Eksistensi hukum
Islam di Indonesia sangatlah signifikan bagi umat Islam di seluruh di dunia,
tak ayal legitimasi perundang-undangan (qonun) ataupun
berbentuk yurisprudensi serta pendapat-pendapat para ahli (mujtahid) sangatlah
berpengaruh bagi tatanan muslim di dunia, terlebih khusus di Indonesia. Dari
hasil produk itu adalah hasil jerih payah bagaimana konsepsi al-Qur’an dan
Al-hadits yang sebagai way of life
bagi muslim dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Salah
satu contohnya yaitu UU No. 7 Tahun 1989, UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50
Tahun 2009 tentang Peradilan Agama merupakan eksistensi hukum Islam yang
khas bercorak Indonesia. Dimana ketiga bentuk undang-undang tersebut
menjelaskan tentang bagaimana tugas dan wewenang peradilan agama dalam
hal untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara menurut
hukum Islam, dan di sinilah peran hukum Islam diformulasikan.
Secara ringkas, Peradilan
Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan agama,
menegakan hukum dan keadilan. Eksistensi peradilan agama telah menjadikan
umat Islam Indonesia terlayani dalam penyelesaian masalah perkahwinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf,shadaqah dan lain-lain. Peradilan
agama hendak menegakkan substansi nilai-nilai hukum yang mewarnai
kehidupan umat Islam.
Perubahan
signifikan di bidang ketatanegaran dalam sistem peradilan adalah penyatu-atapan
semua lembaga peradilan (One Roof System) di bawah Mahkamah Agung
RI. Reformasi sistem peradilan tersebut diawali dengan kemasukan Pasal 24
ayat (2) UUD 1945 dalam amendmen ketiga UUD 1945 dan dilanjutkan dengan
disahkannya UU Nomor 4 tahun 2005 tentang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan perdilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan perdilan militer, lingkungan perdilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Konsekuensi dari
penyatu-atapan lembaga peradilan adalah pengalihan organisasi, administrasi dan
finansial Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah
Agung. Pengalihan tersebut sebagai bagian dari perwujudan reformasi hukum
untuk menciptakan kelembagaan negara yang lebih kondusif bagi tercapainya
tatanan yang lebih demokratis dan transparan.
Sebelum lari
ke dalam analis, gambaran umum tentang persamaan dan perbedaan ke tiga
bentuk undang-undang di atas. Persamaannya adalah sama-sama membahas
tugas dan wewenang peradilan agama untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan
ditingkat pertama. Perbedaannya yaitu sebagaimana diatur dalam
Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 yang diperjelas dalam Penjelasan Umum angka 2
alenia ketiga yang meliputi bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan
hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta waqaf dan shadaqah.
Sedangkan jika
kita lihat pada undang UU No. 3 Tahun 2006, Bidang-bidang yang
menjadi kewenangan Pengadilan Agama setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 2006
sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum alenia pertama, Pasal 2, Pasal 3A,
Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 52 UU No. 3 Tahun 2006 adalah perkara tertentu,
yaitu perkara Islam yang meliputi bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqah, ekonomi syri’ah, sengketa hak milik yang timbul
akibat adanya sengketa terhadap bidang yang menjadi kewenangan Pengadilan
Agama, Isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun
Hiriyah, serta pemberian keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan
arah kiblat dan penentuan waktu sholat.
Sementara itu
undang-undang tentang peradilan agama yang baru, No. 50 Tahun 2009 memuat
perubahan dan tambahan yang baru diantaranya sebagai berikut: pengadilan agama
khusus dilingkungan peradilan agama, hakim adhoc di Peradilan Agama, pengawasan
internal oleh MA dan eksternal oleh KY, putusan bisa dijadikan dasar mutasi,
seleksi pengangkatan hakim dilakukan oleh MA dan KY, pemberhentian hakim atas
usulan MA dan atau KY via KMA, tunjangan hakim sebagai pejabat negara, Usia
pensiun hakim 65 bagi PA dan 67 bagi PTA, panitera/PP, 60 PA dan 62 PTA, pos
bantuan hukum disetiap pengadilan agama, jaminan akses masyarakat akan
informasi pengadilan dan terakhir yaitu ancaman pemberhentian tidak hormat bagi
penarik pungli.
