung pembrangusan kekuatan KPK.

Pembawaan opini dari dua alat bukti kepolisian dalam kasus sengketa pilkada ini, menjadi tanda tanya besar? Siapa yang sebetulnya dirugikan pada sengketa Pilkada Kotawaringin 2010? Publik atau kepolisian? Nampaknya sangat jelas, mencari-cari kartu truf untuk mengokohkan kepolisian semakin terlihat jelas, lihat saja ketika konfirmasi dari Ujang Iskandar (Bupati Kotawaringin), saat Bambang Widjojanto menjadi pengacaranya, kasus saksi palsu pun sudah dicabut oleh pelapor kala itu.

Memainkan peran dan distraksi politik oleh kepolisian secara tidak langsung akan mencoreng nama institusi, hal itu pula menjadi keraguan tersendiri bagi publik bahwa apakah Polri sudah terlibat jelas secara politik praktis ataukah tidak. Hinggap di benak pikiran saya, apakah memang salah jika pemilihan serta pertanggungjawabannya langsung dari presiden—yang syarat tersangkut politik praksis. Ataukah institusi ini memang impunitas terhadap kasus yang menerpanya, sehingga apapun yang terjadi atas nama korps jalan distraksi politik pun menjadi pilihan tersendiri. 

Thursday, 22 January 2015

Makna Dibalik Kegagalan

Tak pernah terpikirkan saat krisis menerjang kita, pikiran negatif menjadi lingkaran tersendiri untuk mendewasakannya. Pengalaman bersambut kegagalan menjadi hal lain dari kita, bahkan pengalaman apapun seolah tak menyadarkan kita untuk selalu maju mengarungi misteri kehidupan manusia. Kata “Gagal” seriingkali diartikan peyoratif/negatif, tak  ayal balutan serta bungkusan yang menyelimuti kita ditopang dengan beragam cara. Apapun itu, yang penting kita jauh dengan kata “gagal”.
Kata “gagal” sangat erat kaitannya dengan tingkat kepuasan seseorang, dimana indikator gagal adalah nirkepuasan, dan pada akhirnya kita kehilangan rasa kebahagiaan. Hasil penelitian beberapa ahli psikologis, ada beberapa esensi tingkat kepuasan seseorang. Dan unsur ini mau tidak mau harus berjalan beriringan, jika tidak, pikiran kita akan terbungkus picik dengan kata “gagal”.
Pertama sikap menerima (acceptance), kedua kasih sayang (affection), dan ketiga prestasi (achievement). Bisa diilustrasikan gambaran kebahagiaan seperti gambar di bawah ini:

 

Gambar : Tiga A Kebahagiaan (Three A’s Happiness)
Sikap menerima (acceptance) orang lain dipengaruhi sikap menerima diri yang timbul dari penyesuaian pribadi maupun penyesuaian sosial yang baik, Shaver dan Freedman lebih lanjut berkata “ Kebahagiaan bergantung pada sikap menerima dan menikmati keadaan orang lain dan apa yang dimilikinya, mempertahankan keseimbangan antara harapan dan prestasi.”

Kasih sayang atau cinta (affection) merupakan hasil normal dari sikap diterima oleh orang lain. Semakin diterima baik oleh orang lain, semakin banyak diharapkan cinta dari orang lain. Bahwa kasih sayang penting dalam penyesuaian diri yang baik telah ditunjukkan dalam banyak telaah tentang kurangnya cinta dan pengaruhnya yang sangat besar kepada individu.

Prestasi (achievement) berhubungan dengan tercapainya tujuan seseorang. Kalau tujuan ini secara tidak realistis tinggi, maka akan timbul kegagalan dan yang bersangkutan akan merasa tidak puas dan tidak bahagia. Ada beberapa kondisi penting yang menunjang kebahagiaan agar bersinggungan pada tingkat kepuasan diantaranya yaitu pertama menerima kenyataan diri dan kondisi hidup yang ada sekarang, walaupun  kenyataan tersebut berada di bawah kondisi yang di harapkan. Kedua diterima oleh dan memperoleh respek dari kelompok masyaraka. Ketiga menikmati kegiatan sosial yang dilakukan dengan kerabat-keluarga, teman dan masyarakat luas.

