Translate

Makna Dibalik Kegagalan

Kata “Gagal” seringkali diartikan peyoratif/negatif, tak ayal balutan serta bungkusan yang menyelimuti kita ditopang dengan beragam cara. Apapun itu, yang penting kita jauh dengan kata “gagal”. Namun apa makna dibalik kegagalan...

Bukan Mengelola Waktu, Tetapi Mengelola Energi

Saat ini mengelola waktu menjadi tren tersendiri dari kita. Bahkan hidup di era digital seperti ini, mengelola waktu bukan saja menjadi prioritas utama tetapi lebih dari itu. Namun banyak dari kita yang hidupnya mati-matian untuk mengelola waktu tetapi...

Implikasi Putusan Praperadilan Kasus BG, Bukti Nyata Hukum Indonesia Tak Jelas

Pasca putusan praperadilan perkara penetapan kasus tersangka BG yang diajukan oleh KPK dalam kasus korupsi, opini pun berhembus seperti terpecah belah dua dalam dunia hukum. Di tambah lagi beragam opini.....

Adonis, Sastrawan Arab Paling Kritis

Adonis merupakan penyair Arab yang paling berpengaruh di abad ke-20. Karya sastra modernisnya sangat berpengaruh terhadap dampak budaya Arab.....

Lintasan Sejarah Komunisme di Dunia Islam

Persinggungan antara komunisme di barat maupun di wilayah timur, terkhusus di Dunia Islam terdapat titik persamaan konseptual yaitu menolak terhadap kolonialisme barat. Seperti yang kita ketahui, hampir rata-rata di dunia Islam paruh abad 18-19-an, telah terjadi pergeseran antar ideologi.

