Translate

Makna Dibalik Kegagalan

Kata “Gagal” seringkali diartikan peyoratif/negatif, tak ayal balutan serta bungkusan yang menyelimuti kita ditopang dengan beragam cara. Apapun itu, yang penting kita jauh dengan kata “gagal”. Namun apa makna dibalik kegagalan...

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi

Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi...

Implikasi Putusan Praperadilan Kasus BG, Bukti Nyata Hukum Indonesia Tak Jelas

Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini.....

Adonis, Sastrawan Arab Paling Kritis

Adonis merupakan penyair Arab yang paling berpengaruh di abad ke-20. Karya sastra modernisnya sangat berpengaruh terhadap dampak budaya Arab.....

Lintasan Sejarah Komunisme di Dunia Islam

Persinggungan antara komunisme di barat maupun di wilayah timur, terkhusus di Dunia Islam terdapat titik persamaan konseptual yaitu menolak terhadap kolonialisme barat. Seperti yang kita ketahui, hampir rata-rata di dunia Islam paruh abad 18-19-an, telah terjadi pergeseran antar ideologi.

Monday, 25 May 2020

Fatwa Salat Idulfitri di Rumah Tak Bertaring: Akankah Memicu Kenaikan Kurva Korona?

Keramaian di tengah PSBB seolah tak memperdulikan wabah didepan mata. Di beberapa daerah, pasar, mall dan jalan dipadati kendaraan dan hirukpikuk masyarakat dengan segala aktivitasnya. 

Dikutip dari Kompas, Kerumunan warga membuat protokol Covid-19 yang harusnya diterapkan jadi terabaikan. Teranyar dan menjadi hangat di kalangan media sosial adalah penuhnya Pasar Tanah Abang di tengah Pemprov DKI masih menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar ( PSBB). Begitu pula di pusat perbelanjaan Roxy Mall, Jember, Jawa Timur, yang sempat ramai dengan pengunjung.

Masyarakat seolah tak mahu tahu kompeksitas ringkihnya sistem kesehatan Indonesia, mulai sebaran tenaga medis yang tak seimbang dengan jumlah penduduk, alat kesehatan yang kurang, faskes yang kurang, ditambah jumlah pasien sakit yang beraneka ragam. Kondisi ini seolah tak membuat masyarakat tetap ngotot beraktivitas tanpa memperdulikan protokol kesehatan.

Himbauan dari pelbagai elemen seolah tak mampu menghadang lajunya aktivitas masyarakat Indonesia. Mengapa hal itu terjadi, karena negara lupa akan kewajibanya untuk memenuhi seluruh hak warga negara. 

Ambil contoh, himbauan untuk tetap dirumah seakan menjadi bualan kengeyelan ala sebagian masyarakat. Karena negara abai saat wabah merebak malah asik membuka ruang investasi dan penerbangan luar negeri.

Lalu bagaimana dengan kondisi pasca lembaran, apakah kurva akan melandai seperti yang diinginkan oleh pemerintah? Sepertinya hanya mimpi kasus korona akan jauh dari kata 'melandai'. Lihat saja fatwa MUI untuk tetap berada dirumah pun seolah tak bertaring, begitu juga sekelas fatwa ormas NU, Muhammadiyah dan lainya tak berbeda jauh. 

Bahkan contohnya daerah Jawa Timur yang memiliki kedekatan dengan NU, Yogyakarta berdekatan dengan Muhammadiyah dan daerah lainya-- juga menjadi ladang naiknya tingkat kurva positif korona, namun pada saat yang sama esok hari banyak juga yang tetap ingin melakukan shalat idulfitri di Mesjid. 

Tulisan ini tak berniat untuk mendiskreditkan nama besar Ormas atau apapun, tetapi hanya menjadi media pembelajaran bersama dan pra hipotesa kajian sosial soal respon masyarakat akan ketaatan terhadap organisasi keagamaan.