Mari kita coba harmonisasi tiga unsur tersebut dalam kehiduppan kita, dan mulailah belajar jangan pernah memikirkan untuk mencari sebuah alasan dalam kegagalan. Alasan tetaplah alasan, ia takkan mengubah kegagalan menjadi sebuah kerberhasilan. Semakin banyak menumpuk alasan, semakin besar pengingkaran pada diri sendiri. Dan hal itu menjauhkan kita pada titik kerberhasilan yang harmoni. Coba biarkan kegagalan menjadi pengalaman tersendiri bagi kita, dan mulailah mengukur seberapa jauh pengalaman kita mengukir tingkat kedewasaan kita untuk lebh bermakna.



*Salam Pecinta Kesederhanaan

Wednesday, 14 January 2015

Kisruh Pemilihan Kapolri Budi Gunawan: Era Jokowi


Pemilihan calon tunggal Kapolri menuai kritik tajam dari beberapa pengamat, dimulai tak melibatkannya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan KPK menjadi kesalahan tersendiri bagi pemerintahan Jokowi-JK. Ditambah lagi saat uji Fit and Proper Test sedang berlangsung, secara tiba-tiba KPK menetapkan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka korupsi. Dengan dijerat  melanggar Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, atau Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 jo. pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP.[1] Meski statusnya sebagai tersangka, maka tetap berlaku asas praduga tidak bersalah. Di mana seseorang tidak dapat disalahkan sebelum putusan hakim berkekuatan hukum tetap. Namun apakah hal ini akan diteruskan lebih lanjut ataukah tidak? Biarkan hukum berbicara.
Ada yang perlu dicatat dalam pencalonan Kaporli kali ini, proses seleksi yang dajukan Kompolnas kepada Presiden Jokowi yang tidak melibatkan beberapa institusi yang berwenang menjadi dilema tersendiri. Berbeda di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ketika memilih Komjen Pol. Sutarman—Presiden melibatkan PPATK dan KPK sebelum diajukan kepada DPR untuk diuji kelayakannya sebagai Kapolri. Meski proses pemilihan Komjen Sutarman dinilai berjalan mulus, namun tetap, beberapa organisasi seperti KonraS dan IPW (Indonesia Police Watch) mengkritisinya untuk dipertimbangkan dalam pemilihan Kapolri tahun lalu.
Ada yang menarik antara pemilihan Kapolri Sutarman pada tahun 2013 lalu dengan pemilhan Budi Gunawan sekarang. Yang mana Organisasi seperti IPW (Indonesia Police Watch) yang gencar menyerang Komjen Sutarman agar diklarifikasinya sejumlah kasus yang melibatkannya,[2] namun sekarang seolah tak bertaring ketika Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka. Secara tidak langsung IPW malah berbalik arah mendukung pencalonan Budi Gunawan. Bahkan tak segan-segan IPW menyindir Komisioner KPK harus dibubarkan, dengan alasan kriminalisasi. Wah ada apa ini? Sutarman juga mendapat serangan karena memiliki tingkat loyalitas tinggi terhadap atasan. Tapi pemilihan kali ini berbeda lagi ceritanya.
Secara implisit memang rangkaian pemilihan Kapolri sekarang membawa KPK kepada jurang politis, karena disaat bersamaan KPK seolah tidak memberikan (active recommendation) kepada Presiden. Lihat pasal 6 UU No. 30 tahun 2002 yang menyebutkan tugas utama KPK:
a.     Melakukan koordinasi dengan instasi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.     Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.     Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d.     Melakukan tindakan-tindakan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi; dan
e.     Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Jadi logika yang didapat dari pasal di atas seharusnya KPK menetapkan status tersangkanya sebelum proses pemilihan sedang berlangsung, dan memberikan rekomendasi kepada instansi terkait, dalam hal ini presiden maupun Kompolnas. Namun nasib berkata lain, baik Presiden dan Lembaga terkait soalah lempar sembunyi tangan ketika kepala PPATK Muhammad Yusuf mengaku sudah menjelaskan secara langsung kepada Presiden Joko Widodo soal adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan.[3] Memang sangat disayangkan ketika terjadi kasus seperti ini, seolah sinkronisasi antara peran lembaga komisi dan pemerintah tak berjalan sesuai apa yang dikata Jokowi sebagai Nawacita. Lucu sedikit lucu dari negeri ini, namun apa dikata, nasi sudah menjadi bubur.
 Masyarakat seolah apatis terhadap institusi ini, disamping perannya sebagai pengawasan serta mengendalikan penyelidikan, penyidikan, penindakan, pemeriksaan sampai penyelesaian/penyerahan berkas perkara[4] kepada Jaksa Penuntut Umum—menjadi dilema tersendiri ketika Implementasi Grand Strategi Polri 2005-2025[5] masih terlihat di bawah aras. Penegakan hukum dirasa hanya flatus voice (kentut) belaka, karena sedari dulu beberapa kasus di internal kepolisian masih saja menjadi potret buram penegakan hukum di Indonesia. Pilhan masyarakat tak butuh orang cerdas, tapi memiliki integritas dan janji akan kejujuran dalam penindakan apapun. Biarkan hukum berjalan apa adanya, tanpa ada intervensi pihak manapun, jika memang tidak terbukti dari Budi Gunawan dalam persidangan nanti maka sangkaan terhadapnya sebagai pemilik rekening gendut, maka harus lakukan sesuai yang ada.  A confess in fault is the respectable …..
*Salam Pecinta Kesederhanaan