A. Analisis Undang-undang
Undang-undang No.
7 Tahun 1989 tentang Susunan dan kekuasaan Undang-undang Peradilan
Agama yang disahkan dan diundangkan itu terdiri dari 7 Bab 108 pasal dengan
sistematika sebagai berikut: Bab 1 tentang ketentuan umum, Bab 2-Bab 3 mengenai
susunan dan kekuasaan peradilan agama, Bab 4 hukum acara, Bab 5
ketentuan-ketentuan lain, Bab 6 Ketentuan peralihan, dan Bab 7 ketentuan
penutup. Yang dapat disimpulkan bahwa perubahan penting dan mendasar terjadi
dalam lingkungan peradilan agama, diantaranya:
a) Peradilan
agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya telah sejajajar dan
sederajat dengan peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata usaha
negara.
b) Nama,
susunan, wewenang (kekuasaan) dan hukum acara peradilan agama telah sama
dan seragam di seluruh Indonesia. Terciptanya unifikasi hukum acara peradilan
agama itu akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang
berintikan keadilan keadilan dalam lingkungan peradilan agama.
c) Perlindungan
terhadap wanita lebih ditingkatkan, dengan jalan antara lain memberikan hak
yang sama kepada istri dalam berproses membela kepentingannya dimuka pengadilan
agama.
d) Lebih
memantapkan upaya penggalian berbagai asas dan kaidah hukum Islam melalui
yurisprudensi sebagai salah satu bahan dalam penyusunan dan pembinaan hukum
nasional
e) Terlaksananya
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman, terutama
yang disebut pasal 10 ayat (1) mengenai kedudukan pengadilan agama dan pasal 12
tentang susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya.
f) Terselenggaranya
pembangunan hukum nasional berwawasan Bhenika Tunggal Ika dalam bentuk
undang-undang peradilan agama.[2]
Terlepas dari
kesimpulan di atas, bahwa kritik terhadap UU No. 7 Tahun 1989 bahwa
menyatakan peradilan agama telah menjadi peradilan mandiri, secara
tersurat memang telihat mandiri, tetapi dalam beberapa pasal masih terlihat
ketidak mandirian, ini terlihat dalam 49 ayat (3) bahwa dalam penjelasan umum
disebutkan bahwa para pihak dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang
digunakan oleh dalam pembagian warisannya. Dalam pasal ini terlihat bahwa
kemandirian peradilan agama masih dipertanyakan, pasal ini pula masih
terpengaruh oleh pemikiran Snouck Hugrongje yang di telurkan dalam Staatblad 1937
No. 116 dalam pasal 134 ayat (2) yang intinya bahwa wewenang peradilan agama
(pristraad) pada waktu itu dikurangi (khususnya masalah kewarisan) dan ia hanya
berwenang dalam perkawinan dan perceraian saja.
Ketimpangan
kemandirian yang lain terlihat pula ketika beracara dalam pengadilan agama pada
Bab 4 undang-undang peradilan agama. Bagian pertama mengatur hal-hal yang
bersifat umum, diantaranya disebutkan bahwa “hukum acara yang berlaku dalam
lingkungan peradilan agama adalah hukum acara peradata yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan peradillan umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam undang-undang ini”. Bab ini tak lain adalah penggunaan dalam
beracara di pengadilan agama belum bisa mandiri.
Dalam Bab 5
menyebutkan tentang ketentuan-ketentuan lain mengenai admistrasi peradilan,
pembagian tugas hakim, panitera dalam melaksanakan tugasnya masing-masing.
