Hari-hari ini maraknya aksi premanisme di negeri tercinta Indonesia merupakan bukti nyata bahwa peran negara sebagai pemegang kekuasan absolute sebagai memanusiakan manusia (humanize human being) hilang begitu saja. Negara dengan alat hukumnya sebagai pemegang kontrol sosial beralih menjadi pendukung masalah sosial. Hal itu bisa dilihat dari rentetan aksi-aksi kekerasan merebak di seluruh wiilayah Indonesia.
Jika melihat dari skala maupun bentuk jenis aksi kekerasan, aksi-aksi tersebut mempunyai beragam bentuk, baik yang dilakukan oleh rakyat sipil ataupun oknum pemerintah. Aksi premanisme seperti yang diungkap oleh Indonesia Police Watch (IPW) mencatat bentuk-bentuk aksi premanisme juga banyak dilakukan oleh oknum kepolisian, seperti aksi pungutan liar, salah tangkap, dll. Adapun bentuk aksi premanisme yang dilakukan oleh rakyat sipil seperti yang terjadi di Rumah Sakit Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta Pusat pada hari Kamis 23 Februari 2012 dini hari, akibatnya dua orang meninggal dalam aksi premanisme tersebut dan yang paling mencengangkan dalam aksi tersebut adalah tidak jauh dari pos polisi. Lain lagi pada daerah terminal Kampung Rambutan, para preman membuat aksi nekatnya dengan mengancam kepada sejumlah orang untuk diberikan uang.
Dari serangkaian maraknya aksi premanisme operasi kilat di beberapa daerah pun dikerahkan, seperti di Jakarta Timur petugas Polisi Resort melakukan penertiban terhadap gerombolan preman dan anak punk di 7 titik rawan, selama empat hari. Dari operasi tersebut sebanyak 131 anak punk dan preman berhasil diciduk. Namun 11 orang ditahan karena terbukti melakukan tindak kejahatan. Sedangkan 120 orang lainnya dilakukan pembinaan di Panti Sosial Kedoya, Jakarta Barat. Di Kota Bekasi pada selasa 28 februari 2012 bahwa Belasan orang ditangkap Tim Penindak Premanisme (TPP) dalam Operasi Kilat Jaya 2012 dan Mayoritas mereka yang dibawa polisi adalah pengamen, dll.
Dari kasus yang terjadi, beberapa ahli mengatakan bahwa aksi-aksi premanisme mempunyai latar belakang yang berbeda yang berujung pada tindak kekerasan pada korban, meminjam bahasa Sunardi dkk dalam bukunya (Republik Kaum Tikus, 2005) bahwa, ketika seseorang atau komunitas merasa hidupnya dalam tekanan ekonomi yang hebat, maka bukan tidak mungkin akan lahir opsi kekerasan, ekstremitas atau kriminalitas. Pandangan Sunardi tersebut mempunyai indikasi bahwa aksi-aksi premanisme bukan tidak mungkin dilakukan karena persoalan klasik yaitu problem sosial, ekonomi, budaya, dll yang sampai sekarang masih belum selesai, bahkan menurut Johan Galtung ini terjadi karena ada faktor aktulisasi yang tak terpenuhi. Belum lagi dalam aksi premanisme yang dilakukan oleh oknum polisi yang ikut terlibat, kata Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane. Aksi premanisme yang dilakukan oleh oknum juga bukan tidak mungkin karena persoalan yang sama.
Aksi premanisme tersebut di atas perlu mendapat perhatian penuh oleh pemerintah, karena UUD 1945 mengamanatkan untuk menjalankan ketertiban umum bagi bangsa Indonesia, dan perlu dibenahi pula yaitu faktor eksternal dan internal. Yang mana faktor eksternal mencakup aksi premanisme yang dilakukan oleh rakyat sipil, dan masalah internal adalah aksi premanisme yang dilakukan oleh para oknum. Dari faktor-faktor tersebut secara praksis pemerintah perlu untuk me-restruktur sub-welfare state, yaitu upaya preventif pemerintah sebagai pemberi hak (duty holders) untuk memberikan ketenangan, kenyamanan dan kecerdasan awal kepada seluruh masyarakat Indonesia. Ini adalah amanat sejatinya ground-norm kita yaitu UUD 1945, ia bukan sebatas tataran teoritis saja, akan tetapi perlu usaha konkrit dalam menjalankan tugas tersebut, untuk itu pemerintah harus konsisten dalam melakukan langkah ini.
Kemudian langkah restruktur sub-welfare state pemerintah semestinya dibarengi dengan langkah kedua yaitu memanusiakan manusia (to humanize human being), dalam serangkaian memanusiakan manusia-- para aparatur pemerintah dalam konteks ini mestinya bentuk aksi premanisme ketika sudah terjadi seharusnya pemerintah bukan menjadi problem maker bukan sebaliknya dengan membuat cara-cara kekerasaan (acts of violence) ketika penangkapan kepada mereka, walaupun niat awalnya untuk memberikan binaan, justru cara-cara seperti ini akan menimbulkan kekerasan baru (neo-violence). Dan Upaya ini pula pemerintah dalam menjalankan binaan kepada para preman, dll seharusnya lebih menekankan membuat jera dengan cara-cara manusiawi pula, karena ini menjadi titik nadir bahwa seorang preman, dll akan terjeurmus kembali menjadi alianasi zaman ketika serangkaian bentuk-bentuk binaan tidak membekas sama sekali.
Dan terakhir adalah pemerintah harus bersikap tegas kepada para oknum, sanksi yang diberikan pula jangan selalu bersifat tebang pilih atau lebih jelasnya bersifat etis melulu akan tetapi lebih dari itu, ketika perbuatan oknum menunjukan proporsional pidana, maka mestinya dipidanakan. Dari sinilah kemelut kepercayaan rakyat dengan para penegak hukum bisa diminimalisir. ***