[1] Diakses pada tanggal 13 Januari 2015 pukul 20:28. http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/2431-kpk-tetapkan-bg-kalemdikpol-tersangka
[2] Diakses pada tanggal 17 oktober 2013 pukul 13.20, http://www.pikiran-rakyat.com/node/255186.
[4] Lihat Proses Pengawasan dan Pengendalian Penyidikan dalam Himpunan Bujuklak, Bukuklap dan Bujukmin Proses Penyidikan Tindak Pidana, (Jakarta: Tp, 2000), hal. 32
[5] Lihat Muhamad Daerobi, Antara Komjen Pol. Sutarman Dengan Grand Strategi Reformasi Kepolisian, lihat lebih lengkap: http://hukum.kompasiana.com/2013/10/17/antara-komjen-pol-sutarman-dengan-grand-strategi-reformasi-kepolisian-599840.html

Tuesday, 13 January 2015

Fundamentalisme Yahudi


Istilah fundamentalisme menurut Dictionary of Israeli – Palestinian Conflict, diartikan sebagai: a literal adherence to the tenets of a religion or belief system; fundamentalism also implies an opposition to all development or evolution in religion. On the level of political doctrine, fundamentalism favors an intransigent conservatism. [1] Sebuah ketaatan terhadap prinsip sebuah agama atau sistem kepercayaan, dan secara implisit fundamentalisme merupakan respon perlawanan terhadap semua bentuk kemajuan atau perubahan dalam sebuah agama. Di level doktrin politik, fundamentalisme menyukai pemahaman konservatif-keras.

Lebih teoritis lagi, menurut Marty dan Appleby, sebagai gerakan, fundamentalisme dan fundamentalis, ditandai oleh sikap yang melawan atau berjuang (fight). Di antaranya adalah melawan kembali (fight back) kelompok yang mengancam keberadaan mereka atau identitas yang menjadi taruhan hidup. Mereka berjuang untuk (fight for) menegakan cita-cita yang mencakup persoalan hidup secara umum, seperti keluarga atau institusi social lain. Kaum fundamentalis juga berjuang dengan (fight with) kerangkan nilai atau identitas tertentu yang diambil dari warisan masa lalu maupun konstruksi baru. Mereka juga berjuang melawan (fight against) musuh-musuh tertentu yang dipandang menyimpang. Terkahir kaum fundamentalis juga dicirikan oleh perjuangan atau nama (fight under)  Tuhan atau ide-ide lain.[2]