Lalu apakah ketaatan sebagian masyarakat memang sudah pudar dan tersentral ataukah sebagian aktivitas masyarakat memang ditentukan oleh faktor determinan lain, dan berjalan seperti apa adanya. Apakah masyarakat sadar akan ancaman korona didepan mata? Ataukah masyarakat memang abai akibat plin planya PSBB ala pemerintah. Ataukah rendahnya kesadaran masyarakat akan kesehatan dan keselamatan jiwa manusia.

Mengutip hasil kajian Wawan Mas'udi dkk, Tata Kelola Penanganan Covid-19 di Indonesia: Kajian Awal 2020, bahwa dengan karakter wabah yang sejauh ini masih misterius dan dampak unprecedented yang ditimbulkannya, pandemi covid-19 telah membuka sisi gelap dan kelemahan dari sistem tata kelola kepentingan publik yang berlangsung selama ini. Keandalan sebuah sistem dan komitmen publik yang sesungguhnya hanya akan teruji pada masa krisis.

Peran sentral penegakan hukum (law enforcement) disertai komitmen publik menjadi perhatian penting bagaimana laju korona bisa melandai. Itupun pada saat yang sama keterlibatan masyarakat dipacu oleh keterlibatan secara organisatoris.

Agaknya kemampuan kolaborasi antar ormas dan pemerintah dalam menangani covid-19 belum serta merta mendapat restu di tingkat bawah (grassroot). 

Dalam konteks pencegahan covid-19, sepertinya relevan, teori ketaatan yang menyatakan bahwa individu yang memiliki kekuasaan merupakan suatu sumber yang dapat mempengaruhi perilaku orang dengan perintah yang diberikannya. 

Hal ini disebabkan oleh keberadaan kekuasaan atau otoritas yang merupakan bentuk legitimate power atau kemampuan atasan untuk mempengaruhi bawahan karena adanya posisi khusus dalam struktur hierarki organisasi (Hartanto dan Indra, 2001).

Sepertinya polarisasi politik pasca pilres juga mempengaruhi dan atau masih membekas diingatan publik bahwa dualisme pertarungan politik menjadi keengganan sebagian akan ketaatan terhadap pemerintah. Perlu keterlibatan akar rumput dan lintas sektor untuk mengubah pola perilaku sehat dalam menghadapi Covid-19. 

Meskipun gelagat fatwa MUI/Ormas seperti tak bertaring, dan masyarakat lebih memilih tetap melaksanakan shalat Idulfitri esok pagi, semoga tradisi salaman, berkunjung silaturahmi ketetangga, dan tradisi keramaian lainya--tidak menjadi pemicu lonjakan kurva covid-19. Meskipun prediksi puncak kasus covid-19 Mei-Juni 2020 akan terus meningkat. 

Gerbong terakhir penangkal naiknya kasus Covid-19 adalah kesadaran personal dan komunal untuk tetap siaga akan naiknya kurva, mengingat tingginya intensitas aktvitas warga pada bulan Mei-Juni 2020 mengingat momentum bertepatan pasca lebaran idulfitri. Semoga prediksi kenaikan kurva korona tidak sesuai dengan lajunya intensitas aktivitas warga.


Selamat Hari Raya Idulfitri 1441 H.

*Salam Pecinta Kesederhanaan

 

Saturday, 16 May 2020

Kelucuan Negara dan Warga +62 Saat Mengadapi Corona

Ditengah keresahan dan ketakutan akan pandemik covid-19, masyarakat hampir tak henti-hentinya dijejali dahsyatnya narasi tentang korona. Hampir semua media baik rol online maupun cetak berlomba membuat perkembangan lajunya wabah. Disadari atau tidak, saking jilemetnya persoalan covid-19, semua orang berlomba unjuk gigi mengeluarkan gagasan tentang pentingnya melakukan perlawanan terhadap korona. Pespektif pun beragam, ada yang spesifik soal kesehatan (evidence - based medicine), sosial, ekonomi, politik, agama, bahkan sudut pandang filsafat juga turut serta menyumbangkan idenya dalam penanganan korona.