Monday, 23 June 2014

Epistemologi Counter Legal Draft (CLD) - Hukum Perkawinan

Hukum merupakan refleksi tata nilai yang diyakini oleh masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini berarti, bahwa muatan hukum itu seharusnya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya bersifat kekinian, namun juga menjadi acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik di masa depan.[1] Dengan demikian, hukum itu tidak hanya sebagai norma statis yang hanya mengutamakan kepastian dan ketertiban, namun juga berkemampuan untuk mendinamisasikan pemikiran serta merekayasa perilaku masyarakat dalam menggapai cita-cita.[2]
Dalam perspektif Islam bahwa Hukum adalah bagian dari agama, dalam hal ini ruang lingkup syariah. Perspektif seperti demikian sering disebut Diyaani, karena pelaksanaannya sangat tergantung kepada ketaatan individu penganutnya dimana inti agama (ad-din) antara lain adalah tunduk dan patuh kepada aturan yang dibawa oleh agama. Hukum Islam sebagai hukum agama mempunyai cakupan yang lebih luas dari hukum dalam pemahaman barat yang mengaitkan hukum hanya dengan institusi negara. Hukum Islam dalam pengertian Barat (yang sempit ini) di samping bersifat diyaani, juga bersifat qodhaa’i (judicial atau berhubungan dengan penegakan sistem peradilan).[3] Disebut qodhaa’i karena agama islam disamping mengandung pengertian tunduk dan patuh tetapi juga mengandung pengertian balasan (jaza’) yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Balasan duniawi atas pelanggaran hukum agama ditetapkan oleh pengadilan (qodha’) dan adapun balasan akhirat ditetapkan oleh Allah SWT. Adapun hukum Islam jika dilihat dari dimensi kandungan-kekuatannya [4] terdapat  dua bagian, yaitu Pertama, Hukum Islam dalam kaitannya dengan syari'at[5] yang berakar pada nash qath'i berlaku universal dan menjadi asas pemersatu serta mempolakan arus utama aktivitas umat Islam sedunia. Dan  kedua yaitu Hukum Islam yang berakar pada nas zhanni yang merupakan wilayah ijtihadi yang produk-produknya kemudian disebut dengan fiqhi.[6]
Pemaparan Syaikh Abd. Wahhab khallaf di atas mengenai dimensi yang kedua sangatlah memungkinkan dalam epistemologi hukum untuk di-ijtihadi, karena setiap wilayah yang dihuni umat Islam dapat menerapkan hukum Islam secara berbeda-beda pula,[7] sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi. Seperti halnya bangsa Indonesia yang mempunyai ciri atau kekhasan tersendiri. Di awali dengan sejarah panjang bangsa (muslim) dalam  memahami al-Qur’an dan al-Hadits sebagai teks dan pergulatan dialektika konteks, belum lagi  dengan keanekaragaman pemahaman substansi hukum Islam, penalaran hukum Islam serta Praktik hukum Islam. Dari berbagai macam persoalan di atas pulalah yang kemudian membuat upaya-upaya konkret seperti pembaruan hukum keluarga telah di mulai kembali sekitar tahun 1950-an[8] yang sebelumnya telah dibekukan oleh Oleh kolonialis Belanda.
Eksistensinya beruwujud pada UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuatan-kekuatan pokok kekuasaan kehakiman[9] Dari sudut pelembagaan, UU ini telah terkodifikasikan serta terunifikasikan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga menjadi undang-undang tertulis dan berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Namun demikian, secara substansial terdapat bagian-bagian tertentu yang hanya berlaku khusus bagi masyarakat Islam saja.
UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini telah terlahirkan setelah melalui berbagai perjuangan yang panjang nan sulit penuh liku dalam tiga zaman: zaman Kolonial Belanda,[10] zaman pendudukan Jepang, dan pasca kemerdekaan. Upaya pembaharuan hukum Islam[11] berikutnya ditandai dengan lahirnya  Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang materinya mencakup aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Berdasarkan Instruksi  Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991 KHI dikukuhkan sebagai pedoman resmi undang-undang dalam bidang hukum materil bagi para hakim di lingkungan Peradilan Agama di seluruh Indonesia.[12] KHI terdiri dari tiga buku, Buku I mengenai Perkawinan; Buku II  tentang Kewarisan; Buku III tentang Perwakafan. Secara keseluruhan KHI terdiri atas 229 pasal dan porsi terbanyak menyangkut hukum perkawinan yang terdiri dari 170 pasal.
