Translate

Makna Dibalik Kegagalan

Kata “Gagal” seringkali diartikan peyoratif/negatif, tak ayal balutan serta bungkusan yang menyelimuti kita ditopang dengan beragam cara. Apapun itu, yang penting kita jauh dengan kata “gagal”. Namun apa makna dibalik kegagalan...

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi

Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi...

Implikasi Putusan Praperadilan Kasus BG, Bukti Nyata Hukum Indonesia Tak Jelas

Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini.....

Adonis, Sastrawan Arab Paling Kritis

Adonis merupakan penyair Arab yang paling berpengaruh di abad ke-20. Karya sastra modernisnya sangat berpengaruh terhadap dampak budaya Arab.....

Lintasan Sejarah Komunisme di Dunia Islam

Persinggungan antara komunisme di barat maupun di wilayah timur, terkhusus di Dunia Islam terdapat titik persamaan konseptual yaitu menolak terhadap kolonialisme barat. Seperti yang kita ketahui, hampir rata-rata di dunia Islam paruh abad 18-19-an, telah terjadi pergeseran antar ideologi.

Sunday, 18 October 2020

Jalan Terjal Uji Materi UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi


 

Pada 2016 silam, sebelum Mahfud MD menjadi Menkopolhukam, dia mengkritisi soal ribuan perda/perkada yang dicabut oleh Presiden Jokowi.  Dia mengusulkan perda/perkada hanya bisa dicabut melalui dua mekanisme, yaitu lewat uji materi ke Mahkamah Agung (MA) atau melalui mekanisme di legislatif. Karena mekanisme pembatalan yang dilakukan oleh pemerintah (eksekutif review) jelas perbuatan perbuatan inkonstitusional dan berpotensi disalahgunakan.

Lalu, selang beberapa tahun, kewenangan pembatalan perda oleh eksekutif yang termuat dalam pasal 251 ayat 1, 2 & 7 UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,  dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan 56/PUU-XIV/2016 dan putusan yang sama sebelumnya 137/PUU-XIII/2015. Bahwa kewenangan eksekutif untuk membatalkan peraturan di bawahnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Namun putusan MK tersebut menjadi rancu, pada saat yang sama di dalam UU Cipta Kerja, terdapat prinsip hirarki peraturan perundang-undangan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau bertentangan dengan putusan pengadilan harus dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi yang dikoordinasikan oleh pemerintah pusat diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). (Lihat Pasal 181, UU Cipta Kerja, hal. 587)

Meski bukan klausul 'pembatalan', namun kata 'harmonisasi dan sinkronisasi' dipahami secara tidak tidak langsung  menyalahi prinsip peraturan perundangan-undangan. Ketentuan ini jelas berpotensi disalahgunakan oleh eksekutif, selain itu juga bertabrakan dengan prinsip dan subtansi peraturan perundangan dalam konteks fungsi dari PP sebagai pelaksana teknis dalam sebuah undang-undang, tetapi PP bisa merubah kerangka subtansi peraturan yang dirasa tidak harmonis. Entah berjenis peraturan perundang-undangan atau produk hukum dibawah UU seperti Peraturan Daerah (perda) dan lainya. Pasal ini jelas tidak mengakomodir prinsip desentraliasi peran daerah dalam tata kelola pemerintahan, yang pada akhirnya porsi dan peran eksekutif terlalu besar dalam pemerintahan. Ini tidak hanya merusak prinsip demokrasi, tetapi juga berpotensi disalahgunakan oleh Eksekutif.

Lalu pertanyaannya, mengapa pasal mengenai peran pusat atas daerah mencuat kembali? Padahal jauh sebelum hadirnya UU Cipta kerja, Mahfud mengkritisi soal tersebut. Apakah ini titipan atau memang luput dari pengawasan Mahfud selaku Menkopolhukam. Yang jelas, hanya beliau yang bisa menjawab persoal ini. Tetapi yang jelas publik menangguhkan komitmennya, khususnya yang berkaitan dengan prinsip demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam UU Cipta Kerja.