Dalam bab ini pula dijelaskan bahwa tugas juru sita[3]. Juru sita,
tidak ada dalam urusan peradilan agama ini, sehingga dalam melaksanakan
putusannya yang tidak mau dilaksanakan oleh para pihak, terutama oleh mereka
yang kalah, pengadilan agama selalu bergantung pada pengadilan negeri, ini
terlihat bahwa kemandirian peradilan agama masih ada yang meragukan dalam
melaksanakan tugasnya.
Itulah sekulumit
analisis Undang-udang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama yang intinya
bahwa undang-undang tersebut adalah cita-cita masyarakat Muslim di
Indonesia sekaligus tentang eksistensi bahwa hukum Islam di indonesia
bisa diterapkan secara legal-formal meski terdapat hambatan-hambatan baik bersifak
politis ataupun struktural. Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman di Indonesia telah menjalani perjalanan sejarah panjang
yang berliku untuk sampai pada eksistensi, status dan kedudukannya yang begitu
kuat seperti sekarang ini.
B. Analisis UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009
Sejarah juga
menyaksikan betapa Peradilan Agama dalam proses perkembangannya mengalami
pasang surut seiring dengan lahirnya peraturan perundang-undangan yang mengatur
Peradilan Islam ini. Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman No.
14/1970 menandai pembaharaun Peradilan Agama meski belum bisa dikatakan sebagai
lembaga yang independen, mandiri dan kokoh.
Perkembangan
signifikan baru terjadi setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 7/1989
tentang Peradilan Agama. Disusul 10 tahun kemudian dengan lahirnya UU No.
35/1999 yang mengatur sistem satu atap (one-roof system) yang ditegaskan
kembali oleh UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Tetapi, Undang-Undang
No. 3/2006 tentang perubahan UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama lah yang
kemudian dianggap oleh banyak kalangan sebagai momentum paling bersejarah bagi
perkembangan PA dengan perluasan kewenangannya dalam perkara ekonomi syari’ah.
Namun demikian,
lahirnya paket undang-undang kekuasaan kehakiman yang mulai diberlakukan sejak
29 Oktober lalu, terutama UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyisakan
sedikit tanda tanya akan kewenangan Peradilan Agama yang diberikan oleh UU No.
3/2006 yang sudah dirubah dengan UU No. 50/2009. Sekali lagi, Peradilan Agama
mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Berbicara mengenai perkembangan
Peradilan Agama di Indonesia, ada empat aspek penting yang berkaitan dengan
perkembangan tersebut. Pertama, berkenaan dengan kedudukan peradilan dalam
tatanan hukum dan peradilan nasional. Kedua, berkaitan dengan susunan
badan peradilan, yang mencakup hierarki dan struktur organisasi pengadilan
termasuk komponen sumber daya manusia di dalamnya. Ketiga, berkenaan
dengan kewenangan pengadilan baik kewenangan mutlak (absolute competency)
maupun kekuasaan relatif (relative competency). Keempat, berkenaan dengan
hukum acara yang dijadikan landasan dalam menerima, memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara. (Cik Hasan Bisri: 1997).
1. Kedudukan (Eksistensi) Peradilan Agama
Mantan ketua MA,
Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL, dalam salah satu kesempatan pernah mengatakan
masih adanya kesan yang menganggap Peradilan Agama bukanlah sesuatu yang
penting dilihat dari sistem bernegara secara keseluruhan. Peradilan Agama
dianggap tidak atau kurang penting dibandingkan dengan lingkungan badan
peradilan lain.
Semua kesan itu
adalah hasil dari kebijakan politik kolonial belanda yang memandang Peradilan
Agama sebagai ‘the necessary evil’, sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi
harus diterima. Dasar politik ini, kata Prof. Bagir, berpengaruh pada berbagai
kebijakan praktis yang datang kemudian. Salah satu politik kolonial tersebut
adalah dengan menggerogoti kewenangan Peradilan Agama baik dilakukan secara
normatif maupun melalui ilmu pengetahuan dengan mengintrodusir hukum adat dan
kemudian disandingkannya dengan hukum Islam.