Legislasi bidang hukum keluarga di atas merupakan sebuah prestasi besar dalam sejarah panjang bangsa ini. Realitas ini juga menunjukan bahwa negara Indonesia telah memberikan ruang gerak yang cukup bagi terlembaganya hukum Islam secara legal.[13] Kondisi ini pula membuktikan bahwa hukum Islam di Indonesia mempunyai kekuatan dan kemampuan dalam berintegrasi dengan Hukum Nasional, sekaligus memberikan kontribusi yang sangat fundamental dalam Hukum Nasional Indonesia. Namun hal itu bukan menjadi reward yang mesti diakhiri, karena eksistensi Hukum Islam di Indonesia masih butuh perjuangan keras (baca: Ijthiad) bagi masyarakat, baik akademisi maupun praktisi. Seperti halnya KHI (Kompilasi Hukum Islam), ia bukan hanya bentuk istimbath produk Fiqh saja, lebih dari itu, ia juga merupakan Ijtihad Jama’i dari ulama, ahli hukum, akademisi, praktisi, ormas, serta masyarakat yang turut aktif dalam hal itu.  Meskipun statusnya hanya sebatas Inpres (intruksi presiden) tapi bukan tidak mungkin dengan usaha-usaha keras para ahli, sangat di mungkinkan ia bisa menjadi undang-undang.[14]
Sebagian kalangan menilai bahwa KHI yang sudah ada tidak perlu direvisi kembali, karena sudah cukup relevan. Sementara itu bagi sebagian kalangann lainnya  melihat bahwa KHI yang sudah ada itu memang perlu untuk diperbaharui seiring dengan perkembangan jaman. Salah satu pendapat yang mewakili kesetujuan terhadap KHI untuk tidak direvisi datang dari Prof. Tahir Azhari, Guru Besar Hukum Islam Universitas Indonesia. Menurut Tahir, perubahan atas KHI yang ada harus dilihat dari tujuannya, apakah pembaharuan itu ditujukan untuk kepentingan umat Islam atau bukan. Kalau pembaharuan itu tidak terkait dengan kepentingan untuk umat Islam, maka untuk apa dilakukan pembaharuan tersebut. Menurut Tahir, Ketentuan-ketentuan dalam KHI sudah menampung dan menggambarkan seluruh aspirasi dalam hukum Islam, khususnya aspirasi alim ulama dan para pakar hukum Islam di Indonesia. Apa yang telah dilakukan oleh para ulama dan pakar hukum Islam inipun menurut Tahir sudah berdasarkan kaidah-kaidah hukum Islam yang sudah baku dan merujuk pada tiga sumber yaitu Al-Quran, Sunnah Rasul dan Al-Ra’yu. [15] Majlis Ulama Indonesia menilai bahwa Materi KHI yang selama ini menjadi pijakan ketentuan perkawinan perlu segera disusun dalam law drafting yang sempurna, dan ditingkatkan statusnya.[16]
Upaya peningkatan bentuk yuridis KHI dari Inpres menjadi undang-undang sebetulnya telah terjadi akhir tahun 2004, tepatnya setelah lebaran menurut Wahyu Widiana, Departemen Agama akan mengajukan draft RUU Hukum Terapan Tentang Perkawinan Islam ke Sekratriat Negara. Akan tetapi perkembangan selanjutnya tidak ada kejelasan apakah Rancangan Undang-Undang tersebut sudah dibahas atau belum oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang jelas faktanya sampai saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak pernah mengeluarkan Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama tentang Perkawinan Islam.
Disamping perkembangan masyarakat serta adanya keinginan menjadikan KHI sebagai hukum positif dengan mengundangkannya segera, maka Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama yang dipimpin Dr Siti Musdah Mulia, MA, staf ahli Menteri Agama bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional sejak masa Said Agil Husein al-Munawwar, diserahi tugas oleh Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI untuk melakukan pengkajian, penelitian, dan perumusan ulang terhadap materi hukum KHI dan menyusun draft pembaruan (revisi) atau counter legal draft terhadap Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991.
Setidaknya ada enam alasan mengapa perlu melakukan kajian kritis terhadap KHI, yang kemudian melahirkan CLD counter (legal draft). Alasan pertama yaitu kebijakan nasional guna penghapusan kekerasan terhadap perempuan (zero tolerance policy). Kedua, karena ketidak seimbangan atau kontra terhadap pertaturan perundang-undangan diatasya yaitu seperti UU No. 7 Tahun 1984 (tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, UU  No. 23 tahun 2004 (tentang pengghapusan KDRT. Ketiga, usulan Direktorat Peradilan Agama untuk Membuat RUU (rancangan undang-undang) Terapan Bidang perkawinan untuk menggantikan posisi hukum perkawinan dalam KHI serta merubah status hukumnya (dari Inpres menjadi undang-undang). Keempat, adanya tuntutan formalisasi syariat Islam di beberapa daerah yang harus dijawab dengan membuat langkah akomodatif terhadap persoalan yang ada (dengan membuat Undang-undang terapan bidang perkawinan). Kelima, bentuk upaya revitalisasi dalam hukum keluarga di Indonesia. Keenam, hasil survey di empat willayah dengan landasan, a) KHI sudah berumur cukup lama atau 21 tahun (tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman), b) KHI harus memiliki Kekuatan hukum tetap dengan mengkodifikasinya kembali, c) materi-materi hukum dalam KHI perlu dilengkapi dan disempurnakan agar sesuai dengan kebutuhan praksis masyakarakat Indonesia.[17] 