Mengapa semua turut merespon covid-19, karena ini pandemi. Ia bukan saja merusak soal kesehatan, tetapi semua tatanan kehidupan. Bahkan sampai timbulnya gejala psikosomatis karena lelah, takut dan cemas menghadapi korona. Kecemasan inipun cepat menyebar, bahkan lebih cepat daripada virus itu sendiri.

Namun kengerian korona tak selalu direspon berbentuk ketakutan. Banyak juga prank, dagelan dan kelucuan yang terjadi. Hal itu terlihat dari beragam berita kelucuan-kelucuan negeri +62 saat menghadapi virus korona, seperti:

·         negara melarang mudik tapi buka akses moda transportasi ditengah pandemi

·         negara membatasi gerak sosial tapi malah berencana membuka mall

·         negara siap bantu ekonomi saat pandemi tapi listrik naik tanpa diberi informasi

·         warga suruh cetak sawah dan percepat panen tapi lupa bagaimana subsidi petani

·         warga disuruh dirumah aja tapi negara lupa akan kewajibanya

·         warga disuruh karantina dan isolasi mandiri tapi tidak difasilitasi

·         jajaran kabinet dan parlemen suruh fokus tangani korona tapi malah bahas RUU Minerba dan RUU cipta lapangan kerja

·         ngomongnya bantu korban PHK, nyatanya bagi-bagi kartu program kerja

·         warga disuruh jaga kekebalan tubuh tapi negara abai sama kondisi tubuh
warga disuruh jauhi keramaian tapi tidak berlaku sama dunia perbisnisan

·         warga disuruh ikut prakerja padahal lapangan kerja belum tersedia

·         warga disuruh tingkatkan skill lewat prakerja tapi hp dan pulsa tak tersedia ada

·         negara siap bantu stimulus ekonomi tapi malah sibuk kampanye herd immunity

·         negara bukanya cari solusi vaksinasi malah disuruh berdamai diri dengan kondisi

·         negara suruh tidak stigma pasien covid tapi warga miskin disangka pembawa penyakit

·         pemerintah akan menekan laju korona dengan perbanyak jumlah tes tapi alat seadanya

·         maunya curva melandai tapi data kasus terus meningkat seperti badai

·         ngomongnya melawan korona tetapi malah datangkan WNA

·         warga disuruh jauhi keramaian tapi tidak berlaku dari dunia perbisnisan dan ritus keagamaan

·         negara siap menghormati putusan, nyatanya iuran BPJS kesehatan dinaikan

·         negara suruh jaga jarak tapi antrean bandara seperti tak terelak

Lalu apakah kelucuan hanya datang dari pemerintah saja, oh tentu tidak. Prank, kelucuan dan humor juga datang dari warga +62. Seperti pasca diumumkannya kasus pasien positif awal maret 2020 lalu, banyak warga memblokade komplek atau daerahnya dengan beragam, meskipun dikemudian hari ditentang oleh pemerintah. Selain itu, kelucuan lain seperti banyak orang berjemur diatas pukul 10.00-11.00 waktu setempat. Info tersebut konon datang dari pasien yang telah dinyatakan sembuh dari Korona. Mengapa harus jam 10.00 bukannya untuk meningkatkan kekebala tumbuh khususnya mendapatkan asupan vitamin D, yang perlu diperhatikan adalah indeks ultraviolet (UV) bukan pada waktunya. Dimana indeks tabel UV dapat memperlihatkan kekuatan radiasi dari pancaran sinar matahari. Nah rata-rata waktu UV jam 10.00 di Indonesia sepertinya di atas normal.  Hal itu tidak disarankan menurut anjuran WHO karena berpotensi membakar kulit dan rentan terkena kanker kulit. Namun seiring berjalannya waktu banyak warga sekarang sudah tidak berjemur pada pukul tersebut. Entah karena fatalis atau dapat informasi baru.