Dari sejarahnya fundamentalisme merujuk pada gerakan Protestan Amerika awal abad ke-20 yang menyerukan agama kembali kepada penafsran injil secara harfiah.[3] A.M Hendroprino  menyatakan bahwa Fundamentalisme merupakan fenomena global yang dapat ditemui di semua agama besar di dunia. Fundamentalisme tidak menunjukan katakana-katakana agama tetapi lebih merupakan pandangan dunia sosio-politik yakni masalah yang menyangkut watak Negara, masyarakat, dan politik dunia. Sebagian ahli yang mengatakan bahwa beberapa agama besar dunia sejak semula mempunyai ambisi terhadap aturan sosial-chauvinistik dan sistem eksklusif terhadap negara-bangsa. Untuk menjawab semua itu, di bawah ini catatan penting mengenai karateristik Fundamentalisme Yahudi.
***
Jika kita telusuri lebih dalam, Istilah “Fundamentalisme Yahudi” memiliki persamaan dan perbedaan dari makna Fundamentalis Kristen. Secara implisit perbedaan keduanya yaitu pendustaan terhadap teks-teks Alkitab atau Talmud tertentu,[4] lebih jelasnya Fundamentalis Yahudi percaya bahwa Alkitab itu sendiri tidak mempunyai kewenangan kecuali ditafsirkan dengan benar melalui literatur Talmud.[5] Bisa dikatakan Fundamentalisme Yahudi di sini didefinisikan sebagai keyakinan terhadap Yahudi Ortodoks, yang didasarkan pada Talmud Babilonia, serta pemahaman literatur Talmud dan sastra halachic yang masih berlaku. Keberadaan Fundamentalis Yahudi tidak hanya ada di Israel tetapi di setiap negara yang memiliki akses komunitas Yahudi yang cukup. Gerakan fundamentalis yang sangat mencolok yaitu keinginan pembangunan kembali tempat ibadah di Yerusalem. Fundamentalisme Yahudi tidak hanya mampu mempengaruhi kebijakan Israel konvensional tapi bisa juga secara substansial, seperti mempengaruhi kebijakan nuklir Israel. Kemungkinan konsekuensi yang sama fundamentalisme ditakuti oleh banyak orang untuk negara-negara lain.[6]

Jauh sebelum itu, dalam perjalananya, abad ke-XIX di Eropa, gerakan Zionisme- memberikan kontribusi lain yaitu menciptakan tanah air bagi orang Yahudi di Palestina, tanah dari mana mereka telah didorong oleh orang Romawi hampir dua ribu tahun sebelumnya. Diaspora Yahudi meratapi kehancuran Yerusalem dan mereka berdoa setiap hari agar kelak Mesias (sang juru selamat) mengembalikan kekuasaan Yahudi di tanah Israel. Semua ini, menurut tradisi Yahudi akan dicapai oleh Allah pada waktu yang dipilih. Awal mula pergerakan ini merupakan bagian kelompok radikal-intelektual, yang sebelumnya Zionis dikutuk oleh para pemimpin Yahudi utama untuk mencoba untuk memaksa tangan Allah melalui tindakan politik. Namun, ledakan kekerasan anti-Semitisme di seluruh Eropa pada 1870-an memberikan kepercayaan sekaligus mengklaim bahwa orang Yahudi membutuhkan tanah mereka sendiri, dan hal itu telah memberikan legitimasi pada gerakan Zionisme yang sebelumnya tidak dimiliki.

Kepercayaan fundamental ajaran zionisme ini juga  dimaknai sebelumnya sebagai pemahaman akan pemaknaan akan Bukit Zion yang menempati kedudukan penting dalam agama Yahudi, karena menurut Taurat versinya, “Al-Masih yang dijanjikan akan menuntun kaum Yahudi memasuki ‘Tanah yang Dijanjikan’. Dan Al-Masih akan memerintah dari atas puncak bukit Zion”. Zion dikemudian hari diidentikkan dengan kota suci Jerusalem itu sendiri. Bisa dikatakan bahwa akar dari Fundamentalisme Yahudi merupakan faham yang lahir keyakinan zion di Palestina, dimana tanah tersebut merupakan satu-satunya yang dihadirkan bagi anak-anak Tuhan. Yahudi menjadi klan yang dijanjikan sebagai pembawa perubahan dan berhak atas tanah yang dijanjikan terse but. Ide inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya Negara Israel di Palestina.[7]

Sebagai gerakan afiliasi terhadap penafsiran sebuah kitab, Zionis diperluas dan menjadi matang pergerakannya, namun pada akhirnya gerakan ini terpecah menjadi tiga aliran pemikiran, yaitu:[8] Pertama, Zionis religius yang menganut dan percaya bahwa kembali ke Israel adalah bagian dari rencana keseluruhan Allah bagi orang-orang Yahudi.  Kedua, Zionisme tenaga kerja yang tumbuh dari akar sosialis Eropa, dan yang, sementara itu tidak menolak unsur agama, jauh lebih tertarik pada pertumbuhan ekonomi dan organisasi. Ketiga Zionisme sekuler, di mana aliran rasionalis ini berusaha untuk menciptakan sebuah negara Yahudi yang demokratis tanpa peraturan agama atau ornamen.