Dari berbagai faktor pendorong tersebut di atas yang kemudian menghasilkan 14 isu pokok dalam CLD hukum perkawinan, seperti definisi perkawinan, wali, saksi batas minimal usia menikah bagi permpuan, mahar, pencatatan perkawinan, nusyuz, hak dan kewajiban suami-istri, nafkah, poligami, perkawinan beda agama, iddah, ihdad, serta hak dan status anak di luar perkawinan. Dari 14 pasal mengenai hukum keluarga tersebut di atas telah menghembus isu kontroversi hebat di kalangan masyarakat. Menurut Dr. Rifyal Ka’bah, MA hal-hal mendasar yang menimbulkan kontroversi adalah bahwa pembaruan KHI yang diajukan oleh yang diajukan oleh Tim Pokja PUG bukanlah dalam konteks tajdid (pemurnian) atau ishlah (perbaikan terhadap yang rusak/fasad), namun masuk dalam pengertian bid’ah (penyimpangan) dan taghyir (perubahan) dari hukum Islam yang asli.[19] 
Secara kasat mata, paradigma yang dilakukan oleh tim pokja PUG, adalah menggunakan pisau analisa atau daya epistimologi[20] kepada 6 pendekatan prinsip utama dalam perkawinan, yaitu  Prinsip kerelaan (asaasu at-taraadii, Prinsip kesetaraan (asaasu al-musawaah), Prinsip keadilan (asaasu al-’adalah, Prinsip kemaslahatan (asaasu al-maslahah, Prinsip pluralisme (asaasu at-ta’aduddiyah), Prinsip demokrasi (asaasu ad-dimuqratiyyah) dan Prinsip kebahagian (Sa’adah dan sakinah/rahmah).[21] CLD (baca: Fiqh) sebagai bentukan dari formulasi Ushul Fiqh Modern[22] (baca: Epistem) seperti qoidah “al-Ibrah bi al-Maqaashid laa bi al-Alfaadzi”, Jawaazu naskh an-Nushuush bi al-Maslahah, Yajuuzu tanqihu an-Nushush bi al-‘Amali al-Mujtami’. Implikasi bentuk epistem[23] (baca: qoidah ushulliyah) ini yang pada akhirnya sejumlah pasal dalam KHI menjadi kurang relevan menurut tim Pokja PUG, bahkan seperti apa yang dikutip dalam tulisannya Moqsith Ghazali bahwa terdapat beberapa sisi ketidakrelevanan dalam KHI karena masih memakai pisau analisa fiqh klasik (dalam hal ini epistimologinya) disusun dalam era, kultur, dan imajinasi sosial yang berbeda. Di mana menurutnya Fikih klasik tersebut bukan saja tidak relevan dari sudut materialnya, melainkan juga bermasalah dari pangkal paradigmanya.[24]
Dari berbagai persoalan yang ada, penulis ingin menganalisa bentuk epistimologis CLD di atas yang menjadi acuan atau sumber metodelogi yang digunakan, karena menurut penulis rangkaian bentuk epistimologis inilah yang menjadi titik hasil ijtihad berbeda dari kebanyakan umumnya dan ini pula yang menjadi tumpuan antara teks agama (al-Qur­’an dan al-Hadits) dengan konteks bersebrangan. Di samping itu, rangkaian epistimologi CLD juga merupakan bentuk ijtihad tim POKJA, yang pada akhirnya wacana tim Pokja CLD perlu dijadikan sumber pengetahuan (dalam hal epistimologi hukum Islam) dan perlu pula dikritisi mendalam pengandaian-pengandaian dasar yang menjadi latar belakangnya,[25] mengapa demikian? Epistemologi sebagai cara memperoleh pengetahuan dalam hukum Islam memiliki fokus pembahasan pada aspek sumber, metode dan aplikasi.[26] Demikian juga kegiatan keilmuan bidang ijtihad hukum Islam dalam hal ini CLD sebagai counter terhadap KHI sangat memungkinkan apa kata Abdullah Ahmed an-Na’im berkembang sesuai perkembangan situasi dan kondisi dalam menetapkan sumber, teknik dan aplikasinya, baik dalam teori hukum islam (ushul fiqh) maupun hukum islam (fiqh),[27] terlepas dia sebagai produk kontroversial. 
Kompilasi Hukum Islam yang berlaku sampai saat ini adalah masih tetap Kompilasi Hukum Islam yang berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991, bukan Kompilasi Hukum Islam yang menjadi Undang-Undang dan bukan pula Kompilasi Hukum Islam yang ditawarkan oleh Tim Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama, yakni Counter Legal Draft KHI (CLD KHI). Namun karena secara subtantif sudah seyogyanya UU tentang Perkawinan perlu mendapat perhatian serius terlebih UU no 1 tahun 1974 kurang mengakomodir gerak zaman, upaya revitalisasi KHI secara materil demikian pula, akhirnya penulis perlu membahas secara mendalam mengenai materi hukum (content of law) dalam hal ini adalah Counter Legal Draft (CLD)[28] yang  mempunyai simplikasi Ijtihad dengan menitikberatkan pada empat bentuk epistimologi hukum  CLD yaitu, hak asasi manusia (HAM), Pluralisme, Kesetaraan dan Demokrasi yang acuan landasan berpikirnya berbeda dari bentuk epistimologi yang dibangun oleh para ushuliyyin seperti dalam bentuk istimbath hukum Lafziyah (al-Thuruq al-Lafziyah) atapun Ma’nawiyah (al-Thuruq al-Ma’nawiyah). [29]