Politik hukum
penguasa pun sepertinya tidak lepas dari akibat politik hukum kolonial ini.
Dalam kenyataan di lapangan misalnya, apa yang dikatakan Daniel S. Lev bahwa
“eksistensi Peradilan Agama sangat bergantung dengan kemauan politik
pemerintahan yang berkuasa” menemukan pembenarannya. Dua disertasi Doktor (Nur
Ahmad Fadhil Lubis, 1994 dan Muhammad Farid, 2008) juga membenarkan analisis
tersebut, meski kemudian dibantah oleh Disertasi lainnya (Jaenal Aripin, 2009)
yang dengan teori Cultural Existence theory menegaskan bahwa kokohnya
keberadaan Peradilan Agama lebih disebabkan karena dorongan sosial dan budaya.
Terlepas dari hal tersebut diatas, kini
keberadaan Peradilan Agama sudah sangat kuat secara konstitusional. Jika
dirunut secara historis, penguatan kedudukan ini bisa dibaca dari lahirnya
beberapa Undang-Undang yang secara jelas mengatur tentang Peradilan Agama.
Dimulai dari UU No. 14/1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
mementahkan UU No. 19/1948 yang menghapus keberadaan Peradilan Agama secara
konstitusional. Undang-Undang No. 7/1989 memberikan kemandirian penuh kepada
Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkara yang menjadi kewenangannya.
Pengadilan Agama tidak lagi menjadiquasi dari Pengadilan Negeri. Meski
undang-undang ini masih memberikan ruang intervensi bagi eksekutif (karena
pembinaan kepegawaian masih dibawah Departemen Agama), tetapi undang-undang
inilah yang dianggap sebagai titik bangkitnya Peradilan Agama menjadi peradilan
yang sesungguhnya.
Penyatu-atapan
pembinaan administrasi, organisasi, keuangan dan teknis judisial oleh Mahkamah
Agung dengan lahirnya UU NO. 35/1999 semakin memperkuat kedudukan Peradilan
Agama. UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman kemudian semakin memperkokoh
dan mempertegas keberadaan Peradilan Agama sebagaimana juga yang ditegaskan
dalam perubahannya, yakni UU No. 48 tahun 2009 yang diundangkan belum lama ini.[4]
Undang-Undang
No. 3 tahun 2006 yang berisi 42 perubahan atas UU No. 7/1989 yang kemudian
dirubah lagi dengan UU No. 50/2009 merupakan landasan kuat akan kokohnya
kedudukan Peradilan Agama berikut dengan kewenangan yang dimilikinya. Kesan
tentang tidak pentingnya Peradilan Agama seharusnya sudah sirna seiring dengan
penguatan status dan kedudukan Peradilan ini, terlebih jika melihat haluan
politik hukum negara secara resmi sudah berubah dan perkara-perkara yang
ditangani Peradilan Agama adalah perkara hukum yang langsung menyentuh
kepentingan mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam.
2. Kewenangan Peradilan Agama
Pada awalnya,
seperti yang diatur dalam UU No. 7/1989, Pengadilan Agama hanya berwenang
menangani perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. UU
No. 3/2006 yang merubah UU No. 7/1989 kemudian memperluas kewenangan Pengadilan
Agama. Dalam pasal 49 kewenangan tersebut ditambah dengan penangan perkara
zakat, infaq dan ekonomi syari’ah. Penjelasan pasal 49 UU NO. 3/2006 merinci
perkara apa saja yang dimaksud dengan “perkawinan”, yang salah satunya juga
menyebutkan tentang pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
Dalam pasal yang
sama, dijelaskan 11 kegiatan usaha yang termasuk dalam ekonomi syari’ah yakni
bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi
syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syaria’ah dan surat berharga berjangka
menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah,
dana pensin lembaga keuangan syari’ah, dan bisnis syari’ah.