Ketika negara Israel dibentuk pada tahun 1948, tiga aliran ini terus mendapat ketegangan dan perpecahan di antara penduduk Yahudi sendiri. Bagi kelompok Zionisme Buruh yang merupakan aliran terbesar saat itu, mereka tidak cukup kuat untuk melakukan regulasi pemerintahan yang tanpa kompromi dan penciptaan koalisi. Dengan demikian pesaing uatama Partai Buruh yaitu sekuler. Akibatnya partai-partai keagamaan yang lebih kecil adalah pilihan koalisi murni. Dalam rangka menciptakan pemerintah koalisi pada tahun 1948, Partai Buruh terpaksa memberlakukan unsur-unsur tertentu dari hukum Yahudi ortodoks, yaitu:[9] a) Ketaatan publik terhadap semua hari libur Yahudi dan hari Sabat; b) Menghormati hukum halal di instansi pemerintah; c) Pembiayaan publik untuk sekolah agama; dan d) Ketaatan pernikahan dan perceraian pada hukum ortodoks

Ditambah lagi dengan aturan tahun 1950, yang menyatakan bahwa setiap orang Yahudi di seluruh dunia memiliki hak untuk datang ke Israel dan mencapai kewarganegaraan. Tindakan ini memiliki dampak yang sangat besar pada fundamentalisme Yahudi karena mereka membentuk dasar bagi identitas Yahudi religius bukan sekadar identitas wilayah atau etnis. Agama Yahudi ortodoks, meskipun minoritas di Israel, tetapi spririt serta sikap kerasnya telah menyumbangkan di dunia politik Israel, dan hal itu secara simultan mendorong kepatuhan yang lebih besar agar hukum Taurat menjadi bagian dari koalisi hukum yang berkuasa. Pemicu Masalah fundamentalisme Yahudi berakar pada Perang Enam Hari pada bulan Juni 1967. Dalam kemenangan menakjubkan Israel merebut semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir, Dataran Tinggi Golan dari Suriah, dan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dari Yordania. Dari semua penaklukan tersebut, hal itu membawa tidak hanya lahan yang luas dan besar, populasi Arab vis a vis di bawah kontrol Israel, hal itu juga yang menyebabkan perseteruaan bagi kaum arab da telah menimbulkan kesulitan besar bagi pemerintah Israel. Meminjam bahasanya Adele Ferdows dan Paul Weber, Berapa banyak tanah harus itu ditinggali? Haruskah Yahudi diizinkan untuk menetap di tanah yang ditaklukkan? Dari pertanyaan-pertanyaan ini lahir kemudian fundamentalisme Yahudi kontemporer.

Banyak Zionis religius memaknai kemenangan Israel sebagai pembenaran keyakinan mereka, yang mana hal itu buah upaya rencana Tuhan Sementara yang lain, baik negeri Israel sendiri maupun masyarakat internasional percaya bahwa orang-orang Yahudi sekarang dalam posisi untuk perdagangan tanah ditangkap (termasuk tempat-tempat suci dan beberapa daerah kecil yang dianggap perlu untuk keamanan nasional) untuk jaminan perdamaian, Zionis religius membuat retensi isu tanah yang berkaitan dengan ajaran dasar agama, dan itu tidak mungkin ada kompromi dan tidak ada konsesi. Mereka bergabung untuk pertama kalinya, kelompok nasionalis, sekuler dan militan serta bersikeras untuk memblokir setiap upaya pemerintah untuk bernegosiasi.