Rujukan:
[1] Amrullah Ahmad, SF. Dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), h. ix
[2] Untuk lebih jelasnya bahwa fungsi hukum lihat Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hal.
[3] Makalah Rifyal Ka’bah disampaikan pada Pendidikan Calon Hakim Pengadilan Agama di Komplek PPPG keguruan, (Parung-Bogor, 20 agustus 2001). hal 2.
[4] Hukum Islam merupakan koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988, cet III), hal. 44
[5] Syariat mempunyai dua pengertian: umum dan khusus. Secara umum, mencakup keseluruhan tata kehidupan dan Islam termasuk pengetahuan tentang ketuhanan. Dalam pengertian khusus, ketetapan yang dihasilkan dari pemahaman seorang muslim yang memenuhi syarat tertentu tentang al-Qur'an dan sunnah dengan menggunakan metode tertentu (Ushul Fiqhi), Lihat: Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia…, hal. vii
[6] Fiqh adalah hukum syara' yang bersifat praktis diperoleh melalui dalil-dalil yang terinci. Lihat: Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), hal. 11
[7] Amruullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional…,hal. 13
[8] Pada tanggal 1 Oktober 1950 Menteri Agama membentuk  panitia penyelidik yang bertugas meniti kembali semua peraturan mengenai perkawinan serta penyusunan RUU yang sesuai dengan perkembangan zaman. RUU tersebut itu selanjutnya oleh pemerintah diajukan kepada DPR sebagai legislator kala itu untuk membahas kembali, namun sayang upaya tersebut gagal dengan dibekukannya DPR melalui Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1950 dan nasib RUU itu tidak terdengar lagi. Lihat Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, (Leiden-Jakarta: INIS, 2002), hal. 51
[9] Pada pasal 10 ayat (1) terdapat mengenai eksistensi Peradilan Agama, yang berbunyi; "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh peradilan dalam lingkungan: 1) Peradilan umum, 2) Peradilan Agama, 3) Peradilan Militer, 4) Peradilan Tata Usaha Negara.
[10] Pada masa kerajaan Islam dengan Tahkim sebagai lembaga peradilan dalam bentuknya yang masih sederhana dengan tokoh agama sebagai hakimnya. Lihat: Syadzali Musthofa, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Islam di Indonesia (Cet. II, Solo: CV. Ramadani, 1990), h. 59
[11] Upaya pembaharuan hukum islam di indonesia seiring dengan perjalanan peradilan agama di Indonesia, dan kebutuhan hukum materil itu dibuktikan lewat keluarnya surat edaran kepala biro peradilan agama No. B/1/737 tanggal 18 Februari 1958 tentang PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura. Lihat Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana PMG, 2010), cet. II, hal, 115
[12] Insruksi Presiden RI (Inpres) No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaran Haji, Departemen Agama RI., 2002), hal. 152
[13] Akhmad Mujahidin, Aktualisasi Hukum Islam; Tekstual dan Kontekstual, (Yogyakarta: LkiS, Pelangi Aksara, 2007), hal. 195
[14] Selama tidak berbenturan dengan pasal 29 ayat (1) dan (2)
[15] Lihat skirpsi Nurzamin, Eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia, (Malang, 2009), hal. 63
[16] Artikel ini hasil Majlis Ulama Indonesia (MUI) pada bulan juli 2012, lebih lengkap  http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=609:hasil-ijtima-ulama-iv--masalah-peraturan-perundang-undangan&catid=37:press-realease&Itemid=57. Diakses pada tanggal 17 September 2012, 03.33 WIB
