Kunjungan Raja Salman menjadi perhatian besar pemerintah Indonesia,
bahkan tak tanggung-tanggung pemerintah Indonesia memerintahkan jajaran
di bawahnya untuk fokus terhadap pertemuan ini. Mulai dari pengamanan,
penginapan hingga kesehatan dan lainnya berkelas VVIP dipersiapkan.
Persiapan tersebut tak lain untuk melancarkan agenda bilateral
pemerintah RI-Saudi dalam penandatanganan MoU.
Ada sebanyak 10
tema yang akan ditandatangani yaitu kerja sama dibidang kebudayaan,
kesehatan, peningkatan status mekanisme bilateral, kerja sama keislaman
dan dakwah, pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi, kerja sama
kelautan dan perikanan, kerja sama penanganan kejatahan lintas batas,
kerja sama pelayanan udara, kerja sama usaha kecil dan menengah (UKM)dan
kerja sama perdagangan.
Jika melihat garis besar MoU di atas
persentase bidang ekonomi menjadi prioritas utama kerjasama, seperti
yang ramai diperbincangkam bahwa Arab Saudi akan berinvestasi sekitar 25
miliar dollar atau sekitar 334 triliun rupiah. Angka yang cukup
fantastis. Mengapa Arab Saudi begitu tertarik dengan Indonesia, menurut
pengamat timur tengah Zuhairi Misrawi, pertama Indonesia negara
mayoritas muslim terbesar, kedua Indomesia menjadi negara pemasok haji
dan umrah terbesar, hal ini sesuai dengan visi ekonomi arab saudi tahun
2030 yaitu merencanakan jumlah haji dan umrah mencapai 30 juta pertahun.
Ketiga indonesia merupakan negara yang terbukti mengadaptasikan
nilai-nilai keislalaman dan kemodernan, dan keempat karena indonesia
memiliki sikap politik luar negeri yang bebas aktif.
Bisa
dikatakan berhasil lobi besar Jokowi pada tahun 2015 lalu dalam
lawatannya, karena bisa meyakinkan Sang Raja untuk datang sekaligus
bekerjasama dengan Indonesia pada 2017 ini. Namun apakah yang
dibicarakan hanya sekedar 10 grand desain, detail turunan MoU-nya belum
bisa dipastikan lebih jelas, kita bisa lihat nanti seperti apa. Namun
ada yang perlu dicatat bagi pemerintah Jokowi yaitu upaya pemeritah
dalam mengatasi para pekerja migran Indonesia.
Seperti yang
dikatakan Anies Migrant Care bahwa kebijakan moratorium ke timteng
bukanlah jawaban dari maraknya kasus kekerasan terhadap TKI migran
Indonesia. Pasalnya, kata dia, beberapa kali moratorium justru
mencerminkan ketiadaan inovasi kebijakan dalam hal perlindungan buruh
migran. Selain itu, juga menimbulkan kesan pemerintah tidak pernah
mengevaluasi secara serius efektivitas kebijakan moratorium. Migrant
Care juga mencatat terdapat pengiriman 2.793 orang PRT migran Indonesia
dari Bandara Soekarno Hatta, dalam kurun 2015-2016, atau saat moratorium
berlangsung.
Belum lagi dengan kasus seperti TKI yang terkena
hukuman mati, masalah besaran diat (denda pengampunan), tenaga kerja tak
terdaftar dan human traficking, juga upah yang tidak dibayarkan,
eksploitasi, kekerasan fisik, psikis sampai dengan seksual, pencaloan,
remitensi dan berlindungan hukum dan masalah lainnya. Menjadi daftar
buruknya penanganan masalah tenaga kerja Indonesia dengan Arab Saudi.
Sebagai
perbandingan, pajak Freeport selama 25 tahun hanya 214 trilliun rupiah
atau dirata-ratakan sekitar 8 trilliun rupiah per tahun saja ramai
diperjuangkan. Ini yang jelas-jelas besaran pemasukan devisa negara dari
TKI sebesar 144 trilliun rupiah per tahun seolah tidak menjadi
prioritas pembahasan dalam lawatan. Sangat penting dimasukan dalam
klausul bahwa upaya perlindungan hukum TKI menjadi prioritas pembahasan
nanti dalam MoU, bukan saja hanya sekedar isu pembangunan dan investasi
yang menjadi prioritas.
*Salam Pecinta Kesederhanaan