Sebuah strategi utama dengan cepat dikembangkan untuk mendirikan pemukiman Yahudi di wilayah penduduk, khususnya Tepi Barat, dalam rangka merrebut kembali tanah bagi pemerintah. Pada tahun 1974 upaya ini menyebabkan pembentukan Gerakan Gush Emunim, atau 'Blokir Mukminin', sebuah gerakan religio-politik fundamentalis yang baik secara legal maupun ilegal mengembangkan pemukiman baru yang mereka menentang pemerintah untuk meruntuhkan. Yang kedua sebuah strategi lebih tidak menyenangkan untuk mengganggu dan mengusir orang-orang Arab yang menolak untuk menjual tanah mereka untuk pemukiman ini. Diperparah pada tahun 1977 kemenangan menakjubkan dari sayap kanan Partai Likuid, yang dipimpin oleh Menachem Begin, atas Partai Buruh, mengakibatkan pemerintah koalisi secara signifikan lebih bersimpati kepada tujuan Gush Emunim, dan permukiman Yahudi di wilayah-wilayah pendudukan cepat meluas. Menurut salah satu otoritas, Gush Emunim 'kurang lebih sengaja mendorong pelecehan warga Palestina di tepi Barat dalam rangka menciptakan ketegangan dan meningkatkan keengganan Israel untuk menarik diri dari daerah. Jika ini memang strategi mereka, mereka pasti berhasil. Salah satu hasilnya yaitu mengubah iklim politik sehingga sejumlah partai keagamaan baru fundamentalis muncul, termasuk Morasha dan Kach, yang terakhir kelompok kekerasan rawan yang diselenggarakan oleh mantan Amerika Meir Kahane dengan tujuan yang dinyatakan mengusir semua orang Arab Palestina dari tanah menaklukkan.

Sementara kelompok-kelompok ini tetap menjadi minoritas kecil di Israel, kemunculan mereka telah menambahkan dukungan untuk Gush Emunim dan gerakan pemukiman. Sekarang tidak mungkin bahwa setiap pemerintah Israel memaksa untuk melakukan agar membongkar pemukiman atau menarik militer dari wilayah yang diduduki. Antara pengusiran dan pelecehan oleh kelompok-kelompok fundamentalis yahudi mendapatkan ledakan protes dari sebuah gerakan atau yang biasa disebut 'intifada'. Di mana lebih dari satu juta orang Arab, hampir dari semuanya meyakinkan bahwa tidak ada koesistensi damai akan berujud di masa mendatang. Hasil ketiga adalah erosi lebih lanjut dari dukungan untuk Israel di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat dan Inggris. Fundamentalisme Yahudi tetap kuat, kekuatan militan dalam politik Israel. Apakah kebijakan mereka akan menghasilkan reaksi antara warga Israel dan penurunan berikutnya masih harus dilihat. Itu tidak terjadi pada akhir 1991. Hanya satu hal tampaknya pasti: apakah itu diwujudkan dalam Islam, Kristen, tradisi agama Yahudi atau lainnya, fundamentalisme tetap menjadi kekuatan politik yang terbatas namun tetap ampuh dan tidak akan menghilang dalam waktu dekat.

***
Jika mecermati gerakan fundamentalisme yahudi di atas, ada beberapa catatan penting untuk dikaji lebih lanjut. Pertama, Kekurang-mampuan orang Yahudi dalam memahami demokrasi. Watak orang Yahudi terbentuk oleh budaya dan agamanya cenderung otoriter. Demokrasi barangkali baik bagi orang lain, tetapi bagi orang Yahudi dimana pun ia berada, ia akan mendirikan suatu masyarakat aristokrasi atau sejenisnya (periksa tentang: ajaran Qabala). Demokrasi oleh orang Yahudi digunakan hanyalah sebagai alat, sekedar buah kata, yang digunakan oleh para juru-bicara Yahudi sekedar sebagai suatu mekanisme perlindungan kelompok (‘defence mechanism’) di tempat-tempat dimana mereka ditindas, serta untuk mendapatkan status persamaan; begitu telah mencapai kedudukan dan status yang sama, mereka segera berusaha mendapatkan privilese, hak-hak istimewa, yang seolah-olah telah menjadi hak mereka – seperti pada ‘Konperensi Perdamaian’ Versailes 1918 – menjadi contoh yang mengagetkan banyak orang. Kaum Yahudi sekarang ini adalah satu-satunya masyarakat dimana hak-hak khusus dan privilese yang dicantumkan khusus bagi mereka dituliskan di dalam ‘perjanjian-perjanjian’ dunia (teks aseli hak-hak istimewa bagi orang Yahudi dalam perjanjian Perdamaian Versailes 1918 dipublikasikan pada bulan Juli 1920; harap dirujuk juga kepada hak-hak khusu dan privilese istimewa Israel dalam resolusi-resolusi PBB).