[17] Penulis meringkas alasan-alasan tersebut di atas dalam tulisan Musda Mulia, Menuju Hukum Perkawinan yang Adi (memberdayakan perempuan Indonesia), hal. 9. Lihat pula Sulistyowati Irianto, Hukum dan perempuan  (menuju hukum yang berperspektif kesetaran dan keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 147-149
[18] Diambil dari http://eliberalisme.blogspot.com/2012/03/kontroversi-revisi-kompilasi-hukum.html. Diakses pada tanggal 17 September 2012, 03.33 WIB
[19]“Sebuah Catatan Tentang Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam”, http://chamzawi.wordpress.com/2008/07/26/sebuah-catatan-tentang-kontroversi-revisi-kompilasihukum-islam/. Diakses pada 21 April 2012
[20] Lihat
[21] Sulistyowati Irianto, Hukum dan perempuan  (menuju hukum yang berperspektif kesetaran dan keadilan, (Jakarta: yayasan obor Indonesia, 2006), hal. 147-149
[22] Amin Abdullah menguraikan paradigma metodik usul fiqh kedalam pradigma fiqh literalistik, utilitarianistik dan liberalistik-penomenologik. Lihat lebih lengkap Amin Abdullah, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer, dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Ar-Ruz, 2002, hlm 118-123, bandingkan dengan M. Dahlan, Paradigma Ushul Fiqih Multikultural di Indonesia, (Surakarta, ACIS, 2009), hal. 3
[23] Kajian tentang teori pengetahuan disebut juga dengan epistemologi (Yunani: episteme = knowledge, pengetahuan; dan logos = teori). Definisi epistemologi secara umum adalah teori pengetahuan (theory of knowledge). Istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1854 oleh J.F. Ferrier yang membuat perbedaan antara dua cabang filsafat yaitu ontologi (Yunani: on = being, wujud, ada; dan logos = teori) dan epistemologi. Ontologi sering disinonimkan dengan metafisika, meskipun yang disebutkan terakhir ini dapat berarti ontologi yang merupakan teori tentang apa, juga berarti pula epistemologi sebagai teori pengetahuan. Baca: Donald Gotterbarn dalam Barnes dan Noble, New American Encyclopedia (USA: Grolier Incorporated, 1991), hlm. 221
[25] Abd Moqsith Ghazali, Argumen Metodologis CLD KHI, dipublikasikan di Rubrik Swara, Kompas, Senin, 7 Maret 2005.
[26] Ada pula fokus  epistimologi menelusuri pada tataran asal, struktur, metode dan validitas pengetahuan (the branch of philosophy with investigates the origin, structure, methods, and validity of knowledge). Lihat Idri, Epistimologi Ilmu Pengetahuan dan Keilmuan Hukum Islam,   (Jakarta: Lintas Pustaka, 2008), hal. 2
[27] M. Dahlan, Abdullah Ahmed an-Naim: Epistimologi Hukum Islam, (Indonesia: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 109
[28] Mengenai untuk mengungkapkan bahwa ketimpangan dalam bidang hukum dapat dijumpai pada tiga aspek, yaitu materi hukum content of law, budaya hukum culture of law dan struktur hokum. Lihat
[29] Muhammad Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, (Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, 1985), hal. 115 Lihat lebih lengkap Disertasi M. Jamil, Metode Istinbȃt Hukum Hamka: Studi Terhadap Ayat-Ayat Akâm Tafsir Al-Azhar, (Jakarta, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2008), hal. 64-65