 

Ketidakjelasan Prinsip Umum dalam Peraturan Perundang-undangan

Selain itu, masalah lain ditemukan dalam UU Cipta kerja yaitu dihapusnya penjelasan prinsip umum tentang kategori peraturan perundang-undangan yang bisa dibatalkan. Dimana ketentuan tersebut diatur jelas dalan kerangka hirarki peraturan-perundangan, seperti termuat dalam UU No. 12 Tahun 2011 dan dijelaskan secara rinci dalam pasal  250 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu:

1) Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.

2) Bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.    terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;

b.    terganggunya akses terhadap pelayanan publik;

c.    terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;

d.    terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau

e.    diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender.

Lalu kemudian, ketentuan Pasal 250 di atas diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 250 Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan."


Dalam ayat tersebut tidak dijelaskan soal penjelasan rinci apa yang dimaksud materi muatan peraturan perundangan-undangan yang bertentangan dengan kepentingan Umum. Seperti materi muatan peraturan perundangan-undangan tidak boleh bertentangan prinsip non diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender.

Pasal ini dirasa sangat penting, mengapa? Karena berdasarkan catatan Komnas Perempuan, setidaknya ditemukan 421 kebijakan diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan di level nasional/daerah tahun 2018.  Hal ini memperlihatkan, selain materi muatan dan asasnya bertentangan dengan prinsip non diskriminasi dan melanggar prinsip hak asasi manusia.  Kebijakan diskriminatif tersebut juga menjadi penghambat bagi upaya penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan pemenuhan hak asasi perempuan.


Jalan Terjal Judicial Review

Lalu bagaimana nasibnya jika warga negara mengeluhkan soal kebijakan yang dirasa bertentangan dengan prinsip non diskriminasi? Jawabanya jelas harus menggunakan mekanisme pengadilaan (judicial), entah itu melakukan uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi yang levelnya UU bertentangan dengan UUD 1945, atau melalui mekanisme Uji Materi di Mahkamah Agung, yang pertentanganya dibawah Undang-undang. Persoalannya adalah ongkos biaya pencari keadilan tidaklah murah dan prosesnya panjang. Mengingat pada saat yang sama, pasca dilakukanya revisi UU MK, soal ketentuan perubahan dalam UU yang telah diuji dan diputuskan oleh MK untuk ditindaklanjuti oleh DPR dan Presiden sudah dihapuskan (lihat pasal 59 UU MK).

Ditambah lagi, jika persoalnya di bawah undang-undang, mekanisme judicial review di Mahkamah Agung juga masih tertutup rapat untuk terlibat sebagai para pihak yang berkepentingan. Yang seharusnya bisa didengar dan digali argumentasinya sebelum hakim menjatuhkan putusan  (azas audi et alteran partem). Alhasil mekanisme komplain hak warga negara yang dilakukan secara konstitusional pun masih menjadi sisi gelap panjangnya hukum di Indonesia, karena kondisi di atas.

Sangat beralasan, jika kemudian banyak masyarakat menyuarakan pembatalan UU Cipta Kerja melalui aksi masa/unjuk rasa di hampir di seluruh wilayah Indonesia, karena selain soal subtansi bermasalah juga ditambah ada faktor lain (deterrent effect) yang turut serta membuat penolakan, karena harapan menggunakan mekanisme yang tersedia melalui judicial review sangat jauh dari prinsip akses keadilan.

Jika kemampuan dan kewenangan lembaga/institusional saja terbatas untuk mampu memberikan akses keadilan, lalu bagaimana warga berharap soal subtansinya. Kalau saja Pemerintah Indonesia komitmen soal akses Keadilan, seharusnya ruang-ruang mekanisme sebagai garda perlindungan dan jaminan untuk dibuka selebar-lebarnya. Karena pada prinsipnya, di negara demokratis jaminan akses keadilan menjadi persoalan yang fundamental. Karena dengan akses keadilan yang terbuka, maka warga dapat menggunakan hak-haknya untuk mendapatkan keadilan, baik melalui lembaga formal maupun non formal.