Kewenangan baru
lainnya dari UU No. 3/2006 ini adalah dalam hal penyelesaian sengketa hak milik
antara sesama orang Islam dan pemberian itsbat kesaksian rukyat hilal dalam
penentuan awal bulan pada tahun hijriyah, serta pemberian keterangan atau
nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu sholat.
Sementara itu
Undang-Undang tentang Peradilan Agama yang baru, No. 50/2009 memuat
perubahan/tambahan baru diantaranya sebagai berikut:
·
Pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Agama
·
Hakim Adhoc di Peradilan Agama
·
Pengawasan Internal oleh MA dan eksternal oleh
KY
·
Putusan bisa dijadikan dasar mutasi
·
Seleksi pengangkatan hakim dilakukan oleh MA dan
KY
·
Pemberhentian hakim atas usulan MA dan atau KY
via KMA
·
Tunjangan hakim sebagai pejabat Negara
·
Usia pensiun hakim 65 bagi PA dan 67 bagi PTA.
Panitera/PP, 60 PA dan 62 PTA
·
Pos Bantuan Hukum di setiap Pengadilan Agama
·
Jaminan akses masyarakat akan informasi
pengadilan, dan
·
Ancaman pemberhentian tidak hormat bagi penarik
pungli.
3. UU No. 48/2009 Versus UU No. 3/2006 dan SEMA No. 08/2008 tentang
Eksekusi Arbitrase Syari’ah.
Jika kelahiran
UU No. 3/2006 dipandang banyak orang sebagai blessing in disguise karena
meski sangat terlambat jika dibandingkan dengan perubahan undang-undang
lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 3/2006 ini
memberikan banyak keuntungan’ bagi Peradilan Agama.
Salah satunya
adalah pemberian wewenang menangani perkara ekonomi syariah. Pemberian wewenang
penanganan perkara baru ini bukannya tanpa hambatan. Resistensi dari berbagai
pihak bermunculan, bahkan salah satu petinggi Bank Indonesia sampai harus
mengirimkan surat protesnya kepada presiden yang merasa keberatan jika perkara
ekonomi syari’ah harus ditangani oleh hakim-hakim agama yang menurutnya awam
mengenai masalah ekonomi. Belum lagi resistensi dari pihak-pihak lain yang
memang didasari oleh ketidak percayaan dan alasan-alasan lainnya.
Pasal 49 UU No. 3/2006
dengan jelas menggariskan bahwa segala perkara yang berkaitan dengan ekonomi
syari’ah ditangani oleh Pengadilan Agama. Namun demikian pada prakteknya
penanganan perkara ekonomi syari’ah ‘masih diperebutkan’ antara Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Agama, terutama dalam hal eksekusi putusan Badan
Arbitrase Syari’ah.
Pasal 60 UU No.
30/1999 tentang Arbitrase Syari’ah mengatur bahwa putusan Badan Arbitrase
Syari’ah bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para
pihak. Oleh karenanya para pihak wajib melaksanakan putusan tersebut secara
sukarela. Persoalannya adalah ketika putusan Badan Arbitrase Syariah itu tidak
dilaksanakan secara suka rela, maka putusan itu dilaksanakan atas perintah
siapa, Ketua Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri?
Sejatinya dengan
lahirnya UU No. 3/2006 yang memberikan kewenangan penanganan ekonomi syari’ah
kepada Pengadilan Agama, polemik pelaksanaan eksekusi itu tidak perlu terjadi
karena jelas-jelas perkara itu merupakan kewenangan Pengadilan Agama.
Namun demikian,
untuk memberikan kepastian hukum akhirnya Mahkamah Agung mengeluarkan Surat
Edaran (SEMA) No. 08 Tahun 2008 tanggal 10 Oktober 2008 yang menyatakan
Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari’ah dilaksanakan atas perintah Ketua
Pengadilan Agama. Penting dicatat, Mahkamah Agung mendasarkan SEMA tersebut
pada pasal 49 UU No. 3/2006.
