Perhelatan
politik Indonesia selalu menjadi bahan perdebatan sengit yang tiada
habis-habisnya. Tak pelak, diskursus politik selalu dikait-kaitkan dengan
berbagai macam isu lainnya. Salah satunya yaitu agama-kepercayaan.
Agama-Kepercayaan yang diyakini menjadi obat perdamaian bagi umatnya, kini
berubah menjadi taktis pragmatis. Entah karena pemeluknya sudah mulai bosan
dengan asupan-asupan katastrofa atau memang agama mulai terlihat stagnan dalam
pengejewantahannya. Bahkan ketika politik sudah mendekati agama-kepercayaan,
tak jarang sering menjadi objek pengkambinghitaman atas ulah politik praksis
(baca: kekuasaan).
Beragam
kasus atas nama agama-kepercayaan di Indonesia, seolah menguburkan nilai
universal (misi perdamaian) dari ajarannya. Kasus Yasmin Bogor, Syiah di
Madura, FPI-AKBB di Monas, Pembubaran Shalat Hari Raya di Tolikara, Pembakaran
Gereja di Aceh Singkil, Ahmadiyah di Cikeusik dan banyak lainnya—seolah tak ada
habisnya. Legitimasi atas nama agama-kepercayaan menjadi bahan baku untuk
mendiskreditkan, mengadudomba bahkan menghakimi pemeluk yang berbeda. Di tambah
lagi dengan ruang kontestasi politik praktis di Indonesia, hal itu menambah
daftar panjang parahnya persoalan kebhinekaan Indonesia.
Politik pencitraan merupakan senjata ampuh
sebagai langkah taktis, termasuk melalui penerbitan kebijakan, untuk
menciptakan sebuah citra semata atau untuk mengedepankan sebuah citra tandingan
terhadap stigma atau citra tertentu yang dianggap tidak menguntungkan daerah.
Sering kali politik pencitraan ini menggunakan simbol-simbol identitas agama
tertentu ataupun dengan mengedepankan satu interpretasi tunggal dari agama
tersebut. Konsekuensinya, kelompok masyarakat yang tidak ikut mengusung simbol
tersebut, terutama dialami oleh kelompok minoritas berdasarkan agama dan
budaya, menjadi terpinggirkan.(Komnas Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan
Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia, 2010, 22).
Persoalan
demi persoalan seharusnya menjadi bahan renungan dari stakeholders seperti pemerintah
maupun DPR untuk menyelesaikan persoalan endemik dan penuh resisten ini. Namun
harapan itu juga tak kunjung selesai secara komprehensif. Pemerintah, DPR atau
stakeholder—lainnya seolah terlihat kasuistik dalam menyelesaikannya. Kasus
atas nama agama dan kepercayaan seperti feonema gunung es, kecil diatas tetapi
diakar permukaan tidak. Dari sini juga ruangnya kontestasi politik dimulai.
Kasus ini berperan penting untuk membuat eksekutif dan legislatif memainkan
peran grand desain isu populis untuk meraup suara rakyat.
Upaya peningkatan kerukunan umat
beragama/kepercayaan belum dapat sepenuhnya terwujud di seluruh wilayah Tanah
Air. Permasalahannya jelas yaitu: (1) Peraturan perundangan yang ada belum
secara komprehensif mengakomodasi dinamika perubahan dan perkembangan di
masyarakat; (2) Sosialisasi dan penerapan peraturan perundangan belum optimal;
(3) Koordinasi pencegahan dan penyelesaian konflik baik ditingkat pusat dan
daerah belum optimal; (4) Pengelolaan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat
untuk menjaga harmoni sosial belum optimal. (RPJMN 2015-2019, buku II, 193). Belum
lagi persoalan internal pemeluk agama dan kepercayaan, menjadikan daftar hitam
sulitnya merangkul kebhinekaan Indonesia.
Konflik bernuansa SARA, konflik politik, konflik
perebutan sumber
daya alam, diskriminasi, dan kekerasan lain yang merusak
fasilitas publik, serta tindakan
terorisme, sebagai refleksi adanya kesenjangan, masih tetap menjadi permasalahan dan
tantangan. Apabila tidak
ditangani dengan serius akan berpotensi menghambat jalannya proses
pemantapan konsolidasi
demokrasi substansial di Indonesia. Oleh karena itu, dalam pemantapan proses positif konsolidasi
demokrasi perlu segera dilakukan internalisasi nilai-nilai demokrasi
melalui berbagai arah kebijakan dan strategi yang tepat, didukung
dengan intervensi anggaran
yang tepat, kerangka regulasi yang kuat dan terintegrasi, dan kerangka
kelembagaan yang tepat dan solid. Jangan sampai konflik
agama dan kepercayaan menjadi bahan baku citra tersendiri untuk menghegemoni
atas nama golongan minoritas-mayoritas atau sebaliknya.
Kita
tidak pernah belajar dari konflik hebat di wilayah timur tengah dan sekitarnya,
seperti dalam persoalan politik dan agama. Manusia seolah tak bernilai. Pemaksaan
serta kebuasaan hukum atas nama agama—melegitimasi kekerasan berbentuk negara.
Agama dan negara kita sudah berkelindan dan tak terrasionalkan. Negara kini
kehilangan taringnya sebagai pemersatu dengan tanpa keberpihakannya dalam
apapun. Pada akhirnya negara sudah menjadi citra taktis para politisi untuk
menghegemoni kekuasaannya. Berkaca pada pemilu 2014 lalu, secara
terang-terangan para politisi melakukan hate
speech (menebar kebencian) atas nama agama untuk menjatuhkan lawannya demi
meraup suara tinggi—tak lain demi kekuasaan belaka.
Kondisi
politik pencitraan di atas sebetulnya tidak berbeda jauh seperti penerapan
hukum pidana atas nama agama di Sudan. Ketika rezim Ja’far Numery berkuasa
selama 16 tahun (1969-1985) setelah melakukan kudeta militer. Dimana semula
kebijakan-kebijakannya dikenal dengan ‘nasionalis sekuler’ sebagai rezim
sebelumnya. Namun diakhir pemerintahannya tiba-tiba berubah menjadi religious.
Pada tanggal 8 September 1983 mengeluarkan dekrit presiden yang memberlakukan
syariat Islam sebagai satu-satunya hukum di Sudan. (Taufik dan Samsu, Politik Syariat Islam, 115). Lebih dari 20 kebijakan, hukum, peraturan
dirumuskan secara tergesa-gesa dan diumumkan Numery setiap minggu di Media.
Perubahan ini ditenggarai karena menguatnya revivalisme Islam, potensi
politiknya, serta keinginan Numeiry untuk mengontrol dan mengoptasi kekuatan
tersebut di Sudan. Pada akhirnya kekuatan politiknya hanya dilakukan untuk
mendapatkan citra populis. Apakah kasus atas nama agama di Indonesia memungkin sama
seperti negara di Timur tengah? Hal itu bukan tidak mungkin, jika persoalan
selalu ditanggapi secara kasuistik tidak secara komprehensif, maka bersiaplah
Indonesia akan menjadi penuh dengan konflik kekerasan bahkan pembunuhan secara
masif. Apakah pilkada serentak nanti akan berujung dengan kasus yang sama,
yaitu menggunakan hatespeech sebagai
katastrofa demi meraih kekuasaannya.