Sangat wajar, sebagian masyarakar skiptis jika persoalan dalam UU Cipta Kerja harus menempuh jalur judicial review di MK. Karena selain cacat prosedur dan subtansi hukum, tetapi ruang mekanisme peradilan yang amat gelap dan tidak bisa diprediksi (unpredictable). Terlebih materi muatanya yang berkaitan soal tafsir penyalagunaan kekuasaan, syarat berpotensi politis pembahasanya. Meski pada prinsipnya, mekanisme judicial review baik di Mahkamah Konstitusi menggunakan ‘asas audi alteram et partem,’ dimana semua pihak harus didengar dan diberikan akses yang sama. Namun pada prakteknya berbeda. UU Cipaker ini merubah banyak Undang-undang dan pasal.


Bisa dibayangkan jika seluruh/sebagian pasal UU Cipta Kerja di Uji Materikan ke Mahkamah Konstitusi, selain akan menghabiskan energi dan biaya, pasti tidak sedikit waktu membahas soal informasi  pasal kontroversial. Jika selama ini JR di MK membahas hanya beberapa atau sebagian pasal saja dalam UU dengan menggabungakan permohonan, lalu bagaimana jika kluster persoalanya sangat komplek? Mengingat permohonan JR di MK yang 1 pasal atau sebagian pasal pun membutuhkan waktu bertahun-tahun sampai dengan adanya putusan. Selain itu, komposisi jumlah hakim MK yang hanya diisi 9 orang, juga dirasa tidak cukup komprehensif membahas ribuan pasal yang akan diujikan. Maka akan banyak pemohon, ahli, saksi dan pihak terkait yang terlibat untuk mendalami persoalan mana saja yang dirasa inkonstitusional. 

 

Solusi Memecah Omnimbus Law

Jika negara tetap bersikekeh tidak akan membatalkan UU Ciptakerja, dan mempersilahkan kepada masyarakat untuk mengajukan keberatanya melalui mahkamah konsitusi. Jika demikian, bisa dipastikan memang negara tidak memiliki ‘sense of crisis', disaat kondisi pandemi Covid-19 belum berakhir. Dampaknya adalah proses pemeriksaan perkara secara adil dan fair di MK akan mengalami hambatan dan kesulitan bagi semua pihak, karena ada aturan pembatasan protokol kesehatan. Oleh sebab itu,  seharusnya negara merangkul para pihak dengan mendudukan persoalan sesuai keberimbangan dan keadilan.  Meski prinsip ‘asas audi alteram et partem, hanya dikenal di dalam MK, tetapi spirit para pihak perlu didengar dan dipertimbangkan penting dimanfaatkan oleh lembaga eksekutif, dalam hal ini presiden untuk membahas subtansi dan juga misinformasi persoalan dalam UU Cipta Kerja.

Selain solusi di atas,  Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi, penting kiranya mempertimbangkan opsi Perpu tentang pembatalan sementara atau sekaligus perubahan UU Cipta Kerja, sesuai kluster pasal-pasal yang dinilai bermasalah oleh Publik. Meski tidak mudah, tapi keputusan tersebut akan membuat legacy soal komitmen keberpihakan Presiden melindungi  masyarakat miskin, rentan dan marginal,  juga 260 juta warga Indonesia dari diskriminasi. Mengapa demikian, karena pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja syarat berpotensi terjadinya konsentrasi kekuasaan, sehingga memunculkan penyalahgunaan kekuasaan yang bersifat koruptif dan merusak (power tends  to corrupt, absolut power corrupt absolutely).***

 

 

Sunday, 11 October 2020

Sejarah dan Potensi Penyalahgunaan Pam Swakarsa

 


Dalam alam demokrasi, keterlibatan peran masyarakat dalam sebuah pembangunan di sebuah negara sangat penting. Namun upaya keterlibatan dalam konteks keamanan dan ketertiban sebagai kerangka pembangunan yustisi, perlu mendapat perhatian. Karena sejarah  keterlibatan masyarakat dibidang keamanan dan ketertiban (kamtibmas) telah menyisahkan sejarah kelam. Tercatat potensi penyalahgunaan dan rentetan kekerasan di negeri ini, pernah dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan Pasukan Pengamanan Swakarsa (Pam Swakarsa). Kehadiran Peraturan Kepala Kepolisian No. 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa pun berpotensi melanggar prinsip dan standar hak asasi manusia, dalam konteks pengamanan dan penertiban masyarakat.