Diluar dugaan,
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang baru, No. 48/2009 pada pasal 59 dan
penjelasannya secara gamblang menyebut bahwa eksekusi putusan arbitrase (termasuk
arbitrase syari’ah) dilaksanakan atas perintah ketua pengadilan negeri.
Ketentuan pasal
59 UU No. 48/2009 ini jelas bertentangan dengan pasal 49 UU No. 3/2006 yang
telah dirubah dengan UU No. 50/2009. Pasal 59 itu juga bertentangan dengan SEMA
No. 08/2008 tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah. Di tingkat praktis,
pertentangan pasal-pasal ini dikhawatirkan menimbulkan polemik yang tak
berkesudahan jika tidak segera diselesaikan dengan bijak dan hati yang lapang.
4. Langkah Strategis Peradilan Agama
Sejarah dan
kebijakan masa lalu serta suasana internal pengadilan dan Peradilan Agama
menempatkan Peradilan Agama ‘tertinggal’ dari lingkungan badan peradilan lain
pada masa-masa awal sistem satu atap (one
roof system). Bagir Manan, menyebut hanya ada tiga obat yang mujarab untuk
mengejar ketertinggalan itu. Pertama, kesadaran bahwa perubahan ke arah
kemajuan adalah suatu kemestian. Kedua, kesadaran untuk bekerja lebih
keras mewujudkan perubahan ke arah kemajuan. Ketiga, kesadaran untuk
membangun dan menjaga kredibilitas.
Usaha bersama
dari seluruh warga Peradilan Agama dengan dukungan penuh jajaran pimpinan
Mahkamah Agung RI untuk terus berbenah diri berhasil membawa perubahan
signifikan di Peradilan Agama di Indonesia. Salah satu indikator dari perubahan
tersebut adalah tingginya tingkat kepercayaan dan kepuasan publik terhadap
Peradilan Agama.
Hasil survey
2007 dan 2009 yang dilakukan oleh IALDF (Indonesia Australia Legal Development
Facility), Family Court of Australia dan Ditjen Badilag MA RI menunjukkan
adanya tingkat kepuasan yang tinggi (70%) dari para pengguna Peradilan Agama.
Bahkan berdasarkan hasil survey The Asia Foundation (2001), Peradilan Agama
menjadi satu-satunya institusi penegak hukum yang memiliki performance paling
baik. Persepsi publik mengungkapkan Peradilan Agama sebagai institusi yang trustworthy dan does
its job well nya paling tinggi.
Sekarang ini
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama masih terus mengembangkan
langkah-langkah stratejik dalam rangka pemberian pelayanan prima kepada
masyarakat pencari keadilan. Beberapa langkah stratejik tersebut adalah sebagai
berikut:
a) Untuk meningkatkan akses masyarakat miskin
terhadap Pengadilan Agama, Mahkamah Agung memberikan fasilitas berperkara
gratis (prodeo) dan sidang keliling dengan meningkatkan anggaran yang
signifikan untuk kedua hal tersebut.
b) Publikasi informasi tentang hak-hak masyarakat
miskin untuk mengakses pengadilan. Hal ini dilakukan melalui website, meja
informasi, TV media, brosur dan lain sebagainya.
c) Memperkuat kerjasama dengan pemerintah lokal,
universitas dan NGO.
d) Meningkatkan upaya-upaya transparansi dan
akuntabilitas sesuai dengan SK KMA No. 144/2007 tentang Keterbukaan Informasi
di Pengadilan.
e) Kewajiban setia Pengadilan Agama untuk
memberikan transparansi biaya perkara.
f) Publikasi putusan melalui situs internasional
www.asianlii.org (1561 putusan sudah dipublikasikan).
g) Pembuatan dan Pembudayaan Sistem Informasi dan
Manajemen Perkara (SIADPA).
h) Membangun website sebagai sarana komunikasi dan
pembinaan internal serta pemberian informasi kepada publik:
1 website Direktorat Jenderal,
www.badilag.net. Situs yang dibangun sejak 3 tahun lalu ini dikunjungi + 6000
pengunjung setiap harinya. Sampai saat ini jumlah total pengunjung lebih dari
5.500.000 pengunjung.