Kelucuan lain tergambar juga kebiasaan mencuci tangan. Hampir disetiap tempat, seperti swalayan, toko atau parkiran dan kompleks menyediakan alat pencuci tangan bahkan ada bilik disinfektan. Namun seiring berjalannya waktu, tradisi ini mulai hilang ditelan waktu meskipun pandemik masih tetap melaju. Bahkan beberapa tempat vital sudah tak lagi menyediakan handsanitizer atau bilik disinfektan. Tak ketinggalan juga tradisi penyemprotan wilayah, hampir semua daerah mengadakan penyemprotan. Tak berselang lama, tradisi ini hanya bertahan sesaat, saat momentum ketakukan melanda, atau istilah lain pas ‘anget-anget tai kucing’. Meminjam istilah Prof Komarudin Hidayat manusia suka hal seremonial yang besar disetiap momentum ‘Homo Festifus’.

Selain itu, kulucuan juga terjadi saat kelangkaan masker, disinfektan, hand sanitizer dan obat penguat imunitas di toko dan apotek. Semua orang panik, sebagai langkah preventif, orang-orang berlomba membeli barang tersebut, karena takut terkena korona. Tapi tradisi ini sepertinya juga tak bertahan lama, gelagat warga sudah terlihat bosan disaat yang sama warga sudah tak mengindahkan protokol kesehatan saat bepergian. Ambil contoh berkumpulnya warga diacara penutupan McD Sarinah disaat Pandemi.

Kelucuan lain terlihat dari respon warga +62, suka membicarakan negara lain yang terkena korona akibat lemahnya social distancing dan minimnya implementasi perilaku hidup bersih, hal itu justeru menimbulkan tingkat kematian yang tinggi. Disaat yang sama warga +62 juga tersinggung saat ditanya mengapa tingkat kematian dan kasus covid-19 di Indonesia tinggi. Seketika kena tembakan, seketika itu juga langsung diem seribu bahasa.

Ada juga kelucuan berbaut religius, saat warga tetap ngotot ibadah bisa dilakukan di mesjid/gereja dll saat pandemi tetap mewabah—mereka percaya mati dan hidup adalah takdir Tuhan bukan karena korona. Sudah dihimbau oleh masing-masing pemuka agama untuk tetap ibadah di rumah saja. Namun ada saja kengototan warga +62 cari cara justifikasi dalil-dalil yang ada. Herannya, selang beberapa hari saat dilakukan rapid test, hasilnya diluar dugaan, warga tersebut reaktif korona. Sebetulnya ini bukan soal perdebatan teologis, tetapi soal kesadaran bagaimana pentingnya menghargai para petugas medis, disaat kerapuhan sistem kesehatan Indonesia dan tidak berimbang jumlah paramedis. Bisa saja kalau tetap ngotot untuk ibadah di manapun dan kapanpun selagi tidak merepotkan paramedis dan tidak menularkan kepada orang lain. Lucunya negeriku ini. Entah dari pemerintahnya maupun warganya seolah disambut kompak saat menghadapi pandemi ini.

Bederet berita prank dan kelucuan di atas mungkin menggambarkan kondisi, dimana negara dan warganya bukan saja tidak siap dari serbuan serangan virus, tetapi karena kerapuhan persoalan antara tatakelola negara, perangkat dan kesadaran warganya. Ketidakseimbangan, ketidaksinkronan dan keterlambatan penanganan, menjadi bahan candaan, tertawaan yang sarat akan kritikan di tengah wabah adalah hal yang wajar. Karena kelucuan tersebut mengandung upaya perbaikan agar pemerintah dan warganya untuk waspada akan virus korona. Meminjam bebas istilah teori ‘kelucuan’ ala Immanual Kant, (the incongruity theory), bahwa kelucuan hadir manakala pola mental dan ekspetasi normal diluar nalar. Inilah mungkin yang dinamakan kelucuan negara dan warga +62 saat menghadapi korona.

 

 

*Salam pecinta kesederhanaan.