Monday, 16 June 2014

Memanusiakan Preman Sebagai Manusia

Hari-hari ini maraknya aksi premanisme di negeri tercinta Indonesia merupakan bukti nyata bahwa peran negara sebagai pemegang kekuasan absolute sebagai memanusiakan manusia (humanize human being) hilang begitu saja. Negara dengan alat hukumnya sebagai pemegang kontrol sosial beralih menjadi pendukung masalah sosial. Hal itu bisa dilihat dari rentetan aksi-aksi kekerasan merebak di seluruh wiilayah Indonesia.
Jika melihat dari skala maupun bentuk jenis aksi kekerasan, aksi-aksi tersebut mempunyai beragam bentuk, baik yang dilakukan oleh rakyat sipil ataupun oknum pemerintah. Aksi premanisme seperti yang diungkap oleh Indonesia Police Watch (IPW) mencatat bentuk-bentuk aksi premanisme juga banyak dilakukan oleh oknum kepolisian, seperti aksi pungutan liar, salah tangkap, dll. Adapun bentuk aksi premanisme yang dilakukan oleh rakyat sipil seperti yang terjadi di Rumah Sakit Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta Pusat pada hari Kamis 23 Februari 2012 dini hari, akibatnya dua orang meninggal dalam aksi premanisme tersebut dan yang paling mencengangkan dalam aksi tersebut adalah tidak jauh dari pos polisi. Lain lagi pada daerah terminal Kampung Rambutan, para preman membuat aksi nekatnya dengan mengancam kepada sejumlah orang untuk diberikan uang. 
Dari serangkaian maraknya aksi premanisme operasi kilat di beberapa daerah pun dikerahkan, seperti di Jakarta Timur petugas Polisi Resort melakukan penertiban terhadap gerombolan preman dan anak punk di 7 titik rawan, selama empat hari. Dari operasi tersebut sebanyak 131 anak punk dan preman berhasil diciduk. Namun 11 orang ditahan karena terbukti melakukan tindak kejahatan. Sedangkan 120 orang lainnya dilakukan pembinaan di Panti Sosial Kedoya, Jakarta Barat. Di Kota Bekasi pada selasa 28 februari 2012 bahwa Belasan orang ditangkap Tim Penindak Premanisme (TPP) dalam Operasi Kilat Jaya 2012 dan Mayoritas mereka yang dibawa polisi adalah pengamen, dll.
Dari kasus yang terjadi, beberapa ahli mengatakan bahwa aksi-aksi premanisme mempunyai latar belakang yang berbeda yang berujung pada tindak kekerasan pada korban, meminjam bahasa Sunardi dkk dalam bukunya (Republik Kaum Tikus, 2005) bahwa, ketika seseorang atau komunitas merasa hidupnya dalam tekanan ekonomi yang hebat, maka bukan tidak mungkin akan lahir opsi kekerasan, ekstremitas atau kriminalitas. Pandangan Sunardi tersebut mempunyai indikasi bahwa aksi-aksi premanisme bukan tidak mungkin dilakukan karena persoalan klasik yaitu problem sosial, ekonomi, budaya, dll yang sampai sekarang masih belum selesai, bahkan menurut Johan Galtung ini terjadi karena ada faktor aktulisasi yang tak terpenuhi. Belum lagi dalam aksi premanisme yang dilakukan oleh oknum polisi yang ikut terlibat, kata Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane. Aksi premanisme yang dilakukan oleh oknum juga bukan tidak mungkin karena persoalan yang sama.
Aksi premanisme tersebut di atas perlu mendapat perhatian penuh oleh pemerintah, karena UUD 1945 mengamanatkan untuk menjalankan ketertiban umum bagi bangsa Indonesia, dan perlu dibenahi pula yaitu faktor eksternal dan internal. Yang mana faktor eksternal mencakup aksi premanisme yang dilakukan oleh rakyat sipil, dan masalah internal adalah aksi premanisme yang dilakukan oleh para oknum. Dari faktor-faktor tersebut secara praksis pemerintah perlu untuk me-restruktur sub-welfare state, yaitu upaya preventif pemerintah sebagai pemberi hak (duty holders) untuk memberikan ketenangan, kenyamanan dan kecerdasan awal kepada seluruh masyarakat Indonesia. Ini adalah amanat sejatinya ground-norm kita yaitu UUD 1945, ia bukan sebatas tataran teoritis saja, akan tetapi perlu usaha konkrit dalam menjalankan tugas tersebut, untuk itu pemerintah harus konsisten dalam melakukan langkah ini.
Kemudian langkah restruktur sub-welfare state pemerintah semestinya dibarengi dengan langkah kedua yaitu memanusiakan manusia (to humanize human being), dalam serangkaian memanusiakan manusia-- para aparatur pemerintah dalam konteks ini mestinya bentuk aksi premanisme ketika sudah terjadi seharusnya pemerintah bukan menjadi problem maker bukan sebaliknya dengan membuat cara-cara kekerasaan (acts of violence) ketika penangkapan kepada mereka, walaupun niat awalnya untuk memberikan binaan, justru cara-cara seperti ini akan menimbulkan kekerasan baru (neo-violence). Dan Upaya ini pula pemerintah dalam menjalankan binaan kepada para preman, dll seharusnya lebih menekankan membuat jera dengan cara-cara manusiawi pula, karena ini menjadi titik nadir bahwa seorang preman, dll akan terjeurmus kembali menjadi alianasi zaman ketika serangkaian bentuk-bentuk binaan tidak membekas sama sekali.
Dan terakhir adalah pemerintah harus bersikap tegas kepada para oknum, sanksi yang diberikan pula jangan selalu bersifat tebang pilih atau lebih jelasnya bersifat etis melulu akan tetapi lebih dari itu, ketika perbuatan oknum menunjukan proporsional pidana, maka mestinya dipidanakan. Dari sinilah kemelut kepercayaan rakyat dengan para penegak hukum bisa diminimalisir. ***