·
29 website Pengadilan Tinggi Agama
·
268 website dari 343 Pengadilan Agama
Kerja keras
segenap jajaran Peradilan Agama untuk terus berubah menuju peradilan yang
modern banyak mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Tokoh-tokoh nasional dan
Internasional serta berbagai NGO dalam dan luar negeri secara terus terang
menyampaikan kekagumannya atas pencapaian Peradilan Agama selama ini.
Apresiasi ini
tidak kemudian menjadikan jajaran Peradilan Agama dibawah pembinaan Badilag MA
RI menjadi bangga dan terlena. Justru sebaliknya, pujian dan apresiasi
dijadikan sebagai pemicu dan motivasi bagi seluruh elemen untuk selalu berbuat
lebih baik lagi bagi masyarakat khususnya para pencari keadilan (justice
seekers) di Peradilan Agama. Apresiasi dan masukan dari berbagai pihak juga
selalu dijadikan sebagai bahan dalam memperbaiki banyak kekurangan yang selama
ini dimiliki oleh Peradilan Agama.
5. Peluang Dan Tantangan Sarjana Syari’ah
Pasal 13 UU No.
50/2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
menyebutkan bahwa untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan agama,
seseorang harus memenuhi syarat (diantaranya) sebagai sarjana syariah, sarjana
hukum Islam atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam. Berbeda dengan
sistem penerimaan pada calon hakim peradilan lainnya, calon hakim peradilan
agama harus mengikuti test membaca kitab kuning sebagai salah satu syarat
kelulusannya. Disinilah letak peluang sarjana syariah untuk berkiprah di
Pengadilan Agama. Sarjana Syariah bisa dikatakan sebagai bahan baku dari SDM
Peradilan Agama. Meskipun ada kalimat yang membolehkan calon hakim pengadilan
agama yang berasal dari sarjana hukum tetapi jika ia tidak menguasai hukum Islam
dan tidak bisa membaca kitab, maka peluangnya akan tertutup.
Bagi sarjana
syari’ah pun jika ia tidak menguasai hukum Islam yang dibuktikan dengan lulus
ujian tulis dan lisan, maka peluangnya pun tertutup. Yang dikhawatirkan sarjana
syari’ah dalam penguasaan hukum Islam dan baca kitabnya kalah oleh sarjana
hukum karena, misalnya, mereka tinggal di pesantren. Kekhawatiran ini dalam
beberapa kasus memang sudah banyak terjadi. Sementara itu tantangan yang cukup
kentara sementara ini adalah adanya keluhan bahwa sarjana syari’ah kurang
memahami hukum acara dan hukum perdata. Tantangan ini akan dengan mudah dijawab
jika para alumni syariah juga mau lebih banyak lagi menggali hukum acara dan
hukum perdata tersebut melalui kajian dan praktek, serta pendalaman materi
dengan mengikuti kuliah di fakultas hukum umum, misalnya.
Independensi
lembaga peradilan adalah merupakan salah satu sub sistem yang didukung oleh
beberapa sub sistem lain yang saling terkait, dan secara bersamaan atau
bergantian terkadang muncul sebagai pengaruh yang kuat dalam penegakan hukum,
untuk itu agar beberapa sub sistem dari sistem penegakan hukum itu berjalan
efektif, menurut Lawrence Meir Friedman harus berjalan seimbang antara
tiga unsur sistem hukum (three elements of legal system) yakni: legal
structure, legal substance dan legal culture. Eksistensi dan kewenangan
Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dari waktu ke
waktu berubah tergantung kepada dinamika politik hukum bangsa. Meskipun
demikian, eksistensi peradilan agama di Indonesia sangat kuat mengingat
memiliki akar historis yang kuat pula dalam perjalanan sejarah masyarakat
muslim Indonesia.