Sejarah Pam Swakarsa di Indonesia

Sejarah mencatat, sistem keamanan yang diorganisasi oleh masyarakat di Indonesia sebenarnya telah diperkenalkan pada masa kolonial Belanda, saat sebagian besar dari seperempat orang-orang non-Eropa di kota, di-”polisi”-kan oleh masyarakat sendiri dengan cara sukarela (Anderson 2001: 10) Bahkan, penggunaan istilah ronda, yang merupakan hasil adopsi dari bahasa Portugis yang memiliki arti berjaga, sering kali dikaitkan dengan upaya kolonial mengamankan daerah sekitarnya dengan bantuan warga setempat yang cenderung memaksa.

Mengutip jurnal “Praktik Sistem Keamanan Swakarsa pada Masa Pascakolonial di Jawa Timur”, bahwa duplikasi dari sistem pengadilan terhadap kriminalitas tersebut kadang-kadang melegalkan secara informal kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi untuk mengumpulkan uang dan untuk membagi pembayaran dari dan mengendalikan masuk ke dalam legitimasi perusahaan bisnis. Di beberapa daerah di Indonesia, ancaman kekerasan berpotensi menjadi dasar dari aktivitas-aktivitas yang mendapat keuntungan-keuntungan untuk elit lokal dan kadang-kadang dilegitimasi oleh lembaga pemerintahan lokal. (Arya W. Wirayu dan Koko Srimulyo, 2018, 142).

Setelah berlangsung cukup lama, konsep kemanan lokal juga dilegitimasi beberapa rezim, seperti rezim orde baru mencatat bahwa adanya hansip, linmas, dan satgas kala itu, merupakan asosiasi perpanjangan tangan soal pengamanan dan ketertiban di masyarakat. Meski sedikit terjadi perbedaan istilah namun kerangka kontrol dari militer berperan penuh. Lalu semangat reformasi 98 bergulir, dengan ragam perdeban tututan, namun satu isunya yang paling mengemuka adalah melengserkan suharto dan pencabutan peran dwifungsi ABRI. Tarik menarik soal pentingnya dilakukan sidang istimewa MPR dan tidak, menjadi titik balik hadirnya keterlibatan pasukan pengamanan masyarakat swakarsa atau yang biasa disebut "Pam Swakarsa" pada tahun 1998. Pasukan ini dibentuk dengan tujuan untuk membendung gejolak kritis masyarakat dan demonstrasi mahasiwa, yang hampir terjadi di seluruh Indonesia. Tidak bisa dinafikan, keberadaan pam swakarsa kala itu turut andil memproduksi organ pam swakarsa yang ada hingga saat ini.

Kemudian berselang 4 tahun pasca reformasi, kelahiran UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, memastikan keberadaan Pam Swakarsa dibentuk oleh institusi kepolisian. Dalam Pasal 3 disebutkan, peran Kepolisian dibantu oleh Pam Swakarsa. Hal ini menandai keberadaan Pam Swakarsa berada di wilayah kepolisian. 

Meski terjadi pergeseran konteks peran pam swakarsa, karena semangat reformasi merubah perspektif dan sistem keamanan dan ketertiban kala itu. Namun katup layang eksistensi pam swakarsa saat itu menjadi legitimasi pertama namun demikian ketentuan pelaksanaannya masih dibilang terbatas. 

Kemudian selang beberapa tahun kemudian lahir Perkapolri No. 23 Tahun 2007 tentang Sistem Keamanan Lingkungan, yang juga mengatur soal pamswakarsa, hanya saja masih terlihat kurang jelas. Perkapolri ini mengatur soal pam swakarsa dalam kerangka Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) dan Perpolisian Masyarakat atau disingkat Polmas. Dan perlu dicatat, keterlibatan pranata sosial secara sistematis belum diatur di dalam Perkaporli yang lama.

Kemudian pada tahun 2020, lahir Perkapolri No. 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa sekaligus menghapus Perkapolri yang lama. Perkapolri ini merubah sistem yang telah diatur sebelumnya. Meski sama-sama mengatur soal swakarsa masyarakat dalam keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), namun Perkapolri yang baru jauh lebih rinci. Seperti  terdapat 33 kata 'swakarsa' ditemukan di dalam perkapolri yang baru, sedangkan diaturan yang lama hanya 4 kata ‘swakarsa’ ditemukan. Lalu bagaimana soal subtansi, apa sama atau perbedaan pengaturan? Setelah ditulusuri, terdapat perberbedaan soal subtansi, khusunya soal keterlibatan masyarakat dalam kerangka keamanan dan ketertiban (kamtibmas).