Kedua, Terhadap sikap anti-Yahudi, ada tiga penyebab yang biasanya dijadikan mereka sebagai argumen : 1. prasangka keagamaan, 2. prasangka ekonomi, 3.antipati sosial. Masalahnya apakah kaum Yahudi itu menyadari atau tidak, bahwa bagi orang non-Yahudi, Yudaisme itu dipandang sebagai salah satu “agama wahyu” bersama-sama dengan Kristen dan Islam. Prasangka yang ada lebih banyak bersumber dari sebab non-keagamaan soal kecemburuan ekonomi barangkali memang ada. Sudah bukan rahasia lagi keuangan dunia itu ada dalam genggaman para bankir Yahudi; keputusan dan kebijaksanaan mereka menjadi hukum ekonomi-keuangan bagi dunia barat. Kecemburuan ekonomi mungkin dapat menjelaskan sebagai salah satu sebab dari timbulnya sikap anti-Yahudi; tetapi isa juga kecemburuan ekonomi yang menimbulkan “masalah Yahudi” itu merupakan unsur kecil dari suatu problema yang lebih besar. Sedangkan antipati-sosial di masyarakat Barat yang berkulit putih dan Kristen – beban antipati itu di Barat bukan hanya dipikul oleh orang Yahudi, tetapi juga oleh orang kulit hitam, orang Cina, orang muslim, serta komunitas lain di dunia ini, yang jumlah mereka justru lebih banyak daripada orang Yahudi. Orang Yahudi itu tidak pernah menyebut-nyebut politik sebagai penyebabnya, atau jika mereka nyaris keseleo lidah yang bernada sugestif ke arah itu, mereka segera membatasinya, atau melokalisasinya. Unsur politik yang inheren melekat pada masyarakat Yahudi, dimana saja mereka itu berada mereka senantiasa akan membentuk semacam “negara” sendiri di dalam negara tuan-rumah. Ketertutupan sikap masyarakat Yahudi yang lebih mengutamakan hubungan internal diantara mereka sendiri, menjadi salah satu penyebab utama yang menimbulkan sikap anti Yahudi.


[1] Thomson Gale, Dictionary of Israeli – Palestinian Conflict, (USA: Macmillan, 2005), hal. 129
[2] Dikutip dari Tarmizi Taher, Dkk, Radkalisme Agam, (Jakarta: PPIM-IAIN Jakarta, 1998), hal. xix
[3] Roxanne L. Euben, Musuh dalam Cermin: Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalisme Modern,(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002),hal. 41
[4] Adele Ferdows dan Paul Weber, Fundamentalism, dalam Encyclopedia of Government and Politics, edited by Mary Hawkesworth and Maurice Kogan, Vol. I-II, (New York: Routledge, 1992),  hal. 189
[5] Israel Shahak dan Norton M, Jews Fundamentalism in Israeli, (Tt: Pluto Press, 1999), hal. 11
[6] Israel Shahak dan NortonM,  Jews Fundamentalism in Israeli, (Tt: Pluto Press, 1999), hal. 11
[7] Zainal Azhar Maulani, dalam Zionisme Gerakan Menaklukan Dunia, ___________,
[8] Adele Ferdows dan Paul Weber, Fundamentalism, dalam Encyclopedia of Government and Politics, edited by Mary Hawkesworth and Maurice Kogan, Vol. I-II, (New York: Routledge, 1992),  hal. 189
[9]Adele Ferdows dan Paul Weber, Fundamentalism, dalam Encyclopedia of Government and Politics, edited by Mary Hawkesworth and Maurice Kogan, Vol. I-II, (New York: Routledge, 1992),  hal. 189-190