Di era
reformasi, Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, secara
konstitusional posisinya semakin kuat. Ia tidak hanya diakui dalam konstitusi UUD
1945, akan tetapi juga diakui penuh dalam UU No. 4 Tahun 2004 yang telah diubah
menjadi UU No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Tidak hanya
status dan kedudukan yang telah mengalami perubahan, kewenangannya pun juga
telah bertambah, tidak hanya menangani persoalan hukum keluarga, tapi juga
hukum ekonomi syariah sebagaimana yang diatur dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun
2009 yang telah diubah menjadi UU No. 50 tahun 2009. Namun untuk hukum
materiilnya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Oleh karena itu,
dengan analisis SWOT (sistem analisis pemerintahan) maka di situ ada perlunya
untuk meningkatkan kekuatan (strength) dan memanfaat kesempatan (opportunity)
di atas semaksimal mungkin serta meminimalisir aspek kelemahan (weakness) dan
ancaman (threat) dengan merumuskan agenda perbaikan dan perubahan secara
menyeluruh.
Pengadilan Agama
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Karena telah mempunyai hukum acara
sendiri, dapat melaksanakan keputusannya sendiri, mempunyai juru sita sendiri,
serta mempunyai struktur dan perangkat yang kuat berdasarkan UU. Hukum Islam
yang berlaku di Indonesia, tidak saja yang berlaku secara yuridis formal, yakni
menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan
perundang-undangan (hukum positif), namun juga berlaku secara normatif. Karena
hukum Islam adalah hukum yang mengalir dan berakar pada budaya masyarakat.
Salah satu faktornya adalah karena fleksibilitas dan elastisitasnya.
Pasang surut
perkembangan Peradilan Agama di Indonesia memang ditentukan oleh niat baik
penguasa dan stackholder, tetapi juga sosial budaya setempat memegang peranan
yang tidak kalah pentingnya. Usaha menjadikan Peradilan Agama sebagai lembaga
peradilan yang modern membutuhkan usaha sinergis dan simultan serta
berkelanjutan dari semua elemen. Kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas
dengan dibarengi kredibilitas pada akhirnya akan mampu menjawab ketidak
percayaan publik akan aparat Peradilan Agama. Sarjana syari’ah merupakan main
human resources untuk Peradilan Agama. Karenanya sarjana syari’ah
diharapkan mampu mengisi peluang sekaligus menjawab tantangan yang disodorkan
Peradilan Agama.
Endnote
[1] Mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah dan Aktivis KOMPAK (Komite Mahasiswa dan Pemuda Anti
Kekerasan)
[2] Kesimpulan UU
No. 7 tahun 1989 ini diambil dari Basiq Djalil, Peradilan Agama di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 101
[3] Tugas juru sita
antara lain: a) melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh ketua sidang,
b) meyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran dan pemberitahuan
penetapan atau putusan pengadilan menurut cara-cara berdasarkan undang-undang,
c) melakukan penyitaan atas perintah ketua pengadilan, d) membuat berita
penyitaan, yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang
berkempentingan. Juru sita pengadilan agama berwenang melakukan tugasnya di
daerah hukum yang bersangkutan.
[4] Dengan
belakunya UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, hubungan antara Peradilan
Agama dengan Departemen Agama secara structural dan organisatoris sudah terputus
sama sekali. Namun demikian, hubungan fungsional dan histories tetap tidak akan
pernah hilang. Bahkan secara eksplisit dalam penjelasan UU No. 4/2004 alinea 4
disebutkan bahwa pembinaan terhadap Peradilan Agama dilakukan dengan
memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia.
Kini UU No. 4/2004 tersebut diganti dengan UU No. 48/2009 sekaligus juga
menghilangkan phrase pada alinea 4 penjelasan tersebut.