 

Potensi Penyalahgunaan Pam Swakarsa

Konsep kamtibmas yang diatur dalam perkapolri ini memberikan ruang pam swakarsa yang dilakukan oleh 3 elemen utama. Keranga pertama diletakan pada Satpam, kedua Satkamling dan terkahir dari pranata sosial/kearifan lokal. Jika dilihat sekilas, 3 (tiga) kerangka tersebut terlihat seperti upaya kepolisian dalam membangun citra lebih dekat kepada masyarakat dengan memberikan distribusi atau peran kamtibmas dari elemen masyarakat dan profesional/satpam. Namun jika kita melihat lebih dalam, kerangka ini tidak hanya berpotensi tumpang tindih soal peran kepolisian tetapi juga membuat rancu delegasi sistem kamtibmas dalam sektor reformasi kemananan di kepolisian

Selain mengatur 3 komponen utama dalam kerangka kamtibmas, peraturan ini juga mengatur soal relasi kuasa peran delegasi. Seperti dalam pasal 12 dan 13, adanya perbedaan antara posisi garda pratama, madya dan utama. Jelas ini mengukuhkan posisi sipil dibawah garis komando militer. Pasal ini bukan saja potensial mendiskriminasi tetapi juga membatasi ruang gerak masyarakat untuk berkarya dan berkembang. Ambil contoh, seorang sahabat (security) bercerita soal kasus pemerasan yang dilakukan oleh atasanya (madya/utama) kepada anak buahnya di sebuah perusahaan. Karena ada kesalahan fatal yang tidak diketahui, hal itu menimbulkan kerugian yang dirasa akibat kelalaian semua personel security. Akibatnya para security wajib mengganti kerugian atas kelalaian seseorang. Penafsiran kerugian menurut atasanya harus ditanggung renteng karena didasari prinsip jiwa korsa.

Jika dilihat, ini persoalan hukum biasa jadi bisa diselesaikan secara sipil (pidana umum), tidak ada istilah tanggung renteng ganti kerugian dibebankan bersama-sama karena yang melakukan kelalaian jelas personal bukan bawahannya yang tidak tahu menahu soal kelalaian bekerja. Perkaporli ini mengukuhkan relasi kuasa dengan jiwa tribrata kepada sipil.

Kemudian potensi penyalahgunaan lain ditemukan  dalam Pasal 38 dan 39 soal diskresi satkamling kepada Rukun Tetangga (RT). Meski sekilas peranya terlihat kecil namun sangat besar dampaknya kepada masyarakat pada umumnya. Contohnya, kasus penggerebekan sepasang kekasih di Tangerang pada 2017 silam, ditafsiri karena adanya kepentingan ketertiban umum. Pada akhirnya RT dan beberapa orang yang turut terlibat mempersekusi kedua pasangan dengan menelanjanginya. Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kepolisian untuk merubah kerangka dan perspektif partisipan publik soal kamtibmas. Karena delegasi peran kamtibmas kepolisian diserahkan kepada beberapa pihak/lembaga, akhirnya diskresi soal penegakan hukum dijadikan ladang para oknum membuat panggung peradilan baru, dan bahkan potensial untuk main hakim sendiri (eigen righting) seperti kasus di atas.

Ini juga pernah diatur dalam Surat Kapolri No.Pol : B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 04 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui ADR. Dimana ada klausul pemberdayaan anggota Pemolisian/Perpolisian Masyarakat (Polmas) dan peran serta Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) yang ada di wilayah masing-masing untuk mampu mengidentifikasi kasus-kasus pidana....", padahal jelas dalam pasal 5 KUHAP, tugas penyelidik yaitu menerima laporan/pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. Atas laporan/pengaduan tersebut kepolisian mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga kuat sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya lanjut ke proses penyidikan sesuai Pasal 1 angka 4 KUHAP. Proses pendelegasian wewenang yang dilakukan kepolisian kepada Pam Swakarsa jelas melanggar prosedur  kepolisian dalam proses penyelidikan dan penyidikan sesuai KUHAP.

Lalu potensi lain juga ditemukan dalam Perkaporli yang baru, seperti tugas melaporkan setiap gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang terjadi kepada Bhabinkamtibmas atau Satuan Kepolisian terdekat, juga rentan dijadikan alat kepolisian dan RT untuk melakukan tindakan OTT (operasi tertangkap tangan) kepada masyarakat, hal ini syarat potensial dijadikan ladang pemerasan. Seperti, pada musim tertentu ada sebagian masyarakat memilki tradisi mengadu ayam, pada saat yang sama organ perpanjangan kepolisian melaporkan peristiwa tersebut, kemudian berdasarkan laporan tersebut pula dilakukan penggerebekan oleh aparat kepolisian dan pam swakarsa. Persoalan tertangkap tangan dalam konteks tersebut tidak serta merta berdiri sendiri, tetapi ada dasar mengapa upaya paksa penggerebekan dilakukan. Bisa melalui laporan ataupun pengaduan masyarakat. Hal itu memunculkan potensi penyalahgunaan wewenang dan rentan eksploitasi saat penetapan tersangka selama kurun waktu 1 x 24 Jam.

Selain itu, potensi penyalahgunaan delegasi peran kamtibmas juga bisa ditemukan dalam kasus kekerasan seksual, KDRT dan lain-lain--, yang dimaknai bisa diselesaikan melalui mediasi kasus pidana (mediasi penal). Padahal pada prinsipnya, tidak ada istilah mediasi dalam kasus pidana. Di banyak kasus, korban kekerasan seksual sering kali dimediasi oleh para oknum, bahkan jika tidak mau dimediasi sering diancam oleh oknum aparat/masyarakat jika mau mencabut laporan di kepolisian, padahal korban mengalami kekerasan luar biasa. Oleh karena itu kasus ini menggambarkan kompleksitas persoalan, mana wewenang penegak hukum mana peran masyarakat.


Kembalikan Wewenang Kepolisian Sesuai Prinsip HAM

Sejatinya negara yang menganut demokrasi selalu menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dalam proses bernegara dan berbangsa. Oleh karenanya, posisi kedaulatan rakyat menjadi indikator penting dimana negara memastikan prinsip persamaan dan kesederajatan harus termaktub dalam kerangka negara hukum. Oleh karenanya juga, negara memiliki kewajiban untuk memenuhi, melindungi dan mempromosikan hak-hak warga negara sebagai katalisator negara yang demokratis. Hal itu juga tak terbatas pada isu perindungan, keamananan dan ketertiban di masyarakat.

Lalu jika negara ingin memastikan keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat, negara juga harus memastikan prinsip negara yang demokratis. Setidak-tidaknya ia memuat supremasi hukum, persamaan di dalam hukum (equality before the law), asas legalitas, pembatasan kekuasaan, prinsip hak asasi manusia serta memuat kontrol mekanisme internal/eksternal. Karena jika tidak, potensi penyalahgunaan (abuse of power) seperti di atas sangat terbuka lebar diberikan kepada orang-orang yang ditunjuk dari mekanisme yang tidak jelas dan tranparan. Oleh sebab itu prinsip limitasi kekuasan dan kewenangan penting untuk diatur secara jelas, transparan dan akuntabel. Bukan malah memperuncing peran delegasi wewenang kepolisian seperti yang tertuang dalam peraturan perkapolri baru.

Seharusnya kepolisian cukup memastikan para bawahannya mengimpelemtasikan Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Menyelenggarakan Tugas Kepolisian, mengapa? Sering sekali terjadi gesekan dan pelanggaran oleh kepolisian karena kurangnya pemahaman soal Perkapol tentang standar HAM. Sebagai pengayom dan pelayan masyarakat, kepolisian seharusnya bisa memelihara keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat, melalui berbagai layananya. Bukan justeru menjadi aktor dalam melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Jangan sampai Perkapolri  No. 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa menjadi pijakan dalam membungkam demokrasi, atau juga menjadi batu loncatan untuk bertindak serampangan dan bahkan mengalihkan tugas dan tanggung jawab kepolisian. Bukan tidak mungkin sejarah kelam pam swakarsa hadir kembali di tengah panggung demokrasi.***